Share

Bab 8

Author: Tifa Nurfa
last update Last Updated: 2022-07-25 11:55:22

POV Yudi

Setelah pulang kerja nanti, aku berniat akan mengunjungi rumah kekasihku Eva. Wanita cantik yang sudah sebulan ini menjalin hubungan denganku.

Tak lupa aku mengirim pesan pada istriku Sintya kalau hari ini aku akan pulang malam, dengan alasan ada urusan pekerjaan.

Entah mengapa kehidupanku aku merasa hidupku dengan Sintya yang itu-itu saja membuatku sedikit merasa jenuh dan hambar. Dan semuanya terasa berwarna saat dua bulan lalu Eva menjalin kerjasama dengan bisnis dekorku. Eva yang terus menggodaku dengan sikap manis dan manjanya membuat aku terlena dan menjalin hubungan dengannya, dia pun tau aku sudah beristri, tapi itu tak menjadi masalah baginya. Bahkan bersedia menjadi istri keduaku.

Satu-satunya orang yang mengetahui kedekatanku dengan Eva adalah Rizal, dia orang kepercayaanku, yang sering mewakiliku dalam urusan pekerjaan. Aku yakin ia akan diam dan tutup mulut dari siapapun dan tak kan mengkhianati kepercayaanku. 

 

Aku dan Eva semakin sering bertemu di luar urusan pekerjaan, sikapnya yang manja, cantik dan seksi, membuatku ingin memilikinya, meskipun aku tau Sintya pasti tak akan mengijinkan aku menikah lagi.

Jika aku harus memilih, aku ingin memiliki keduanya. Eva begitu menggoda, dan Sintya yang selama ini 16 tahun ini mendampingiku dan memberiku seorang jagoan, rasanya sulit untuk meninggalkanya, terlebih selama ini dia begitu penurut, tak banyak menuntut, dan selalu menghormatiku sebagai suaminya. Rasanya tak lazim jika aku tiba-tiba menceraikannya tanpa sebab. 

Ah, selama ia tak tahu tentang hubunganku dengan Eva biarlah berjalan seperti ini, aku berniat akan menikahi Eva bulan depan. Tanpa perlu ijin dari Sintya tentunya, bukankah seorang laki-laki di perbolehkan beristri lebih dari satu.

Akhirnya urusan pekerjaan hari ini selesai. Saatnya aku meluncur ke rumah Eva.

"Mas, aku pulang yah!" sapa Rizal saat kami berpapasan di depan ruanganku.

"Oke, Hati-hati ya!" sahutku. Rizal  berlalu dengan mengacungkan ibu jarinya.

Aku menyalakan mesin motorku, kendaraan yang kumiliki saat ini, sebenarnya sudah lama aku ingin membeli mobil tapi Sintya selalu mencegahku, dengan alasan galeri dan rumahku tidak terlalu jauh, hanya mobil pick up yang terparkir di garasi galeri untuk membawa barang-barang dekorasi ke lokasi. 

Aku berkendara santai menikmati suasana sore hari, rasanya aku ingin segera bertemu dengan Eva pujaan hati. Sore ini rasanya aku malas pulang ke rumah karena sikap Sintya yang sedikit berubah dan cuek, seperti siang tadi saat aku mendengar penuturan dari Hesti kalau Sintya datang, aku bergegas pulang karena aku tak mau dia curiga, bukanya di sambut hangat justru aku di suruh goreng telur sendiri untuk makan siangku.

Tapi biarkan saja lah yang penting dia tidak curiga, aku akan bersenang-senang dengan Eva.

"Assalamualaikum, Eva!" ucapku seraya mengetuk pintu rumah Eva, tak berapa lama suara sahutan terdengar dari dalam.

"W*'alaikumsalam,Mas!" jawabnya dengan senyum manis tersungging di bibirnya.

"Yuk masuk, Sayang!" ajaknya.

"Duduk dulu, Sayang! Aku buatin kopi ya buat kamu," ucapnya lagi lalu melenggang masuk ke dalam.

Aku duduk santai di sofa ruang tamunya. Eva memang tinggal sendirian, kedua orangtuanya tinggal di luar kota. Tanpa terasa aku terlelap, dan di kagetkan saat Eva sudah duduk di sampingku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 150 (ending)

    Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 149

    Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 148

    Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 147

    Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 146

    "Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m

  • Ketulusanku Dibalas Pengkhianatan    Bab 145

    Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status