Share

Keturunan Untuk Suamiku
Keturunan Untuk Suamiku
Author: Aras

BAB 1

Author: Aras
last update Last Updated: 2025-04-27 23:56:11

Matahari belum sepenuhnya condong ke barat, namun Fadilah sudah mengemasi berkas-berkasnya. Rapat siang ini berjalan lancar, dan entah mengapa, bayang-bayang wajah Fahira terus menari di benaknya. Ada kerinduan yang tiba-tiba menyeruak, membuatnya ingin segera pulang dan melihat senyum istrinya.

Dengan ponsel di tangan, Fadil menekan nomor Fahira. Nada sambung berdering beberapa kali sebelum akhirnya terdengar suara lembut di ujung sana.

"Assalamu'alaikum istriku yang cantik," sapa Fadil dengan nada ceria.

"Waalaikumsalam mas," jawab Fahira, terdengar sedikit terengah. "Kamu sudah selesai meeting?" tanyanya, diiringi bunyi denting mangkuk dan sendok.

"Sudah, sepertinya aku pulang cepat karena nanti teman-temanku akan ke rumah. Aku mau bantu kamu untuk persiapkan semuanya. Bagaimana?" tawar Fadil. Ia membayangkan Fahira yang pasti sedang berkutat dengan tepung dan oven.

"Benarkah? Tentu saja boleh, Mas. Aku sedang mencoba resep kue baru. Senang sekali kalau kamu bisa bantu," ujar Fahira, antusiasmenya terasa hingga seberang telepon.

"Baiklah, sayang. Aku segera pulang. Jangan terlalu lelah ya," pesan Fadil lembut.

"Iya, Mas. Hati-hati di jalan," balas Fahira.

Fadil tersenyum lega setelah menutup telepon. Ia jadi tak sabar untuk segera sampai rumah dan melihat Fahira. Selain rindu, ia juga bangga dengan semangat istrinya yang kini tengah menekuni dunia bakery. Ia tahu, di tengah kesepian menanti buah hati, Fahira berusaha mencari kesibukan positif.

Setibanya di rumah, aroma manis langsung menyambut Fadil. Ia melihat Fahira di dapur, wajahnya sedikit berlumuran tepung, namun matanya berbinar penuh semangat. Beberapa loyang kue tampak sudah tertata di meja.

"Wah, aromanya menggoda sekali," puji Fadil sambil menghampiri istrinya dan mengecup keningnya lembut.

Fahira tersenyum bahagia. "Ini kue vanila dengan taburan almond, Mas. Aku sedang mencoba membuatnya lebih lembut dari sebelumnya."

"Pasti enak. Ada yang bisa kubantu?" tanya Fadil, siap menggulung lengan kemejanya.

"Tolong siapkan minuman saja ya, Mas. Aku masih harus membuat beberapa adonan lagi," jawab Fahira sambil kembali fokus pada adonannya.

Fadil dengan senang hati menyiapkan teh hangat dan beberapa camilan ringan. Ia memperhatikan Fahira dengan penuh kasih. Di mata Fadil, Fahira bukan hanya seorang istri yang cantik, tetapi juga wanita hebat yang tak pernah menyerah dalam menghadapi cobaan. Ia berharap, suatu hari nanti, rumah mereka akan semakin ramai dengan kehadiran buah hati, melengkapi kebahagiaan yang kini tengah mereka rajut bersama.

Senja mulai merayap, mewarnai langit Jakarta dengan gradasi jingga dan ungu. Di taman belakang rumah, Fahira dan Fadil bahu-membahu menata meja makan. Taplak putih bersih terhampar, di atasnya tertata rapi piring, gelas, dan alat makan. Beberapa lilin aromaterapi diletakkan di tengah meja, siap menciptakan suasana hangat dan romantis. Lampu-lampu hias kecil dengan cahaya temaram mereka gantungkan di antara pepohonan, menambah kesan magis pada taman yang asri itu.

Saat Fahira sedang membenarkan letak serangkaian bunga di vas, Fadil menghampirinya dari belakang. Lengannya melingkari pinggang ramping istrinya, dan sebuah kecupan lembut mendarat di pipi kanan Fahira.

"Sayang, kamu cantik sekali," bisik Fadil tepat di telinga Fahira, suaranya sarat akan kekaguman.

"Hahaha ih apa sih mas. Malu tau ada bibi," sahut Fahira seraya menggeliat kecil dalam pelukan Fadil. Pipinya merona tipis saat matanya melirik ke arah Bi Ida, asisten rumah tangga mereka, yang tampak sedang membersihkan area kolam renang sambil tersenyum-senyum melihat kemesraan majikannya.

Bi Ida yang menyadari lirikan Fahira, terkekeh pelan. "Udah tuan, nyonya. Anggap saja saya nyamuk di sini. Nggak apa-apa kok," candanya, membuat suasana semakin cair.

Fadil dan Fahira pun tertawa lepas mendengar celotehan Bi Ida. Kehadiran Bi Ida memang seringkali mencairkan suasana di rumah itu. Setelah tawa mereda, mereka kembali fokus pada dekorasi taman, sesekali saling bertukar ide dan senyuman. Kerinduan yang sempat menggelayuti hati Fadil kini terobati dengan kehadiran Fahira di sisinya. Sementara bagi Fahira, perhatian dan kasih sayang Fadil adalah pelipur lara di tengah tekanan yang ia rasakan. Mereka berharap, malam ini akan menjadi malam yang indah, dipenuhi kehangatan dan kebersamaan bersama teman-teman terdekat.

Fahira mengusap tangannya pada celemeknya yang sedikit bertepung. Ia menoleh pada Fadil yang sedang memasang untaian lampu di dahan pohon mangga.

"Kira-kira teman-temanmu kapan datang, Mas? Oh iya," lanjutnya dengan nada sedikit ragu, "kamu sudah coba kuenya? Aku takut nggak enak."

Fadil turun dari tangga kecil yang dipijaknya dan menghampiri Fahira. Ia meraih kedua tangan istrinya dan menatapnya dengan lembut. "Enak kok, Sayang. Sungguh. Aku percaya sama istriku yang paling jago bikin kue sedunia."

Fahira terkekeh mendengar pujian suaminya. "Lebay deh kamu. Masih banyak tahu chef-chef di luar sana yang lebih jago."

Fadil mendekat dan kembali mengecup kening Fahira. "Tapi kan cuma kamu chef yang paling aku cinta," bisiknya dengan senyum jail.

Pipi Fahira kembali merona. Ia memukul pelan lengan Fadil. "Gombal!"

"Beneran, Sayang. Setiap kue yang kamu buat selalu terasa istimewa karena dibuat dengan cinta," balas Fadil, kali ini dengan nada yang lebih serius namun tetap penuh kasih. Ia menggenggam erat tangan Fahira, seolah ingin menyalurkan ketenangan dan keyakinannya pada sang istri.

"Semoga teman-teman kita juga suka ya," gumam Fahira, masih sedikit merasa tidak percaya diri.

"Pasti suka. Mereka tahu seleraku, dan seleraku selalu yang terbaik, yaitu kamu dan semua yang kamu lakukan," jawab Fadil mantap. Ia kembali merangkul Fahira dan menatap taman yang kini semakin cantik dengan hiasan lampu temaram. "Sebentar lagi juga pasti datang. Kamu tenang saja ya."

Fahira menyandarkan kepalanya di bahu Fadil, merasa sedikit lebih tenang mendengar kata-kata suaminya. Kehadiran Fadil memang selalu menjadi sumber kekuatannya, terutama di saat-saat ia merasa ragu dan cemas. Dalam pelukan hangat suaminya, ia berharap malam ini akan berjalan lancar dan kue buatannya akan disukai oleh teman-teman Fadil.

"Mas aku mandi dulu ya. Aku bau telor dan tepung nih. Oh iya, jangan lupa keluarin camilannya ya," ucap Fahira sambil membelai pipi Fadil. Fadil pun mengangguk.

Fahira tersenyum manis pada Fadil sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah. Ia merasa sedikit lebih segar setelah mendengar pujian dan dukungan dari suaminya. Meskipun masih ada sedikit rasa gugup, ia berharap malam ini akan berjalan lancar.

Fadil menghela napas panjang dan menatap ke sekeliling taman. Lampu-lampu hias sudah menyala, menciptakan suasana yang hangat dan romantis. Meja makan tertata rapi dengan lilin-lilin aromaterapi yang mulai dinyalakan. Aroma kue vanila dan teh hangat bercampur menjadi satu, menciptakan suasana yang nyaman dan mengundang.

Fadil tersenyum. Ia bangga dengan Fahira, istrinya yang cantik dan berbakat. Ia yakin, malam ini akan menjadi malam yang indah, dipenuhi kebersamaan dan kebahagiaan bersama teman-teman terdekat mereka. Fadil pun mulai mengeluarkan camilan-camilan yang sudah disiapkan Fahira, menatanya di atas meja, sambil menunggu teman-temannya datang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 40

    Fadil duduk di depan dokter, wajahnya tegang dan lelah. Kantung mata menghitam, dan ia terlihat jauh lebih tua dari usianya. Dokter menghela napas, menatap Fadil dengan sorot mata penuh simpati."Pak Fadil, kami sudah melakukan segala upaya medis," ujar dokter dengan suara pelan dan serius. "Namun, kondisi Bu Fahira... kami menemukan bahwa ada kerusakan otak yang sangat parah. Beliau saat ini dalam kondisi mati otak."Kata-kata "mati otak" menghantam Fadil. Meskipun ia sudah menduganya, mendengar konfirmasi langsung terasa seperti hukuman mati. Air mata yang selama ini ia tahan, kini mendesak keluar."Tidak ada harapan lagi, Dok?" tanya Fadil, suaranya tercekat.Dokter menggeleng pelan. "Secara medis, Pak, fungsi otaknya sudah tidak ada. Kami hanya bisa mempertahankan fungsi organ vitalnya dengan alat. Kami tahu ini sangat berat, tapi... kami menyarankan agar Bapak mengikhlaskan Bu Fahira."Dunia Fadil terasa runtuh. Ia menundukkan kepala, membiarkan air mata membanjiri pipinya. Mengi

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 39

    "Apapun yang terjadi, jangan salahin diri kamu sendiri ya, Sabrina, Istriku," ucap Fadil, suaranya parau namun tegas. Ada kekuatan baru dalam tatapannya. Ia tahu, di tengah semua kehancuran ini, ia harus menjadi sandaran. "Aku mencintai Fahira karena Allah. Dan aku akan berusaha menjalani amanah Fahira untuk menjagamu." Kata-kata Fadil meresap ke dalam hati Sabrina. Sebuah janji yang tak terduga, di tengah duka yang begitu mendalam. Sabrina menatapnya, bingung namun juga merasakan sedikit kehangatan di tengah kehancuran. Fadil kembali berdiri, menarik Sabrina agar bangkit. Ia memeluk Sabrina erat, sebuah pelukan yang bukan lagi penuh konflik, melainkan penuh dukungan dan kepedihan bersama. Di pelukan itu, keduanya berbagi duka atas kehilangan yang baru saja terjadi, dan kesiapan untuk menghadapi masa depan yang kini terasa begitu tak pasti. Hari-hari setelah tragedi itu terasa panjang dan berat. Rutinitas Fadil berubah drastis. Pagi-pagi sekali, ia akan berada di rumah sakit, duduk

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 38

    Setelah makan siang dan percakapan mendalam yang menghangatkan hati, Fahira dan Sabrina memutuskan untuk segera pulang. Tawa kecil masih sesekali terdengar saat mereka berjalan beriringan menuju seberang jalan, di mana mobil yang mereka pesan sudah menunggu.Keduanya berhenti di pinggir jalan, menunggu lampu lalu lintas berubah hijau. Sabrina membungkuk sejenak, membenarkan tali sepatu yang tiba-tiba terasa longgar. Fahira berdiri di sampingnya, melihat sekeliling, memastikan jalan aman.Saat lampu berubah hijau, Fahira melangkah lebih dulu, berniat menyeberang. Namun, dari kejauhan, sebuah mobil melaju kencang, menerobos lampu merah. Suara deru mesinnya memekakkan telinga."Mbak Fahira, awas!" teriak Sabrina, panik, pandangannya terarah pada mobil yang melesat bagai anak panah itu.Terlambat. Dalam sepersekian detik yang terasa abadi, mobil itu melaju tanpa kendali dan menabrak Fahira dengan keras. Tubuh Fahira terpental beberapa meter, lalu tergeletak tak berdaya di aspal. Darah mul

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 37

    Fadil menggenggam tangan Fahira dengan erat. Fahira menatap mata suaminya dengan lembut. "Mas, bagaimanapun Sabrina juga istrimu," ucap Fahira, suaranya dipenuhi ketulusan. "Aku minta maaf kalau aku sempat menginginkan kamu untuk mencintai Sabrina. Tapi aku mohon, Latifah juga butuh sosokmu, Mas. Aku yang sudah mengikhlaskan dia menjadi bagian keluarga ini. Sabrina juga perempuan yang baik."Fadil menundukkan kepalanya, air matanya menetes. Beban di dadanya sedikit terangkat oleh kemuliaan hati Fahira. Fahira tersenyum dan membelai pipi Fadil dengan lembut. "Kamu akan menjadi suami dan ayah yang baik untuk anakku dan anak Sabrina."Fadil mengangkat wajahnya dan menatap Fahira dengan serius. "Maksudmu?""Sabrina... hamil, Mas. Anaknya juga butuh sosok ayahnya. Sebelumnya, kamu pasti mencintainya kan, Mas? Jadi anak yang dikandungnya itu hasil cinta kalian, bukan?" tanya Fahira dengan mata berbinar.Fadil menghela napas dan tertunduk. Ia mengangguk menerima kenyataan. Fadil memeluk Fahi

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 36

    Minggu-minggu berlalu. Rutinitas baru telah terbentuk di rumah. Fadil dan Fahira bolak-balik ke Singapura untuk menjalani serangkaian prosedur IVF. Sementara itu, Sabrina menjalani hari-harinya dalam kesendirian, bekerja dari rumah, sesekali bertukar sapa singkat dengan Fahira, namun nyaris tak pernah berinteraksi dengan Fadil. Sikap dinginnya adalah perisai yang ia kenakan.Namun, sesuatu yang tak terduga mulai terjadi pada Fadil. Awalnya hanya samar, sebuah kerutan kecil di dahinya setiap kali ia melihat Sabrina yang acuh tak acuh. Kemudian, ia mulai merasa aneh saat Sabrina tidak lagi memandangnya. Hati Fadil, yang selama ini begitu teguh pada Fahira, mulai merasakan sedikit gejolak tak biasa. Ada perasaan... kehilangan? Kehilangan perhatian yang dulu ia abaikan. Rasa penasaran muncul, disusul dengan sedikit kekosongan saat Sabrina tak lagi mengganggunya. Fadil mulai menangkap dirinya sendiri melirik Sabrina diam-diam, bertanya-tanya apa yang sedang wanita itu lakukan. Perasaan ini

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 35

    Beberapa hari kemudian, Fadil dan Fahira kembali ke rumah. Mereka disambut suasana yang terasa lebih dingin dari biasanya. Di ruang tengah, Sabrina duduk membaca buku, tampak tenang, seolah tak ada yang terjadi. Ketika Fadil dan Fahira melangkah masuk, tatapan Sabrina sedikit terangkat. Ia melirik Fadil sekilas, namun enggan untuk menyapa. Wajahnya tetap datar, tanpa senyum atau sapaan hangat yang biasa ia paksakan. Ia hanya diam. Mata Sabrina kemudian beralih ke Fahira. Sebuah senyum kecil terukir di bibirnya, senyum tulus yang tidak mencapai matanya saat ia menatap Fadil. Ia bangkit dari duduknya. "Mbak Fahira," sapa Sabrina lembut, mendekati Fahira. "Bagaimana perjalanannya? Ada yang bisa Sabrina bantu?" Tanpa menunggu jawaban Fadil, Sabrina langsung mengambil alih koper Fahira yang tidak terlalu besar. Dengan perlahan dan hati-hati, ia membantu Fahira kembali ke kamarnya, menuntun istrinya itu seolah Fadil tidak ada di sana. Fadil hanya berdiri mematung di ruang tengah, meras

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status