Fahira meletakkan botol vitamin D pemberian Diana di atas nakas samping tempat tidur. Ia menatap botol itu sejenak, kemudian menghela napas pelan. Meskipun ia menghargai niat baik Diana, tetap saja ucapan sahabatnya itu sedikit mengusik ketenangannya.
Fadil yang melihat raut wajah istrinya yang sedikit murung menghampirinya dan menggenggam tangannya dengan lembut. "Sayang," panggil Fadil dengan suara penuh kasih. "Mau aku buatkan spaghetti? Aku baru nemu resep enak Spaghetti Aglio Olio. Kamu kan suka." Fadil berusaha menghibur dan mengalihkan kesedihan yang ia tahu sedang dirasakan Fahira. Ia mengerti betul betapa sensitifnya topik tentang anak bagi istrinya. Masakan adalah salah satu cara Fadil menunjukkan perhatian dan cintanya kepada Fahira. Ia berharap, aroma gurih dan rasa pedas gurih dari spaghetti aglio olio kesukaan Fahira bisa sedikit menghangatkan hatinya. Fahira menoleh dan menatap mata Fadil yang penuh dengan perhatian. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Boleh, Mas. Terima kasih," jawabnya lembut. Ia merasa beruntung memiliki suami yang selalu peka terhadap perasaannya dan selalu berusaha membuatnya merasa lebih baik. "Ya sudah, kamu istirahat sebentar ya. Aku ke dapur," kata Fadil sambil mengecup kening Fahira. Ia kemudian beranjak menuju dapur, meninggalkan Fahira yang kini berbaring di tempat tidur. Sambil menunggu Fadil menyiapkan makan malam, Fahira kembali memikirkan ucapan Diana. Meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, tetap saja ada sedikit rasa kecewa dan sedih yang mengendap di hatinya. Namun, ia segera menepis pikiran-pikiran negatif itu. Ia memilih untuk fokus pada kebaikan teman-temannya yang lain dan terutama pada cinta dan dukungan tanpa syarat dari Fadil. Ia percaya, suatu saat nanti, kebahagiaan yang sesungguhnya akan datang menghampiri mereka. Untuk saat ini, ia akan menikmati setiap momen kebersamaan dengan suaminya dan terus berusaha serta berdoa. Saat Fadil sedang sibuk memotong bawang putih dan cabai di dapur, ponselnya berdering. Ia melihat nama "Ibu" tertera di layar. Fadil menghela napas pelan sebelum mengangkat teleponnya. Ia tahu, ibunya pasti akan menanyakan hal yang sama lagi. "Assalamualaikum, Ibu," sapa Fadil dengan nada lembut. "Waalaikumsalam, Fadil. Kamu lagi di mana? Kok lama angkatnya?" tanya ibunya dari seberang sana. "Lagi di dapur, Bu. Mau masak spaghetti buat Fahira," jawab Fadil. "Oh, masak lagi? Kamu ini terlalu memanjakan Fahira. Seharusnya dia yang masak buat kamu. Kamu kan capek kerja," kata ibunya dengan nada sedikit menyindir. Fadil mencoba bersabar. "Ibu, Fahira juga capek. Dia kan seharian bikin kue buat teman-teman. Lagipula, saya senang masak buat dia." "Alasan saja kamu ini. Ibu itu cuma kasihan sama kamu. Sudah sepuluh tahun menikah, belum juga dikasih cucu. Kamu nggak kasihan sama Ibu?" suara ibunya terdengar semakin menekan. Fadil menghela napas lagi. Ia tahu, ibunya tidak akan pernah berhenti menanyakan soal keturunan. "Bu, kami sudah berusaha. Kami juga ingin punya anak. Tapi, semua kan ada waktunya," jawab Fadil berusaha menahan emosinya. "Waktunya? Sampai kapan? Ibu sudah tua, Dil. Ibu ingin menimang cucu sebelum Ibu meninggal," kata ibunya dengan nada dramatis. Fadil terdiam sejenak. Ia merasa lelah dengan tekanan yang terus menerus diberikan ibunya. "Bu, tolong jangan bahas ini lagi. Saya sedang tidak ingin berdebat," ucap Fadil akhirnya. "Kamu ini selalu begitu. Kalau Ibu bicara soal cucu, kamu selalu menghindar. Kamu nggak sayang sama Ibu?" "Saya sayang sama Ibu. Tapi, tolong mengerti perasaan kami. Kami juga sedih belum punya anak," jawab Fadil dengan suara lirih. "Ya sudah, terserah kamu. Ibu cuma bisa berdoa semoga kalian cepat sadar dan berusaha lebih keras lagi," kata ibunya dengan nada sinis sebelum mengakhiri panggilan. Fadil menghela napas panjang dan meletakkan ponselnya di atas meja dapur. Ia merasa lelah dan frustrasi. Tekanan dari ibunya selalu menjadi beban tambahan dalam perjuangan mereka. Ia memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan diri. Kemudian, ia kembali melanjutkan memasak, berusaha mengalihkan pikirannya dari percakapan yang baru saja terjadi. Ia tahu, Fahira pasti sedang menunggu makan malam buatannya. Ia ingin, setidaknya, ia bisa memberikan kebahagiaan kecil bagi istrinya di tengah tekanan yang mereka hadapi. Fahira yang tadinya berbaring di kamar, tanpa sengaja mendengar percakapan Fadil dengan ibunya. Setiap kata yang terlontar dari seberang telepon bagai anak panah yang menghujam hatinya. Ia merasakan nyeri yang sama seperti yang dirasakan Fadil. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah juga. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan isakan agar tidak terdengar oleh Fadil. Setelah ibunda Fadil mengakhiri panggilan, Fahira mengusap air matanya dengan kasar. Ia tidak ingin Fadil melihatnya bersedih. Ia tahu, suaminya itu juga sedang berusaha tegar menghadapi tekanan dari ibunya. Dengan langkah pelan, ia menuruni tangga, berusaha menyembunyikan jejak air mata di wajahnya. Aroma gurih dan harum dari masakan Fadil langsung menyambutnya begitu sampai di dekat dapur. Ia melihat Fadil sedang menata spaghetti di atas piring. Senyum tipis ia paksakan. "Mas," panggil Fahira dengan suara sedikit serak. Fadil menoleh dan langsung menghampiri istrinya. Ia menyadari mata Fahira yang sedikit sembap. "Sayang, kamu kenapa? Kamu dengar?" tanyanya khawatir sambil menggenggam kedua tangan Fahira. Fahira menggeleng pelan, berusaha menyangkal. "Nggak kok, Mas. Aku baru bangun. Baunya enak sekali. Aku suka sekali masakan Mas," puji Fahira, berusaha mengalihkan perhatian Fadil sambil memaksakan senyum yang lebih lebar. Fadil menatap mata Fahira dengan tatapan menyelidik. Ia tahu istrinya berbohong. Namun, ia memilih untuk tidak memaksa Fahira bercerita. Ia mengerti, terkadang Fahira hanya butuh waktu untuk memproses perasaannya sendiri. "Syukurlah kalau kamu suka. Ini sudah siap. Kita makan di taman ya? Udara malam ini sejuk," ajak Fadil lembut sambil merangkul bahu Fahira. Fahira mengangguk dan menyandarkan kepalanya di bahu Fadil. Ia merasa sedikit lebih tenang berada di dekat suaminya. Meskipun hatinya masih terasa perih, ia bersyukur memiliki Fadil yang selalu ada untuknya, melindunginya dari kerasnya kenyataan dan tekanan dari luar. Malam ini, ia hanya ingin menikmati kebersamaan dengan suaminya, melupakan sejenak beban pikiran yang menghantuinya. Fahira duduk di salah satu kursi bar di dapur, menatap lekat wajah tampan Fadil yang sedang menuangkan spaghetti ke piringnya. Cahaya lampu dapur yang temaram menerangi setiap lekuk wajah suaminya, membuatnya terlihat begitu teduh dan penuh kasih. Namun, di balik ketenangan itu, Fahira menyimpan kegelisahan yang mendalam. Pertanyaan yang selama ini menghantuinya akhirnya ia lontarkan. "Mas," panggil Fahira pelan, suaranya sedikit bergetar. Fadil yang sedang fokus dengan makanannya mendongak menatap istrinya. "Kalau semisal sampai tua aku nggak bisa kasih kamu anak. Apa kamu akan meninggalkan aku?" Fadil terdiam sejenak, meletakkan sendok yang dipegangnya. Ia menatap mata Fahira lekat-lekat, mencari tahu keseriusan dan ketakutan yang tersembunyi di balik pertanyaan itu. Ia menghela napas pelan sebelum menjawab, berusaha merangkai kata-kata yang bisa menenangkan hati istrinya. "Sayang," kata Fadil lembut, menghampiri Fahira dan berlutut di hadapannya, menggenggam kedua tangannya erat. "Dengar aku baik-baik. Menikah denganmu adalah keputusan terbaik dalam hidupku. Kebahagiaanku bukan hanya tentang memiliki anak, meskipun aku tidak memungkiri aku juga sangat mendambakannya." Fadil menatap mata Fahira dengan penuh cinta. "Bagiku, kamu adalah segalanya. Kamu adalah istriku, sahabatku, belahan jiwaku. Kita sudah melewati banyak hal bersama selama sepuluh tahun ini. Suka, duka, tawa, dan air mata. Semua itu semakin menguatkan ikatan cinta kita." Ia mengusap lembut pipi Fahira. "Jika memang takdir berkata kita tidak dikaruniai anak, aku akan tetap bersamamu. Cinta dan kasih sayangku padamu tidak akan pernah berkurang hanya karena itu. Kita bisa mencari kebahagiaan dengan cara lain. Kita bisa saling menyayangi, mendukung impian masing-masing, dan mengisi hari-hari kita dengan cinta dan kebersamaan."Usai makan malam yang diwarnai kehangatan dan sedikit ketegangan, Bu Nika dan Fatah dengan sigap membantu Bi Ida membereskan sisa-sisa hidangan. Sementara itu, Bu Rara sudah berpamitan pulang lebih awal. Di kamar mereka, Fadil dan Fahira khusyuk menunaikan sholat Isya berjamaah, memanjatkan rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan.Di dapur, saat mereka sedang mencuci piring, Fatah menghela napas panjang. "Bun," celetuknya pelan, "kenapa sih mamanya Kak Fadil kayak gitu? Kayak si paling oke aja." Nada bicaranya menunjukkan ketidakmengertian dan sedikit kekesalan.Bu Nika mengusap lembut kepala putranya. "Nak... sudah, kamu jangan bicara seperti itu ya. Mungkin beliau juga khawatir sama Kakakmu dan cucunya. Setiap ibu punya cara sendiri untuk menunjukkan perhatiannya, meskipun terkadang caranya tidak selalu tepat di mata kita." Bu Nika berusaha memberikan pengertian, meskipun ia sendiri juga merasakan sikap kurang menyenangkan dari ibu mertua Fahira. Ia berharap Fatah tidak
Sabrina berdiri termenung di balkon vila yang menghadap pemandangan pegunungan Bandung yang asri. Angin sepoi-sepoi menerpa rambutnya yang tergerai. Kamila, sahabatnya sejak kuliah, menghampirinya dengan membawa secangkir teh hangat. "Kenapa, Na? Mikirin Pak Fadil lagi?" tanya Kamila dengan nada sedikit malas, sudah hafal dengan topik yang seringkali memenuhi pikiran sahabatnya itu. Sabrina di luar kantor, menunduk dan menghela napas panjang. "Gue sebenarnya udah interest sama beliau dari sebelum nikah," ujarnya lirih, menerawang jauh. "Dia kan nggak pernah publish siapa perempuan yang lagi dekat sama dia. Tiba-tiba aja dia nikah. Padahal gue udah jadi sekretaris dia udah lama. Gue pikir... ada kesempatan." Nada suaranya terdengar menyesal. Kamila menghela napas dan meletakkan cangkir teh di meja balkon. "Gue ngerti perasaan lo, Na. Nggak enak emang, udah lama suka, eh taunya dia udah punya istri. Tapi sekarang situasinya beda. Pak Fadil udah bahagia sama Mbak Fahira. Udah jelas, N
"Sayang, nanti sore aku ada Family Gathering ke Bandung sama rekan kerja aku. Kamu ikut ya?" Ujar Fadil sambil menuangkan air mineral ke gelasnya. Fahira duduk di kursi ruang makan dan mengoleskan selai ke rotinya. "Mas, itu kan acara kamu. Aku nggak akan ikut campur." "Tapi kan 2 hari sayang, nanti kalau mama kesini dan ngerecokin kamu lagi gimana? Mendingan kamu ikut aku aja ya." Fadil mulai memohon dan memeluk leher Fahira dari belakang dan mencium ujung kepala Fahira. "Nih, mas makan dulu. Nanti lapar loh kerjanya." Fahira memberikan roti selai kepada Fadil. Fadil pun menghela nafas. Tiba-tiba Fahira merasa mual dan pusing. "Mas... Kok kepala aku pusing banget ya? Aku... huekk." Fahira berlari ke kamar mandi dan ia muntah-muntah. "Kamu kenapa sayang?" Fadil mengusap punggung Fahira dengan lembut. Fahira masih lemas setelah muntah. Wajahnya pucat dan keringat dingin membasahi dahinya. "Nggak tahu, Mas... tiba-tiba aja perut aku nggak enak banget," jawab Fahira dengan suara le
Fadil menghela napas panjang, berusaha meredam gejolak emosi yang masih berkecamuk di dadanya. Ia menangkup wajah Fahira dengan kedua tangannya, menatap matanya dengan lembut namun penuh kesungguhan. "Fahira..." Fadil mulai menurunkan suaranya, berusaha berbicara dengan tenang dan bijak. "Duduklah, Sayang. Kita bicarakan ini baik-baik. Oke?" Ia menuntun Fahira untuk duduk di tepi ranjang, lalu berlutut di hadapannya, menggenggam erat kedua tangan istrinya. "Begini, Sayang. Kamu itu istriku. Kamu yang selalu ada di sampingku, dalam suka maupun duka. Kamu yang selalu mendoakan aku, mendukung setiap langkahku. Aku memang ingin berbakti kepada ibuku, dan aku sudah berusaha untuk bersikap adil. Tapi kamu adalah istriku. Kamu adalah amanah yang Allah titipkan padaku. Kamu yang seharusnya aku lindungi, aku sayangi lebih dari siapapun setelah ibuku." Fadil mengusap lembut punggung tangan Fahira. "Dan seharusnya ibuku lah yang menghargai kamu, Sayang. Karena kamu selalu berusaha menghargai
Fahira duduk di sebuah cafe. Jari telunjuknya berputar di bibir cangkir kopi. Ia mengangkat tangan kepada seorang wanita berjilbab dan cantik yang sedang kebingungan mencarinya. Wanita itu segera menghampiri Fahira. Ia menyapa Fahira dengan sopan. "Mbak Fahira, maaf kalau buat mbak menunggu." Ucap wanita itu. Fahira hanya tersenyum dan mempersilahkan wanita itu duduk."Rissa, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan dan sampaikan kepada kamu." Fahira menghela nafas dan menatap Rissa dengan senyuman pahit. Rissa hanya menatap Fahira dengan tatapan yang penuh tanda tanya."Maaf sebelumnya, Ris. Apa kamu sudah punya pacar?" Tanya Fahira dengan suara yang lembut.Rissa menyandarkan punggungnya dan tersenyum, "Belum sih, Mbak. Memangnya ada apa?""Tapi sudah ingin menikah belum?" Tanya Fahira lagi. Suasana cafe yang ramai, kini tampak sepi setelah Rissa mendengar pertanyaan Fahira. "Saya... Mau menjodohkan kamu dengan seseorang. Boleh?" Lanjut Fahira."Sebenarnya, saya menyukai seseorang.
Sore hari menjelang senja, setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor, Fadil memutuskan untuk mampir ke rumah ibunya. Ia sengaja membeli beberapa makanan kesukaan ibunya dan sebuah kain batik halus sebagai hadiah kecil. Ia berharap, kehadirannya bisa sedikit menghibur ibunya dan meredakan suasana tegang yang mungkin masih terasa setelah percakapan pagi tadi dengan Fahira.Fadil mengetuk pintu rumah ibunya dengan sopan. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Bu Rara menyambutnya dengan wajah yang tidak terlalu cerah, namun tidak juga terlihat marah."Fadil? Tumben kamu mampir sore-sore begini," kata Bu Rara tanpa senyum, namun mempersilakan anaknya masuk."Iya, Bu. Ini Fadil bawakan makanan kesukaan Ibu. Sama ini, ada sedikit hadiah," jawab Fadil sambil menyerahkan kantong makanan dan bungkusan kain batik kepada ibunya.Bu Rara menerima pemberian anaknya dengan tanpa ekspresi. Ia meletakkan bungkusan batik di meja dan membuka kantong makanan, melihat isinya sekilas. "Terima kasih," uca
Raut wajah Fahira berubah sedikit pucat mendengar tuntutan mertuanya. Ia berusaha menjelaskan dengan nada setenang mungkin, meskipun hatinya terasa perih. "Ibu, maaf sekali. Saya tidak bisa minum susu. Dari kecil saya alergi susu. Apalagi susu murni, perut saya langsung sakit dan mual." Ucap Fahira dengan lembut, berharap ibu mertuanya bisa memahami kondisinya.Namun, penjelasan Fahira justru memicu emosi Bu Rara. Matanya memicing tajam menatap menantunya. "Kamu itu manja sekali! Alergi segala! Mau punya anak atau nggak?! Apa kamu sengaja ya nggak mau kasih Fadil anak? Kamu cinta nggak sih sama anak saya, Fahira?" tuduh Bu Rara dengan nada tinggi, suaranya meninggi dan penuh amarah."Ibu!" seru Fahira terkejut mendengar tuduhan yang sama sekali tidak berdasar itu. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Demi Allah, Bu, saya sangat mencintai Mas Fadil. Saya juga sangat ingin punya anak. Kami sudah berusaha berbagai cara. Alergi susu ini bukan kemauan saya, Bu. Saya tidak pernah
Rissa kembali ke mejanya di ruang sekretariat. Ia mendudukkan diri di kursinya dengan lesu. Pikirannya masih tertinggal pada raut wajah tegang Fadil tadi. Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, Rissa sudah lama menyimpan perasaan lebih dari sekadar rekan kerja terhadap Fadil. Ketampanan, karisma, dan kebaikan hati Fadil membuatnya diam-diam mengagumi atasannya itu. Namun, Rissa selalu sadar diri akan status Fadil yang sudah memiliki seorang istri yang sangat dicintainya. Ia berusaha keras untuk menjaga jarak profesional dan memendam perasaannya dalam-dalam.Tiba-tiba, ponsel di mejanya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Rissa meraih ponselnya dan melihat notifikasi dari papanya. Matanya terpaku pada isi pesan singkat itu:"Rissa, papa mau menjodohkan kamu. Besok, ketika kamu libur, kita harus bicarakan ini."Rissa hanya membaca pesan itu melalui notifikasi tanpa membukanya. Ia menghela napas panjang, kali ini bercampur dengan rasa kesal. Dijodohkan? Di zaman sekarang? Pikirannya langsu
Mentari pagi mulai menyinari jalanan Jakarta yang ramai. Fadil duduk di kursi belakang mobil, sesekali memijat keningnya. Semalam, percakapan dengan ibunya kembali mengganggu pikirannya, meskipun ia berusaha untuk tidak menunjukkannya pada Fahira. Tekanan untuk segera memiliki keturunan terus menghantuinya. Pak Aji, sopir setia yang sudah bertahun-tahun mengantarnya, memperhatikan kegelisahan sang majikan dari kaca spion. Ia selalu peka terhadap perubahan suasana hati Fadil. "Masih pagi, Tuan, kok sudah terlihat lesu?" tanya Pak Aji dengan nada ramah sambil melirik ke arah Fadil melalui kaca spion, berusaha mencairkan suasana. Senyum tipis menghiasi wajahnya. Fadil menghela napas pelan dan mencoba membalas senyum Pak Aji. "Ah, nggak apa-apa, Pak Aji. Hanya sedikit kurang tidur saja." Pak Aji terkekeh pelan. "Kurang tidur karena mikirin laporan keuangan kantor yang bikin pusing tujuh keliling, ya Tuan?" tebak Pak Aji sambil melirik kembali ke kaca spion dengan tatapan jenaka. "Atau.