Share

BAB 2

Author: Aras
last update Last Updated: 2025-04-28 00:04:35

Tak berselang lama, suara deru mobil terdengar dari arah gerbang. Fadil segera bangkit dan berjalan menuju pintu taman. Senyum lebar merekah di wajahnya saat melihat satu per satu mobil memasuki halaman rumahnya. Benar saja, teman-teman dekatnya datang bersama istri dan anak-anak mereka.

"Assalamualaikum!" sapa Fadil dengan suara lantang sambil merangkul satu per satu sahabatnya.

"Waalaikumsalam, bro!" jawab mereka serempak, penuh keakraban.

Suasana taman yang tadinya tenang seketika menjadi ramai oleh suara tawa anak-anak yang berlarian dan sapaan hangat para istri. Fadil merasa bahagia melihat keakraban yang terjalin di antara mereka.

"Fahira mana, Dil?" tanya salah satu teman Fadil, Arya, sambil menggendong putrinya yang menggemaskan.

"Sebentar, dia lagi siap-siap di dalam," jawab Fadil. "Ayo masuk dulu, sudah banyak makanan enak menanti kalian."

Fadil mempersilakan teman-teman dan keluarga mereka untuk masuk ke taman. Mereka langsung terkesima dengan dekorasi yang indah dan aroma kue yang menggoda. Anak-anak langsung tertarik dengan lampu-lampu hias dan mulai bermain kejar-kejaran di sekitar taman.

"Wah, Dil, romantis banget dekorasinya," puji Risa, istri Arya, sambil mengagumi tata letak taman.

"Ini semua ide Fahira," jawab Fadil bangga. "Dia memang jagonya menciptakan suasana yang hangat."

Saat mereka sedang asyik berbincang, Fahira muncul dari dalam rumah. Ia tampak anggun dengan balutan gaun sederhana namun elegan. Senyum manisnya menyambut kedatangan teman-teman Fadil.

"Assalamualaikum semuanya," sapa Fahira ramah.

"Waalaikumsalam, Fahira!" jawab mereka serempak. Beberapa istri teman Fadil langsung menghampiri Fahira dan memeluknya erat.

"Wah, kamu cantik banget, Fahira! Ini pasti kue buatanmu ya? Aromanya enak sekali," puji Anita, istri dari Bagas.

Fahira tersenyum lega mendengar pujian tersebut. "Iya, sedikit mencoba resep baru," jawabnya merendah.

Suasana semakin meriah. Anak-anak mulai mencicipi camilan yang tersaji di meja, sementara para orang tua asyik mengobrol dan bercanda. Fadil menatap Fahira dengan tatapan penuh cinta. Melihat istrinya tersenyum bahagia di tengah kehangatan teman-teman mereka, hatinya terasa penuh. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Fadil tak bisa memungkiri ada sedikit rasa nyeri di hatinya saat melihat anak-anak kecil berlarian di taman. Ia dan Fahira juga mendambakan kehadiran buah hati di tengah-tengah mereka.

Anita menggenggam tangan Fahira dengan hangat. Senyum tulus terpancar dari wajahnya saat ia mengusap lembut perut Fahira. "Fahira, insyaAllah, kalau Allah berkehendak, Allah akan berikan kamu keturunan yang saleh dan salehah ya. Sabar ya."

Kata-kata Anita bagai oase di tengah gurun pasir. Fahira merasakan kehangatan dan ketulusan dalam ucapan sahabatnya itu. Anita memang dikenal sebagai sosok yang agamis dan selalu memberikan dukungan positif kepada Fahira, terutama dalam menghadapi ujian rumah tangganya.

Fahira tersenyum haru dan menggenggam balik tangan Anita. "Terima kasih banyak, Nita. Kata-katamu selalu menenangkan hatiku."

"Kita semua di sini sayang sama kamu dan Fadil. Kami tahu kalian pasangan yang hebat dan pasti akan diberikan yang terbaik oleh Allah SWT," timpal Risa, istri Arya, sambil mengangguk setuju. Ia ikut merangkul bahu Fahira, memberikan dukungan moril.

Bagas, suami Anita, juga ikut menimpali, "Betul kata istriku. Kalian jangan pernah putus asa. Terus berusaha dan berdoa. Kami semua akan selalu ada untuk kalian."

Fadil yang sedari tadi memperhatikan interaksi hangat antara Fahira dan teman-teman mereka, ikut tersenyum lega. Ia bersyukur memiliki sahabat-sahabat yang begitu perhatian dan suportif terhadap rumah tangganya. Kata-kata dukungan dari mereka sedikit mengobati luka di hati Fahira akibat tekanan dari ibunya.

"Terima kasih banyak ya, teman-teman. Kalian memang yang terbaik," ucap Fadil tulus, merangkul bahu Arya dan Bagas bergantian.

Suasana haru seketika mencair kembali dengan celotehan riang anak-anak yang sedang bermain. Mereka kembali menikmati kebersamaan di taman, berbagi cerita, tawa, dan hidangan lezat yang telah disiapkan Fahira. Meskipun belum dikaruniai momongan, Fahira merasa malam itu begitu hangat dan penuh cinta. Kehadiran teman-teman dan dukungan tulus dari mereka memberikan semangat baru bagi Fahira dan Fadil untuk terus menjalani hari-hari dengan sabar dan penuh harapan.

Tak lama kemudian, suara mobil lain terdengar memasuki halaman. Kali ini, Fadil dan Fahira melihat kedatangan Diana dan Chandra. Diana, istri Chandra, memang dikenal sebagai sosok yang periang dan mudah bergaul. Namun, sayangnya, ia juga memiliki kebiasaan berbicara tanpaFilter, yang terkadang tanpa disadari dapat menyakiti hati orang lain. Chandra, suaminya, seringkali merasa perlu untuk mengingatkan Diana agar lebih berhati-hati dalam berucap.

"Hai semuanya!" sapa Diana dengan suara lantang sambil melambaikan tangan begitu keluar dari mobil. Chandra tampak tersenyum canggung di belakangnya.

"Hai, Diana, Chandra! Senang kalian bisa datang," sambut Fadil ramah, berusaha menutupi sedikit kekhawatiran yang selalu muncul setiap kali berinteraksi dengan Diana.

Fahira pun ikut menyalami Diana dan Chandra dengan senyum hangat. "Selamat datang, Diana, Chandra."

"Wah, Fahira, kamu kelihatan segar banget malam ini! Pasti bahagia ya sebentar lagi ada kabar baik," celetuk Diana sambil menatap perut Fahira dengan tatapan menyelidik.

Seketika, suasana sedikit menegang. Fahira hanya bisa tersenyum tipis, berusaha menutupi rasa perih yang tiba-tiba menusuk hatinya. Ia sudah terbiasa dengan komentar-komentar seperti ini dari Diana, namun tetap saja sulit untuk mengabaikannya.

Chandra yang menyadari perubahan ekspresi Fahira, langsung menyikut lengan istrinya pelan. "Sayang, jangan ngomong sembarangan," bisiknya memperingatkan.

Diana tampak tidak menyadari kesalahannya. "Lho, memangnya kenapa? Kan bagus kalau sebentar lagi hamil. Rumah ini pasti jadi lebih ramai."

Fahira menarik napas dalam-dalam dan berusaha menjawab dengan tenang. "Amin. Kami juga berharap begitu, Diana. Mohon doanya saja ya."

Anita yang berdiri di dekat Fahira langsung merangkul bahunya, memberikan dukungan diam-diam. Begitu juga dengan Risa yang menatap Diana dengan tatapan kurang setuju.

Fadil berusaha mencairkan suasana. "Ayo, Din, Chan, langsung ke taman saja. Sudah banyak makanan enak menanti. Anak-anak juga pasti sudah tidak sabar ingin bermain dengan yang lain."

Chandra mengangguk setuju dan segera menarik tangan Diana untuk menjauh dari Fahira. "Iya, Dil. Ayo kita ke taman. Maaf ya, Fahira," bisiknya pelan sebelum mengikuti Fadil.

Diana, meskipun sudah ditarik Chandra, masih sempat melirik ke arah Fahira dengan ekspresi bingung. Ia sepertinya benar-benar tidak menyadari bahwa ucapannya telah menyinggung perasaan sahabatnya itu.

Fahira menghela napas lagi. Ia sudah belajar untuk bersabar dan memaklumi karakter Diana. Ia tahu, di balik celetukannya yang terkadang menyakitkan, Diana sebenarnya memiliki niat yang baik. Namun, tetap saja, kata-kata seperti itu selalu berhasil mengorek luka lama di hatinya. Ia hanya bisa berharap, suatu hari nanti, ia dan Fadil akan segera diberikan anugerah seorang anak, sehingga tidak ada lagi komentar-komentar serupa yang harus ia dengar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 14

    Usai makan malam yang diwarnai kehangatan dan sedikit ketegangan, Bu Nika dan Fatah dengan sigap membantu Bi Ida membereskan sisa-sisa hidangan. Sementara itu, Bu Rara sudah berpamitan pulang lebih awal. Di kamar mereka, Fadil dan Fahira khusyuk menunaikan sholat Isya berjamaah, memanjatkan rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan.Di dapur, saat mereka sedang mencuci piring, Fatah menghela napas panjang. "Bun," celetuknya pelan, "kenapa sih mamanya Kak Fadil kayak gitu? Kayak si paling oke aja." Nada bicaranya menunjukkan ketidakmengertian dan sedikit kekesalan.Bu Nika mengusap lembut kepala putranya. "Nak... sudah, kamu jangan bicara seperti itu ya. Mungkin beliau juga khawatir sama Kakakmu dan cucunya. Setiap ibu punya cara sendiri untuk menunjukkan perhatiannya, meskipun terkadang caranya tidak selalu tepat di mata kita." Bu Nika berusaha memberikan pengertian, meskipun ia sendiri juga merasakan sikap kurang menyenangkan dari ibu mertua Fahira. Ia berharap Fatah tidak

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 13

    Sabrina berdiri termenung di balkon vila yang menghadap pemandangan pegunungan Bandung yang asri. Angin sepoi-sepoi menerpa rambutnya yang tergerai. Kamila, sahabatnya sejak kuliah, menghampirinya dengan membawa secangkir teh hangat. "Kenapa, Na? Mikirin Pak Fadil lagi?" tanya Kamila dengan nada sedikit malas, sudah hafal dengan topik yang seringkali memenuhi pikiran sahabatnya itu. Sabrina di luar kantor, menunduk dan menghela napas panjang. "Gue sebenarnya udah interest sama beliau dari sebelum nikah," ujarnya lirih, menerawang jauh. "Dia kan nggak pernah publish siapa perempuan yang lagi dekat sama dia. Tiba-tiba aja dia nikah. Padahal gue udah jadi sekretaris dia udah lama. Gue pikir... ada kesempatan." Nada suaranya terdengar menyesal. Kamila menghela napas dan meletakkan cangkir teh di meja balkon. "Gue ngerti perasaan lo, Na. Nggak enak emang, udah lama suka, eh taunya dia udah punya istri. Tapi sekarang situasinya beda. Pak Fadil udah bahagia sama Mbak Fahira. Udah jelas, N

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 12

    "Sayang, nanti sore aku ada Family Gathering ke Bandung sama rekan kerja aku. Kamu ikut ya?" Ujar Fadil sambil menuangkan air mineral ke gelasnya. Fahira duduk di kursi ruang makan dan mengoleskan selai ke rotinya. "Mas, itu kan acara kamu. Aku nggak akan ikut campur." "Tapi kan 2 hari sayang, nanti kalau mama kesini dan ngerecokin kamu lagi gimana? Mendingan kamu ikut aku aja ya." Fadil mulai memohon dan memeluk leher Fahira dari belakang dan mencium ujung kepala Fahira. "Nih, mas makan dulu. Nanti lapar loh kerjanya." Fahira memberikan roti selai kepada Fadil. Fadil pun menghela nafas. Tiba-tiba Fahira merasa mual dan pusing. "Mas... Kok kepala aku pusing banget ya? Aku... huekk." Fahira berlari ke kamar mandi dan ia muntah-muntah. "Kamu kenapa sayang?" Fadil mengusap punggung Fahira dengan lembut. Fahira masih lemas setelah muntah. Wajahnya pucat dan keringat dingin membasahi dahinya. "Nggak tahu, Mas... tiba-tiba aja perut aku nggak enak banget," jawab Fahira dengan suara le

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 11

    Fadil menghela napas panjang, berusaha meredam gejolak emosi yang masih berkecamuk di dadanya. Ia menangkup wajah Fahira dengan kedua tangannya, menatap matanya dengan lembut namun penuh kesungguhan. "Fahira..." Fadil mulai menurunkan suaranya, berusaha berbicara dengan tenang dan bijak. "Duduklah, Sayang. Kita bicarakan ini baik-baik. Oke?" Ia menuntun Fahira untuk duduk di tepi ranjang, lalu berlutut di hadapannya, menggenggam erat kedua tangan istrinya. "Begini, Sayang. Kamu itu istriku. Kamu yang selalu ada di sampingku, dalam suka maupun duka. Kamu yang selalu mendoakan aku, mendukung setiap langkahku. Aku memang ingin berbakti kepada ibuku, dan aku sudah berusaha untuk bersikap adil. Tapi kamu adalah istriku. Kamu adalah amanah yang Allah titipkan padaku. Kamu yang seharusnya aku lindungi, aku sayangi lebih dari siapapun setelah ibuku." Fadil mengusap lembut punggung tangan Fahira. "Dan seharusnya ibuku lah yang menghargai kamu, Sayang. Karena kamu selalu berusaha menghargai

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 10

    Fahira duduk di sebuah cafe. Jari telunjuknya berputar di bibir cangkir kopi. Ia mengangkat tangan kepada seorang wanita berjilbab dan cantik yang sedang kebingungan mencarinya. Wanita itu segera menghampiri Fahira. Ia menyapa Fahira dengan sopan. "Mbak Fahira, maaf kalau buat mbak menunggu." Ucap wanita itu. Fahira hanya tersenyum dan mempersilahkan wanita itu duduk."Rissa, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan dan sampaikan kepada kamu." Fahira menghela nafas dan menatap Rissa dengan senyuman pahit. Rissa hanya menatap Fahira dengan tatapan yang penuh tanda tanya."Maaf sebelumnya, Ris. Apa kamu sudah punya pacar?" Tanya Fahira dengan suara yang lembut.Rissa menyandarkan punggungnya dan tersenyum, "Belum sih, Mbak. Memangnya ada apa?""Tapi sudah ingin menikah belum?" Tanya Fahira lagi. Suasana cafe yang ramai, kini tampak sepi setelah Rissa mendengar pertanyaan Fahira. "Saya... Mau menjodohkan kamu dengan seseorang. Boleh?" Lanjut Fahira."Sebenarnya, saya menyukai seseorang.

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 9

    Sore hari menjelang senja, setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor, Fadil memutuskan untuk mampir ke rumah ibunya. Ia sengaja membeli beberapa makanan kesukaan ibunya dan sebuah kain batik halus sebagai hadiah kecil. Ia berharap, kehadirannya bisa sedikit menghibur ibunya dan meredakan suasana tegang yang mungkin masih terasa setelah percakapan pagi tadi dengan Fahira.Fadil mengetuk pintu rumah ibunya dengan sopan. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Bu Rara menyambutnya dengan wajah yang tidak terlalu cerah, namun tidak juga terlihat marah."Fadil? Tumben kamu mampir sore-sore begini," kata Bu Rara tanpa senyum, namun mempersilakan anaknya masuk."Iya, Bu. Ini Fadil bawakan makanan kesukaan Ibu. Sama ini, ada sedikit hadiah," jawab Fadil sambil menyerahkan kantong makanan dan bungkusan kain batik kepada ibunya.Bu Rara menerima pemberian anaknya dengan tanpa ekspresi. Ia meletakkan bungkusan batik di meja dan membuka kantong makanan, melihat isinya sekilas. "Terima kasih," uca

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 8

    Raut wajah Fahira berubah sedikit pucat mendengar tuntutan mertuanya. Ia berusaha menjelaskan dengan nada setenang mungkin, meskipun hatinya terasa perih. "Ibu, maaf sekali. Saya tidak bisa minum susu. Dari kecil saya alergi susu. Apalagi susu murni, perut saya langsung sakit dan mual." Ucap Fahira dengan lembut, berharap ibu mertuanya bisa memahami kondisinya.Namun, penjelasan Fahira justru memicu emosi Bu Rara. Matanya memicing tajam menatap menantunya. "Kamu itu manja sekali! Alergi segala! Mau punya anak atau nggak?! Apa kamu sengaja ya nggak mau kasih Fadil anak? Kamu cinta nggak sih sama anak saya, Fahira?" tuduh Bu Rara dengan nada tinggi, suaranya meninggi dan penuh amarah."Ibu!" seru Fahira terkejut mendengar tuduhan yang sama sekali tidak berdasar itu. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Demi Allah, Bu, saya sangat mencintai Mas Fadil. Saya juga sangat ingin punya anak. Kami sudah berusaha berbagai cara. Alergi susu ini bukan kemauan saya, Bu. Saya tidak pernah

  • Keturunan Untuk Suamiku   BAB 7

    Rissa kembali ke mejanya di ruang sekretariat. Ia mendudukkan diri di kursinya dengan lesu. Pikirannya masih tertinggal pada raut wajah tegang Fadil tadi. Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, Rissa sudah lama menyimpan perasaan lebih dari sekadar rekan kerja terhadap Fadil. Ketampanan, karisma, dan kebaikan hati Fadil membuatnya diam-diam mengagumi atasannya itu. Namun, Rissa selalu sadar diri akan status Fadil yang sudah memiliki seorang istri yang sangat dicintainya. Ia berusaha keras untuk menjaga jarak profesional dan memendam perasaannya dalam-dalam.Tiba-tiba, ponsel di mejanya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Rissa meraih ponselnya dan melihat notifikasi dari papanya. Matanya terpaku pada isi pesan singkat itu:"Rissa, papa mau menjodohkan kamu. Besok, ketika kamu libur, kita harus bicarakan ini."Rissa hanya membaca pesan itu melalui notifikasi tanpa membukanya. Ia menghela napas panjang, kali ini bercampur dengan rasa kesal. Dijodohkan? Di zaman sekarang? Pikirannya langsu

  • Keturunan Untuk Suamiku   BAB 6

    Mentari pagi mulai menyinari jalanan Jakarta yang ramai. Fadil duduk di kursi belakang mobil, sesekali memijat keningnya. Semalam, percakapan dengan ibunya kembali mengganggu pikirannya, meskipun ia berusaha untuk tidak menunjukkannya pada Fahira. Tekanan untuk segera memiliki keturunan terus menghantuinya. Pak Aji, sopir setia yang sudah bertahun-tahun mengantarnya, memperhatikan kegelisahan sang majikan dari kaca spion. Ia selalu peka terhadap perubahan suasana hati Fadil. "Masih pagi, Tuan, kok sudah terlihat lesu?" tanya Pak Aji dengan nada ramah sambil melirik ke arah Fadil melalui kaca spion, berusaha mencairkan suasana. Senyum tipis menghiasi wajahnya. Fadil menghela napas pelan dan mencoba membalas senyum Pak Aji. "Ah, nggak apa-apa, Pak Aji. Hanya sedikit kurang tidur saja." Pak Aji terkekeh pelan. "Kurang tidur karena mikirin laporan keuangan kantor yang bikin pusing tujuh keliling, ya Tuan?" tebak Pak Aji sambil melirik kembali ke kaca spion dengan tatapan jenaka. "Atau.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status