Tak berselang lama, suara deru mobil terdengar dari arah gerbang. Fadil segera bangkit dan berjalan menuju pintu taman. Senyum lebar merekah di wajahnya saat melihat satu per satu mobil memasuki halaman rumahnya. Benar saja, teman-teman dekatnya datang bersama istri dan anak-anak mereka.
"Assalamualaikum!" sapa Fadil dengan suara lantang sambil merangkul satu per satu sahabatnya. "Waalaikumsalam, bro!" jawab mereka serempak, penuh keakraban. Suasana taman yang tadinya tenang seketika menjadi ramai oleh suara tawa anak-anak yang berlarian dan sapaan hangat para istri. Fadil merasa bahagia melihat keakraban yang terjalin di antara mereka. "Fahira mana, Dil?" tanya salah satu teman Fadil, Arya, sambil menggendong putrinya yang menggemaskan. "Sebentar, dia lagi siap-siap di dalam," jawab Fadil. "Ayo masuk dulu, sudah banyak makanan enak menanti kalian." Fadil mempersilakan teman-teman dan keluarga mereka untuk masuk ke taman. Mereka langsung terkesima dengan dekorasi yang indah dan aroma kue yang menggoda. Anak-anak langsung tertarik dengan lampu-lampu hias dan mulai bermain kejar-kejaran di sekitar taman. "Wah, Dil, romantis banget dekorasinya," puji Risa, istri Arya, sambil mengagumi tata letak taman. "Ini semua ide Fahira," jawab Fadil bangga. "Dia memang jagonya menciptakan suasana yang hangat." Saat mereka sedang asyik berbincang, Fahira muncul dari dalam rumah. Ia tampak anggun dengan balutan gaun sederhana namun elegan. Senyum manisnya menyambut kedatangan teman-teman Fadil. "Assalamualaikum semuanya," sapa Fahira ramah. "Waalaikumsalam, Fahira!" jawab mereka serempak. Beberapa istri teman Fadil langsung menghampiri Fahira dan memeluknya erat. "Wah, kamu cantik banget, Fahira! Ini pasti kue buatanmu ya? Aromanya enak sekali," puji Anita, istri dari Bagas. Fahira tersenyum lega mendengar pujian tersebut. "Iya, sedikit mencoba resep baru," jawabnya merendah. Suasana semakin meriah. Anak-anak mulai mencicipi camilan yang tersaji di meja, sementara para orang tua asyik mengobrol dan bercanda. Fadil menatap Fahira dengan tatapan penuh cinta. Melihat istrinya tersenyum bahagia di tengah kehangatan teman-teman mereka, hatinya terasa penuh. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Fadil tak bisa memungkiri ada sedikit rasa nyeri di hatinya saat melihat anak-anak kecil berlarian di taman. Ia dan Fahira juga mendambakan kehadiran buah hati di tengah-tengah mereka. Anita menggenggam tangan Fahira dengan hangat. Senyum tulus terpancar dari wajahnya saat ia mengusap lembut perut Fahira. "Fahira, insyaAllah, kalau Allah berkehendak, Allah akan berikan kamu keturunan yang saleh dan salehah ya. Sabar ya." Kata-kata Anita bagai oase di tengah gurun pasir. Fahira merasakan kehangatan dan ketulusan dalam ucapan sahabatnya itu. Anita memang dikenal sebagai sosok yang agamis dan selalu memberikan dukungan positif kepada Fahira, terutama dalam menghadapi ujian rumah tangganya. Fahira tersenyum haru dan menggenggam balik tangan Anita. "Terima kasih banyak, Nita. Kata-katamu selalu menenangkan hatiku." "Kita semua di sini sayang sama kamu dan Fadil. Kami tahu kalian pasangan yang hebat dan pasti akan diberikan yang terbaik oleh Allah SWT," timpal Risa, istri Arya, sambil mengangguk setuju. Ia ikut merangkul bahu Fahira, memberikan dukungan moril. Bagas, suami Anita, juga ikut menimpali, "Betul kata istriku. Kalian jangan pernah putus asa. Terus berusaha dan berdoa. Kami semua akan selalu ada untuk kalian." Fadil yang sedari tadi memperhatikan interaksi hangat antara Fahira dan teman-teman mereka, ikut tersenyum lega. Ia bersyukur memiliki sahabat-sahabat yang begitu perhatian dan suportif terhadap rumah tangganya. Kata-kata dukungan dari mereka sedikit mengobati luka di hati Fahira akibat tekanan dari ibunya. "Terima kasih banyak ya, teman-teman. Kalian memang yang terbaik," ucap Fadil tulus, merangkul bahu Arya dan Bagas bergantian. Suasana haru seketika mencair kembali dengan celotehan riang anak-anak yang sedang bermain. Mereka kembali menikmati kebersamaan di taman, berbagi cerita, tawa, dan hidangan lezat yang telah disiapkan Fahira. Meskipun belum dikaruniai momongan, Fahira merasa malam itu begitu hangat dan penuh cinta. Kehadiran teman-teman dan dukungan tulus dari mereka memberikan semangat baru bagi Fahira dan Fadil untuk terus menjalani hari-hari dengan sabar dan penuh harapan. Tak lama kemudian, suara mobil lain terdengar memasuki halaman. Kali ini, Fadil dan Fahira melihat kedatangan Diana dan Chandra. Diana, istri Chandra, memang dikenal sebagai sosok yang periang dan mudah bergaul. Namun, sayangnya, ia juga memiliki kebiasaan berbicara tanpaFilter, yang terkadang tanpa disadari dapat menyakiti hati orang lain. Chandra, suaminya, seringkali merasa perlu untuk mengingatkan Diana agar lebih berhati-hati dalam berucap. "Hai semuanya!" sapa Diana dengan suara lantang sambil melambaikan tangan begitu keluar dari mobil. Chandra tampak tersenyum canggung di belakangnya. "Hai, Diana, Chandra! Senang kalian bisa datang," sambut Fadil ramah, berusaha menutupi sedikit kekhawatiran yang selalu muncul setiap kali berinteraksi dengan Diana. Fahira pun ikut menyalami Diana dan Chandra dengan senyum hangat. "Selamat datang, Diana, Chandra." "Wah, Fahira, kamu kelihatan segar banget malam ini! Pasti bahagia ya sebentar lagi ada kabar baik," celetuk Diana sambil menatap perut Fahira dengan tatapan menyelidik. Seketika, suasana sedikit menegang. Fahira hanya bisa tersenyum tipis, berusaha menutupi rasa perih yang tiba-tiba menusuk hatinya. Ia sudah terbiasa dengan komentar-komentar seperti ini dari Diana, namun tetap saja sulit untuk mengabaikannya. Chandra yang menyadari perubahan ekspresi Fahira, langsung menyikut lengan istrinya pelan. "Sayang, jangan ngomong sembarangan," bisiknya memperingatkan. Diana tampak tidak menyadari kesalahannya. "Lho, memangnya kenapa? Kan bagus kalau sebentar lagi hamil. Rumah ini pasti jadi lebih ramai." Fahira menarik napas dalam-dalam dan berusaha menjawab dengan tenang. "Amin. Kami juga berharap begitu, Diana. Mohon doanya saja ya." Anita yang berdiri di dekat Fahira langsung merangkul bahunya, memberikan dukungan diam-diam. Begitu juga dengan Risa yang menatap Diana dengan tatapan kurang setuju. Fadil berusaha mencairkan suasana. "Ayo, Din, Chan, langsung ke taman saja. Sudah banyak makanan enak menanti. Anak-anak juga pasti sudah tidak sabar ingin bermain dengan yang lain." Chandra mengangguk setuju dan segera menarik tangan Diana untuk menjauh dari Fahira. "Iya, Dil. Ayo kita ke taman. Maaf ya, Fahira," bisiknya pelan sebelum mengikuti Fadil. Diana, meskipun sudah ditarik Chandra, masih sempat melirik ke arah Fahira dengan ekspresi bingung. Ia sepertinya benar-benar tidak menyadari bahwa ucapannya telah menyinggung perasaan sahabatnya itu. Fahira menghela napas lagi. Ia sudah belajar untuk bersabar dan memaklumi karakter Diana. Ia tahu, di balik celetukannya yang terkadang menyakitkan, Diana sebenarnya memiliki niat yang baik. Namun, tetap saja, kata-kata seperti itu selalu berhasil mengorek luka lama di hatinya. Ia hanya bisa berharap, suatu hari nanti, ia dan Fadil akan segera diberikan anugerah seorang anak, sehingga tidak ada lagi komentar-komentar serupa yang harus ia dengar.Minggu-minggu berlalu. Rutinitas baru telah terbentuk di rumah. Fadil dan Fahira bolak-balik ke Singapura untuk menjalani serangkaian prosedur IVF. Sementara itu, Sabrina menjalani hari-harinya dalam kesendirian, bekerja dari rumah, sesekali bertukar sapa singkat dengan Fahira, namun nyaris tak pernah berinteraksi dengan Fadil. Sikap dinginnya adalah perisai yang ia kenakan.Namun, sesuatu yang tak terduga mulai terjadi pada Fadil. Awalnya hanya samar, sebuah kerutan kecil di dahinya setiap kali ia melihat Sabrina yang acuh tak acuh. Kemudian, ia mulai merasa aneh saat Sabrina tidak lagi memandangnya. Hati Fadil, yang selama ini begitu teguh pada Fahira, mulai merasakan sedikit gejolak tak biasa. Ada perasaan... kehilangan? Kehilangan perhatian yang dulu ia abaikan. Rasa penasaran muncul, disusul dengan sedikit kekosongan saat Sabrina tak lagi mengganggunya. Fadil mulai menangkap dirinya sendiri melirik Sabrina diam-diam, bertanya-tanya apa yang sedang wanita itu lakukan. Perasaan ini
Beberapa hari kemudian, Fadil dan Fahira kembali ke rumah. Mereka disambut suasana yang terasa lebih dingin dari biasanya. Di ruang tengah, Sabrina duduk membaca buku, tampak tenang, seolah tak ada yang terjadi. Ketika Fadil dan Fahira melangkah masuk, tatapan Sabrina sedikit terangkat. Ia melirik Fadil sekilas, namun enggan untuk menyapa. Wajahnya tetap datar, tanpa senyum atau sapaan hangat yang biasa ia paksakan. Ia hanya diam. Mata Sabrina kemudian beralih ke Fahira. Sebuah senyum kecil terukir di bibirnya, senyum tulus yang tidak mencapai matanya saat ia menatap Fadil. Ia bangkit dari duduknya. "Mbak Fahira," sapa Sabrina lembut, mendekati Fahira. "Bagaimana perjalanannya? Ada yang bisa Sabrina bantu?" Tanpa menunggu jawaban Fadil, Sabrina langsung mengambil alih koper Fahira yang tidak terlalu besar. Dengan perlahan dan hati-hati, ia membantu Fahira kembali ke kamarnya, menuntun istrinya itu seolah Fadil tidak ada di sana. Fadil hanya berdiri mematung di ruang tengah, meras
Sabrina tiba di rumah, disambut sepi. Lampu di beberapa ruangan masih menyala, namun tak ada tanda-tanda kehidupan yang biasa ia lihat. Ia melepas sepatunya di ambang pintu, hatinya terasa kosong."Bi? Pak?" panggil Sabrina, suaranya sedikit bergetar. Ia melihat beberapa asisten rumah tangga sedang merapikan meja makan.Salah satu asisten rumah tangga, Bi Inah, segera mendekat dengan wajah sedikit canggung. "Oh, Non Sabrina sudah pulang. Bapak dan Ibu..." Bi Inah melirik teman-temannya sesaat, seolah mencari dukungan."Ada apa? Fadil dan Fahira di mana?" tanya Sabrina, firasat buruk mulai merayapi hatinya."Bapak dan Ibu sedang ke Singapura, Non," jawab Bi Inah pelan.Mata Sabrina membulat. "Singapura? Untuk apa?""Untuk... perencanaan kehamilan, Non," sahut asisten rumah tangga lainnya, dengan suara hati-hati. "Mereka berangkat sore tadi, mendadak sekali."Dunia Sabrina terasa runtuh untuk kedua kalinya dalam sehari. Perencanaan kehamilan. Kata-kata itu berputar di kepalanya, menusuk
Sabian memecah keheningan, suaranya pelan dan penuh penyesalan. "Kalau saja kamu mau sabar sama aku, mungkin kamu nggak berakhir begini, Sab."Sabrina menatap langit malam, senyum kecil terukir di bibirnya, senyum yang lebih mirip sebuah seringai pahit. Ia tahu Sabian benar. Jika saja ia lebih sabar, jika saja ia tidak menyerah pada LDR, mungkin ia tidak akan terjerat dalam situasi yang begitu menyakitkan ini. Namun, penyesalan selalu datang terlambat."Mungkin," jawab Sabrina pelan, suaranya sarat kepedihan. "Tapi siapa yang tahu, Sean? Hidup selalu penuh dengan 'kalau saja'. Saat itu, aku lelah. Aku kesepian. Aku butuh seseorang di sini, di sampingku."Ia menoleh ke arah Sabian, matanya sendu. "Kamu selalu bilang akan kembali, tapi kapan? Tahun demi tahun berlalu. Aku mencintaimu, Sean, tapi aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Aku butuh kepastian. Aku butuh masa depan yang jelas."Sabrina menghela napas, menatap kembali bintang-bintang yang berkelip. "Aku tahu aku salah
Akhirnya Sabrina pun mencoba menenangkan dirinya dan menceritakan kejadian dari awal hingga akhir. Sabian menghela napas, panjang dan berat. Ia membelai lembut rambut Sabrina. "Sab," ucapnya, suaranya sangat lembut, mencoba membuat Sabrina berpikir jernih. "Kamu bilang ini keterpaksaan. Tapi coba kamu renungkan lagi. Fahira menawarkannya padamu, dan kamu mau." Ia menatap mata Sabrina yang masih sembab. "Kamu mau, Sab, karena memang kamu mencintai Fadil. Bukan karena semata-mata keterpaksaan. Yang pada akhirnya, seharusnya kamu siap menerima risikonya." Sabian mencoba menjelaskan dengan tenang, "Perasaan itu ada, kan? Kamu menyukai dia jauh sebelum semua ini rumit. Dan ketika ada kesempatan, bahkan jika itu datang dari tangan Fahira sendiri, kamu mengambilnya. Itu bukan hanya keterpaksaan, Sab. Itu juga pilihanmu, karena ada perasaan suka di sana." Sabrina terdiam. Kata-kata Sabian menghantamnya telak, jauh lebih telak daripada kemarahan Fadil atau kepedihannya sendiri. Ia menatap
Sore harinya, Sabian sudah menunggu di lobi kantor. Ia berdiri santai, sesekali melirik pintu masuk. Ketika Sabrina muncul, ia tersenyum kecil, namun senyumnya memudar melihat reaksi wanita itu. Sabrina hanya meliriknya sekilas, lalu berjalan cepat, seolah tak peduli dengan keberadaan Sabian yang jelas-jelas menunggunya. Sabian hanya bisa menghela napas, sebuah senyum kecut terukir di bibirnya.Ia tak membiarkan Sabrina pergi begitu saja. Dengan cepat, Sabian melangkah, menarik tangan Sabrina hingga ke mobilnya yang terparkir di depan."Kenapa sih?! Sakit tahu enggak?!" seru Sabrina, mencoba melepaskan tangannya, terkejut dengan tindakan Sabian yang tiba-tiba.Sabian tak melepaskan genggamannya. "Begitukah cara menyapa mantan?" tanyanya, suaranya sedikit terluka. "Bahkan kamu nggak menjawab pernyataan aku. Dan memblokir aku di semua sosmed atau chat. Kenapa?" Ada nada menuntut dalam pertanyaannya, campuran rasa penasaran dan kekecewaan lama.Sabrina menghela napas kasar. Ia menatap Sa