Dennis menghela napas panjang, suaranya nyaris serak.
“Saras, dia menanggung semua itu sendirian.” Ia menunduk, kedua tangannya terkepal di atas meja. Bukan hanya marah pada Gavin, Robin, atau Nora. Tapi juga pada dirinya sendiri. Karena pernah menjadi penonton bisu ketika seorang perempuan dihancurkan. Setelah beberapa saat, ia menegakkan tubuhnya lagi. Tatapannya dingin, tapi di baliknya ada bara yang menyala. “Aldo.” “Ya, Pak?” “Awasi Saras. Pastikan tidak ada yang mengganggu dia atau anaknya. Kalau ada yang coba menyakitinya lagi…” suara Dennis merendah, namun penuh ancaman, “mereka harus berhadapan dengan aku.” Aldo terperanjat, tapi segera mengangguk cepat. “Siap, Pak.” Dennis lalu bersandar, menutup matanya. Pikirannya kacau bukan karena bisnis atau kekuasaan. Tapi karena seorang perempuan bernama Saras. Tiba-tiba, pintu ruang kerja Dennis terbuka pelan. Clarissa masuk dengan langkah percaya diri, dandanan sempurna seperti biasa. Lipstik merah marunnya senada dengan tas mahal yang tergantung di lengannya. “Hai, Honey… eh, maaf, aku nggak tahu kalau ada Aldo,” ujarnya dengan senyum manis yang terasa terlalu dibuat-buat. Aldo langsung berdiri. “Kalau begitu, saya permisi, Pak. Bu.” Ia memberi hormat singkat sebelum cepat-cepat keluar, merasa suhu ruangan tiba-tiba turun beberapa derajat. Clarissa mengikuti geraknya dengan mata sebelum kembali menatap Dennis. “Ngapain kamu ke sini?” tanya Dennis tanpa basa-basi. Clarissa menegakkan punggungnya. “Aku cuma mau ke kantor suamiku sendiri. Masa nggak boleh?” Dennis menyandarkan tubuhnya di kursi, nada suaranya dingin. “Bukannya kamu sibuk? Jadwalmu selalu padat, kan? Meeting sana-sini, charity event, brunch sama ibu-ibu arisan?” Senyuman Clarissa mulai mengendur. “Sudahlah, Dennis. Jangan mulai.” Dennis mengangkat alis. “Aku belum mulai apa-apa.” Clarissa mendekat, meletakkan tasnya di meja. “Aku cuma merasa kamu akhir-akhir ini semakin jauh untuk digapai. Sibuk dengan hal-hal yang nggak pernah kamu ceritakan. Bahkan sekarang kamu lebih sering diam daripada marah. Itu lebih menakutkan, tahu nggak?” Dennis menatap istrinya lama. Tapi pikirannya masih bersama Saras, dengan wajah pucatnya di minimarket dulu, dengan Dicky yang diisukan menjadi selingkuhan Saras. “Bukannya terbalik?” ujar Dennis pelan, tapi tajam. “Kamu yang sibuk dengan segala kegiatanmu. Sampai lupa Alvin butuh ibunya.” Clarissa merespon dengan senyum kaku. “Oh ya, ngomong-ngomong soal Alvin, aku nggak bisa jemput dia dari sekolah hari ini. Kamu yang jemput, ya? Sekali ini saja.” Dennis menatap istrinya, alisnya terangkat. “Tapi kamu sudah janji sama dia, Risa. Dia nungguin kamu, bukan aku.” “Aku tahu. Tapi ini darurat. Ada pertemuan mendadak.” Dennis menghela napas, lama. “Selalu darurat. Selalu ada yang lebih penting dari anakmu.” Clarissa tidak menjawab. Ia hanya mendekat, mencium kening Dennis secepat kilat, seolah itu cukup untuk menebus segalanya. “Sudah ya. Aku pergi dulu.” Ia mengambil tasnya lalu melangkah keluar, tumit sepatunya bergema di lantai marmer. Dennis duduk terpaku di kursinya, menatap pintu yang baru saja tertutup di belakang istrinya. Janji-janji kosong. Pelukan palsu, senyuman untuk publik. Itulah Clarissa. Dan yang lebih menyakitkan, ia dulu pernah mencintainya. Sekarang ia merasa kalau istrinya itu semakin jauh untuk direngkuhnya. Tangannya mengepal di atas meja, sementara kepalanya bersandar ke kursi. Dari balik kaca besar ruang kerjanya, cahaya sore menembus masuk, menyorot wajahnya yang muram. "Begini rasanya? Hidup bersama seseorang yang dulu kau cintai, tapi sekarang hanya jadi orang asing di rumahmu sendiri." Ia teringat hari-hari awal dengan Clarissa. Wanita cantik yang elegan, selalu tersenyum untuk kamera, pandai berkata manis di depan semua orang. Tapi di balik itu, semakin lama, yang tersisa hanya ambisi dan agenda sosial. Dennis mengusap wajahnya kasar. "Dan aku? Aku membiarkan Alvin tumbuh dengan ibunya yang lebih sibuk dengan pesta dan pertemuan, sementara aku sendiri sibuk dengan pekerjaan." Ia menunduk, napasnya berat. Ada rasa bersalah. Ada rasa kosong. Lalu, tanpa ia sadari, wajah Saras kembali muncul di benaknya. Wajah perempuan yang dulu ia lihat menangis pilu di minimarket, kini hadir dengan tatapan lelah, tapi tetap berjuang untuk anaknya. Kontras itu membuat dada Dennis sesak. Clarissa, dengan semua kesempurnaan semu yang ia pamerkan. Saras, dengan segala keterbatasan tapi punya ketulusan yang nyata. Dennis mengepalkan tangannya lebih erat. Ia merasa ada sesuatu yang harus ia perbaiki. Sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Pintu sudah tertutup, suara langkah Clarissa hilang. Ruangan itu jadi terlalu hening, hanya terdengar dengung pendingin ruangan. Dennis membuka map yang tadi ditinggalkan Aldo, menatap lembar demi lembar laporan tentang Saras. Foto-foto kecil hitam putih dari KTP, alamat kontrakan, catatan singkat tentang pekerjaan, bahkan keterangan keluarga dan kehidupannya dulu. Semua tertulis rapi. Tapi bagi Dennis, semua itu tidak cukup. "Saras, seistimewa apa dirimu, hingga kamu selalu muncul di pikiranku. Rasa kagum atau kasihan?” Ia menutup map itu keras-keras, bangkit dari kursi, berjalan mondar-mandir. Ingatannya menyeretnya lagi ke masa lalu, ke pertengkaran Gavin dan Saras di minimarket, ke tatapan dingin Nora Hartawan di samping Gavin, ke wajah Robin Alexander yang ia kenal betul di lingkaran bisnis. Lalu, satu nama lagi muncul. Dicky Saputra. Dennis menggertakkan rahangnya. "Jadi benar, kamu ada di tengah lingkaran busuk itu. Mereka menghancurkanmu, dan aku dulu hanya berdiri menonton." Semakin ia memikirkan, semakin dadanya terasa sesak. Ada dorongan aneh, antara rasa bersalah, rasa penasaran, dan sesuatu yang bahkan ia sendiri enggan akui, rasa ingin melindungi. Ia kembali duduk, menatap kosong ke arah meja. Jemarinya mengetuk permukaan kayu, lalu berhenti. “Kalau semua ini bukan kebetulan, berarti aku harus tahu semuanya. Sampai ke akar.” Dennis meraih ponselnya, mengetik pesan singkat untuk Aldo. [Cari tahu juga tentang Dicky Saputra. Hubungannya dengan Gavin, dengan Robin, dan dengan Saras. Jangan ada yang terlewat.] Pesan terkirim. Dennis menatap layar ponselnya lama, seolah bayangan Saras menatap balik dari pantulan kaca hitam itu. Dan di dalam hatinya, ada janji yang diam-diam ia buat. "Aku tidak akan tinggal diam lagi.”Dennis menghela napas panjang, suaranya nyaris serak. “Saras, dia menanggung semua itu sendirian.”Ia menunduk, kedua tangannya terkepal di atas meja. Bukan hanya marah pada Gavin, Robin, atau Nora. Tapi juga pada dirinya sendiri. Karena pernah menjadi penonton bisu ketika seorang perempuan dihancurkan.Setelah beberapa saat, ia menegakkan tubuhnya lagi. Tatapannya dingin, tapi di baliknya ada bara yang menyala. “Aldo.”“Ya, Pak?”“Awasi Saras. Pastikan tidak ada yang mengganggu dia atau anaknya. Kalau ada yang coba menyakitinya lagi…” suara Dennis merendah, namun penuh ancaman, “mereka harus berhadapan dengan aku.”Aldo terperanjat, tapi segera mengangguk cepat. “Siap, Pak.”Dennis lalu bersandar, menutup matanya. Pikirannya kacau bukan karena bisnis atau kekuasaan. Tapi karena seorang perempuan bernama Saras.Tiba-tiba, pintu ruang kerja Dennis terbuka pelan.Clarissa masuk dengan langkah percaya diri, dandanan sempurna seperti biasa. Lipstik merah marunnya senada dengan tas mahal
“Halo, Aldo.”“Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Suara di seberang terdengar santai, tapi berubah tegang begitu mendengar nada dingin Dennis.“Tolong selidiki seorang perempuan. Namanya Saras. Dia kerja di dealer mobil yang kita datangi kemarin.”Di ujung sana, Aldo yang semula bersandar santai di kursinya langsung tegak. Alisnya bertaut. “Saras?” tanyanya, agak ragu. “Ada masalah, Pak?”“Iya.” Jawaban itu singkat, tapi berat, tegas, dan tak memberi ruang untuk diskusi. “Secepatnya, ya.”Keheningan singkat tercipta sebelum Aldo berdehem kecil. “Baik, Pak.” Ia menelan pertanyaannya. Ia tahu benar, kalau Dennis sudah berbicara dengan nada seperti itu, membantah hanya berarti bunuh diri.Panggilan terputus.Dennis meletakkan ponsel di kursi sebelah, lalu bersandar, menatap lurus ke jalanan yang mulai ditelan gelap. Lampu kendaraan melintas silih berganti di kaca depannya, tapi pikirannya melayang jauh.Tangannya mengepal di atas setir, sementara satu pertanyaan terus menggema di kep
Sesaat setelah senyum itu muncul, Dennis menatapnya lekat-lekat, nyaris tanpa berkedip.“Pasaran, ya?” gumamnya pelan, suaranya rendah tapi cukup untuk membuat Saras merinding. “Aneh sekali, soalnya menurutku wajahmu terlalu istimewa untuk sekadar mirip orang lain.”Saras terdiam, bibirnya kelu.Dennis mencondongkan tubuh sedikit, suaranya menurun, nyaris seperti bisikan. “Dan ada sesuatu di matamu yang membuatku yakin, kita memang pernah bertemu. Hanya saja entah kenapa, aku tidak bisa mengingat di mana.”Ia lalu menarik diri ke belakang, kembali berdiri tegak dengan ekspresi santai, seolah kalimat barusan tak lebih dari obrolan ringan.“Tidak apa-apa,” ujarnya datar, senyum tipis masih tergantung di bibirnya. “Mungkin nanti aku akan mengingatnya.”Saras menunduk cepat, pura-pura merapikan berkas di meja untuk menyembunyikan wajahnya yang pucat. Tapi di dalam hati, kegelisahan itu makin menjadi-jadi.Setelah kalimat menggantung itu, Saras hanya bisa menunduk, pura-pura sibuk menata
Kemarin di minimarket. Saras ingat betul tatapan itu, tatapan yang membuatnya merasa dihakimi hanya karena sekotak susu bayi. Saat itu, Saras berusaha tak peduli, tak ingin berurusan. Tapi kini, di tempat ini, di hadapannya, kehadiran pria itu terasa jauh lebih mengancam. Pria itu menoleh, dan mata mereka bertemu. Sesaat, waktu seperti berhenti. Udara seolah menipis. Saras ingin segera berpaling, namun tatapan tajam pria itu menahan langkahnya, seperti belenggu tak kasat mata. Ada sesuatu di balik sorot matanya, entah pengenalan, entah kecurigaan, yang membuat bulu kuduk Saras meremang. Pria itu melangkah mendekat. Satu langkah, dua langkah. Setiap jarak yang terpangkas membuat jantung Saras berdetak semakin keras. Saras menelan ludah, tangannya refleks menggenggam katalog di meja, seakan itu bisa menenangkan dirinya. Tapi semakin dekat pria itu berjalan, semakin ia merasa tidak kebetulan berada di sini. “Kamu yang kemarin di minimarket, kan? Kerja di sini rupanya?” suara pria itu
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Saras berbaring menatap langit-langit kamarnya. Hanya dalam sunyi ia bisa benar-benar mengingat semua yang telah terjadi.Gavin, pria yang dulu ia cintai sepenuh hati, yang bersumpah akan selalu menjaganya.Tapi, semua berubah saat ia menemukan suaminya sedang melakukan panggilan video dengan seorang perempuan hanya mengenakan tank top. Perempuan itu tertawa menggoda, sedangkan Gavin balas tersenyum, seolah lupa bahwa ia memiliki istri.Saras, yang saat itu tak bisa menahan marah, langsung mengkonfrontasi Gavin."Mas, siapa perempuan itu? Kenapa kamu bisa begitu mesra sama dia?!"Gavin bukannya merasa bersalah, malah mendengus kesal."Kamu berlebihan, Saras! Itu cuma teman!”"Teman? Teman macam apa yang video call pakai baju begitu?!"Gavin melempar ponselnya ke sofa. "Lantas kenapa?! Kalau pun aku berselingkuh, kamu juga sama, kan?!"Saras mengernyit. "Apa maksudmu?""Jangan pura-pura polos, Saras. Aku tahu kamu ada hubungan sama Dicky!"Sar
Brukk!Kotak susu bayi itu jatuh, menggelinding pelan sebelum terhenti di bawah rak biskuit. Suara kecilnya cukup untuk membuat beberapa kepala menoleh, sekilas, penuh rasa ingin tahu.Saras membungkuk cepat, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Tangan kirinya masih perih akibat senggolan tadi. Jemarinya bergetar saat meraih kotak susu itu, lalu, mata mereka bertemu.“Maaf, Pak. Saya… saya tidak sengaja,” ucap Saras gugup. Suaranya hampir tak terdengar, terseret napas yang tak teratur.Lelaki itu berdiri tegak. Kemeja putihnya rapi tanpa cela, seolah tiap serat kainnya dipilih dengan teliti. Arloji berkilau di pergelangan tangannya, pantulan cahaya lampu toko memantulkan wibawa yang tak terbantahkan. Namun, bukan itu yang membuat Saras tercekat, melainkan tatapannya.Tatapan dingin, menelusuri dirinya dari atas hingga bawah. Bukan sekadar melihat, tapi menilai. Membuat setiap helai baju murah yang melekat di tubuhnya terasa seperti noda yang tak layak berada di sana.