Share

Bab 3

Penulis: Aras
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-28 00:16:44

Begitu mereka semua duduk di kursi taman yang telah ditata rapi, Diana kembali membuka percakapan dengan nada riang. "Ini syukuran kehamilannya Fahira kan ya?" tanyanya sambil menatap Fahira dengan senyum lebar.

Seketika, keheningan singkat menyelimuti meja makan. Anita yang duduk di samping Fahira menghela napas panjang, berusaha menahan diri. "Ya Allah, Diana, nggak. Ini tuh 10 tahun pernikahan mereka," jawab Anita dengan nada sedikit menekankan setiap kata.

Diana hanya menjawab singkat, "Oh," sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dan tetap tersenyum tanpa terlihat merasa bersalah. Chandra yang duduk di samping Diana hanya bisa menghela napas pelan mendengar ucapan polos namun menyakitkan dari istrinya itu. Ia menatap Fahira dengan tatapan penuh maaf.

Fahira sendiri hanya bisa tersenyum tipis, berusaha terlihat tegar meskipun hatinya kembali terasa perih. Ia sudah berkali-kali mendengar pertanyaan serupa, dan setiap kali mendengarnya, luka itu seolah kembali terbuka. Namun, di depan teman-temannya, ia berusaha untuk tetap menjaga air matanya agar tidak tumpah.

Fadil yang duduk di samping Fahira menggenggam erat tangan istrinya di bawah meja, memberikan dukungan tanpa kata. Ia tahu betul bagaimana perasaan Fahira saat ini. Ia menatap Diana dengan tatapan datar, berharap sahabatnya itu bisa lebih peka terhadap situasi.

Suasana kembali menjadi sedikit canggung. Arya mencoba mencairkan suasana dengan bertanya kepada Fadil tentang pekerjaannya. "Gimana proyek kamu yang di Surabaya, Dil? Lancar?"

Fadil pun berusaha mengalihkan pembicaraan dan menjawab pertanyaan Arya dengan antusias. Perlahan, obrolan kembali mengalir, meskipun sesekali masih terasa sedikit kaku. Fahira berusaha ikut terlibat dalam percakapan, tersenyum dan menanggapi seperlunya. Dalam hatinya, ia hanya bisa berharap malam ini segera berlalu dan ia bisa kembali beristirahat, menjauh dari pertanyaan-pertanyaan sensitif yang terus menggerogoti hatinya. Dukungan dari Anita, Risa, dan tatapan penuh kasih dari Fadil menjadi satu-satunya hal yang membuatnya tetap bertahan di malam yang seharusnya penuh kebahagiaan itu.

Fadil berusaha mengambil alih kendali percakapan, mengalihkan perhatian dari topik sensitif yang baru saja mencuat. Ia mulai berbincang dengan para sahabatnya tentang berbagai topik hangat sambil menikmati kopi yang sudah tersaji.

"Eh, katanya ada Bola Indonesia lawan Bahrain ya hari ini?" tanya Arya kepada teman-teman prianya, mencoba memecah keheningan yang sempat tercipta.

"Wah, iya! Jam berapa mainnya?" sahut Bagas antusias, tampak tertarik dengan topik sepak bola.

"Kayaknya nanti malam deh. Gue belum sempat cek lagi jadwalnya," jawab Arya sambil menyesap kopinya.

"Semoga menang ya Indonesia! Sudah lama nih nggak lihat timnas berjaya," timpal Chandra, ikut larut dalam obrolan.

Fadil pun ikut menimpali, "Amin! Gue juga berharap banget. Kayaknya seru nih kalau nonton bareng."

Obrolan tentang sepak bola pun mengalir dengan seru. Mereka membahas prediksi skor, pemain andalan, dan harapan untuk Timnas Indonesia. Para istri pun sesekali ikut menyimak atau bahkan memberikan komentar ringan. Suasana kembali menjadi lebih santai dan akrab.

Fahira merasa sedikit lega melihat perubahan topik pembicaraan. Ia bisa sedikit menarik diri dari sorotan dan menikmati kebersamaan dengan teman-teman mereka tanpa harus merasa tertekan. Ia memperhatikan Fadil yang tampak menikmati obrolan dengan sahabat-sahabatnya. Melihat Fadil bahagia, hatinya pun sedikit terobati.

Malam semakin larut, obrolan terus berlanjut dari satu topik ke topik lainnya. Tawa dan canda sesekali pecah di antara mereka. Anak-anak yang tadinya berlarian kini mulai terlihat mengantuk dan beberapa sudah tertidur di pangkuan orang tua mereka. Kehangatan persahabatan dan kebersamaan malam itu terasa begitu kental, seolah mampu mengalahkan rasa canggung dan luka yang sempat hadir. Bagi Fahira, malam itu menjadi pengingat bahwa di tengah sulitnya perjalanan hidup, ia dan Fadil masih dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi dan mendukung mereka.

Di tengah obrolan santai, tiba-tiba Diana merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna oranye. Ia menyodorkannya kepada Fahira dengan senyum lebar.

"Fahira, ini aku bawakan vitamin D. Katanya bagus banget buat promil. Kamu coba deh!" ujar Diana dengan nada antusias.

Fahira menerima botol vitamin itu dengan senyum tulus. Sebenarnya, ia dan Fadil sudah pernah mencoba berbagai macam vitamin dan suplemen untuk program kehamilan mereka, termasuk vitamin D. Namun, ia menghargai niat baik Diana.

"Terima kasih banyak ya, Diana. Kamu baik sekali sudah repot-repot membawakan ini," ucap Fahira lembut.

"Iya, nggak apa-apa kok, Fahira. Aku cuma pengen kalian segera dapat momongan. Pasti rumah ini jadi lebih seru kalau ada anak kecil," balas Diana tanpa menyadari bahwa ucapannya kembali menyinggung perasaan Fahira.

Chandra yang melihat ekspresi kurang nyaman di wajah Fahira kembali menyikut istrinya pelan. Diana tampak tidak menyadarinya dan terus melanjutkan obrolannya dengan yang lain.

Fahira menghela napas dalam-dalam. Ia sudah belajar untuk tidak terlalu memasukkan hati setiap ucapan Diana. Ia tahu niat Diana mungkin baik, meskipun caranya terkadang kurang tepat. Yang terpenting baginya adalah dukungan dari Fadil dan teman-teman lainnya yang selalu memberikan semangat dan doa yang tulus.

"Nanti aku coba ya, Diana," kata Fahira lagi, berusaha mengakhiri topik tersebut dengan sopan. Ia kemudian meletakkan botol vitamin itu di atas meja.

Meskipun ada sedikit rasa perih yang kembali hadir, Fahira berusaha untuk tetap menikmati kebersamaan malam itu. Ia fokus pada obrolan hangat dengan Anita dan Risa, yang selalu memberikan kata-kata yang menenangkan dan penuh harapan. Kehadiran teman-teman dan kasih sayang Fadil adalah sumber kekuatannya dalam menghadapi setiap ujian.

Satu per satu keluarga teman-teman Fadil mulai berpamitan untuk pulang. Malam memang sudah semakin larut, dan anak-anak pun sudah banyak yang tertidur pulas. Chandra dan Diana menjadi salah satu pasangan terakhir yang berpamitan.

Setelah bersalaman hangat dengan Fadil dan memeluk Fahira, mereka berjalan menuju mobil mereka yang terparkir di halaman rumah. Begitu keduanya sudah berada di dalam mobil, Chandra langsung menghela napas dan menatap istrinya dengan sedikit kesal.

"Sayang, kamu tuh bisa nggak sih nge-filter omongan kamu?" tanya Chandra dengan nada lelah.

Diana yang baru saja memasang sabuk pengaman menoleh dengan ekspresi bingung. "Lho, emangnya omongan aku apa yang salah?" tanyanya polos, tanpa menyadari bahwa perkataannya tadi telah menyinggung perasaan Fahira.

"Sayang," kata Chandra dengan nada lebih lembut, berusaha meredam kekesalannya, "kamu tadi tanya ke Fahira ini syukuran kehamilan, padahal kamu tahu mereka sudah menikah sepuluh tahun dan belum dikaruniai anak. Terus kamu bilang rumah ini pasti lebih seru kalau ada anak kecil. Kamu nggak mikir perasaannya Fahira?"

Diana terdiam sejenak, tampak berpikir. Raut bingungnya perlahan berubah menjadi sedikit bersalah. "Oh... iya ya? Aku nggak kepikiran sampai situ," jawabnya lirih, menundukkan kepalanya. "Aku cuma... pengen mereka cepat punya anak, biar kita semua bisa punya teman main untuk anak-anak."

Chandra menghela napas lagi, kali ini dengan nada yang lebih lunak. Ia meraih tangan Diana dan menggenggamnya. "Aku tahu maksud kamu baik, Sayang. Tapi, ada hal-hal yang sensitif untuk dibicarakan. Apalagi soal anak, itu bisa jadi hal yang sangat pribadi dan menyakitkan bagi sebagian orang."

Diana mendongak menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. "Aku... aku minta maaf ya, Mas. Aku nggak sengaja. Aku memang suka ceplas-ceplos kalau ngomong."

"Iya, aku tahu. Makanya, lain kali kamu harus lebih hati-hati ya. Pikirkan dulu sebelum bicara. Kita nggak pernah tahu apa yang sedang dirasakan orang lain," nasihat Chandra dengan lembut.

"Iya, Mas. Aku janji, aku akan berusaha lebih baik lagi," jawab Diana sungguh-sungguh. "Kasihan Fahira... pasti dia sedih banget."

Chandra mengangguk. "Sudah, lain kali kita lebih perhatikan lagi ya. Sekarang kita pulang saja. Sudah malam."

Chandra menyalakan mesin mobil dan meninggalkan halaman rumah Fadil dan Fahira. Di dalam mobil, Diana tampak termenung, mencoba mencerna perkataan suaminya. Ia mulai menyadari bahwa meskipun niatnya baik, caranya menyampaikan sesuatu bisa sangat menyakitkan bagi orang lain. Ia berjanji dalam hati untuk lebih berhati-hati dalam berucap, terutama kepada sahabat-sahabatnya yang sedang berjuang untuk mendapatkan keturunan. Malam itu menjadi pelajaran berharga bagi Diana tentang pentingnya empati dan menjaga perasaan orang lain.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 36

    Minggu-minggu berlalu. Rutinitas baru telah terbentuk di rumah. Fadil dan Fahira bolak-balik ke Singapura untuk menjalani serangkaian prosedur IVF. Sementara itu, Sabrina menjalani hari-harinya dalam kesendirian, bekerja dari rumah, sesekali bertukar sapa singkat dengan Fahira, namun nyaris tak pernah berinteraksi dengan Fadil. Sikap dinginnya adalah perisai yang ia kenakan.Namun, sesuatu yang tak terduga mulai terjadi pada Fadil. Awalnya hanya samar, sebuah kerutan kecil di dahinya setiap kali ia melihat Sabrina yang acuh tak acuh. Kemudian, ia mulai merasa aneh saat Sabrina tidak lagi memandangnya. Hati Fadil, yang selama ini begitu teguh pada Fahira, mulai merasakan sedikit gejolak tak biasa. Ada perasaan... kehilangan? Kehilangan perhatian yang dulu ia abaikan. Rasa penasaran muncul, disusul dengan sedikit kekosongan saat Sabrina tak lagi mengganggunya. Fadil mulai menangkap dirinya sendiri melirik Sabrina diam-diam, bertanya-tanya apa yang sedang wanita itu lakukan. Perasaan ini

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 35

    Beberapa hari kemudian, Fadil dan Fahira kembali ke rumah. Mereka disambut suasana yang terasa lebih dingin dari biasanya. Di ruang tengah, Sabrina duduk membaca buku, tampak tenang, seolah tak ada yang terjadi. Ketika Fadil dan Fahira melangkah masuk, tatapan Sabrina sedikit terangkat. Ia melirik Fadil sekilas, namun enggan untuk menyapa. Wajahnya tetap datar, tanpa senyum atau sapaan hangat yang biasa ia paksakan. Ia hanya diam. Mata Sabrina kemudian beralih ke Fahira. Sebuah senyum kecil terukir di bibirnya, senyum tulus yang tidak mencapai matanya saat ia menatap Fadil. Ia bangkit dari duduknya. "Mbak Fahira," sapa Sabrina lembut, mendekati Fahira. "Bagaimana perjalanannya? Ada yang bisa Sabrina bantu?" Tanpa menunggu jawaban Fadil, Sabrina langsung mengambil alih koper Fahira yang tidak terlalu besar. Dengan perlahan dan hati-hati, ia membantu Fahira kembali ke kamarnya, menuntun istrinya itu seolah Fadil tidak ada di sana. Fadil hanya berdiri mematung di ruang tengah, meras

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 34

    Sabrina tiba di rumah, disambut sepi. Lampu di beberapa ruangan masih menyala, namun tak ada tanda-tanda kehidupan yang biasa ia lihat. Ia melepas sepatunya di ambang pintu, hatinya terasa kosong."Bi? Pak?" panggil Sabrina, suaranya sedikit bergetar. Ia melihat beberapa asisten rumah tangga sedang merapikan meja makan.Salah satu asisten rumah tangga, Bi Inah, segera mendekat dengan wajah sedikit canggung. "Oh, Non Sabrina sudah pulang. Bapak dan Ibu..." Bi Inah melirik teman-temannya sesaat, seolah mencari dukungan."Ada apa? Fadil dan Fahira di mana?" tanya Sabrina, firasat buruk mulai merayapi hatinya."Bapak dan Ibu sedang ke Singapura, Non," jawab Bi Inah pelan.Mata Sabrina membulat. "Singapura? Untuk apa?""Untuk... perencanaan kehamilan, Non," sahut asisten rumah tangga lainnya, dengan suara hati-hati. "Mereka berangkat sore tadi, mendadak sekali."Dunia Sabrina terasa runtuh untuk kedua kalinya dalam sehari. Perencanaan kehamilan. Kata-kata itu berputar di kepalanya, menusuk

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 33

    Sabian memecah keheningan, suaranya pelan dan penuh penyesalan. "Kalau saja kamu mau sabar sama aku, mungkin kamu nggak berakhir begini, Sab."Sabrina menatap langit malam, senyum kecil terukir di bibirnya, senyum yang lebih mirip sebuah seringai pahit. Ia tahu Sabian benar. Jika saja ia lebih sabar, jika saja ia tidak menyerah pada LDR, mungkin ia tidak akan terjerat dalam situasi yang begitu menyakitkan ini. Namun, penyesalan selalu datang terlambat."Mungkin," jawab Sabrina pelan, suaranya sarat kepedihan. "Tapi siapa yang tahu, Sean? Hidup selalu penuh dengan 'kalau saja'. Saat itu, aku lelah. Aku kesepian. Aku butuh seseorang di sini, di sampingku."Ia menoleh ke arah Sabian, matanya sendu. "Kamu selalu bilang akan kembali, tapi kapan? Tahun demi tahun berlalu. Aku mencintaimu, Sean, tapi aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Aku butuh kepastian. Aku butuh masa depan yang jelas."Sabrina menghela napas, menatap kembali bintang-bintang yang berkelip. "Aku tahu aku salah

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 32

    Akhirnya Sabrina pun mencoba menenangkan dirinya dan menceritakan kejadian dari awal hingga akhir. Sabian menghela napas, panjang dan berat. Ia membelai lembut rambut Sabrina. "Sab," ucapnya, suaranya sangat lembut, mencoba membuat Sabrina berpikir jernih. "Kamu bilang ini keterpaksaan. Tapi coba kamu renungkan lagi. Fahira menawarkannya padamu, dan kamu mau." Ia menatap mata Sabrina yang masih sembab. "Kamu mau, Sab, karena memang kamu mencintai Fadil. Bukan karena semata-mata keterpaksaan. Yang pada akhirnya, seharusnya kamu siap menerima risikonya." Sabian mencoba menjelaskan dengan tenang, "Perasaan itu ada, kan? Kamu menyukai dia jauh sebelum semua ini rumit. Dan ketika ada kesempatan, bahkan jika itu datang dari tangan Fahira sendiri, kamu mengambilnya. Itu bukan hanya keterpaksaan, Sab. Itu juga pilihanmu, karena ada perasaan suka di sana." Sabrina terdiam. Kata-kata Sabian menghantamnya telak, jauh lebih telak daripada kemarahan Fadil atau kepedihannya sendiri. Ia menatap

  • Keturunan Untuk Suamiku   Bab 31

    Sore harinya, Sabian sudah menunggu di lobi kantor. Ia berdiri santai, sesekali melirik pintu masuk. Ketika Sabrina muncul, ia tersenyum kecil, namun senyumnya memudar melihat reaksi wanita itu. Sabrina hanya meliriknya sekilas, lalu berjalan cepat, seolah tak peduli dengan keberadaan Sabian yang jelas-jelas menunggunya. Sabian hanya bisa menghela napas, sebuah senyum kecut terukir di bibirnya.Ia tak membiarkan Sabrina pergi begitu saja. Dengan cepat, Sabian melangkah, menarik tangan Sabrina hingga ke mobilnya yang terparkir di depan."Kenapa sih?! Sakit tahu enggak?!" seru Sabrina, mencoba melepaskan tangannya, terkejut dengan tindakan Sabian yang tiba-tiba.Sabian tak melepaskan genggamannya. "Begitukah cara menyapa mantan?" tanyanya, suaranya sedikit terluka. "Bahkan kamu nggak menjawab pernyataan aku. Dan memblokir aku di semua sosmed atau chat. Kenapa?" Ada nada menuntut dalam pertanyaannya, campuran rasa penasaran dan kekecewaan lama.Sabrina menghela napas kasar. Ia menatap Sa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status