Begitu mereka semua duduk di kursi taman yang telah ditata rapi, Diana kembali membuka percakapan dengan nada riang. "Ini syukuran kehamilannya Fahira kan ya?" tanyanya sambil menatap Fahira dengan senyum lebar.
Seketika, keheningan singkat menyelimuti meja makan. Anita yang duduk di samping Fahira menghela napas panjang, berusaha menahan diri. "Ya Allah, Diana, nggak. Ini tuh 10 tahun pernikahan mereka," jawab Anita dengan nada sedikit menekankan setiap kata. Diana hanya menjawab singkat, "Oh," sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dan tetap tersenyum tanpa terlihat merasa bersalah. Chandra yang duduk di samping Diana hanya bisa menghela napas pelan mendengar ucapan polos namun menyakitkan dari istrinya itu. Ia menatap Fahira dengan tatapan penuh maaf. Fahira sendiri hanya bisa tersenyum tipis, berusaha terlihat tegar meskipun hatinya kembali terasa perih. Ia sudah berkali-kali mendengar pertanyaan serupa, dan setiap kali mendengarnya, luka itu seolah kembali terbuka. Namun, di depan teman-temannya, ia berusaha untuk tetap menjaga air matanya agar tidak tumpah. Fadil yang duduk di samping Fahira menggenggam erat tangan istrinya di bawah meja, memberikan dukungan tanpa kata. Ia tahu betul bagaimana perasaan Fahira saat ini. Ia menatap Diana dengan tatapan datar, berharap sahabatnya itu bisa lebih peka terhadap situasi. Suasana kembali menjadi sedikit canggung. Arya mencoba mencairkan suasana dengan bertanya kepada Fadil tentang pekerjaannya. "Gimana proyek kamu yang di Surabaya, Dil? Lancar?" Fadil pun berusaha mengalihkan pembicaraan dan menjawab pertanyaan Arya dengan antusias. Perlahan, obrolan kembali mengalir, meskipun sesekali masih terasa sedikit kaku. Fahira berusaha ikut terlibat dalam percakapan, tersenyum dan menanggapi seperlunya. Dalam hatinya, ia hanya bisa berharap malam ini segera berlalu dan ia bisa kembali beristirahat, menjauh dari pertanyaan-pertanyaan sensitif yang terus menggerogoti hatinya. Dukungan dari Anita, Risa, dan tatapan penuh kasih dari Fadil menjadi satu-satunya hal yang membuatnya tetap bertahan di malam yang seharusnya penuh kebahagiaan itu. Fadil berusaha mengambil alih kendali percakapan, mengalihkan perhatian dari topik sensitif yang baru saja mencuat. Ia mulai berbincang dengan para sahabatnya tentang berbagai topik hangat sambil menikmati kopi yang sudah tersaji. "Eh, katanya ada Bola Indonesia lawan Bahrain ya hari ini?" tanya Arya kepada teman-teman prianya, mencoba memecah keheningan yang sempat tercipta. "Wah, iya! Jam berapa mainnya?" sahut Bagas antusias, tampak tertarik dengan topik sepak bola. "Kayaknya nanti malam deh. Gue belum sempat cek lagi jadwalnya," jawab Arya sambil menyesap kopinya. "Semoga menang ya Indonesia! Sudah lama nih nggak lihat timnas berjaya," timpal Chandra, ikut larut dalam obrolan. Fadil pun ikut menimpali, "Amin! Gue juga berharap banget. Kayaknya seru nih kalau nonton bareng." Obrolan tentang sepak bola pun mengalir dengan seru. Mereka membahas prediksi skor, pemain andalan, dan harapan untuk Timnas Indonesia. Para istri pun sesekali ikut menyimak atau bahkan memberikan komentar ringan. Suasana kembali menjadi lebih santai dan akrab. Fahira merasa sedikit lega melihat perubahan topik pembicaraan. Ia bisa sedikit menarik diri dari sorotan dan menikmati kebersamaan dengan teman-teman mereka tanpa harus merasa tertekan. Ia memperhatikan Fadil yang tampak menikmati obrolan dengan sahabat-sahabatnya. Melihat Fadil bahagia, hatinya pun sedikit terobati. Malam semakin larut, obrolan terus berlanjut dari satu topik ke topik lainnya. Tawa dan canda sesekali pecah di antara mereka. Anak-anak yang tadinya berlarian kini mulai terlihat mengantuk dan beberapa sudah tertidur di pangkuan orang tua mereka. Kehangatan persahabatan dan kebersamaan malam itu terasa begitu kental, seolah mampu mengalahkan rasa canggung dan luka yang sempat hadir. Bagi Fahira, malam itu menjadi pengingat bahwa di tengah sulitnya perjalanan hidup, ia dan Fadil masih dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi dan mendukung mereka. Di tengah obrolan santai, tiba-tiba Diana merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna oranye. Ia menyodorkannya kepada Fahira dengan senyum lebar. "Fahira, ini aku bawakan vitamin D. Katanya bagus banget buat promil. Kamu coba deh!" ujar Diana dengan nada antusias. Fahira menerima botol vitamin itu dengan senyum tulus. Sebenarnya, ia dan Fadil sudah pernah mencoba berbagai macam vitamin dan suplemen untuk program kehamilan mereka, termasuk vitamin D. Namun, ia menghargai niat baik Diana. "Terima kasih banyak ya, Diana. Kamu baik sekali sudah repot-repot membawakan ini," ucap Fahira lembut. "Iya, nggak apa-apa kok, Fahira. Aku cuma pengen kalian segera dapat momongan. Pasti rumah ini jadi lebih seru kalau ada anak kecil," balas Diana tanpa menyadari bahwa ucapannya kembali menyinggung perasaan Fahira. Chandra yang melihat ekspresi kurang nyaman di wajah Fahira kembali menyikut istrinya pelan. Diana tampak tidak menyadarinya dan terus melanjutkan obrolannya dengan yang lain. Fahira menghela napas dalam-dalam. Ia sudah belajar untuk tidak terlalu memasukkan hati setiap ucapan Diana. Ia tahu niat Diana mungkin baik, meskipun caranya terkadang kurang tepat. Yang terpenting baginya adalah dukungan dari Fadil dan teman-teman lainnya yang selalu memberikan semangat dan doa yang tulus. "Nanti aku coba ya, Diana," kata Fahira lagi, berusaha mengakhiri topik tersebut dengan sopan. Ia kemudian meletakkan botol vitamin itu di atas meja. Meskipun ada sedikit rasa perih yang kembali hadir, Fahira berusaha untuk tetap menikmati kebersamaan malam itu. Ia fokus pada obrolan hangat dengan Anita dan Risa, yang selalu memberikan kata-kata yang menenangkan dan penuh harapan. Kehadiran teman-teman dan kasih sayang Fadil adalah sumber kekuatannya dalam menghadapi setiap ujian. Satu per satu keluarga teman-teman Fadil mulai berpamitan untuk pulang. Malam memang sudah semakin larut, dan anak-anak pun sudah banyak yang tertidur pulas. Chandra dan Diana menjadi salah satu pasangan terakhir yang berpamitan. Setelah bersalaman hangat dengan Fadil dan memeluk Fahira, mereka berjalan menuju mobil mereka yang terparkir di halaman rumah. Begitu keduanya sudah berada di dalam mobil, Chandra langsung menghela napas dan menatap istrinya dengan sedikit kesal. "Sayang, kamu tuh bisa nggak sih nge-filter omongan kamu?" tanya Chandra dengan nada lelah. Diana yang baru saja memasang sabuk pengaman menoleh dengan ekspresi bingung. "Lho, emangnya omongan aku apa yang salah?" tanyanya polos, tanpa menyadari bahwa perkataannya tadi telah menyinggung perasaan Fahira. "Sayang," kata Chandra dengan nada lebih lembut, berusaha meredam kekesalannya, "kamu tadi tanya ke Fahira ini syukuran kehamilan, padahal kamu tahu mereka sudah menikah sepuluh tahun dan belum dikaruniai anak. Terus kamu bilang rumah ini pasti lebih seru kalau ada anak kecil. Kamu nggak mikir perasaannya Fahira?" Diana terdiam sejenak, tampak berpikir. Raut bingungnya perlahan berubah menjadi sedikit bersalah. "Oh... iya ya? Aku nggak kepikiran sampai situ," jawabnya lirih, menundukkan kepalanya. "Aku cuma... pengen mereka cepat punya anak, biar kita semua bisa punya teman main untuk anak-anak." Chandra menghela napas lagi, kali ini dengan nada yang lebih lunak. Ia meraih tangan Diana dan menggenggamnya. "Aku tahu maksud kamu baik, Sayang. Tapi, ada hal-hal yang sensitif untuk dibicarakan. Apalagi soal anak, itu bisa jadi hal yang sangat pribadi dan menyakitkan bagi sebagian orang." Diana mendongak menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. "Aku... aku minta maaf ya, Mas. Aku nggak sengaja. Aku memang suka ceplas-ceplos kalau ngomong." "Iya, aku tahu. Makanya, lain kali kamu harus lebih hati-hati ya. Pikirkan dulu sebelum bicara. Kita nggak pernah tahu apa yang sedang dirasakan orang lain," nasihat Chandra dengan lembut. "Iya, Mas. Aku janji, aku akan berusaha lebih baik lagi," jawab Diana sungguh-sungguh. "Kasihan Fahira... pasti dia sedih banget." Chandra mengangguk. "Sudah, lain kali kita lebih perhatikan lagi ya. Sekarang kita pulang saja. Sudah malam." Chandra menyalakan mesin mobil dan meninggalkan halaman rumah Fadil dan Fahira. Di dalam mobil, Diana tampak termenung, mencoba mencerna perkataan suaminya. Ia mulai menyadari bahwa meskipun niatnya baik, caranya menyampaikan sesuatu bisa sangat menyakitkan bagi orang lain. Ia berjanji dalam hati untuk lebih berhati-hati dalam berucap, terutama kepada sahabat-sahabatnya yang sedang berjuang untuk mendapatkan keturunan. Malam itu menjadi pelajaran berharga bagi Diana tentang pentingnya empati dan menjaga perasaan orang lain.Usai makan malam yang diwarnai kehangatan dan sedikit ketegangan, Bu Nika dan Fatah dengan sigap membantu Bi Ida membereskan sisa-sisa hidangan. Sementara itu, Bu Rara sudah berpamitan pulang lebih awal. Di kamar mereka, Fadil dan Fahira khusyuk menunaikan sholat Isya berjamaah, memanjatkan rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan.Di dapur, saat mereka sedang mencuci piring, Fatah menghela napas panjang. "Bun," celetuknya pelan, "kenapa sih mamanya Kak Fadil kayak gitu? Kayak si paling oke aja." Nada bicaranya menunjukkan ketidakmengertian dan sedikit kekesalan.Bu Nika mengusap lembut kepala putranya. "Nak... sudah, kamu jangan bicara seperti itu ya. Mungkin beliau juga khawatir sama Kakakmu dan cucunya. Setiap ibu punya cara sendiri untuk menunjukkan perhatiannya, meskipun terkadang caranya tidak selalu tepat di mata kita." Bu Nika berusaha memberikan pengertian, meskipun ia sendiri juga merasakan sikap kurang menyenangkan dari ibu mertua Fahira. Ia berharap Fatah tidak
Sabrina berdiri termenung di balkon vila yang menghadap pemandangan pegunungan Bandung yang asri. Angin sepoi-sepoi menerpa rambutnya yang tergerai. Kamila, sahabatnya sejak kuliah, menghampirinya dengan membawa secangkir teh hangat. "Kenapa, Na? Mikirin Pak Fadil lagi?" tanya Kamila dengan nada sedikit malas, sudah hafal dengan topik yang seringkali memenuhi pikiran sahabatnya itu. Sabrina di luar kantor, menunduk dan menghela napas panjang. "Gue sebenarnya udah interest sama beliau dari sebelum nikah," ujarnya lirih, menerawang jauh. "Dia kan nggak pernah publish siapa perempuan yang lagi dekat sama dia. Tiba-tiba aja dia nikah. Padahal gue udah jadi sekretaris dia udah lama. Gue pikir... ada kesempatan." Nada suaranya terdengar menyesal. Kamila menghela napas dan meletakkan cangkir teh di meja balkon. "Gue ngerti perasaan lo, Na. Nggak enak emang, udah lama suka, eh taunya dia udah punya istri. Tapi sekarang situasinya beda. Pak Fadil udah bahagia sama Mbak Fahira. Udah jelas, N
"Sayang, nanti sore aku ada Family Gathering ke Bandung sama rekan kerja aku. Kamu ikut ya?" Ujar Fadil sambil menuangkan air mineral ke gelasnya. Fahira duduk di kursi ruang makan dan mengoleskan selai ke rotinya. "Mas, itu kan acara kamu. Aku nggak akan ikut campur." "Tapi kan 2 hari sayang, nanti kalau mama kesini dan ngerecokin kamu lagi gimana? Mendingan kamu ikut aku aja ya." Fadil mulai memohon dan memeluk leher Fahira dari belakang dan mencium ujung kepala Fahira. "Nih, mas makan dulu. Nanti lapar loh kerjanya." Fahira memberikan roti selai kepada Fadil. Fadil pun menghela nafas. Tiba-tiba Fahira merasa mual dan pusing. "Mas... Kok kepala aku pusing banget ya? Aku... huekk." Fahira berlari ke kamar mandi dan ia muntah-muntah. "Kamu kenapa sayang?" Fadil mengusap punggung Fahira dengan lembut. Fahira masih lemas setelah muntah. Wajahnya pucat dan keringat dingin membasahi dahinya. "Nggak tahu, Mas... tiba-tiba aja perut aku nggak enak banget," jawab Fahira dengan suara le
Fadil menghela napas panjang, berusaha meredam gejolak emosi yang masih berkecamuk di dadanya. Ia menangkup wajah Fahira dengan kedua tangannya, menatap matanya dengan lembut namun penuh kesungguhan. "Fahira..." Fadil mulai menurunkan suaranya, berusaha berbicara dengan tenang dan bijak. "Duduklah, Sayang. Kita bicarakan ini baik-baik. Oke?" Ia menuntun Fahira untuk duduk di tepi ranjang, lalu berlutut di hadapannya, menggenggam erat kedua tangan istrinya. "Begini, Sayang. Kamu itu istriku. Kamu yang selalu ada di sampingku, dalam suka maupun duka. Kamu yang selalu mendoakan aku, mendukung setiap langkahku. Aku memang ingin berbakti kepada ibuku, dan aku sudah berusaha untuk bersikap adil. Tapi kamu adalah istriku. Kamu adalah amanah yang Allah titipkan padaku. Kamu yang seharusnya aku lindungi, aku sayangi lebih dari siapapun setelah ibuku." Fadil mengusap lembut punggung tangan Fahira. "Dan seharusnya ibuku lah yang menghargai kamu, Sayang. Karena kamu selalu berusaha menghargai
Fahira duduk di sebuah cafe. Jari telunjuknya berputar di bibir cangkir kopi. Ia mengangkat tangan kepada seorang wanita berjilbab dan cantik yang sedang kebingungan mencarinya. Wanita itu segera menghampiri Fahira. Ia menyapa Fahira dengan sopan. "Mbak Fahira, maaf kalau buat mbak menunggu." Ucap wanita itu. Fahira hanya tersenyum dan mempersilahkan wanita itu duduk."Rissa, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan dan sampaikan kepada kamu." Fahira menghela nafas dan menatap Rissa dengan senyuman pahit. Rissa hanya menatap Fahira dengan tatapan yang penuh tanda tanya."Maaf sebelumnya, Ris. Apa kamu sudah punya pacar?" Tanya Fahira dengan suara yang lembut.Rissa menyandarkan punggungnya dan tersenyum, "Belum sih, Mbak. Memangnya ada apa?""Tapi sudah ingin menikah belum?" Tanya Fahira lagi. Suasana cafe yang ramai, kini tampak sepi setelah Rissa mendengar pertanyaan Fahira. "Saya... Mau menjodohkan kamu dengan seseorang. Boleh?" Lanjut Fahira."Sebenarnya, saya menyukai seseorang.
Sore hari menjelang senja, setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor, Fadil memutuskan untuk mampir ke rumah ibunya. Ia sengaja membeli beberapa makanan kesukaan ibunya dan sebuah kain batik halus sebagai hadiah kecil. Ia berharap, kehadirannya bisa sedikit menghibur ibunya dan meredakan suasana tegang yang mungkin masih terasa setelah percakapan pagi tadi dengan Fahira.Fadil mengetuk pintu rumah ibunya dengan sopan. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Bu Rara menyambutnya dengan wajah yang tidak terlalu cerah, namun tidak juga terlihat marah."Fadil? Tumben kamu mampir sore-sore begini," kata Bu Rara tanpa senyum, namun mempersilakan anaknya masuk."Iya, Bu. Ini Fadil bawakan makanan kesukaan Ibu. Sama ini, ada sedikit hadiah," jawab Fadil sambil menyerahkan kantong makanan dan bungkusan kain batik kepada ibunya.Bu Rara menerima pemberian anaknya dengan tanpa ekspresi. Ia meletakkan bungkusan batik di meja dan membuka kantong makanan, melihat isinya sekilas. "Terima kasih," uca
Raut wajah Fahira berubah sedikit pucat mendengar tuntutan mertuanya. Ia berusaha menjelaskan dengan nada setenang mungkin, meskipun hatinya terasa perih. "Ibu, maaf sekali. Saya tidak bisa minum susu. Dari kecil saya alergi susu. Apalagi susu murni, perut saya langsung sakit dan mual." Ucap Fahira dengan lembut, berharap ibu mertuanya bisa memahami kondisinya.Namun, penjelasan Fahira justru memicu emosi Bu Rara. Matanya memicing tajam menatap menantunya. "Kamu itu manja sekali! Alergi segala! Mau punya anak atau nggak?! Apa kamu sengaja ya nggak mau kasih Fadil anak? Kamu cinta nggak sih sama anak saya, Fahira?" tuduh Bu Rara dengan nada tinggi, suaranya meninggi dan penuh amarah."Ibu!" seru Fahira terkejut mendengar tuduhan yang sama sekali tidak berdasar itu. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Demi Allah, Bu, saya sangat mencintai Mas Fadil. Saya juga sangat ingin punya anak. Kami sudah berusaha berbagai cara. Alergi susu ini bukan kemauan saya, Bu. Saya tidak pernah
Rissa kembali ke mejanya di ruang sekretariat. Ia mendudukkan diri di kursinya dengan lesu. Pikirannya masih tertinggal pada raut wajah tegang Fadil tadi. Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, Rissa sudah lama menyimpan perasaan lebih dari sekadar rekan kerja terhadap Fadil. Ketampanan, karisma, dan kebaikan hati Fadil membuatnya diam-diam mengagumi atasannya itu. Namun, Rissa selalu sadar diri akan status Fadil yang sudah memiliki seorang istri yang sangat dicintainya. Ia berusaha keras untuk menjaga jarak profesional dan memendam perasaannya dalam-dalam.Tiba-tiba, ponsel di mejanya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Rissa meraih ponselnya dan melihat notifikasi dari papanya. Matanya terpaku pada isi pesan singkat itu:"Rissa, papa mau menjodohkan kamu. Besok, ketika kamu libur, kita harus bicarakan ini."Rissa hanya membaca pesan itu melalui notifikasi tanpa membukanya. Ia menghela napas panjang, kali ini bercampur dengan rasa kesal. Dijodohkan? Di zaman sekarang? Pikirannya langsu
Mentari pagi mulai menyinari jalanan Jakarta yang ramai. Fadil duduk di kursi belakang mobil, sesekali memijat keningnya. Semalam, percakapan dengan ibunya kembali mengganggu pikirannya, meskipun ia berusaha untuk tidak menunjukkannya pada Fahira. Tekanan untuk segera memiliki keturunan terus menghantuinya. Pak Aji, sopir setia yang sudah bertahun-tahun mengantarnya, memperhatikan kegelisahan sang majikan dari kaca spion. Ia selalu peka terhadap perubahan suasana hati Fadil. "Masih pagi, Tuan, kok sudah terlihat lesu?" tanya Pak Aji dengan nada ramah sambil melirik ke arah Fadil melalui kaca spion, berusaha mencairkan suasana. Senyum tipis menghiasi wajahnya. Fadil menghela napas pelan dan mencoba membalas senyum Pak Aji. "Ah, nggak apa-apa, Pak Aji. Hanya sedikit kurang tidur saja." Pak Aji terkekeh pelan. "Kurang tidur karena mikirin laporan keuangan kantor yang bikin pusing tujuh keliling, ya Tuan?" tebak Pak Aji sambil melirik kembali ke kaca spion dengan tatapan jenaka. "Atau.