Share

Jadi Asing

Author: YuRa
last update Last Updated: 2025-10-01 17:28:51

Dennis menghela napas panjang, suaranya nyaris serak.

“Saras, dia menanggung semua itu sendirian.”

Ia menunduk, kedua tangannya terkepal di atas meja. Bukan hanya marah pada Gavin, Robin, atau Nora. Tapi juga pada dirinya sendiri. Karena pernah menjadi penonton bisu ketika seorang perempuan dihancurkan.

Setelah beberapa saat, ia menegakkan tubuhnya lagi. Tatapannya dingin, tapi di baliknya ada bara yang menyala. “Aldo.”

“Ya, Pak?”

“Awasi Saras. Pastikan tidak ada yang mengganggu dia atau anaknya. Kalau ada yang coba menyakitinya lagi…” suara Dennis merendah, namun penuh ancaman, “mereka harus berhadapan dengan aku.”

Aldo terperanjat, tapi segera mengangguk cepat.

“Siap, Pak.”

Dennis lalu bersandar, menutup matanya. Pikirannya kacau bukan karena bisnis atau kekuasaan. Tapi karena seorang perempuan bernama Saras.

Tiba-tiba, pintu ruang kerja Dennis terbuka pelan.

Clarissa masuk dengan langkah percaya diri, dandanan sempurna seperti biasa. Lipstik merah marunnya senada dengan tas mahal yang tergantung di lengannya.

“Hai, Honey… eh, maaf, aku nggak tahu kalau ada Aldo,” ujarnya dengan senyum manis yang terasa terlalu dibuat-buat.

Aldo langsung berdiri.

“Kalau begitu, saya permisi, Pak. Bu.”

Ia memberi hormat singkat sebelum cepat-cepat keluar, merasa suhu ruangan tiba-tiba turun beberapa derajat. Clarissa mengikuti geraknya dengan mata sebelum kembali menatap Dennis.

“Ngapain kamu ke sini?” tanya Dennis tanpa basa-basi.

Clarissa menegakkan punggungnya. “Aku cuma mau ke kantor suamiku sendiri. Masa nggak boleh?”

Dennis menyandarkan tubuhnya di kursi, nada suaranya dingin.

“Bukannya kamu sibuk? Jadwalmu selalu padat, kan? Meeting sana-sini, charity event, brunch sama ibu-ibu arisan?”

Senyuman Clarissa mulai mengendur.

“Sudahlah, Dennis. Jangan mulai.”

Dennis mengangkat alis.

“Aku belum mulai apa-apa.”

Clarissa mendekat, meletakkan tasnya di meja.

“Aku cuma merasa kamu akhir-akhir ini semakin jauh untuk digapai. Sibuk dengan hal-hal yang nggak pernah kamu ceritakan. Bahkan sekarang kamu lebih sering diam daripada marah. Itu lebih menakutkan, tahu nggak?”

Dennis menatap istrinya lama. Tapi pikirannya masih bersama Saras, dengan wajah pucatnya di minimarket dulu, dengan Dicky yang diisukan menjadi selingkuhan Saras.

“Bukannya terbalik?” ujar Dennis pelan, tapi tajam. “Kamu yang sibuk dengan segala kegiatanmu. Sampai lupa Alvin butuh ibunya.”

Clarissa merespon dengan senyum kaku.

“Oh ya, ngomong-ngomong soal Alvin, aku nggak bisa jemput dia dari sekolah hari ini. Kamu yang jemput, ya? Sekali ini saja.”

Dennis menatap istrinya, alisnya terangkat.

“Tapi kamu sudah janji sama dia, Risa. Dia nungguin kamu, bukan aku.”

“Aku tahu. Tapi ini darurat. Ada pertemuan mendadak.”

Dennis menghela napas, lama. “Selalu darurat. Selalu ada yang lebih penting dari anakmu.”

Clarissa tidak menjawab. Ia hanya mendekat, mencium kening Dennis secepat kilat, seolah itu cukup untuk menebus segalanya.

“Sudah ya. Aku pergi dulu.” Ia mengambil tasnya lalu melangkah keluar, tumit sepatunya bergema di lantai marmer.

Dennis duduk terpaku di kursinya, menatap pintu yang baru saja tertutup di belakang istrinya. Janji-janji kosong. Pelukan palsu, senyuman untuk publik. Itulah Clarissa.

Dan yang lebih menyakitkan, ia dulu pernah mencintainya. Sekarang ia merasa kalau istrinya itu semakin jauh untuk direngkuhnya.

Tangannya mengepal di atas meja, sementara kepalanya bersandar ke kursi. Dari balik kaca besar ruang kerjanya, cahaya sore menembus masuk, menyorot wajahnya yang muram.

"Begini rasanya? Hidup bersama seseorang yang dulu kau cintai, tapi sekarang hanya jadi orang asing di rumahmu sendiri."

Ia teringat hari-hari awal dengan Clarissa. Wanita cantik yang elegan, selalu tersenyum untuk kamera, pandai berkata manis di depan semua orang. Tapi di balik itu, semakin lama, yang tersisa hanya ambisi dan agenda sosial.

Dennis mengusap wajahnya kasar. "Dan aku? Aku membiarkan Alvin tumbuh dengan ibunya yang lebih sibuk dengan pesta dan pertemuan, sementara aku sendiri sibuk dengan pekerjaan."

Ia menunduk, napasnya berat. Ada rasa bersalah. Ada rasa kosong.

Lalu, tanpa ia sadari, wajah Saras kembali muncul di benaknya. Wajah perempuan yang dulu ia lihat menangis pilu di minimarket, kini hadir dengan tatapan lelah, tapi tetap berjuang untuk anaknya.

Kontras itu membuat dada Dennis sesak.

Clarissa, dengan semua kesempurnaan semu yang ia pamerkan. Saras, dengan segala keterbatasan tapi punya ketulusan yang nyata.

Dennis mengepalkan tangannya lebih erat. Ia merasa ada sesuatu yang harus ia perbaiki. Sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Pintu sudah tertutup, suara langkah Clarissa hilang. Ruangan itu jadi terlalu hening, hanya terdengar dengung pendingin ruangan. Dennis membuka map yang tadi ditinggalkan Aldo, menatap lembar demi lembar laporan tentang Saras.

Foto-foto kecil hitam putih dari KTP, alamat kontrakan, catatan singkat tentang pekerjaan, bahkan keterangan keluarga dan kehidupannya dulu. Semua tertulis rapi.

Tapi bagi Dennis, semua itu tidak cukup.

"Saras, seistimewa apa dirimu, hingga kamu selalu muncul di pikiranku. Rasa kagum atau kasihan?”

Ia menutup map itu keras-keras, bangkit dari kursi, berjalan mondar-mandir. Ingatannya menyeretnya lagi ke masa lalu, ke pertengkaran Gavin dan Saras di minimarket, ke tatapan dingin Nora Hartawan di samping Gavin, ke wajah Robin Alexander yang ia kenal betul di lingkaran bisnis.

Lalu, satu nama lagi muncul.

Dicky Saputra.

Dennis menggertakkan rahangnya. "Jadi benar, kamu ada di tengah lingkaran busuk itu. Mereka menghancurkanmu, dan aku dulu hanya berdiri menonton."

Semakin ia memikirkan, semakin dadanya terasa sesak. Ada dorongan aneh, antara rasa bersalah, rasa penasaran, dan sesuatu yang bahkan ia sendiri enggan akui, rasa ingin melindungi.

Ia kembali duduk, menatap kosong ke arah meja. Jemarinya mengetuk permukaan kayu, lalu berhenti.

“Kalau semua ini bukan kebetulan, berarti aku harus tahu semuanya. Sampai ke akar.”

Dennis meraih ponselnya, mengetik pesan singkat untuk Aldo.

[Cari tahu juga tentang Dicky Saputra. Hubungannya dengan Gavin, dengan Robin, dan dengan Saras. Jangan ada yang terlewat.]

Pesan terkirim. Dennis menatap layar ponselnya lama, seolah bayangan Saras menatap balik dari pantulan kaca hitam itu.

Dan di dalam hatinya, ada janji yang diam-diam ia buat.

"Aku tidak akan tinggal diam lagi.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Takdir Menyapa   Ingin Hidup Tenang

    Begitu pintu apartemen terbuka, aroma lembut kayu dan kopi langsung menyambut mereka. Ruangan itu luas, rapi, dengan pencahayaan hangat dan sentuhan modern minimalis.Saras tak bisa menyembunyikan kekagumannya. “Tempatnya indah sekali,” gumamnya tanpa sadar.Dennis menatapnya dengan senyum samar. “Aku sering ke sini kalau lagi suntuk, banyak pikiran, atau butuh waktu buat tenang,” katanya sambil meletakkan kunci mobil di meja kecil dekat pintu.Saras hanya mengangguk pelan. Matanya menelusuri ruangan itu, rak buku dengan deretan novel dan dokumen, jendela besar dengan tirai abu-abu, dan cahaya sore yang masuk lembut dari balik kaca.Apartemen ini terasa asing, tapi entah kenapa menenangkan.Dennis mengisyaratkan Saras untuk duduk di sofa lembut berwarna krem.“Mau minum apa? Teh, kopi?” tanyanya dari dapur kecil di sisi ruangan.“Air putih saja, Pak,” jawab Saras, suaranya masih terdengar hati-hati.Dennis mengangguk. “Baik.”Ia melangkah menuju dapur, membuka lemari kaca dan menuan

  • Ketika Takdir Menyapa   Terlihat Kuat

    Mobil Dennis berhenti di depan sebuah supermarket yang masih ramai meski sore mulai meredup. Lampu-lampu di dalamnya berpendar hangat menembus kaca depan mobil.“Ayo turun,” kata Dennis pelan.Saras menoleh cepat. “Saya mau langsung ke kantor, Pak. Nanti dimarahi Bu Dita.”Dennis tersenyum tenang. “Jangan khawatir, kamu aman.”“Aman bagaimana?” Nada Saras meninggi sedikit, menunjukkan kekesalannya.Dennis menatapnya, sorot matanya lembut tapi dalam. “Kamu cantik kalau marah,” katanya begitu saja.Saras terdiam sejenak, wajahnya langsung memanas. Ia berusaha menutupi kegugupannya dengan mendengus pelan. “Bapak ini, bisa aja.”Dennis tertawa kecil. “Kamu bahkan lebih cantik waktu berusaha menahan senyum.”Saras meliriknya, antara malu dan kesal. Ia membuka pintu mobil lebih cepat, mencoba mengakhiri momen canggung itu. “Saya turun duluan.”Tapi sebelum ia sempat keluar sepenuhnya, Dennis menahan dengan suara yang lebih lembut, nyaris berbisik,“Saras, jangan salah paham. Aku cuma in

  • Ketika Takdir Menyapa   Ikut Terjebak

    Suasana restoran siang itu awalnya terasa canggung. Hanya denting sendok dan musik lembut yang terdengar di antara mereka bertiga, Dennis, Saras, dan tentu saja Aldo.Namun perlahan, percakapan ringan mulai mencairkan udara. Saras berusaha menata nada suaranya, menahan debar yang tak mau tenang setiap kali Dennis menatapnya.Dennis menatap Saras dengan pandangan yang sulit dijelaskan, tajam, namun hangat. Aldo, di sisi lain, hanya memperhatikan. Dalam hati ia ingin pindah meja, tapi Saras melarang. "Takut fitnah," katanya pelan.Perbincangan santai terus berlanjut, sesekali ada tawa kecil diantara mereka. Aldo permisi untuk ke belakang sebentar.Tiba-tiba, suara nyaring seorang perempuan memecah suasana.“Oh, jadi ini perempuan yang menggantikan Risa? Aku kira lebih dari Risa. Ternyata seleramu rendah juga, Dennis.”Dennis spontan menoleh. Wajahnya menegang. Saras mematung, darahnya seakan berhenti mengalir.Perempuan setengah baya itu berdiri di ambang restoran, tatapannya tajam Wik

  • Ketika Takdir Menyapa   Bertemu Dennis

    “Dennis…” suara Clarissa pecah, “aku tahu aku salah. Aku tahu aku sudah melukai kalian.”Namun Dennis hanya menghela napas, tanpa menoleh.“Kamu bukan cuma melukai aku, Clar. Kamu juga membuat anak kita belajar kecewa terlalu cepat.”Air mata Clarissa jatuh tanpa ia sadari. Tangannya gemetar, seolah tubuhnya sendiri menolak kenyataan itu.Ia ingin menjelaskan, ingin membela diri, tapi setiap kata terasa sia-sia. Semua yang dulu ia miliki, cinta, keluarga, rasa dihargai, kini terasa seperti bayangan yang perlahan menghilang.Dennis berdiri, mengambil piring Alvin dan membawanya ke dapur. “Aku akan tidurkan Alvin,” katanya singkat, lalu pergi tanpa menoleh.Clarissa menatap punggung suaminya yang menjauh, dan untuk pertama kalinya ia menyadari,keheningan bisa lebih menyakitkan daripada pertengkaran.“Pa, Mama sudah nggak sayang Alvin. Mama lebih sayang pekerjaan.”Suara Alvin pelan, tapi tajam, seperti pisau kecil yang menembus diam di ruang keluarga itu. Matanya berkaca-kaca, bibirnya

  • Ketika Takdir Menyapa   Gagal Sebagai Ibu

    Pagi itu suasana ruang kerja Dennis terasa berbeda. Biasanya wajahnya kaku dan tegang, tapi kali ini ada senyum samar yang belum juga hilang sejak tadi. Aldo, yang memperhatikan dari sisi meja, tak bisa menahan rasa heran.“Pak, sepertinya Anda tampak bahagia hari ini?” tanyanya hati-hati, memilih nada serendah mungkin agar tak menyinggung.Dennis menghentikan ketikan di laptopnya, lalu menoleh. Tatapannya tenang, tapi ada cahaya disana, sesuatu yang sudah lama tak Aldo lihat.“Kamu tahu, Aldo,” ujarnya pelan, namun ada nada ringan dalam suaranya, “ternyata Saras bekerja di perusahaan Papa. Aku bertemu dengannya kemarin.”Senyum kecil muncul di wajah Dennis, senyum yang bukan dibuat-buat. Sekilas, lelaki itu tampak seperti dirinya yang dulu, sebelum amarah dan kekecewaan menutup semua sisi lembutnya.Aldo mengangguk pelan, setengah terkejut, setengah mengerti. “Pantas saja,” gumamnya lirih, nyaris hanya untuk dirinya sendiri.Ia menatap bosnya itu diam-diam. Dalam hati, ia tahu nama

  • Ketika Takdir Menyapa   Pembalasan

    “Saras, ayo kita ke ruangan Pak Handika. Data dan laporan yang aku minta kemarin sudah selesai dikerjakan belum?”Suara Dita terdengar tegas, tapi hangat, saat ia menutup laptop dan berdiri dari kursinya.“Sudah, Bu. Semua sudah selesai,” jawab Saras cepat, senyum tersungging di bibirnya.Sejak pertama kali melangkah ke perusahaan itu, semangat Saras seakan tak pernah padam. Setiap hari baginya adalah kesempatan baru untuk belajar dan tumbuh. Lingkungan kerja yang bersahabat, rekan-rekan yang suportif, dan atasan yang bijak membuatnya merasa dihargai lebih dari sekadar karyawan biasa.Dita dan Pak Handika, dua nama yang begitu berarti baginya. Bagi Saras, mereka bukan hanya atasan, melainkan mentor yang membentuknya menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih percaya diri.“Benny, Pak Handika ada?” tanya Dita sambil melangkah cepat ke arah meja resepsionis. Saras menyusul di belakangnya, membawa map tebal berisi laporan.Benny, asisten sekaligus orang kepercayaan Pak Handika, segera berdir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status