Aku melajukan kendaraanku menuju kantor pengacara, sesuai arahan yang telah di kirimkan Pak Budi, tak lupa aku membawa semua berkas-berkas yang diminta."Permisi! Selamat Siang, Mbak! Saya mau bertemu dengan Pak Budi," ucapku pada seorang wanita cantik petugas resepsionis."Selamat siang, Bu! Maaf dengan ibu siapa?" jawabnya dengan ramah, senyum manisnya tersungging di bibirnya, menampakkan deretan gigi putihnya."Saya, Sintya!" sahutku."Oh, Ibu Sintya! Mari Bu, saya antar ke ruangan Pak Budi, beliau sudah menunggu."Aku mengikuti langkah wanita yang aku taksir bernama Tia itu, terlihat dari nametag yang tersemat di dada kirinya.Tok! Tok! Tok! Permisi.Tia mengetuk pintu ruangan, yang bertuliskan nama Budi Hermawan, S.H. yang aku yakini ini ruang kerja Pak Budi."Masuk." Suara sahutan seseorang dari dalam ruangan."Tunggu sebentar ya, Bu!" ucap Tia dan kemudian dia masuk ke dalam meninggalkan aku di depan pintu. Kemudian tak berapa lama ia keluar dan mempersilahkan aku masuk."Sela
Sebelum aku meninggalkan galeri tadi, Rizal juga mengirimkan sebuah video, di mana Mas Yudi dan Eva tengah bercu*bu di ruang kerja Mas Yudi, mungkin kejadian itu terjadi sekitar bulan lalu, dan Rizal baru menunjukkan padaku saat ia tau aku akan memilih jalan perceraian."Aku juga memergoki suamiku tengah berhubungan badan dengan perempuan itu sebelum mereka menikah, dan Hana saksinya. Karena ia berada di tempat itu bersamaku," jelasku."Boleh aku lihat foto dan videonya?" tanyanya.Jemariku menari di atas layar ponselku, mencari semua foto dan video yang pernah Rizal dan Hana kirimkan, kemudian menunjukkan semuanya pada Budi."Baik, semua foto dan video ini sudah cukup kuat, dan dengan adanya Hana yang menjadi saksi saat itu, ini lebih menguatkan. Besok aku akan memasukkan berkas ini ke pengadilan." Budi meriksa semua berkas yang aku bawa."Bagaimana dengan anak kalian? Sekali lagi apa kau benar-benar serius ingin bercerai dengan suamimu?" Kali ini ia bertanya dengan sorot mata serius
Ting! Sebuah notifikasi pesan masuk, aku melirik jarum jam menunjukkan angka dua dini hari. Siapa yang mengirim pesan dini hari begini, apa Mas Yudi, membalas pesanku tadi malam. [Oke, Sin! Mas pulang besok] Sebuah pesan dari Mas Yudi.Hari ini hari Minggu, jadi aku dan Rizki santai di rumah, mungkin sekarang sudah saatnya aku bicara pada Mas Yudi kalau aku menginginkan bercerai. "Assalamualaikum," Suara Mas Yudi memasuki rumah ini, Rizki nampak asyik menonton serial kartun bus kecil yang berwarna warni."Ayah!" teriaknya menghambur ke pelukan Mas Yudi."Anak Ayah udah sehat nih," ucap Mas Yudi, di gendongnya Rizki, sambil mencium pipi gembil putranya.Terpancar rona bahagia di wajah mereka, terselip rasa rindu dengan kehangatan keluargaku dulu, tapi mengingat goresan luka yang telah mereka torehkan di hatiku, rasanya begitu sesak di dada."Rizki, lanjutkan nonton televisinya, ya! Ayah mau bicara sebentar sama Mamah." Mas Yudi menurunkan tubuh Rizki. Bocah lima tahun itu menganggu
"Aku licik? Untuk menghadapi orang sepertimu yang sudah berani bermain api denganku, memang harus dengan cara licik, Mas!" ucapku tak mau kalah."Setelah semua uang tabunganku kamu ambil, sekarang galeri juga kau ambil! Apa maumu Sintya?" Mas Yudi tampak gusar."Aku mau melihatmu dan jalangmu menderita, Mas! Sama seperti apa yang kamu lakukan padaku, itu sangat menyakitkan.""Benar-benar kau sudah gila, Sintya!" Mas Yudi tampak begitu marah. Raut wajahnya merah padam."Kau yang mengajariku, Mas! Kau yang memulai bermain gila, jadi aku mengikuti permainanmu," jawabku santai.Aargghh! Brak!Mas Yudi terlihat begitu frustasi, dan menggebrak meja."Ayah! Mah, Ayah kenapa, Mah?" tiba-tiba Rizki berlari menghampiri kami, mungkin mendengar suara ayahnya barusan."Ayah nggak apa-apa, Sayang! Rizki main ke luar dulu, ya! Mamah sama Ayah masih ingin bicara," titahku, ia pun menurutinya dengan wajah tertunduk, ia berjalan pelan keluar."Aku sudah memasukkan berkas perceraian kita, kita tinggal t
Aku masuk ke kamar Rizki dan menutup pintu dengan kasar. Kali ini benar-benar membuatku sebal. Meskipun status mereka sudah suami istri, tapi tetap saja hati ini terasa sesak saat melihat mereka bersama, rasanya aku ingin cepat-cepat mengakhiri ini, agar lebih tenang.Aku meraih ponsel pintarku, dan menghubungi Budi pengacara yang menangani kasus perceraianku.Beberapa kali aku mencoba menghubungi beliau tapi tidak tersambung, saat melihat date di layar ponselku, seketika membuatku menepuk jidat, hari ini hari minggu, sudah pasti Budi sedang menikmati hari liburnya, pantas saja ia tak menjawab panggilan teleponku."Sin, Mas pergi dulu, ya!" Suara Mas Yudi, di balik pintu kamar. Mau pergi, mau kemana, aku tak peduli, tak kuhiraukan pamitnya."Udah lah, Mas! Ngapain juga sih kamu pamit sama Mbak Sintya, lagian kan kamu udah mau ceraikan dia." Ucapan perempuan itu, membuatku geram, aku bangkit dan membuka pintu kamar."Heh, perempuan jalang, tutup mulutmu! Silahkan kalian pergi dari sin
Aku helakan napas panjang, mencoba lebih tenang agar aku bisa menceritakan semuanya sama Ayah."Cucu Ayah baik-baik saja, Yah," jawabku dengan suara parau, dan sesegukan."Sintya dengarkan Ayah, kamu tenang. Ceritakan pelan-pelan sama Ayah, ada apa?"Aku menarik napas panjang, dan menghembuskanya perlahan."Mas Yudi, Yah. Dia selingkuh, sekarang dia sudah menikah siri dengan wanita itu." Tangisku kembali pecah usai mengatakan itu, entah mengapa ada rasa malu mengatakan ini, teringat dulu ayah sempat tak setuju dengan hubunganku dan Mas Yudi, tapi karena ingin melihatku bahagia dengan pilihanku, Ayah akhirnya mengalah."Apa?! Kurang aj*r! Berani-beraninya dia nyakitin kamu. Terus sekarang apa keputusanmu?"Aku ceritakan semua hal yang membuat dada ini sesak, seperti seorang anak kecil yang sedang mengadu pada ayahnya, itu lah yang aku rasakan, dengan sabar Ayah mendengarkan keluh kesahku.Setelah aku curahkan semuanya, hati ini terasa lega, meskipun masalah belum selesai, tapi setidak
Aku ke dapur, dan memasak bahan makanan seadanya di kulkas, hanya ada sayur bayam dan jagung, akhirnya aku masak sayur bening dan bakwan jagung. Tak butuh waktu lama kegiatan masakku selesai. Aku bergegas keluar rumah hendak memanggil Rizki.Baru saja aku melangkah keluar pagar, terlihat seseorang berjalan ke arahku.Aku terdiam sejenak memperhatikan orang itu, semakin dekat dan terlihat wajahnya. Mbak Siska–Kakak iparku.Ada apa dia datang kemari, aku baru teringat tempo hari aku melihat dia berjumpa dengan Eva, ada hubungan apa sebenarnya dia dengan Eva."Sintya!" panggilnya saat kaki ini hendak melangkah."Mbak Siska!" balasku."Kamu mau kemana, masa Mbak baru datang, kamu malah mau pergi," ucapnya melihat gerak gerikku hendak keluar."Nggak kemana-mana kok, Mbak! Tadinya mau panggil Rizki yang masih main di rumah tetangga, Mbak sendiri kok tumben kesini, ada apa?" tanyaku."Yudi mana? Mbak mau ketemu Yudi," cetusnya. Bukanya menjawab pertanyaanku malah dia menanyakan Mas Yudi."Ma
"Apa? Maksud kamu?""Nggak, enggak ada maksud apa-apa, sekarang Mbak udah selesai kan makannya, jadi sekarang gantian aku sama Rizki yang makan, silahkan Mbak hubungi Mas Yudi lagi, jangan ganggu kami lagi makan," jawabku ketus. Terlihat piring Mbak Siska sudah kosong dan masih duduk memainkan gawainya."Jangan lupa di cuci sendiri tuh piringnya, Mbak," ucapku lagi.Mbak Siska langsung menoleh ke arahku, sepertinya tersinggung dengan ucapanku."Kamu nyuruh Mbak? Sintya! Mbak di sini itu tamu, masa di suruh nyuci piring!" sahutnya."Kalo tamu ya harus tau diri donk! Udah numpang makan, ya tau diri cuci sendiri piring bekas makannya, aku nggak nyuruh nyuci semua piring kok!" jawabku tak mau kalah.Mbak Siska berdecak kesal, ia bangkit dan menghentakkan kakinya."Awas ya kamu, Sin! Aku aduin sama Yudi biar kamu di semprot sama dia!" tukasnya."Aduin aja sana! Memangnya aku takut," ucapku sambil memasukkan makanan ke mulutku.Rizki hanya diam menikmati makanannya, sepertinya dia juga sud