Share

Pertukaran yang Ajaib

Bruk. Khair meletakkan tas selempang berisi buku-buku dan diktat kuliah miliknya di meja caffe. Beberapa isinya bahkan tercecer.

Tempat ngopi yang disebut kedai kopi Khaira itu memang rutin disambangi Khair. Entah pagi, siang, atau sore. Setiap hari, dia pasti menyempatkan waktu untuk mampir di sela-sela kesibukan kuliah, bimbingan, kajian dan kerja sampingannya sebagai guru les privat.

Tak hanya penat pikiran, penat hati dan perasaan juga menyelimuti raut muka pemuda tingkat akhir yang sedang merampungkan skripsi itu.

“Tumben cemberut?” Suara riang Khaira hadir bersama aroma secangkir cappuccino kesukaan Khair, “Kenapa?” tanya wanita itu dengan cueknya seraya mendudukan diri di kursi caffe.

“Enggak apa-apa, Teh.” Khair mencoba mengatur gestur tubuhnya. “Cuma lagi banyak kerjaan aja.”

“Banyak kerjaan atau banyak godaan?” canda Khaira. “Enggak apa-apa, tapi bibirnya mancung begitu. Kalah tuh curut ….” celoteh Khaira lagi sambil menopang dagu, menghadapkan wajahnya yang dibuat sok imut.

“Apa sih, Teh …? Sudah ah, Khair ke belakang dulu, ya!”

“Ngeles dia,” batin Khaira.

“Eh, Teteh udah shalat Ashar belum?”

“Sudah,” jawab wanita itu singkat.

“Mushola sudah rapi?”

“Belum lah ....” sahut Khaira, “Tapi udah bisa dipake shalat, kok. Sudah lumayan lah sekarang mah.”

Kedai kopi Khaira baru dibangun beberapa bulan lalu. Beberapa bagian masih perlu dirapikan, termasuk musholanya.

Mushola itu terletak di bagian dalam kedai. Ada pintu dan sebuah lorong yang menyambungungkan tempat ngopi dengan mushola serta toilet. Jadi, ruangan mungil itu tidak terlihat langsung dari luar karena terhalang dinding pembatas ruangan yang juga menjadi bagian sisi lorong.  

Meski lahan yang digunakan sebagai kedai kopi itu tidak luas, tapi Khaira tetap ingin kedai kopinya punya mushola yang nyaman. Dia bahkan merancang sendiri desainya, hasil googling dan mempelajari tutorial You Tube.

Mushola itu dicat putih. Warnanya cukup terang meski hanya dilengkapi sebuah lampu neon. Belum ada ornamen yang menghias ruangan mungil itu. Hanya ada sebuah karpet yang cukup tebal melapisi lantai. Baru ada dua setel mukena dan dua helai sarung yang tersedia di sana. Khaira masih menabung untuk melengkapi fasilitas kedainya.

Khair shalat di mushola dengan khusyu. Namun, setelahnya dia langsung bergegas karena ada sebuah panggilan telepon. Dia tergesa kembali ke mejanya.

“Teh, Khair pamit, ya. Barusan ada telepon, Khair harus ngejar  bimbingan sekarang  juga.”

Dengan kecepatan kilat dia menyeruput cappucino yang dihidangkan Khaira. Biarpun sudah tidak panas, tapi masih hangat. Lumayan buat mengisi perutnya yang kosong dari siang. Secepatnya pula, dia menyampir tas selempang di bahu.

♥♥♥

Saking terburu-buru, Khair melupakan satu hal penting saat itu. Sebenarnya tujuannya datang ke kedai kopi adalah untuk memberikan sebuah buku catatan, lebih tepatnya buku harian, kepada Khaira. Buku harian yang sudah cukup tua, berdesain klasik. Sampulnya kulit berwarna cream. Dari luar, buku itu tampak seperti buku agenda atau buku catatan biasa. Namun itu adalah barang berharga.

Khair baru ngeh saat perjalanan pulang bimbingan. Sampai di rumah, dia langsung mengobrak abrik isi tasnya. Tidak ada jejak. Buku itu raib entah di mana.

“Teh, lihat buku aku yang sampul kulit engak?” tanya dia sambil melongo di pintu kamar tepat saat Khaira lewat di depan sana.

“Yang isinya curhatan?” tembak sang kakak, spontan.

Khair mengerutkan kening heran.

‘Kok bisa ada di Teh Khaira?’ pikirnya.

♥♥♥

Buku harian yang ditemukan Khaira di kedainya, membuat gadis itu makin hari makin membuatnya penasaran. Awalnya dia menyangka itu berisi curhatan Khair tentang perasaannya pada seorang wanita. Namun, dia lantas heran. Wanita yang diceritakan di buku harian itu jauh dari ciri-ciri wanita idaman Khair yakni Rumaysha. Padahal setahu Khaira, hanya gadis itu yang selama ini mendekam di hati adiknya.

Lebih dari itu, Khaira merasa ada yang janggal. Kenapa sosok wanita di buku harian itu lebih mirip dirinya sendiri dibanding Rumaysha? Inilah teka teki yang membuat jiwa detektif Khaira terpanggil.

Tadi aku lewat ke kompleks perumahan itu. Tidak sengaja sih, sekedar menghindari kemacetan saat melintas batas kota. Tak apalah memutar jalan agak jauh dari biasanya.

Bisa kembali ke kompleks perumahan itu merupakan momen langka, tak mungkin kulewatkan untuk berhenti sejenak di sana. Waktu Zuhur sudah masuk, jadi sekalian saja mampir di masjid di area situ.

Kompleks perumahan itu sekarang sudah sangat asri rupanya. Rumah-rumahnya sudah berpenghuni. Ya, tentu saja, jauh dari kondisi 10 tahun lalu waktu perumahan itu masih dibangun. Tapi, aroma dan suasananya seakan masih sama.

Di teras masjid itu aku bahkan serasa masih bisa menghirup aroma kopi seduhan gadis berambut kepang yang dulu kulihat. Entah siapa dia, aku tidak tahu. Tapi, sosok gadis itulah yang mengingatkanku pada wanita berambut kepang yang ngobrol dengan kucing kemarin.

Gadis kepang yang aku lihat disini pertama kali, 10 tahun lalu, rasanya biasa saja. Tidak ada kesan apa-apa. Toh, dia bukan siapa-siapa. Hanya pedagang kopi keliling yang kebetulan sedang mangkal di area konstruksi bangunan real estate, proyek properti kesekian yang dikerjakan ayahku. Ya, proyek itu sekarang sudah menjelma jadi sebuah perumahan asri.

Dulu, aku kerap diajak ayah ke tempat itu. Katanya supaya aku bisa sedikit belajar tentang kerasnya kehidupan dan seninya bekerja keras.

"Lihat keringat mereka, lihat semangat mereka, lihat tawa mereka, bahkan tangis mereka, belajar lah dari mereka yang membangun rumah-rumah itu...belajar tentang bagaimana kamu harus membangun hidupmu," kata ayah saat kami tiba di proyek.

"Apa yang kita miliki sekarang tidak didapat dengan mudah. Ada usaha keras dan perjuangan, masa yang panjang sampai ayah bisa mencapai ini semua," lanjut ayah, "Suatu hari kamu lah yang akan meneruskan perjuangan itu."

Kala itu, aku tidak sepenuhnya paham dengan maksud ayah. Yang kupahami hanya satu hal, bahwa ayah sedang memaksakan kehendak, memastikan aku tak melenceng dari rel yang diinginkannya. Ayah hanya ingin mengamankan masa depan kerajaan bisnisnya. Itulah mengapa aku jadi mahasiswa jurusan arsitektur.

Pilihan itu terasa salah, tapi sekarang aku yakin benar. Ketentuan Allah tidak ada yang salah. Bahkan, terbaik.

Jalan lurus itu tidak bercabang, tapi bukan berarti tidak berkelok. Seperti laju angin sesuai musim, ada masanya arah berganti.

Waktu itu. arah angin juga berbelok, terasa kencang menerpa, menerbangkan debu di area proyek bangunan. Mataku kelilipan, jadi aku menunggu di mobil saja.

Waku itu ayah bilang tidak apa-apa. Aku boleh mengamati dari kejauhan, dari jendela mobil kami yang nyaman ber-AC.

Setelah hampir ketiduran, angin kencang menerpa lagi. Masuk melalui celah jendela, membelai helai buku yang terkulai di pangkuan setelah aku tak kuat menghabiskan bacaannya. Sambil sedikit menguap, saat itulah sayup-sayup kudengar keramaian di luar.

Tak jauh dari tempat mobil terparkir, berkumpul lah para pekerja mengerubungi sebuah sepeda. Menurutku, sepedanya lucu. Belum pernah aku melihat sepeda penuh hiasan seperti itu. Uniknya, yang menghias sepeda itu bukan kertas warna warni atau lampu, melainkan berjuntai-juntai sachet kopi.

Aroma seduhan kopi dihantarkan angin ke hidungku. Tepat saat itu, mata ini menangkap sosok itu. Gadis remaja yang menyeduh kopi beraroma semerbak.

Lucunya, dulu, hanya karena ingin mencium aroma kopi seduhannya, aku mau saja ikut ayah setiap beliau meninjau proyek. Dengan alasan apapun, aku sengaja menunggu di dalam mobil, berharap bisa melihat suasana hangat ketika gadis itu dengan cekatan menuang air dari termos ke gelas-gelas berisi kopi dan gula hingga aromanya semerbak di tengah para pekerja. Mereka menyambut kopi dengan gembira.

Jujur saja, aku tidak dapat melihat wajahnya. Satu-satunya ciri fisik yang kuingat dari sosok 10 tahun lalu itu hanya rambut kepang seribu yang menjuntai ke bahunya. Klasik sekali.

Oh iya, gadis itu juga unik, seunik gadis kepang yang bicara dengan kucing. Setelah dia pergi, diam-diam aku turun dari mobil dan mendatangi tempat dia memarkir sepeda. Selama hitungan hari aku ikut ke proyek bersama ayah, setiap hari itu pula lah aku menemukan secarik kertas di sana.

Kertas-kertas berisi sketsa tak jelas, tapi entah mengapa aku merasakan hangat dan damai dalam setiap guratannya. Guratan garis itu seperti gambaran sebuah impian. Entahlah…

Gadis penyeduh kopi itu memang sering duduk sendiri dekat sepedanya setelah para pekerja kembali menjalankan aktivitasnya di proyek. Dia sering duduk sambil menatap langit, menunduk dalam entah, menatap pohon, menunduk lagi, begitu terus sejauh pantauanku.

Jawaban dari kelakuan aneh itu, ada di sketsa-sketsa yang masih kusimpan hingga kini.

Detik itu juga Khaira segera membuka-buka buku harian yang tidak terlalu tebal itu. Dengan tangan gemetar dan jantung berdebar kencang, dia berharap menemukan sesuatu di sana. Namun, apa yang dicarinya tidak ada. Sebab, benda itu nyatanya ada di sebuah laci nun jauh dari kedai kopi.

♥♥♥

Sketsa-sketsa itu tersimpan rapi di laci seorang pria. Ya, dialah pemilik buku harian yang ditemukan Khaira tanpa sengaja.

“Apakah ini harus aku buang?” batin pria itu gamang. Baru saja dia melipat sajadah kemudian duduk di ranjang dan membuka laci di samping tempat tidurnya itu perlahan. Tampak berlembar-lembar sketsa yang sudah agak pudar.

Sudah lebih dari satu setengah tahun sejak dia pulang ke tanah air. Telah lebih dari setahun pula dia melihat gadis berambut kepang yang ngobrol dengan kucing tempo hari.

“Tolong maafkan aku yang tidak bisa berpaling dari wajah itu. Aku khilaf ya, Allah…” rintih batinnya lagi.

♥♥♥

 “Neng … Neng Khaira?” Setengah panik, Bi Ocih, perempuan paruh baya yang membantu Khaira di kedai kopi, memanggil-manggil dia. “Neng Khaira kenapa, Neng?”

Khaira tampak sedang menutup wajahnya dengan kedua tangan seperti orang yang terguncang. Sesungguhnya, dia terisak. Perasaan takut seakan menyergapnya begitu menyelesaikan kalimat terakhir di buku harian yang baru saja dibacanya.

…sketsa-sketsa yang masih kusimpan hingga kini.

Kalimat itu membawanya ke masa sepuluh tahun lalu. Kalimat itu membuatnya yakin bahwa memang dirinya yang diceritakan di sana. Kalimat itu pula yang membuatnya ketakutan untuk menebak siapa si pemiliki buku itu sebenarnya.

Khaira yakin seyakin-yakinnya, meski tulisan tangan itu sangat identik dengan tulisan Khair, tapi jelas itu bukan Khair. Sebab, 10 tahun lalu, Khaira bahkan tak tahu bahwa adik bernama Khair itu ada. Sebab, meski Khaira tahu Khair ada, saat itu dia pasti masih berseragam putih biru, bukan seorang mahasiswa seperti yang ditulis di sana.

Satu-satunya nama yang paling mungkin mengarah pada orang itu adalah dia, lelaki yang membuat Khaira ketakutan bahkan hanya untuk sekedar menyebut namanya.

“Dia bukan siapa-siapa … bukan siapa-siapa … bukan siapa-siapa ….” Begitu wanita yang selalu mengepang rambutnya itu mensugesti dirinya sampai dia bisa menguasai akal sehat dan emosinya lagi.

Khaira membuka mata, lantas menoleh ke arah Bi Ocih yang memang berjiwa rempong dari sananya. “Engak apa-apa, Bi. Khaira cuma pusing sedikit,” kata Khaira, meyakinkan.

Dia langsung bangkit dari tempat duduk, berbalik menuju lemari es di dekat pintu masuk dapur. Mengambil gelas, mengisinya dengan air putih dingin. Setelah meneguknya hingga tandas, Khaira kembali ke meja barista.

Beberapa pelanggan berdatangan. Wanita itu kembali memasang wajah yang segar seperti biasa. Namun, setelah membaca buku harian tadi, dia kini lebih waspada. Salah satu diantara para pelanggannya, mungkin saja orang yang tak pernah ingin dia lihat seumur hidupnya.

♥♥♥

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status