"Mas Denis?" Kamu mau belanja juga?"
Aisyah dan Devan terkejut kala melihat Denis dan Mawar juga berada di Super Market. Mawar dan Denis pun juga sangat terkejut melihat Aisyah belanja dengan Devan. "Mas Devan! Ka—kamu bisa sama istriku?" Denis sangat malu sekali ketika Devan melihat Mawar bergandengan tangan dengannya. Yang seharusnya kakaknya tersebut jangan sampai tahu dalam waktu yang secepat ini. Namun, takdir berkata lain. "Yang mana istrimu? Yang kau gandeng siapa?" tanya Devan dengan pertanyaan cerdasnya. Devan sangat geram melihat sang adik berjalan mesra dengan Mawar. Padahal istri pertamanya sedang bersedih hati. "Dia temanku, Mas. Mas Devan kapan datang? Aisyah, kenapa kamu nggak balas telepon dari saya?" Denis berbohong dan tidak mengakui Mawar sebagai istri keduanya karena ada Devan. Ia mengalihkan pembicaraan dengan bertanya kepada Aisyah. "Jangan berbohong, kamu memang brengsek! Plak! Plak!" Karena Devan sangat emosi, dia menampar adiknya sendiri. Dia tidak peduli Denis itu siapa, karena Denis sudah mengkhianati Aisyah, orang yang sangat dia cintai. "Mas Devan. Hentikan. Kasihan Mas Denis. Mas Denis itu tidak bersalah. Mempunyai dua istri itu boleh lho? Kenapa kamu tampar, Mas Denis? Mas Denis itu baik. Nggak seperti kamu, sombong!" Mawar mengelus pipi Denis yang kesakitan karena ditampar oleh Devan. Wanita itu membela Denis di depan Devan dan Aisyah. Ia ingin dilihat baik oleh Denis. "Murahan kamu Mawar! Perebut istri orang! Jangan sok suci, saya sudah tahu sifat asli kamu!" Devan adalah pria bar-bar ketika dia sudah merasa terdzolimi. Dengan mudah tangannya mendarat ke pipi orang lain. "Maaf, Mas dan Mbak, jika bertengkar, jangan di area ini. Tempat ini khusus untuk berbelanja saja." Salah satu kasir super market memberi peringatan kepada Devan yang sedang bertikai dengan Mawar dan Denis. Akhirnya pertikaian itu berhenti. "Maaf, Mbak. Saya emosi. Karena mereka berdua selingkuh! Aisyah, kamu sudah belanja? Kalau sudah, ayo kita segera pulang!" Devan menanyakan Aisyah agar Aisyah cepat pulang ke rumah Mama Linda. Devan sudah muak melihat wajah Denis dan Mawar. "Belum, Kak. Bentar lagi!" Aisyah juga muak melihat Denis yang bermesraan dengan Mawar. Ia berusaha menahan emosinya dan melanjutkan berbelanja. "Syah! Cepat kamu pulang! Ada yang saya jelaskan ke kamu! Aku ini masih suami kamu! Tolong hargai aku!" Aisyah yang sibuk mengambil barang belanjaan, dikejutkan dengan suara Denis yang terlihat memelas. Hal ini membuat Mawar cemburu. "Mas, tolong jangan ganggu aku! Aku sedang sibuk! Uruslah istri kedua yang bucin sama kamu itu!" Aisyah berkata sangat cuek kepada Denis. Salah sendiri, nikah lagi. Aisyah sudah tidak mempedulikan rayuan gombal seorang Denis. "Ta—tapi Syah. Orderan menjahit kamu belum selesai 'kan? Tadi ada Ibu yang mau ambil orderan? Malah saya yang dimarahin! Plis, kamu pulang ya, Sayang?" Denis masih memelas agar Aisyah pulang. Sementara Devan berdiri sambil mengawasi Denis yang bersikap memalukan. "Bodo amat! Dah lah, Mas Devan, sudah nih, ke kasir yuk?" Aisyah tidak mempedulikan perkataan Denis. Ia malah membuat Denis semakin cemburu karena Aisyah mengajak Devan. Akhirnya, Aisyah dan Devan berjalan bareng menuju kasir untuk membayar barang belanjaannya. "Mas Denis! Biarkan Aisyah sama Devan! Kamu serius ngantar aku belanja nggak sih? Dari tadi ngurusin Aisyah yang jelas sudah bosan dengan kamu, Mas!" Mawar memanggil Denis sambil marah karena Denis malah memperhatikan Aisyah. Mawar tak akan membiarkan, Denis bersama dengan Aisyah kembali. Dari dulu, Mawar sangat iri kepasa Aisyah. Karena Aisyah punya segalanya. "Tapi Aisyah juga istriku, Mawar. Cepat, kamu belanja! Mas sebenarnya masih ada urusan dengan Aisyah." Denis ingin mengejar Aisyah tapi Mawar berusaha menghalanginya. Denis tak mau, Aisyah jatuh cinta dengan Devan. Pikirannya kini diliputi kecemburuan kepada Aisyah. Padahal, Aisyah dan Devan sudah keluar dari Super Market sedari tadi. "Bentar, Mas. Ini juga sudah mau kelar belanjanya." Mawar sengaja belanja banyak untuk mengulur waktu agar Denis tidak jadi bertemu dengan Aisyah. "Lama banget sih, Mawar. Belanja apa saja sih?" Terpaksa Denis menunggu Mawar selesai memilih barang belanjaan. Denislah yang berjanji akan membayar semua belanjaan dari Mawar. Karena hari itu adalah hari ulang tahun Mawar, sehingga Denis memberi hadiah berupa barang yang disukai Mawar. "Mas, sudah nih. Ini belanjaannya. Jangan lupa dibayar ya?" Mawar menyodorkan 'troly yang berisi barang belanjaannya kepada Denis. Tidak lama Denis segera ke kasir. Ia sudah tidak sabar ingin menyusul Aisyah ke rumah orang tuanya. "Mbak, tolong ditotal berapa harga belanjaannya." Setelah sampai di tempat pembayaran, Denis mulai memberikan 'troly berisi belanjaan Mawar kepada kasir untuk proses transaksi. "Totalnya lima juta Rupiah, Kak." Kasir sudah menghitung seluruh belanjaan Mawar. Kemudian Denis mulai menyodorkan kartu ATM kepada kasir. "Pakai kartu nggak papa 'kan?" Denis menyodorkan kartu ATM karena ia tidak membawa uang tunai sebesar itu. "Iya nggak papa Kak. Saya cek dulu." Kemudian, petugas kasir mulai melihat saldo ATM milik Denis. "Maaf, Kak. Sisa saldo Kakak, saat ini dua ratus ribu rupiah. Apa ada kartu lain, mungkin?" Petugas kasir terkejut karena saldo dalam kartu transaksi tersebut kurang. "Waduh, ATM yang satunya dibawa Aisyah. Gimana ini?" Denis sangat sial pada hari itu karena ATM yang berisi jutaan ada di tangan Aisyah. Ia lupa, hanya membawa ATM yang saldonya sedikit. "Bagaimana Kak, apa bisa dibayar sekarang? Karena ada yang mengantri juga?" Petugas kasir mendesak Denis untuk segera membayar belanjaan dari Mawar. "Mas, sudah belum? Kok lama banget?" Mawar panik karena Denis masih di kasir sambil mengacak rambutnya karena ia bingung harus membayar pakai apa. "Duitnya kurang banyak, Mawar. Kamu ada uang lima juta nggak? Nanti kalau dah gajian, aku ganti." Denis malah meminta Mawar untuk membayar totalan belanja hadiah ulang tahunnya. "Apa Mas? Kurang? Suruh bayar aku? Mas mau bikin malu akau? Tuh, antrian sudah banyak lho? Mas Denis ini gimana sih? Bikin kecewa aku saja?" Bukannya memberi solusi, tetapi Mawar malah menyalahkan Denis yang sedang tidak punya uang. Ia malah kecewa dan egois. "Bagaimana Kak ini. Kalau Kakak tidak bisa membayar semua totalan ini, terpaksa saya harus melaporkan pada pihak kepolisian!" Petugas kasir sangat geram karena Denis tidak bisa membayar belanjaan yang bernilai jutaan. "Sebentar Kak. Saya menelepon teman saya dulu. Barang kali ada yang mau transfer." Denis mencoba menelepon temannya agar ditransferkan uang lima juta ke ATM-nya. Tidak lama, ia mulai menelepon temannya. "Sialan! Teman nggak berguna! Parasit semua!" Ketika Denis menelepon temannya ternyata tidak diangkat. Denis marah-marah sendiri. Ia bingung mau mencari uang ke mana.Rina menoleh ke belakang karena Aisyah memanggilnya. "Ada apa Aisyah?" "Benarkah kamu benar-benar berubah, Rina?" tanya Aisyah kepada Rina. Aisyah iba melihat sikap Rina yang mulai berubah. Ia tidak curiga sedikitpun meski sudah diperingatkan oleh Devan. "Buat apa berbohong? Aku pun rela dipenjara jika aku bersalah pada kalian. Aku sangat menyesal telah merusak rumah tangga kalian," jawab Rina sembari menunduk. Ia menampakkan wajah sendu dan kalem. Tidak seperti Rina dulu yang angkuh dan cerewet. "Mas? Rina sudah berubah. Kamu jangan kasar sama dia. Biarkan dia bertamu ke rumah kita," ungkap Aisyah sambil menoleh ke arah Devan yang duduk di sampingnya. Devan hanya terdiam. Ia masih mengamati perubahan sikap yang dialami oleh Rina. Ia tidak bisa memutuskan apa-apa karena ia masih trauma. "Aisyah. Mungkin Mas Devan masih belum percaya. Saya pamit pulang saja. Terima kasih, kamu sudah menerima aku dengan baik." "Rina, silakan duduk kembali. Ini acara aqiqah anak kami. Kamu bole
"Aku kecelakaan Mbok Ijah. Untungnya beberapa warga menolongku. Tadi sempat ke klinik untuk memastikan apakah aku masih baik-baik saja," jawab Devan kepada Mbok Ijah sambil masuk ke dalam rumah dengan langkah tertatih. "Ya Alloh Den. Ayo cepat masuk!" Saat siang, Devan masuk menuju ruang tengah dan langsung duduk di sofa karena semua badannya terasa sakit. "Mas Devan kamu sudah pulang? Kenapa dengan wajah kamu? Apa Mas sudah membeli kambing?" Tiba-tiba Aisyah datang ke ruang tersebut. Ia terkejut melihat keadaan Devan yang terluka. "Sudah, Syah. Tadi sempat kecelakaan dengan sesama mobil. Tiba-tiba dari arah belakang, ada mobil yang menabrak mobil aku hingga aku pingsan sebentar. Mobil Mas ada di bengkel. Tadi aku naik Ojol. Bentar lagi kambingnya datang." Devan menceritakan kecelakaan yang baru saja terjadi. "Astaghfirullah, Mas. Untung saja kamu selamat. Yasudah, Mas istirahat dulu. Atau kalau nggak, Mas makan dulu gih?" ujar Aiayah sambil mendekati sang suami untuk memastik
"Itu ada yang ingin melamar pekerjaan menjadi asisten pribadi di kantor," jawab Devan sambil menekan keyboard ponsel untuk menjawab karyawannya yang bernama Joni. "Jadi, Ayah Aslam besok mau bekerja hari ini kah?" Aisyah sedikit penasaran dengan info yang baru saja ia dengar dari suaminya. Devan menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Tidak. Biarkan Joni yang mewawancarai. Besok aku ingin memesan dua ekor kambing di salah satu peternak di Kota ini. Nanti ada ART yang ke sini. Bisa saya tinggalkan, Sayang? Ini demi keberkahan rumah tangga kita!"Devan ingin segera pergi untuk memesan dua kambing di salah satu peternak pada keesokan hari. Hari itu sudah larut Devan dan Aisyah mulai beristirahat. **Pagi pun tiba. Aisyah sudah bangun dari tidur. Namun, ia belum sempat menyiapkan sarapan karena Aslam rewel. Sementara Devan baru saja selesai mandi untuk persiapan menuju ke penjual kambing. "Sayang, aku biru-biru berangkat ya? Biar nanti cepat pulng."Devan berpamitan dengan Aisyah u
"Maaf kalau saya punya salah dengan kalian. Jangan diperpanjang masalah ini," pinta Dokter Spesialis Anak tersebut. Dokter itu merasa malu ketika Devan tiba-tiba masuk ke ruangan periksa."Oke, saya maklumi. Terima kasih sudah memeriksa anak saya. Aisyah, ayo kita pulang. Harusnya tadi aku ikut masuk ke dalam ruangan ini!" ujar Devan sambil menarik pelan tangan Aisyah. Ia tidak mau Aisyah mengenal dokter tampan yang bernama Weldan tersebut. Aisyah menuruti perkataan Devan sambil menggendong Aslam yang mulai berhenti menangis. Entah mengapa sesudah diperiksa oleh Dokter Weldan, tiba-tiba tangisan Aslam berhenti. Melihat keajaiban itu, Aiayah menoleh ke arah Dokter Weldan. Dokter itu tersenyum hangat ke arah Aisyah. Aisyah langsung ke posisi semula. Ia takut dosa dengan pandangan yang tidak seharusnya ia berikan. Hatinya berdebar-debar melihat tatapan Dokter Weldan yang tidak biasa. "Kenapa dengan Dokter Weldan ya? Tatapannya aneh?" batin Aisyah. Ia takut akan terjadi apa-apa antar
Pagi itu, Aslam menangis sangat keras. Kebetulan Aiayah sedang di kamar mau memberikan ASI pada Aslam. Namun, Aslam tidak mau minum. Ia malah menangis terus. "Bagaimana ini Mas, Aslam nangis terus?" Aisyah kemudian menggendong Aslam karena tangis sang bayi tak kunjung berhenti juga. "Coba aku cek apa Aslam badannya panas?" Devan mengambil alat pendeteksi demam bayi yang berada di dalam nakas. Setelah dicek hasilnya membuat terkejut. "Sayang, cepet tidur ya. Anak mama jangan nangis lagi," tutur Aisyah sambil menimang-nimang Aslam yang masih menangis. Tidak lama, Devan datang dan memeriksa suhu badan bayi mungil tersebut. "Sayang, suhu badan Aslam tinggi. Ayo kita bawa dia ke Dokter sebelum terlambat," ujar Devan yang cepat-cepat ingin ke dokter karena badan anaknya demam tinggi. "Baiklah. Ayo kita ke dokter! Ini tinggal bawa tas penting dan popok bayi! Bawa susu formula nggak Mas?" tanya Aisyah takut terjadi apa-apa saat berada di dokter nanti. Devan tersenyum sambil mempersiap
Terima kasih, Mas. Kau sangat mencintaiku. Aku juga mencintaimu Mas. Semoga kita diselamatkan dari mara bahaya apa pun. Kita tidur yuk?" ajak Aisyah kepada sang suami denga lembut. Aisyah lelah sekali akibat kejadian yang tidak diinginkan kemarin terjadi. "Iya, Sayang. Kita tidur sekarang juga. Sini aku temenin, biar kamu hangat dan cepat tidur."Malam itu, keluarka kecil mulai tertidur. Alhamdulillah, dedek bayi juga tertidur dan tidak terlalu rewel. ***Pagi pun tiba. Aisyah sudah bangun pada pagi itu. Ia sudah menyiapkan sarapan pagi dan dibantu oleh wanita seumuran Mbok Ghinah. Devan berusaha mencari ART di rumahnya agar pekerjaan Aisyah terasa ringan. Sementara Devan sedang menimang bayi di pagi itu, ketika Aiayah dan ART baru sedang sibuk dengan pekerjaan rumah. "Sayang, kamu tampan sekali seperti ayah. Semoga menjadi anak Sholeh ya? Satu lagi. Kamu harus nurut sama Mama. Mama itu dah berkorban besar mengurus kamu. Sekarang dedek udah mandi, tidur yah?" Devan mengajak berbi