Sejak peristiwa traumatis itu, Khaira menjalani aktivitasnya dengan lebih waspada. Namun, empat tahun lalu, ketika usianya menginjak 23 tahun, lelaki bernama Guntur itu muncul kembali dalam rupa yang berbeda di hadapan Khaira. Jika dulu dia menjelma iblis, kini dia berkedok makaikat.
Keluarga Khaira tidak pernah tahu tentang kejadian nahas di proyek waktu itu. Saat pulang kerumah dalam kondisi tak karuan, Khaira berdalih dia mengalami kecelakaan sepeda. Itu dia lakukan agar tidak terjadi masalah yang lebih besar.
Neneknya yang sakit-sakitan bisa terguncang. Dulu, kakeknya juga meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar buruk, kebangkrutan usaha. Himpitan ekonomi membuat kakek neneknya dulu memiliki banyak utang kepada rentenir. Usaha warteg yang dijalankan neneknya gulung tikar. Kakeknya yang sudah lama pensiun dari kepolisian akhirnya meninggal. Tinggal Khaira seorang yang berjuang mencari nafkah.
Sementara, putri bungsu kakek-neneknya yakni tante Khaira, sibuk mengejar karir menjadi biduanita. Di usia yang tak terbilang tak muda, yakni 34 tahun, wanita itu masih suka foya-foya. Dia dan suaminya menghabiskan banyak uang untuk memenuhi gaya hedon mereka di kota. Sementara Khaira dan neneknya hidup di desa dengan kondisi serba sederhana.
Khaira sendiri sudah biasa membantu neneknya menyajikan kopi di warteg sejak dia masih sekolah. Saat lilitan utang kepada rentenir dan bank keliling tak lagi mampu ditanggulangi, dan usaha warteg itu bangkrut, Khaira tetap meneruskan berjualan kopi dengan berkeliling menggunakan sepeda.
Khaira tidak mau kabar kejadian buruk yang dulu menimpanya berakibat fatal pada kondisi kesehatan neneknya, wanita yang membesarkan Khaira sejak kecil. Wanita yang dia sayangangi melebihi ibunya sendiri. Namun demikian, cintanya yang besar kepada keluarga tak mampu membuatnya mengalah untuk menerima perjodohan dengan Guntur, pria yang muncul bak penolong di saat keluarga Khaira berada di titik nadir.
Kala itu mereka sedang berjuang menebus rumah yang dulunya sempat digadaikan untuk biaya pernikahan tante dan paman Khaira. Ketika utang semakin mencekik, datang lah Guntur.
Kondisi ekonomi keluarga Khaira yang morat marit karena terlilit utang, dimanfaatkan Guntur. Dia yang dipecat di proyek setelah insiden yang mencoreng nama baik perusahaan itu justru sukses menjadi pengusaha tambang pasir. Beruntung baginya mengenal Bambang, suami tantenya Khaira.
Dari Bambang lah Guntur memperoleh informasi bahwa gadis itu masih lajang di usia yang cukup untuk menikah. Cukup Guntur kipasi Bambang dan istrinya yang matrealistis itu dengan segepok uang, tak lama kemudian Khaira disodorkan.
"Khaira, kenalkan, ini rekan bisnisnya Om Bambang. Namanya Guntur," ujar tante Khaira yang bernama Putri tapi biasa dipanggil dengan sebutan Tante Inces itu.
Bak mendengar guntur menggelar, Khaira terperanjat. Ditatapnya sosok cukong berwajah buaya itu sekilas. Sorot mata buas berkedok senyum sok wibawa di wajah pria itu membuat Khaira jijik sekaligus muak.
Wanita mana yang mau dijodohkan apalagi menikah dengan lelaki yang pernah mencoba merenggut paksa kehormatannya? Tidak ada. Pun demikian Khaira.
“Hidup kamu ngak bakal susah kalau nikah sama dia,” begitu kata tantenya saat meminta Khaira menerima lamaran Guntur.
“Khaira enggak mau.”
“Terus kamu mau jomlo seumur hidup?”
Usia 23 tahun saat itu memang sudah dirasa cukup bagi seorang gadis untuk menikah. Bahkan, di daerah tempat tinggal Khaira, wanita seusiannya sudah ada yang punya anak dua atau tiga. Bahkan, ada juga yang sudah janda. Sementara Khaira seperti anteng saja melajang tanpa pacar.
Padahal, pelanggan kopi Khaira kebanyakan adalah pria. Namun, tidak ada satupun yang dianggapnya istimewa. Jikapun bersikap baik dan ramah, Khaira hanya menerapkan pepatah “pembeli adalah raja.”
Dia sendiri bisa membatasi diri. Kendati ramah, Khaira pantang dirayu atau digoda, apalagi diisengi pria. Jika mereka bertindak di luar batas, Khaira tak segan-segan bersikap tegas. Sebelum tangan jahil menyentuh bagian tubuhnya, dia bisa pastikan jurus bela dirinya mampu menghentikan si pemilik tangan itu melakukan aksi jahilnya bahkan hingga kapok, kendati untuk sekedar berpikir ngeres tentang gadis itu.
Pelanggannya tahu bagaimana kerasnya sikap Khaira dan cueknya dia terhadap lawan jenis. Itulah yang membuat Khaira bertahan dengan usaha kopi yang ditekuninya.
“Dagang kopi enggak ada hasilnya. Enggak bikin kamu kaya raya!” Celoteh tantenya. “Mending nikah aja!”
“Enggak mau!”
Khaira itu lembut, tapi kukuh. Tantenya tahu itu. Maka, senjata terakhir untukmembuat gadis itu mau menikah dengan Guntur guna investasi usaha suaminya lancer adalah dengan mempengaruhi ibunya yang tidak lain adalah nenek Khaira.
“Ma, alhamdulillah, sudah ada yang melamar Khaira. Coba mama bujuk dia supaya mau menikah. Soalnya ini penting buat masa depan kita. Calonnya sudah mapan, juragan tambang pasir. Kalau jadi, pasti mama juga yang senang kecipratan rezeki,” ujar tantenya membujuk sang ibu yang tak lain adalah nenek Khaira.
Ketika neneknya sudah turun tangan, Khaira tidak bisa apa-apa. Mengiyakan tidak, menolak pun tidak kuasa.
“Jangan durhaka seperti ibu kamu, Khaira,” ucap neneknya. “Dulu dia menikah sama bapak kamu tanpa restu nenek dan kakek, akhirnya kamu lihat sendiri kan? Kamu jadi terlantar kayak gini. Kalau bukan nenek kakek dan tante kamu yang mengurus, bagaimana hidup kamu?”
Khaira terdiam.
“Sekarang dengan apa kamu bisa membalas itu? Nurut saja apa kata nenek dan tantemu. Itu buat kebaikanmu, Khaira!”
Itulah kalimat andalan neneknya. Selalu kata-kata itu yang jadi senjata untuk melumpuhkan gadis kaku berhati rapuh itu. Kalimat yang bagaikan dalil kebenaran. Khaira tak mampu menepis atau membantahnya, apalagi menjawabnya.
Meskipun jiwa raga dia berikan, baginya tak akan cukup untuk membalas kebaikan nenek dan tantenya. Namun, sesungguhnya Khaira sudah jengah. Hidupnya bagai dikendalikan matra ‘balas budi’ itu. Sementara, apapun yang sudah dia lakukan, termasuk berjualan kopi keliling, tak pernah sedikitpun berarti di mata nenek dan tantenya.
Padahal, Khaira sudah mengorbankan cita-cita untuk kuliah. Dia suka menggambar dan pernah berharap menjadi pelukis. Namun, harapan itu hanya mampu dia simpan dalam hati saja. Bahkan, akhirnya dia kubur karena terlalu mustahil untuknya mencicipi bangku kuliah di jurusan seni.
Dia bersedia menyambung usaha neneknya dengan menjajakan kopi keliling. Awalnya bersepeda, akhirnya dia berhasil membuka kembali warung neneknya yang dulu sempat bangkrut. Khaira menyulapnya menjadi warung kopi sederhana. Lambat laun, dia menyukai aroma kopi dan aktivitas meraciknya. Khaira berharap dia bisa jadi barista.
Memang penghasilannya tidak besar. Namun, apa daya, hanya dia yang diandalkan untuk bekerja sambil menemani neneknya yang sudah tua dan sakit-sakitan.
Tante Incess lah yang menempatkan Khaira pada posisi tak punya pilihan selain berjualan kopi. Dia selalu melarang Khaira bekerja di pabrik rantau dengan dalih “Kamu sayang nenek tidak sih?”
Maka, Khaira memilih mengabdi untuk keluarga. Bekerja semampunya untuk biaya hidup supaya tidak terlalu membebani Tante Incess yang selama ini mengklaim paling berjasa menghidupi Khaira sejak kecil dan membiayai sekolahnya.
Semua keputusan atas diri Khaira tetap bergulir. Sejak pertemuan kembali dengan Guntur, gadis itu merasa hati dan pikirannya jadi tak tenang. Semakin dekat hari pernikahan, Khaira makin tertekan.
Dia tidak lagi merasakan nafsu makan. Tubuhnya jadi bertambah kurus. Dia bahkan tidak mau keluar kamar.
Dia tidak pernah menangis untuk apapun sejak keadian di proyek waktu itu. Namun, tekanan batin yang dirasakannya, membuat semua pikiran buruk berkelebat.
Khaira tidak lagi bersuara. Dia sudah tidak mampu lagi melawan keputusan keluarga. Hari H pernikahannya sudah ditentukan.
Fisik dan psikisnya melemah. Tidak ada yang dilakukannya selain menangis dan menangis terus setiap hari. Satu hal yang menekan emosinya semakin dalam adalah kenyataan bahwa dia sendirian, tanpa ibu dan ayah. Seperti yatim piatu padahal bukan. Dia tahu orang tuanya ada, tapi entah dimana.
***
Sejak perjodohan diputuskan, dan hari pernikahan ditetapkan, Khaira merasa sudah kehilangan nyawa. Dia tak lebih dari raga yang tidak punya jiwa. Mati dalam hidupnya. Dia layaknya mayat yang tak selayaknya punya keinginan. Hanya orang lain yang bisa memetakkan dirinya. Dengan pikiran seperti itu Khaira bernafas hingga hari pernikahannya tiba."Tidak ada lagi kehidupan ...."Kala riasan pengantin sudah terpasang, gaun sudah dikenakan, di dalam kamar, Khaira siap mengakhiri semuanya. Pisau cutter sudah dia genggam. Mata pisau sudah siap menyayat nadinya.Lantunan shalawat bergema di luar, menandakan kedatangan mempelai pria."Ampuni Khaira, ya Allah ...."Gadis itu memejamkan mata, menahan perih yang langsung terasa begitu mata pisau menembus lapisan kulit di pergelangan tangannya. Darah mengalir begitu juga air matanya.Suara-suara berisik di halaman dan tengah rumah perlahan meredup. Namun, sebelum Kesadarannya sempurna hilang, Khaira menden
Khair ingat, dia terbangun di sebuah ruang rawat rumah sakit tanpa seorang pun menungguinya. Pemuda itu langsung keluar kamar, menyusuri lorong pendek menuju pintu keluar. Namun, di tengah jalan dia mendapati kerumunan di mulut sebuah ruang perawatan.Khair mengenali orang-orang berpakaian indah khas hajatan itu. Dia melihat mereka di acara walimah. Ingatannya langsung tertuju kepada Khaira.“Kehabisan darah dia. Harus transfusi sepertinya .…”“Iya, kasian Khaira.”“Lalawora, bunuh diri sagala tuda (gegabah, pakai acara bunuh diri segala sih!)”Itu sebagaian percakapan yang Khair dengar dari mulut orang-orang yang berkerumun di sana. Dia beranikan diri membaur untuk mendekati pintu. Orang-orang seketika menyingkir saat menyadari kehadiran pemuda biang onar di walimah itu.Bisik-bisik tentang Khair yang tak dikenali, tentang Khaira yang bernasib malang, sampai tentang ibu mereka yang disebut-se
“Kamu enggak ke masjid?” Itu yang ditanyakan pertama kali oleh Khaira saat dia bangun menjelang subuh. Gadis itu keluar kamar seolah tidak terjadi apa-apa. Semua air mata dan kemarahan tentang Guntur dan buku harian yang dia bakar sebelumnya, seolah sirna.“Teteh enggak apa-apa?” tanya Khair dalam nada campuran anatar heran dan ragu.“Menurut kamu?” Khaira memang selalu bikin Khair greget. Semalam adiknya itu tak bisa tidur karena mengkhawatirkan kondisinya, eh … setelah terbangun, orang yang dikhawatirkan itu justru terlihat biasa saja.“Asli, Teteh baik-baik aja?” tanya Khair lebih seperti meyakinkan diri sendiri.“Memang kamu mau Teteh kayak kemarin lagi?” Khaira membalikan pertanyaan.Khair menghembuskan nafas panjang. “Syukurlah kalau Teteh enggak apa-apa mah ….” Setidaknya, itu berarti dia tidak perlu membawa Khaira memeriksakan diri ke Psikiater.&ld
Ketika kakak beradik itu bermunajat, nun jauh di sebuah kamar, di gedung apartemen yang memayungi rumah mungil Khair dan Khaira, seseorang juga menghamparkan sajadahnya, memohon petunjuk agar diberikan ketetapan hati atas pilihan-pilihan yang dihadadapkan kepadanya.Setelah seharian beraktivitas, lelah tak juga membuat lelaki itu tertidur lelap. Dihampirinya laci meja di sisi tempat tidurnya. Sebuah buku bernuansa vintage, bersampul kulit warna cream agak lusuh ada di dalamnya bersama lembaran-lembaran sketsa. Dibukanya laci itu. Diraihnya buku tadi.Malam itu dia bertekad mengkhatamkan isinya untuk mencari tahu siapa pemiliknya.Di halaman pertama buku harian klasik bersampul kulit warna cream yang sudah agak lusuh itu tertulis:Dear diary,Aku selalu penasaran, mengapa rasa sayang mama dan papa membuat hidupku sesak dan tertekan. Aku merasa tak pernah bisa berdiri di atas sepatuku sendiri.Di usia 18, aku sudah bekerj
Lewat kehadiran Aa sebuah rahasia mau tidak mau jadi terungkap. Meski kehadiran Aa sebagai suamiku tak direstui, aku tidak peduli. Toh, nyatanya hanya dia yang menerimaku tanpa cela. Hanya dia yang senyatanya memberiku identitas sejati dalam keluarga yang kami bangun kini.Aa yang seorang perantau dari jiran dianggap tak akan mampu menjamin hidupku dengan layak. Statusnya sebagai pekerja kontrak dan kewarganegaraannya, kerap dijadikan alasan untuk menolak kehadirannya menjadi menantu di keluargaku yang selalu memposisikan diri sebagai keluarga terhormat. Padahal, bukan itu alasan penolakan mereka yang sesungguhnya. Papa memang pernah menjadi orang yang disegani waktu menjabat sebagai polisi. Namun, apalah arti kesombongan terhadap pangkat dan jabatan. Toh setelah pensiun dan sakit-sakitan, untuk bernafas saja dia kadang memerlukan selang dan tabung oksigen. Hanya saja di kala sudah sehat lagi, bentakan dan teriakan tetap jadi senjata andalannya u
Dear diary,Entah ini surat atau curhat, aku hanya ingin meninggalkan jejak untuk seseorang kelak. Seseorang yang pernah bergelung di rahimkudan telah terlahir ke dunia menjadi anakku. Kutulis ini didorong kekhawatiran terbesarku tentang masa depannya. Suatu hari dia akan hidup dan menghadapi dunianya sendiri. Jauh sebelum itu terjadi, aku ingin menjaga dan memastikan semuanya baik-baik saja kelak. Jika aku terlanjur tiada sebelum dapat kembali melihat senyumnya, aku harap dia tahu bahwa aku selalu ada. Tidak pernah meninggalkannya. Tidak pernah pergi sejengkal pun dari hidupnya.Aku ingin dia bisa hidup dengan baik, tumbuh dengan ceria, dan jadi anak yang bahagia dengan atau tanpa aku di sisinya. Dia adalah wasiatku. Kutitipkan dia hanya kepada Yang Maha Kuasa, Yang menciptakan aku dan dia, Yang mengikatkan pertalian darah kami berdua, Yang menjamin hidup dan mati, Yang Maha mengetahui, Yang Maha Pengasih dan Mah
Waktu bergulir. Kesibukan membelit hingga kadang beberapa persoalan terbengkalai. Namun, hari-hari terus berjalan.Di sebuah ruang rapat yang luas, Ahsan duduk di kursi utama sebagai pemimpin rapat. Gawainya yang tergeletak di atas meja, menyala tanpa suara. Di layar tampak notifikasi dari grup Whatsapp Prodi PAI. Ahsan yang tengah menyimak presentasi salah satu staf-nya mengambil jeda sesaat untuk membaca pesan masuk tersebut.“Rapat prodi dipercepat satu jam. Kita mulai jam 09.30 WIB.” Demikian isi pesan di grup khusus dosen dan staf prodi PAI di kampus tempat Ahsan mengabdi.Dia menghela nafas. Bentrok jadwal rapat kantor dan rapat kampus yang paling dia hindari akhirnya terjadi. Siapa sangka pihak prodi mempercepat agenda rapat untuk menindaklanjuti kosongnya posisi kaprodi seklaigus dosen pembimbing skripsi beberapa mahasiswa tingkat akhir yang ditinggalkan almarhum ustaz Rofiq.Tak lama berpikir, Ahsan membuka suara begitu staf kan
Kesempatan berada di perpustakaan tak Khair sia-siakan. Dia ambil setumpuk buku dan mempelajarinya dengan seksama. Tak lama kemudian, Ustaz Ahsan rupanya juga menyambangi tempat yang sama.“Jadi belum ada orang yang menanyakan soal kehilangan buku harian di sini?” telisik dia di sela obrolan ringannya dengan penjaga perpustakaan.“Belum ada, Ustaz. Kalau ada, pasti nanti saya kabari.”“Baik.”Ahsan mengedarkan pandang ke sekeliling. Sekelompok mahasiswi sedang bisik-bisik sambil mencuri pandang ke arahnya. Mereka mengitari meja yang tersedia di tengah ruang perpustakaan. Meja dan kursi baca juga terpasang di sepanjang dinding. Ada beberapa PC yang terpasang di sana. Itu memudahkan mahasiswa untuk browsing dengan wifi gratis.Ahsan juga menangkap sekilas sosok Khair di salah satu meja tersebut. Pemuda itu sedang sibuk dengan buku-buku dan beberapa carik kertas. PC di depannya menyala dan menampilkan sebuah laman w