Share

Kenapa Tak Kau Izinkan Saja?

“Aku laki-laki Nisa, jangan membuatku seperti ini. Kamu menyiksaku tanpa alasan,” lirihku, walau amarah ini sudah naik sampai ke puncak melihatnya serapuh ini, hatiku tak kuasa melampiaskan kekesalan ini padanya.

“Maaf sudah bikin Abang menunggu selama ini,” lirih Nisa sambil terisak. Kulepaskan pelukannya dengan kasar. Dia sedikit tersentak ke belakang. Tak tahan rasanya berada dalam satu ruangan dengan wanita yang sudah jadi mahramku, tapi tak bisa kusentuh.

“Mau ke mana, Bang?” tanya Nisa ketika aku sudah sampai daun pintu.

“Panggil aku kalau kamu sudah siap!” Kututup pintu dengan kerar. Biarkan saja kalau gebrakannya membuat terkejut seisi rumah. Aku tak peduli. Apa kurangku, aku sudah tak menarik lagi bagimu?

“Papah?” Kutengok ke arah sumber suara. Ternyata Reina berada tepat di depanku, dipeluknya kaki kananku dengan kedua lengannya.

“Kenapa Papah marah? Kata mamah, enggak boleh tutup pintu keras-keras nanti pintunya rusak.” Bocah polos itu malah menasihatiku. Aku sengaja berjongkok menyejajarkan tinggiku dengan Reina.

“Iya Sayang, Papah lupa.”

“Papah, bajuku bagus enggak?” Reina malah memutar badannya, sepertinya baju yang Reina kenakan baru. Aku belum pernah melihat bocah itu memakainya.

“Bagus banget Sayang, Reina cantik.”

“Reina enggak kuno ‘kan, Pah?”

“Hah?” Aku bukan tak mendengarnya, tetapi kenapa anak sekecil itu malah bertanya hal semacam ini.

“Iya kata Papah, aku kuno. Jadi mamah belikan aku baju ini hihi aku beneran cantik ‘kan?” Gadis kecil itu tertawa kecil lagi-lagi. Dia berputar sembari memegangi ujung roknya yang seperti mayung.

“Cantik, sini! Memangnya kapan Papah bilang Reina kuno?” Kutarik lengan anak kecil itu agar berhenti berputar-putar dan mendekat padaku.

“Waktu di Cafe pas kita mau beli kue buat Papah.” Jantungku rasanya hampir saja terjatuh, kulepaskan genggamanku pada lengan kecil Reina.

“Memangnya kuno itu apa sih?”

“Hah? Hmm kuno itu…. Ah sudahlah, enggak usah di bahas, yang pentingkan sekarang Reina sudah punya gaun cantik begini.” Kualihkan pembicaraanku ke hal lain. Lagi pula anak sekecil ini tidak baik juga terlalu tahu banyak hal tentang urusan orang dewasa.

“Ya sudah, aku panggil Raina dulu ya. Soalnya kata mamah, kita bakal merayakan ulang tahun Papah di kamar. Kuenya jangan di potong dulu ya hihi nanti Reina aja yang potong,” ucapnya malu-malu.

“Reina mau potong kuenya? Boleh dong, belum di potong kok.”

“Hihi soalnya Reina belum pernah potong kue. Lilinnya juga jangan di tiup dulu. Nanti biar Raina aja yang tiup, oke pah?” Anak kecil itu lagi-lagi mendiktekan tugas untukku. Aku memang belum pernah mengadakan pesta ulang tahun untuk mereka. Kurasa membuat pesta hanya membiasakan anak-anak menagihnya tiap tahun. Ini juga kali pertama ulang tahunku dirayakan sampai seperti ini. Entah apa yang Nisa rencanakan. Bukankah dia juga tak suka perayaan.

Reina sudah pergi. Demi menghilangkan pusing di kepala, mandi sepertinya lebih baik, untuk mendinginkan badan dan otakku yang mulai berasap. Saat aku keluar dari kamar mandi, Reina dan Raina rupanya berada tak jauh dari sini.

“Ayo, Papah?” Mereka menarik lenganku agar segera beranjak keluar dari kamar mandi.

“Duluan saja Sayang, nanti Papah nyusul.”

“Bener ya, Pah? Jangan lama-lama!” ucap Raina padaku. Dua gadis kecil itu pun setengah berlari berlalu pergi dari hadapanku. Aku berjalan pelan menuju kamar tapi ketika di ruang tamu. Langkahku terhenti melihat gawai yang tiba-tiba saja berdering. Kubuka dengan cepat, ternyata hanya notifikasi grup chat yang tidak penting. Aku masih penasaran kenapa juga Nisa tak mau kusentuh. Kuketikan di aplikasi pencarian.

Kenapa istri enggak mau di sentuh.

Kurang Dapat Feel

Aku tiba-tiba tersenyum membacanya. Sungguh artikel ini hanya mengurangi kepercayaan diriku. Lagi pula rasanya tak mungkin juga Nisa bukan tipe wanita yang seperti itu kurasa.

Istri Terlalu Lelah.

Benarkah Nisa terlalu lelah, apakah mengasuh Khalid ditambah lagi dengan kedua kakaknya sangat melelahkan baginya? Bukankah sudah ada ART, meskipun dia tak tinggal seharian? Tapi ‘kan ada yang membantunya meskipun aku tak pernah ikut turun tangan langsung.

Dia Merasa Jelek, Sebagai Suami Anda harus Sering Memujinya.

Sebentar mungkinkah Nisa yang justru merasa minder padaku? Aku memang tak pernah lagi memujinya semenjak melahirkan Khalid. Istriku memang sedikit berubah. Masa sih dia sampai tidak percaya diri begitu? Tapi tunggu dulu, dia dulu pernah bilang kalau perutnya jadi keriput, dan menghitam. Mungkinkah dia malu karena hal itu? Aku masih ingat saat aku mengatakannya aura bahagia yang terpancar dari wajah Nisa langsung meredup seketika. Sepertinya aku memang harus minta maaf.

Sakit

Nisa sakit, tapi sakit apa?

“Papah kok malah main hape? Ayo udah ditunggu mamah.” Suara Raina yang nyaring hampir saja membuatku menjatuhkan ponsel.

"Oh iya Sayang, ayo kita ke kamar!” Kuabaikan pencarian tentang Nisa. Biarlah nanti saja kuteruskan lain waktu yang penting aku akan meminta maaf kali ini. Begitu masuk kamar, Nisa terlihat begitu berbeda kalau biasanya dia memoles wajahnya dengan make up lagi.

“Dik, masyaallah cantik sekali.” Aku sungguh terpukau dengan penampilannya.

“Abang berlebihan, tapi terima kasih.” Setelah itu acara potong kue dan tiup lilin pun berlangsung. Setelah anak-anak memakan kuenya mereka pun pergi keluar, menyisakan kami berdua di ruangan ini.

“Maaf membuat Abang menunggumu begitu lama, hari ini aku sudah siap.”

“Maaf Dik, mungkin Abang yang salah, pernah mengatakan sesuatu yang membuatmu sakit hati. Sekali lagi Abang minta maaf.”

“Itu memang kenyataannya Bang, semua yang ada pada diriku telah berubah. Diperjelas olehmu atau tidak, keadaannya memang sudah seperti itu.”

“Benarkah sudah siap?” tanyaku memastikan. Dia hanya mengangguk. Aku berjalan pelan menuju pintu, menguncinya lalu menekan saklar lampu. Ruangan mulai redup, kemudian berubah gelap tanpa cahaya lampu.

Mungkin karena kelelahan sepertinya aku tertidur cukup lama. Begitu mataku terbuka Nisa sudah tak ada di sampingku, ke mana dia? Aku segera bangkit dari tempat tidur. Kususuri setiap ruangan sembari memanggil namanya, tapi tak kunjung ada sahutan.

“Bapa cari ibu?” tanya Bi sumi, ART di rumahku.

“Iya ibu ke mana?”

“Tadi ibu bilang mau pergi sebentar, tapi sudah sekitar empat jam belum pulang juga.”

“Empat jam, ibu bilang pergi ke mana?” tanyaku.

“Ibu enggak  bilang mau pergi ke mana, Pak. Saya juga bingung Khalid sudah rewel banget nyariin ibunya.” Bi Sumi terlihat sangat kerepotan. Khalid memang lebih sering menghabiskan waktu dengan Nisa. Tugas Bi Sumi di sini hanya membantu membersihkan rumah, sedangkan anak-anak sepenuhnya tanggung jawab Nisa. Kuraih Khalid dalam gendongan Bi Sumi. Aku mencoba menenangkannya sebisaku.

“Pak hati-hati, jangan didudukkan seperti itu! Kasihan belum waktunya." Bi Sumi justru menyalahkan cara menggendongku. Aku memang tidak pernah menggendong Si Bungsu karena kesibukanku di kantor. Sepulang kerja biasanya dia sudah tidur.

“Loh bagaimana memangnya, Bi?” Wanita itu pun mengajariku menggendong Khalid dengan benar. Aku menuruti perintahnya. Hampir setengah jam Khalid berada dalam gendonganku. kutimang-timang dia, kunyanyikan lagu anak, tetapi tetap saja tangisnya tak kunjung reda. Diberi ASIP pun tidak mau. Kalau sudah begini kepalaku rasanya ingin meledak. Ke mana Nisa. Hari semakin larut pun dia belum juga sampai rumah, ponselnya pun tak dia bawa. Bisa-bisanya dia pergi seperti ini. Apa dia lupa tanggung jawab. Baru saja satu masalah selesai kenapa kamu buat masalah baru Nisa? Kenapa kamu begitu menyebalkan. Kalau sudah bosan jadi istri, kenapa tak kau izinkan aku poligami?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Babi loe loe kata ngurus bayi sama anak2 balita itu urusan gampang? Liat aj loe aj ndak bs gendong anak loe ndiri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status