Share

Late

Terlahir sebagai anak tunggal, saat ini Eva tak lagi miliki orang tua yang lengkap. Papanya meninggal akibat kecelakaan yang terjadi tiga tahun silam. Masih terekam jelas di kepala Eva hingga saat ini, bagaimana mengerikannya bentuk tubuh papanya yang telah hancur terlindas truk dengan muatan berat.

Tersisa ia bersama mamanya. Seorang ibu rumah tangga yang merangkap juga sebagai kepala keluarga. Pekerjaannya sehari-hari hanya membuat kue untuk dijual di toko-toko sembako berbagai tempat sekitar kawasan rumah. Beruntung lokasi rumah mereka dekat dengan pasar hingga memudahkan untuk membeli bahan-bahan juga meniagakannya. Hendak memperluas linglup bisnis, keluarga kecil ini terkendala kendaraan yang tak memadai. Ingin memakai jasa orang, sedang kebutuhan hidup saja sangat pas-pasan dan terkadang kurang.

Hanya ada sepeda berwarna pink dengan model khas perempuan. Terdapat keranjang mungil di bagian depan serta boncengan di belakangnya. Satu-satunya kendaraan di rumah ini.

Sepeda itu digunakan Eva untuk berangkat sekolah. Setidaknya Eva tak berjalan kaki ke sekolah ketika teman-temannya menggunakan kendaraan mewah.

"Mamah." Gadis berseragam SMA TB itu menghampirinya.

Vina menoleh padanya dengan pandangan penuh kasih sayang. Sebagai seorang ibu juga ayah, Vina tak ingin bermimpi terlalu banyak karena berjuang seorang diri bukanlah hal yang mudah dilalui. Butuh banyak perjuangan, pengorbanan, dan kesabaran. Cukup dapat memandang putrinya beranjak dewasa, melihatnya menemukan jati untuknya menjadi diri sendiri, dan menyaksikannya belajar dengan pendidikan yang layak.

Orang tua mana yang tak bangga pada anaknya ketika ia mengenakan seragam SMA nomor satu se-Indonesia ini?

Kemarin ia bercerita bahwa dipercayakan untuk menjadi ketua OSIS di Taruna Bangsa. Pencapaian yang Vina banggakan karena ketika masa sekolah dulu ia pun menjabat sebagai ketua OSIS.

Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya.

Jika suaminya masih ada ... mungkin ia pun akan ikut bangga. Mereka bisa bersama-sama bernostalgia di masa muda. Vina sebagai ketua OSIS, sedang Radit rajanya murid nakal, ketua sebuah komunitas terkenal. Entah kenapa takdir begitu lucu mempersatukan mereka dalam ikatan cinta suci pernikahan, tapi kemudian memisahkan kembali dengan kematian. Perpisahan paling jauh untuk manusia yang masih hidup di dunia dan menapak kaki di bumi.

"Mau sarapan di sini atau di sekolah aja?" Vina memecah keheningan yang sempat terjadi.

"Sekolah aja, Ma. Udah telat," sahut Eva.

Vina mengangguk dan memasukkan tuperwar yang telah diisi dengan nasi goreng juga beberapa potong kue manis. Tak lupa susu di dalam botol. Belajar juga butuh asupan.

Dulu Eva paling anti membawa bekal ke sekolah. Kayak apa banget, 'kan? Alhamdulillah ia menjumpai teman-teman yang sefrekuensi. Merasa kurang nyaman makan di kantin karena terlalu ramai dan berisik. Bertolak belakang sekali dengan mereka yang suka ketenangan. Biasanya ketika jam istirahat kelas akan sepi menyisakan Eva bersama para sahabatnya. Selama mereka juga tak malu membawa bekal, Eva pun akan turut menepis rasa malunya karena akan lebih baik ketika kita menjadi diri sendiri.

"Makasih, Ma. Aku berangkat dulu, yah."

Ia menyalimi punggung tangan wanita yang banyak berjasa dalam hidupnya tersebut kemudian keluar dan menggeret sepedanya turun dari rumah.

Sambil mengayuh menjauhi pekarangan Eva melambai pada mamahnya yang berdiri di depan pintu. "Assalamu'alaikum!"

Hidup hanya berdua, sebagaimana Vina yang hanya memiliki Eva dalam hidupnya, pun Eva yang hanya memiliki seorang mama tanpa kehadiran sosok papa dalam hidupnya.

⋆•・ั⋆ᩡ🌸ꦿᩡ⋆・ั•⋆

Di tengah lapangan indoor terlihat jelas dua orang cewek berjalan sambil berlenggak-lenggok dengan baju sekolah yang telah mereka desain sedemikian rupa hingga sangat pas melekat di tubuh. Eva yang menyaksikan itu berdecak kesal. Sangat merusak pemandangan!

Mengambil langkah pasti, Eva menghampiri dua siswi dari kelas 10 tersebut yang masih berseliweran di tengah lapangan ketika bel masuk telah menggema.

Setelah sampai di depan mereka, makin sengaja Eva menarik kasar ujung baju salah satunya untuk menurunkannya ke bawah agar menutupi bagian pusar yang sengaja dipamerkan itu.

"Datang ke sini mau sekolah apa ngejablay hmm?"

Brak!

Terlalu cepat untuk Eva menyadari. Tubuhnya terhuyung begitu saja ke arah belakang. Hampir oleng jika saja ia tak bisa menyeimbangkan diri dengan baik

"Mulut lo bangsat banget. Negur tuh baik-baik, gak usah segala ngehina!"

Cewek yang diketahui bernama Fitra, yang terkenal nakal di kalangan kelas 10 tersebut menyentak dengan penuh arogan. Menaikkan dagu menatap Eva yang hanya sebatas hidungnya tersebut.

Eva melotot masih bungkam atas tindakan yang ia terima tadi. Melihat reaksi ketua OSIS mereka tampak syok dengan raut khawatir membuat dua siswi tadi tersenyum miring. Lihatlah kakak kelas mereka ini, baru disentak begini saja sudah syok. Mental lemah!

Eva mendengkus dengan tangan menyilang di depan dada. Tadi ia sangat kaget dan sekarang sudah bisa mengontrol diri agar tak tersulut emosi. Malas meladeni debat para bocil yang sok iye, lebih baik langsung hukum saja. Kita lihat siapa yang lebih berkuasa di sekolah ini. Mereka yang anak orang kaya, atau Eva ketos dari anak beasiswa? Sangat dianjurkan bukan, sombong pada orang yang sombong?

Eva mengelilingi pandangan, tapi tak menemukan sedikit pun sampah di lapangan ini. Ia memandang dua cewek di depannya dengan raut datar.

"Menurut peraturan sekolah halaman delapan, bab dua, terkait aturan memakai pakaian di area sekolah. Pake baju puser keliatan gini lo pikir sopan hah?" Ke-dua tangan Eva turun ke arah pusar tersebut kemudian memelintirnya dengan kencang membuat ke-dua cewek itu berteriak kesakitan.

"Akhhh!"

Cubitan Eva memang menyakitkan. Fitra dan Nila sampai berjongkok dan menungging memegangi pusar mereka. Mampus!

"Dikatain ngejablay gak terima, cih. Lari keliling lapangan 10 kali. Sesuai jumlah halaman dan bab yang kalian langgar, halaman dua dan halaman delapan. Dijumlahkan totalnya ada 10."

"Keliling lapangan 10 kali putaran. S-e-k-a-r-a-n-g!" perintah Eva penuh penekanan.

"Bangun!" bentak Eva kasar. Tak ingin melihat drama mereka yang berteriak lebay.

"Gak usah main fisik gitu, anjim!" Nila berteriak. Ia berdiri dan mendorong Eva dengan brutal karena kelewat kesal.

"Astaghfirullah! Allahu!" Eva kaget menerima serangan seperti ini. Jika ia tak berjalan mundur menjauhi serangan mereka, bisa-bisa pantatnya akan jatuh mencium lantai.

"Aaaa!" Eva ikut berteriak kencang karena Nila dan Fitra berteriak padanya mengakibatkan suara Eva yang meminta mereka berhenti tenggelem oleh suara besar mereka.

Tak ada cara lain lagi, Eva menelan salivanya sangat syok sekali. Ia menarik napas dalam lalu setelahnya langsung berteriak sangat kencang hingga suaranya menggema di lapangan indoor yang maha luas ini. "Berani-beraninya kalian dorong-dorong ketua OSIS kayak gini!! Mau dipanggil orang tua kalian hah?!"

Teriakan berisi ancaman Eva kali ini berhasil membuat mereka berhenti, meski ekspresi garang masih tercetak jelas di wajah mereka. Percayalah, Eva benar-benar kalah telak. Dua lawan satu? Lagi pun tinggi Eva hanya sebatas hidung mereka. Ia benar-benar merasa dipojokkan.

Eva menarik napas. Ya ampun ia benar-benar kaget. Napasnya masih memburu bahkan ketika ia sudah berusaha untuk menenangkan diri.

"Apa natap gue kayak gitu?!" tantang Eva kelewat geram. "Laksanain hukuman kalian sekarang! Bantah? Siap-siap nama kalian berdua gue masukin daftar hitam!" tegas Eva seraya menunjuk kasar wajah mereka berdua. "Pelanggaran kalian jadi double. Ngelawan OSIS artinya ngelawan guru. OSIS tangan kanan guru. Paham?!"

⋆•・ั⋆ᩡ🌸ꦿᩡ⋆・ั•⋆

Kegiatan belajar mengajar tengah berlangsung sementara Eva baru saja selesai dari mengawasi adik kelas tadi selama masa hukuman mereka. Kini baru saja ia sampai di kelasnya dan mendapati pintu tersebut tertutup.

Pagi ini adalah jadwal mata pelajaran Fisika yang diampu oleh pak Erik selaku guru di bidang tersebut. Beliau adalah guru baru, menggantikan bu Anti yang katanya ingin melanjutkan studi S2 di Amerika.

Tangan Eva menekan kenop pintu lalu mendorongnya untuk membuka. Ia dapati suasana senyap ketika beliau mengajar dan suara decitan yang ditimbulkan oleh pintu ini berhasil alihkan atensi seisi kelas. Eva mengumbar senyuman. "Permisi, Pak."

Pak Erik yang semula tengah fokus menerangkan materi akhirnya menoleh juga ke asal suara. Ia dapati siswi dengan penampilan rapih, kulit bersih walau warnanya tak putih, gingsul itu bagai pemanis ketika ia menarik senyuman.

Namun pak Erik tak peduli akan semua itu. Beliau mengutarakan pertanyaan dengan nada kurang bersahabat. "Dari mana kamu?"

Eva menyengir agar tak terlalu tegang. Ia percaya diri untuk sok imut seperti ini, karena baginya, dirinya itu memang lumayan cantik. Termasuk kategori cewek cantik di kelas ini walau bukan yang tercantik.

"Tadi ada something dikit, Pak. Anak kelas 10 ada yang ngelanggar peraturan. Jadi saya ke situ dulu buat negur dan ngurusnya," jawab Eva dengan sangat jelas. Walau ekspresi yang ditampilkan cengengesan, tapi Eva tak mau menye-menye ketika berbicara.

Pak Erik mendengus. Ia tak lagi menatap Eva, melainkan menyapu pandangan ke seisi kelas. "Lain kali gak ada alasan, ya. Mau OSIS atau siapa pun, kalau kalian ada mapel dengan saya, saya tidak suka ada yang baru datang ketika saya sudah mengajar. Sangat mengganggu, paham?"

"Paham, Paaakk!" Seluruh penghuni kelas berseru demikian hingga suara mereka menggema memenuhi ruangan ini.

Mendadak tenggorokan Eva terasa kering. Eva menelan saliva berusaha menampik kegugupannya. Dirinya berdiri di depan pintu sendirian, mendapat sindiran halus yang rasanya sangat memalukan dari pak Erik. Sementara teman-teman sekelasnya kompak sekali berseru seperti itu.

Eva itu siswi berprestasi kesayangan guru. Selama Eva bersekolah, baru kali ini ia dipermalukan seperti ini oleh guru. Gadis itu menarik napas perlahan seraya tersenyum tipis dengan kepala menduduk. "Saya minta maaf, Pak. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi," ujar Eva dengan tegas.

Seolah tak mendengar apa yang baru saja Eva ucapkan, pak Erik melanjutkan perkataannya tadi yang belum tuntas. "Parahnya masih nenteng tas?" Laki-laki seperempat abad itu menyemburkan tawa, seolah makin saja ingin mempermalukan Eva.

"Diliat sama anak-anak lain, kok ketua OSIS masih keliaran pas KBM. Mana nenteng tas lagi tuh. Malu nggak?"

"Maluuu!" Teman-teman sekelas kembali kompak berseru.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rudy Haryono
perlu selalu membaca dan melanjutkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status