Share

Deja vu

Penulis: YuRa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-25 10:00:54

“Halo, Aldo.”

“Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Suara di seberang terdengar santai, tapi berubah tegang begitu mendengar nada dingin Dennis.

“Tolong selidiki seorang perempuan. Namanya Saras. Dia kerja di dealer mobil yang kita datangi kemarin.”

Di ujung sana, Aldo yang semula bersandar santai di kursinya langsung tegak. Alisnya bertaut.

“Saras?” tanyanya, agak ragu. “Ada masalah, Pak?”

“Iya.” Jawaban itu singkat, tapi berat, tegas, dan tak memberi ruang untuk diskusi. “Secepatnya, ya.”

Keheningan singkat tercipta sebelum Aldo berdehem kecil.

“Baik, Pak.” Ia menelan pertanyaannya. Ia tahu benar, kalau Dennis sudah berbicara dengan nada seperti itu, membantah hanya berarti bunuh diri.

Panggilan terputus.

Dennis meletakkan ponsel di kursi sebelah, lalu bersandar, menatap lurus ke jalanan yang mulai ditelan gelap. Lampu kendaraan melintas silih berganti di kaca depannya, tapi pikirannya melayang jauh.

Tangannya mengepal di atas setir, sementara satu pertanyaan terus menggema di kepalanya pertanyaan yang bahkan ia sendiri takutkan jawabannya.

Sementara itu, di atas motor, angin sore mengibaskan anak-anak rambut di pelipis Saras. Tapi pikirannya jauh lebih berisik daripada bising jalanan yang mereka lewati.

Dia kenapa sih? Mau apa lagi? Masa iya dia tertarik sama aku?

Saras menggeleng pelan, mendesah lirih. Ah, Saras, kamu ini. Ngaca dong. Dia itu Dennis Damara. Orang kaya, punya segalanya. Sementara kamu? Cuma ibu-ibu pekerja keras yang ngumpulin receh buat beli susu dan bayar kontrakan.

Senyum miris muncul di bibirnya, hanya sebentar. Ia tahu pikirannya barusan konyol.

Namun senyum itu mendadak sirna. Di kaca spion motor, matanya menangkap sesuatu, bayangan mobil hitam.

Mobil yang tak asing. Mobil yang tadi dikendarai Dennis.

Jantungnya mencelos. Ia menoleh cepat ke belakang, memastikan. Benar. Mobil itu masih ada. Tidak menyalip, tidak pula terlalu dekat. Hanya menjaga jarak. Tapi cukup lama berada di jalur yang sama untuk membuat bulu kuduknya meremang.

“Dia ngikutin aku?”

Saras meraih erat tas di pangkuannya, jemari dingin karena cemas. Jalanan sore yang tadinya hanya terasa lengang, kini mendadak berubah menjadi lorong panjang penuh bayangan.

Perasaan tak enak merambati dirinya, semakin kuat setiap kali mobil itu muncul lagi di spion.

“Bang,” ucap Saras pelan, berusaha menahan getar suaranya. “Bisa lewat jalan pintas nggak? Yang cuma bisa dilewatin motor. Saya agak buru-buru.”

Sang driver melirik spion, lalu menatap Saras sekilas, sebelum kembali melirik spion. Ada perubahan halus di wajahnya, yang tadi santai kini tampak lebih waspada.

“Oke, Kak. Saya tahu jalurnya.”

Tanpa banyak bicara, motor itu membelok tajam di persimpangan, memasuki jalan sempit yang hanya muat satu motor. Ban motor bergesekan dengan aspal kasar, sementara cahaya lampu jalanan semakin jarang, meninggalkan bayangan panjang di dinding-dinding gang.

Saras merapatkan tubuh, menggenggam tasnya lebih erat. Napasnya terengah, antara takut sekaligus sedikit lega karena mobil hitam itu tak mungkin bisa masuk mengikuti.

Namun rasa lega itu tak bertahan lama. Hening yang menyelimuti gang kecil justru memperbesar suara-suara dalam kepalanya.

Jika benar itu Dennis kenapa dia mengikutiku? Apa yang dia mau dariku?

Setiap tikungan yang dilalui motor hanya menambah denyut gugup di dadanya. Bayangan dinding tinggi, suara jauh anak-anak bercanda di ujung gang, dan deru motor yang bergaung semuanya menyatu, menekan dadanya makin kuat.

Saras memejamkan mata sejenak, berdoa dalam hati. Semoga aku salah. Semoga semua ini cuma perasaanku saja…

***

"Apa yang kamu dapat, Aldo?" tanya Dennis begitu pria itu melangkah masuk ke ruang kerjanya.

Aldo membuka map di tangannya, meletakkannya di meja sebelum menatap bosnya dengan ekspresi serius.

"Namanya Pravita Saraswati, Pak. Statusnya janda, punya satu anak laki-laki. Tinggal bersama ibunya dan anaknya di sebuah rumah kontrakan kecil di daerah belakang pasar."

Dennis menyipitkan mata, fokus.

"Siapa mantan suaminya?"

"Gavin Alexander," jawab Aldo.

Dennis mengernyit, seolah nama itu familiar.

"Anaknya Robin Alexander?"

"Benar, Pak. Gavin adalah anak pertama Robin Alexander, pengusaha properti besar yang menikah dengan Nora Hartawan, putri dari Sandy Hartawan."

Dennis terdiam sesaat. Nama-nama itu bukan sekadar nama. Mereka bagian dari lingkaran elit. Lingkaran yang ia kenal baik.

"Kenapa mereka bercerai?"

Aldo menghela napas, lalu menjawab, "Alasan klasik, Pak. Saras dianggap tidak selevel. Pernikahan mereka ditentang keras oleh Pak Robin. Gavin dijodohkan dengan Nora Hartawan. Akhirnya mereka bercerai saat Saras hamil tiga bulan.”

Dennis bersandar di kursinya, tatapannya kosong.

Dennis bersandar di kursinya, kedua tangannya terlipat di depan dada. Tatapannya kosong menembus dinding, seolah mencoba menyusun potongan-potongan puzzle yang baru saja diberikan Aldo.

“Gavin Alexander…” gumamnya pelan. Nama itu terasa getir di lidahnya. “Aku ingat, dulu dia sering muncul di beberapa acara keluarga besar. Anak manja yang terlalu dimanja, tapi Robin selalu membanggakannya.”

Aldo menunggu, tak berani menyela.

“Jadi Saras, wanita itu pernah menjadi bagian dari keluarga Alexander?” Dennis tersenyum miring, namun tidak ada kebahagiaan di baliknya. Lebih seperti kepahitan. “Tak heran sorot matanya penuh luka.”

Ia mengetuk meja dengan jarinya, ritme pelan namun penuh tekanan. Pikirannya melayang. Tentang Robin Alexander, tentang pernikahan yang dipaksakan, tentang bagaimana sistem keluarga elit selalu mengorbankan satu pihak demi kehormatan dan status.

“Pak…” suara Aldo pelan, ragu. “Apa yang harus saya lakukan dengan informasi ini?”

Dennis menghela napas panjang, menutup matanya sejenak sebelum menjawab, “Untuk sementara, cukup kita simpan. Jangan sampai ada yang lain tahu kau sedang menyelidikinya.”

Aldo mengangguk cepat. “Baik, Pak.”

Dennis membuka mata, sorotnya kini lebih tajam.

“Aku ingin tahu lebih banyak tentang kehidupannya sekarang. Bagaimana dia bertahan. Apa yang dia sembunyikan. Dan…” bibirnya melengkung samar, “kenapa perasaan ini seperti déjà vu.”

Aldo sempat menatap bosnya dengan bingung, tapi tak berani bertanya lebih jauh.

Sementara itu, Dennis menyandarkan tubuhnya kembali ke kursi kulitnya, menatap langit senja yang mengintip dari balik jendela besar ruang kerjanya. Di balik semua rasa penasaran, ada satu hal yang mulai mengusik hatinya.

Dennis terdiam lama. Ruangan kerjanya yang megah mendadak terasa sempit. Suara jarum jam di dinding berdetak pelan, tapi setiap detiknya menusuk telinganya.

Ia teringat jelas, hari itu, di minimarket. Gavin dengan wajah merah padam, suara membentak, tangan kasar yang menarik lengan seorang perempuan muda. Saras.

Dan dirinya, Dennis Damara, hanya berdiri beberapa meter dari sana, pura-pura tidak melihat. Tidak peduli. Tidak mau ikut campur dalam urusan rumah tangga orang lain.

Kini, potongan puzzle itu menyatu, menghantam keras ke dalam kepalanya.

"Kalau saja waktu itu aku menengahi, kalau saja aku bicara sedikit saja, mungkin hidupnya tidak akan seburuk sekarang."

Sebuah penyesalan asing merambat di dadanya. Ia bukan tipe pria yang mudah diguncang, tapi entah mengapa, wajah Saras saat menangis dulu, kini hadir lagi di hadapannya dengan begitu jelas. Wajah yang sama yang ia lihat beberapa hari terakhir, tegar di luar, tapi menyimpan luka yang tak pernah sembuh.

Aldo menatap bosnya dengan bingung.

“Pak?” panggilnya hati-hati.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika Takdir Menyapa   Jadi Asing

    Dennis menghela napas panjang, suaranya nyaris serak. “Saras, dia menanggung semua itu sendirian.”Ia menunduk, kedua tangannya terkepal di atas meja. Bukan hanya marah pada Gavin, Robin, atau Nora. Tapi juga pada dirinya sendiri. Karena pernah menjadi penonton bisu ketika seorang perempuan dihancurkan.Setelah beberapa saat, ia menegakkan tubuhnya lagi. Tatapannya dingin, tapi di baliknya ada bara yang menyala. “Aldo.”“Ya, Pak?”“Awasi Saras. Pastikan tidak ada yang mengganggu dia atau anaknya. Kalau ada yang coba menyakitinya lagi…” suara Dennis merendah, namun penuh ancaman, “mereka harus berhadapan dengan aku.”Aldo terperanjat, tapi segera mengangguk cepat. “Siap, Pak.”Dennis lalu bersandar, menutup matanya. Pikirannya kacau bukan karena bisnis atau kekuasaan. Tapi karena seorang perempuan bernama Saras.Tiba-tiba, pintu ruang kerja Dennis terbuka pelan.Clarissa masuk dengan langkah percaya diri, dandanan sempurna seperti biasa. Lipstik merah marunnya senada dengan tas mahal

  • Ketika Takdir Menyapa   Deja vu

    “Halo, Aldo.”“Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Suara di seberang terdengar santai, tapi berubah tegang begitu mendengar nada dingin Dennis.“Tolong selidiki seorang perempuan. Namanya Saras. Dia kerja di dealer mobil yang kita datangi kemarin.”Di ujung sana, Aldo yang semula bersandar santai di kursinya langsung tegak. Alisnya bertaut. “Saras?” tanyanya, agak ragu. “Ada masalah, Pak?”“Iya.” Jawaban itu singkat, tapi berat, tegas, dan tak memberi ruang untuk diskusi. “Secepatnya, ya.”Keheningan singkat tercipta sebelum Aldo berdehem kecil. “Baik, Pak.” Ia menelan pertanyaannya. Ia tahu benar, kalau Dennis sudah berbicara dengan nada seperti itu, membantah hanya berarti bunuh diri.Panggilan terputus.Dennis meletakkan ponsel di kursi sebelah, lalu bersandar, menatap lurus ke jalanan yang mulai ditelan gelap. Lampu kendaraan melintas silih berganti di kaca depannya, tapi pikirannya melayang jauh.Tangannya mengepal di atas setir, sementara satu pertanyaan terus menggema di kep

  • Ketika Takdir Menyapa   Bertemu Lagi

    Sesaat setelah senyum itu muncul, Dennis menatapnya lekat-lekat, nyaris tanpa berkedip.“Pasaran, ya?” gumamnya pelan, suaranya rendah tapi cukup untuk membuat Saras merinding. “Aneh sekali, soalnya menurutku wajahmu terlalu istimewa untuk sekadar mirip orang lain.”Saras terdiam, bibirnya kelu.Dennis mencondongkan tubuh sedikit, suaranya menurun, nyaris seperti bisikan. “Dan ada sesuatu di matamu yang membuatku yakin, kita memang pernah bertemu. Hanya saja entah kenapa, aku tidak bisa mengingat di mana.”Ia lalu menarik diri ke belakang, kembali berdiri tegak dengan ekspresi santai, seolah kalimat barusan tak lebih dari obrolan ringan.“Tidak apa-apa,” ujarnya datar, senyum tipis masih tergantung di bibirnya. “Mungkin nanti aku akan mengingatnya.”Saras menunduk cepat, pura-pura merapikan berkas di meja untuk menyembunyikan wajahnya yang pucat. Tapi di dalam hati, kegelisahan itu makin menjadi-jadi.Setelah kalimat menggantung itu, Saras hanya bisa menunduk, pura-pura sibuk menata

  • Ketika Takdir Menyapa   Tentang Kamu

    Kemarin di minimarket. Saras ingat betul tatapan itu, tatapan yang membuatnya merasa dihakimi hanya karena sekotak susu bayi. Saat itu, Saras berusaha tak peduli, tak ingin berurusan. Tapi kini, di tempat ini, di hadapannya, kehadiran pria itu terasa jauh lebih mengancam. Pria itu menoleh, dan mata mereka bertemu. Sesaat, waktu seperti berhenti. Udara seolah menipis. Saras ingin segera berpaling, namun tatapan tajam pria itu menahan langkahnya, seperti belenggu tak kasat mata. Ada sesuatu di balik sorot matanya, entah pengenalan, entah kecurigaan, yang membuat bulu kuduk Saras meremang. Pria itu melangkah mendekat. Satu langkah, dua langkah. Setiap jarak yang terpangkas membuat jantung Saras berdetak semakin keras. Saras menelan ludah, tangannya refleks menggenggam katalog di meja, seakan itu bisa menenangkan dirinya. Tapi semakin dekat pria itu berjalan, semakin ia merasa tidak kebetulan berada di sini. “Kamu yang kemarin di minimarket, kan? Kerja di sini rupanya?” suara pria itu

  • Ketika Takdir Menyapa   Pasti Bisa

    Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Saras berbaring menatap langit-langit kamarnya. Hanya dalam sunyi ia bisa benar-benar mengingat semua yang telah terjadi.Gavin, pria yang dulu ia cintai sepenuh hati, yang bersumpah akan selalu menjaganya.Tapi, semua berubah saat ia menemukan suaminya sedang melakukan panggilan video dengan seorang perempuan hanya mengenakan tank top. Perempuan itu tertawa menggoda, sedangkan Gavin balas tersenyum, seolah lupa bahwa ia memiliki istri.Saras, yang saat itu tak bisa menahan marah, langsung mengkonfrontasi Gavin."Mas, siapa perempuan itu? Kenapa kamu bisa begitu mesra sama dia?!"Gavin bukannya merasa bersalah, malah mendengus kesal."Kamu berlebihan, Saras! Itu cuma teman!”"Teman? Teman macam apa yang video call pakai baju begitu?!"Gavin melempar ponselnya ke sofa. "Lantas kenapa?! Kalau pun aku berselingkuh, kamu juga sama, kan?!"Saras mengernyit. "Apa maksudmu?""Jangan pura-pura polos, Saras. Aku tahu kamu ada hubungan sama Dicky!"Sar

  • Ketika Takdir Menyapa   Pernah Bertemu

    Brukk!Kotak susu bayi itu jatuh, menggelinding pelan sebelum terhenti di bawah rak biskuit. Suara kecilnya cukup untuk membuat beberapa kepala menoleh, sekilas, penuh rasa ingin tahu.Saras membungkuk cepat, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Tangan kirinya masih perih akibat senggolan tadi. Jemarinya bergetar saat meraih kotak susu itu, lalu, mata mereka bertemu.“Maaf, Pak. Saya… saya tidak sengaja,” ucap Saras gugup. Suaranya hampir tak terdengar, terseret napas yang tak teratur.Lelaki itu berdiri tegak. Kemeja putihnya rapi tanpa cela, seolah tiap serat kainnya dipilih dengan teliti. Arloji berkilau di pergelangan tangannya, pantulan cahaya lampu toko memantulkan wibawa yang tak terbantahkan. Namun, bukan itu yang membuat Saras tercekat, melainkan tatapannya.Tatapan dingin, menelusuri dirinya dari atas hingga bawah. Bukan sekadar melihat, tapi menilai. Membuat setiap helai baju murah yang melekat di tubuhnya terasa seperti noda yang tak layak berada di sana.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status