"Mas, itu suara Ibuku. Kenapa sih Ibu teriak-teriak bikin repot saja. Yuk, kita lihat ke sana!" kata Mawar dengan perasaan panik. Ia tahu betul dengan siapa suara orang yang sedang berteriak.
Suara teriakan yang memanggil Denis ternyata adalah ibunya Mawar. Tidak lama mawar dan Denis menuju pintu depan untuk menemui mertua barunya. Sangat kesal sebenarnya Denis harus bertemu dengan mertua rewel. "Ada apa Bu?" tanya Mawar kepada sang ibu setelah sampai di depan pintu. "Ibu minta uang tiga juta ya buat melunasi bayar cicilan beli kulkas? Kalau tidak bisa lunas hari ini, rumah Ibu yang kecil itu mau di sita, Mawar. Kalau kamu tidak punya. Pinjam dulu sama Denis. Dia 'kan kaya." Baru beberapa hari menjadi keluarga Denis, keluarganya Mawar sudah meminta uang jutaan. "Banyak banget sih, Bu? Bikin Mawar malu saja." Mawar merasa malu dengan Denis karena sang Ibu meminta uang pada Denis yang belum lama menikah dengannya. "Namanya juga kredit kepada Rentenir. Cepetan, ada uangnya 'kan?" Ibunya Mawar melirik ke arah Denis yang terlihat kesal. Masalah dengan Aisyah belum kelar kini timbul masalah baru lagi. "Mas, gimana ini? Aku nggak ada uang sebanyak itu," ujar Mawar yang mencoba berbicara kepada Denis. Ia berharap Denis mau melunasinya. "Haduh, Ibu. Ini sudah malam. Lain kali kalau tidak punya simpanan, jangan suka beli barang yang tidak terlalu penting ya?" Denis pusing mengetahui bahwa ia harus menanggung biaya cicilan dari ibu mertuanya. "Barang kurang penting? Kulkas itu penting, Denis! Kamu mau melunasi atau tidak? Kalau gak mau, siap-siap Ibu jadi gelandangan," ujar ibunya Mawar yang mencoba mendesak Denis. "Okelah akan saya bayar, tapi jangan diulang ya, Bu. Banyak kebutuhan yang harus Denis beli. Ini uangnya." Akhirnya Denis mengambil uang dari dompetnya. Dan ternyata uangnya pas tiga juta. Ia belum ngambil di ATM lagi. "Nah gitu dong, itu namanya mantu idaman. Dah ya, jaga baik-baik si Mawar." Akhirnya Denis memberikan uang tiga juta kepada mertuanya Mawar. Setelah mendapatkan apa yang dimau, ibunya Mawar pulang kembali. "Astaghfirullah Denis, ternyata Mawar itu istri kedua kamu? Kamu bodoh Denis, wanita sempurna seperti Aisyah kamu sakiti. Kamu main serong dengan anaknya tukang nguras duit? Bibi nggak akan anggap kamu saudara lagi jika kamu seperti itu! Mawar juga, kamu wanita gatel! Ngapain kamu di rumah Denis!" Percakapan antara ibunya Mawar dan Denis tadi, ternyata didengar oleh tetangganya tak lain adalah bibinya Denis. Beliau kaget dan marah kala melihat Mawar sudah menjadi istri Denis. "Saya nggak sengaja, Bi. Ini kecelakaan. Tolong Bibi jangan membuat pikiran Denis semakin kacau. Mawar sudah sah menjadi istriku, mau gimana lagi, Bi," jawab Denis kepada Bibinya dengan muka lesu. "Dasar pria buaya kamu Denis. Ya itu terserah kamu. Kamu akan siap-siap sengsara menjadi istrinya Mawar. Bye, Bibi mau tidur dan malam. Dari pada pusying mikirin Buaya jantan dan buaya betina seperti kalian!" Bibinya Denis sangat benci dengan Pelakor sehingga omongannya kepada Mawar dan Denis tak ada manis-manisnya. Mawar dan ibunya pun terkenal dengan wanita matre yang sering hutang. Hidupnya selalu ingin bergaya mewah. Mereka sama-sama janda. *** Kembali ke Aisyah Aisyah kini sudah berada di rumah mertuanya. Di sana hanya ada mama mertuanya. Sementara papa mertuanya masih di kantor mengurusi usaha yang beliau kelola. Setengah jam Aisyah sampai di rumah mertuanya. Kini mereka ada di ruang tengah yang sedang membicarakan sesuatu. "Tumben kamu ke sini, Syah. Denis nggak kamu ajak? Ini 'kan hari Minggu? Apa orderannya sudah selesai?" Mama Linda yang sedang menikmati bakso panas, menanyakan kedatangan Aisyah yang tidak biasanya. "Pesanan banyak Mah, tapi Aisyah jenuh ingin mendinginkan pikiran. Em, Mas Denis lagi tidur. Mungkin dia capek. Aku sengaja ke sini sendirian Mah," jawab Aisyah bohong. Ia belum siap menceritakan pernikahan suaminya dengan mawar. Takut mertuanya kenapa-kenapa. "Oh. Yasudah. Kebetulan Mama mau pergi ke Bandara. Temani Mamah ya? Devan mau pulang dari tugasnya di luar negeri. Ia pindah ngantor di Indonesia. Katanya kangen Mama dan Papa. Mau gak?" Mama Linda tak curiga sedikitpun. Ia malah menyuruh Aisyah menemani ke Bandara menjemput anak sulungnya yang belum menikah. "Oh. Jadi Mas Devan mau pulang? Oke lah Mah, Aisyah ikut. Dari pada di rumah bosan," jawab Aisyah sambil menyendok bakso pemberian sang mertua. Rasanya hangat ketika menyeruput kuah bakso panas saat hati sedang tersakiti. "Yasudah, ayo kita persiapan. Habiskan dulu baksonya. Makannya pelan-pelan Aisyah! Seperti orang lagi patah hati saja. Kamu sedang tidak bertengkar dengan Denis 'kan?" tanya Mama Linda dengan penasaran. Tidak biasanya Aisyah makan rakus seperti itu. Mama Linda kini mulai curiga dengan tingkah Aisyah yang tidak seperti biasanya. "Nggak papa kok Ma. Seharian Aisyah belum makan. Tahu sendiri orderan sangat banyak jadi nggak sempat makan," jawab Aisyah yang memang seharian belum makan karena moodnya sedang tidak enak. "Yasudah kalau tidak apa-apa. Mama berharap kalian itu selalu rukun dan setia sampai tua. Awas saja jika Denis punya wanita lain. Mama nggak akan anggap lagi dia sebagai anak Mama." Mama Linda tidak akan memaafkan anaknya sendiri jika anaknya berbuat serong dengan wanita lain. Tanpa sadar, bahwa sang anak sudah melanggar hal tersebut. "Uhuk uhuk uhuk!" Aisyah terbatuk kala mendengar mama Linda membicarakan tentang pengkhianatan. Pikirannya menjadi bimbang apakah ia harus bercerita secepatnya atau tidak. "Syah, kamu kok tersedak? Kamu masuk angin? Kamu nggak papa 'kan? Maaf kalau Mama menakuti kamu." Mama Linda panik dengan keadaan Aisyah sekarang. Ia mendekati Aisyah lebih dekat lagi dan memegang bahu mantunya. "Nggak papa, Ma. Nanti juga baikan sendiri. Yuk, kita ke Bandara. Jangan sampai telat jemput Kak Devan. Pakai mobilku saja ya Mah?" Sebelum mama Linda semakin curiga, Aisyah berdiri dan ingin segera ke Bandara. "Yasudah. Pakai mobil Mama saja. Nanti pak Dadang yang akan menyetir." Tidak lama, Mama Linda mulai memanggil pak Dadang yang berada di pos depan dan menyuruhnya untuk tugas malam. Beberapa menit kemudian, mereka sudah dalam perjalanan menuju Bandara Tring! Saat Aisyah duduk dalam mobil, ia mendengar notif pesan WA dan terlihat nomor baru masuk. Tidak lama, Aisyah mulai membuka chat WA. "Assalamu'alaikum. Aisyah manis." "Bagaimana kabarmu? Aku sangat merindukanmu namun, kau sudah menjadi milik seseorang." Begitulah chat WA yang baru saja dibaca oleh Aisyah. Degh! 'Pesan dari siapa ini? Aneh? Kok dia merindukanku?' batin Aisyah dengan hati yang bertanya-tanya. Hatinya berdebar-debar kala membaca chat nomor asing tersebut. SiRina menoleh ke belakang karena Aisyah memanggilnya. "Ada apa Aisyah?" "Benarkah kamu benar-benar berubah, Rina?" tanya Aisyah kepada Rina. Aisyah iba melihat sikap Rina yang mulai berubah. Ia tidak curiga sedikitpun meski sudah diperingatkan oleh Devan. "Buat apa berbohong? Aku pun rela dipenjara jika aku bersalah pada kalian. Aku sangat menyesal telah merusak rumah tangga kalian," jawab Rina sembari menunduk. Ia menampakkan wajah sendu dan kalem. Tidak seperti Rina dulu yang angkuh dan cerewet. "Mas? Rina sudah berubah. Kamu jangan kasar sama dia. Biarkan dia bertamu ke rumah kita," ungkap Aisyah sambil menoleh ke arah Devan yang duduk di sampingnya. Devan hanya terdiam. Ia masih mengamati perubahan sikap yang dialami oleh Rina. Ia tidak bisa memutuskan apa-apa karena ia masih trauma. "Aisyah. Mungkin Mas Devan masih belum percaya. Saya pamit pulang saja. Terima kasih, kamu sudah menerima aku dengan baik." "Rina, silakan duduk kembali. Ini acara aqiqah anak kami. Kamu bole
"Aku kecelakaan Mbok Ijah. Untungnya beberapa warga menolongku. Tadi sempat ke klinik untuk memastikan apakah aku masih baik-baik saja," jawab Devan kepada Mbok Ijah sambil masuk ke dalam rumah dengan langkah tertatih. "Ya Alloh Den. Ayo cepat masuk!" Saat siang, Devan masuk menuju ruang tengah dan langsung duduk di sofa karena semua badannya terasa sakit. "Mas Devan kamu sudah pulang? Kenapa dengan wajah kamu? Apa Mas sudah membeli kambing?" Tiba-tiba Aisyah datang ke ruang tersebut. Ia terkejut melihat keadaan Devan yang terluka. "Sudah, Syah. Tadi sempat kecelakaan dengan sesama mobil. Tiba-tiba dari arah belakang, ada mobil yang menabrak mobil aku hingga aku pingsan sebentar. Mobil Mas ada di bengkel. Tadi aku naik Ojol. Bentar lagi kambingnya datang." Devan menceritakan kecelakaan yang baru saja terjadi. "Astaghfirullah, Mas. Untung saja kamu selamat. Yasudah, Mas istirahat dulu. Atau kalau nggak, Mas makan dulu gih?" ujar Aiayah sambil mendekati sang suami untuk memastik
"Itu ada yang ingin melamar pekerjaan menjadi asisten pribadi di kantor," jawab Devan sambil menekan keyboard ponsel untuk menjawab karyawannya yang bernama Joni. "Jadi, Ayah Aslam besok mau bekerja hari ini kah?" Aisyah sedikit penasaran dengan info yang baru saja ia dengar dari suaminya. Devan menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Tidak. Biarkan Joni yang mewawancarai. Besok aku ingin memesan dua ekor kambing di salah satu peternak di Kota ini. Nanti ada ART yang ke sini. Bisa saya tinggalkan, Sayang? Ini demi keberkahan rumah tangga kita!"Devan ingin segera pergi untuk memesan dua kambing di salah satu peternak pada keesokan hari. Hari itu sudah larut Devan dan Aisyah mulai beristirahat. **Pagi pun tiba. Aisyah sudah bangun dari tidur. Namun, ia belum sempat menyiapkan sarapan karena Aslam rewel. Sementara Devan baru saja selesai mandi untuk persiapan menuju ke penjual kambing. "Sayang, aku biru-biru berangkat ya? Biar nanti cepat pulng."Devan berpamitan dengan Aisyah u
"Maaf kalau saya punya salah dengan kalian. Jangan diperpanjang masalah ini," pinta Dokter Spesialis Anak tersebut. Dokter itu merasa malu ketika Devan tiba-tiba masuk ke ruangan periksa."Oke, saya maklumi. Terima kasih sudah memeriksa anak saya. Aisyah, ayo kita pulang. Harusnya tadi aku ikut masuk ke dalam ruangan ini!" ujar Devan sambil menarik pelan tangan Aisyah. Ia tidak mau Aisyah mengenal dokter tampan yang bernama Weldan tersebut. Aisyah menuruti perkataan Devan sambil menggendong Aslam yang mulai berhenti menangis. Entah mengapa sesudah diperiksa oleh Dokter Weldan, tiba-tiba tangisan Aslam berhenti. Melihat keajaiban itu, Aiayah menoleh ke arah Dokter Weldan. Dokter itu tersenyum hangat ke arah Aisyah. Aisyah langsung ke posisi semula. Ia takut dosa dengan pandangan yang tidak seharusnya ia berikan. Hatinya berdebar-debar melihat tatapan Dokter Weldan yang tidak biasa. "Kenapa dengan Dokter Weldan ya? Tatapannya aneh?" batin Aisyah. Ia takut akan terjadi apa-apa antar
Pagi itu, Aslam menangis sangat keras. Kebetulan Aiayah sedang di kamar mau memberikan ASI pada Aslam. Namun, Aslam tidak mau minum. Ia malah menangis terus. "Bagaimana ini Mas, Aslam nangis terus?" Aisyah kemudian menggendong Aslam karena tangis sang bayi tak kunjung berhenti juga. "Coba aku cek apa Aslam badannya panas?" Devan mengambil alat pendeteksi demam bayi yang berada di dalam nakas. Setelah dicek hasilnya membuat terkejut. "Sayang, cepet tidur ya. Anak mama jangan nangis lagi," tutur Aisyah sambil menimang-nimang Aslam yang masih menangis. Tidak lama, Devan datang dan memeriksa suhu badan bayi mungil tersebut. "Sayang, suhu badan Aslam tinggi. Ayo kita bawa dia ke Dokter sebelum terlambat," ujar Devan yang cepat-cepat ingin ke dokter karena badan anaknya demam tinggi. "Baiklah. Ayo kita ke dokter! Ini tinggal bawa tas penting dan popok bayi! Bawa susu formula nggak Mas?" tanya Aisyah takut terjadi apa-apa saat berada di dokter nanti. Devan tersenyum sambil mempersiap
Terima kasih, Mas. Kau sangat mencintaiku. Aku juga mencintaimu Mas. Semoga kita diselamatkan dari mara bahaya apa pun. Kita tidur yuk?" ajak Aisyah kepada sang suami denga lembut. Aisyah lelah sekali akibat kejadian yang tidak diinginkan kemarin terjadi. "Iya, Sayang. Kita tidur sekarang juga. Sini aku temenin, biar kamu hangat dan cepat tidur."Malam itu, keluarka kecil mulai tertidur. Alhamdulillah, dedek bayi juga tertidur dan tidak terlalu rewel. ***Pagi pun tiba. Aisyah sudah bangun pada pagi itu. Ia sudah menyiapkan sarapan pagi dan dibantu oleh wanita seumuran Mbok Ghinah. Devan berusaha mencari ART di rumahnya agar pekerjaan Aisyah terasa ringan. Sementara Devan sedang menimang bayi di pagi itu, ketika Aiayah dan ART baru sedang sibuk dengan pekerjaan rumah. "Sayang, kamu tampan sekali seperti ayah. Semoga menjadi anak Sholeh ya? Satu lagi. Kamu harus nurut sama Mama. Mama itu dah berkorban besar mengurus kamu. Sekarang dedek udah mandi, tidur yah?" Devan mengajak berbi