Sejak perjodohan diputuskan, dan hari pernikahan ditetapkan, Khaira merasa sudah kehilangan nyawa. Dia tak lebih dari raga yang tidak punya jiwa. Mati dalam hidupnya. Dia layaknya mayat yang tak selayaknya punya keinginan. Hanya orang lain yang bisa memetakkan dirinya. Dengan pikiran seperti itu Khaira bernafas hingga hari pernikahannya tiba.
"Tidak ada lagi kehidupan ...."
Kala riasan pengantin sudah terpasang, gaun sudah dikenakan, di dalam kamar, Khaira siap mengakhiri semuanya. Pisau cutter sudah dia genggam. Mata pisau sudah siap menyayat nadinya.
Lantunan shalawat bergema di luar, menandakan kedatangan mempelai pria.
"Ampuni Khaira, ya Allah ...."
Gadis itu memejamkan mata, menahan perih yang langsung terasa begitu mata pisau menembus lapisan kulit di pergelangan tangannya. Darah mengalir begitu juga air matanya.
Suara-suara berisik di halaman dan tengah rumah perlahan meredup. Namun, sebelum Kesadarannya sempurna hilang, Khaira mendengar suara lantang di luar.
“Saya walinya!”
Di luar kamar, suara itu memancing keributan. Pasalnya, akad akan digelar.
“Pernikahan tidak bisa dilangsungkan tanpa wali yang sah!”
Itulah kalimat yang menyentak semua orang. Namun, mereka tidak tahu siapa orang yang tiba-tiba datang sesaat sebelum ijab Kabul dilafazkan itu.
“Saya harus bertemu Teh Khaira sekarang!”
Itulah Khair, remaja berseragam putih abu yang tiba-tiba muncul membuyarkan walimah kakaknya. Itulah Khair yang datang tak diundang, pulang tak diantar. Dia bukan semacam boneka kayu mistis. Dia pahlawan Khaira.
Kemunculan Khair mengagetkan semua orang. Mungkin kekagetan macam itu pula yang dirasakan Khaira ketika Khair tiba-tiba datang saat dia hendak membakar buku harian.
***
“Kenapa Teteh bakar?” Tanya Khair lagi.
“Kamu tahu tentang buku ini?” Khaira balik bertanya, “Apa ini buku yang waktu itu kamu tanyain ke Teteh?”
Khair mengangguk walaupun sebenarnya dia masih bingung, bagaimana buku yang dia cari bisa tiba-tiba ada di tangan Khaira.
Gadis itu berurai air mata lagi. Jantungnya serasa ditikam melihat anggukan Khair.
“Bagaimana bisa? Bagaimana bisa, Khair?” desak Khaira. Dia terisak. Tidak sedikitpun terpikir jalan macam apa yang membuat buku itu bisa sampai di tangan adiknya.
“Itu ….”
“Kamu kenal pemiliknya?” Tak peduli Khair mau bicara apa, sorot mata Khaira menyala seperti hendak menelan adiknya, “Ini milik b*j*ng*an br*ng**k itu, Khair! Lelaki jahat yang mau memaksa menikahi Teteh. Dia yang menghajar kamu dulu!”
Khair membulatkan mata dan mulutnya seketika. Dia lantas menggeleng pelan, memungkiri tudingan Khaira.
“Bukan, Teh,” sangkal Khair. “Ini buku harian ibu.”
Kini Khaira yang membulatkan mata dan mulutnya seketika. Dia lantas menggleng pelan, memungkiri fakta yang Khair ungkapkan.
“Enggak mungkin!”
Bagaimana bisa itu buku harian ibu? Jelas-jelas yang menulisnya seorang pria. Khair bohong.’ Itu yang berkelabat di benak Khaira bersama rasa sakit yang menjalar di kepala dan dada.
Bibir Khair tampak bergerak seperti berbicara, tapi pandangan mata Khaira sudah meremang. Telingannya pun sudah tak lagi menangkap suara. Dia limbung dan akhirnya jatuh ke pangkuan adiknya.
***
Khaira terbaring di tempat tidur. Bi Ocih menunggui di sampingnya. Setelah menutup kedai, wanita yang masih kerabat ayah mereka itu datang karena khawatir kepada Khaira dan Khair yang tak kembali ke kedai.
Khair menatap Kakaknya dari ambang pintu kamar. Dia termenung sesaat. Kelebatan peristiwa membayang di hadapan pemuda 21 tahun itu.
Di tempat yang sama, empat tahun lalu ibunya terbaring sakit.
“Khair, ibu ingin ketemu Khaira,” ucap wanita 40 tahunan itu lemah, “Ibu ingin lihat dia, sebelum ibu pergi selamanya.”
Itu keinginan terakhir ibunya Khair dan Khaira. Keinginan yang terus-menerus dia ucapkan hampir seumur hidup Khair.
Tiada satu hari pun di hidup Khair tanpa mendengar nama Khaira disebut oleh sang ibu. Walau tak tahu bagaimana wujudnya, Khair sudah seperti mengenal Khaira sejak dia lahir. Ibunya selalu menceritakan tentang gadis yang disebutnya sebagai keajaiban itu.
“Bawa Khaira! Kelak kalau ibu ngak ada, kalian harus tinggal bersama. Khair dan Khaira….“ ucap ibunya kala itu.
“Khair, berjanjilah kepada ibu, kamu akan menjaga Khaira, demi ibu ….” Kembali kalimat wanita lembut itu terngiang di telinga Khair.
Dulu, kalimat itu yang membuat Khair nekat ke luar kota, menjemput kakaknya. Tak peduli masih berseragam sekolah, berbekal segenggam uang tabungan dan alamat, Khair mengendarai motor tua peninggalan ayahnya menuju luar kota.
Berjam-jam perjalanan dia tempuh dengan tekad bulat, membawa Khaira bertemu ibu sebelum terlambat.
Beruntung Khair lumayan cerdas, dia bisa menemukan alamat rumah baru neneknya. Namun, tak disangka, di sana sedang ada pesta.
Tenda hajatan terpasang di halaman. Kursi dan meja prasmanan terpasang berajajar. Semua itu tak menghentikan langkah Khair yang tergesa memburu Khaira. Tidak boleh ada waktu yang sia-sia. Tekadnya tetap satu, “Teh Khaira harus bertemu ibu.”
Khair tiba di ruang tengah. Dibuntuti sorot tanda tanya dari semua pasang mata, Khair mendapati ruang tengah rumah yang dicarinya sudah diselimuti kain dan dekorasi pesta.
Sebuah pelaminan berhias aneka bunga terpajang cantik bak singgasana kerajaan. Orang-orang berpakaian indah baik laki-laki maupun perempuan. Mata Khair menyasar semuanya. Namun, dia hanya mencari satu sosok wanita yaitu Khaira.
Seorang pria berpakaian khas mempelai pria tengah duduk di hadapan sebuah meja, tak jauh dari sana. Dia bersiap mengucap ijab Kabul sepertinya.
“Tunggu!” cegah Khair, nekad menerobos kerumunan di sekitar situ.
Orang-orang bersitatap. Tante Inces dan Om Bambang yang bertindak sebagai saksi dari pihak Khaira pun kebingungan.
“Siapa bocah ingusan berseragam SMA ini?” Itu jadi tanya di benak mereka.
Tak menghiraukan semua orang, Khair tegas bertanya, “Apakah ini pernikahan Teh Khaira?”
“Iya,” sahut Tante Incess dengan angkuhnya, “Kamu siapa? Mau apa, hah?”
Merasa diremehkan, Khair lantang bersuara, “Saya walinya! Pernikahan tidak bisa dilangsungkan tanpa wali yang sah!”
“Apa-apaan ini?” pikir semua orang, termasuk Guntur yang tinggal selangkah lagi mengikat Khaira dalam jeratannya.
Suasan menjadi riuh. Tante Incess didukung Om Bambang langsung mendebat Khair. Cekcok mulut terjadi. Wanita berdandanan menor itu kemudian lari ke dalam kamar ibunya untuk melaporkan kejadian.
Nenenknya langsung menanyakan keberadaan Khaira. Dia punya firasat buruk tentang kehadiran bocah yang mengaku sebagai adik Khaira itu.
‘Mereka tidak boleh bertemu,’ bisik hatinya.
Khair yang tidak menyadari apa-apa justru bersitegang dengan beberapa orang. Penghulu tak bersedia melanjutkan prosesi akad sebelum memperoleh kejelasan tentang wali nikah mempelai perempuan yang sebelumnya hendak dia wakili.
Guntur pun geram.
“Bocah tengil ini harus disingkirkan!” pikirnya.
“Saya harus ketemu Teh Khaira sekarang!” Teriak Khair tepat sebelum sebuah bogem mentah diterimanya. Calon kakak iparnya itu rupanya tak tahan melesatkan kemarahan atas kekacauan yang dibuat Khair di walimahnya.
Khair tersungkur ke lantai yang sudah dilapisi permadani. Pukulan keras dari sosok bak petinju itu membuat Khair KO. Darah segar mengalir dari sobekan luka di bibirnya.
Seketika itu juga, Guntur yang masih bernafsu menerjang Khair langsung dicekal oleh beberapa orang yang hadir. Suasana seakin kacau tatkala teriakan Tante Incess menggema dari dalam kamar Khaira.
Dia yang berniat mengamankan Khaira atas perintah ibunya, justru dikejutkan dengan kondisi gadis itu yang sudah hampir tak bernyawa.
***
Khair ingat, dia terbangun di sebuah ruang rawat rumah sakit tanpa seorang pun menungguinya. Pemuda itu langsung keluar kamar, menyusuri lorong pendek menuju pintu keluar. Namun, di tengah jalan dia mendapati kerumunan di mulut sebuah ruang perawatan.Khair mengenali orang-orang berpakaian indah khas hajatan itu. Dia melihat mereka di acara walimah. Ingatannya langsung tertuju kepada Khaira.“Kehabisan darah dia. Harus transfusi sepertinya .…”“Iya, kasian Khaira.”“Lalawora, bunuh diri sagala tuda (gegabah, pakai acara bunuh diri segala sih!)”Itu sebagaian percakapan yang Khair dengar dari mulut orang-orang yang berkerumun di sana. Dia beranikan diri membaur untuk mendekati pintu. Orang-orang seketika menyingkir saat menyadari kehadiran pemuda biang onar di walimah itu.Bisik-bisik tentang Khair yang tak dikenali, tentang Khaira yang bernasib malang, sampai tentang ibu mereka yang disebut-se
“Kamu enggak ke masjid?” Itu yang ditanyakan pertama kali oleh Khaira saat dia bangun menjelang subuh. Gadis itu keluar kamar seolah tidak terjadi apa-apa. Semua air mata dan kemarahan tentang Guntur dan buku harian yang dia bakar sebelumnya, seolah sirna.“Teteh enggak apa-apa?” tanya Khair dalam nada campuran anatar heran dan ragu.“Menurut kamu?” Khaira memang selalu bikin Khair greget. Semalam adiknya itu tak bisa tidur karena mengkhawatirkan kondisinya, eh … setelah terbangun, orang yang dikhawatirkan itu justru terlihat biasa saja.“Asli, Teteh baik-baik aja?” tanya Khair lebih seperti meyakinkan diri sendiri.“Memang kamu mau Teteh kayak kemarin lagi?” Khaira membalikan pertanyaan.Khair menghembuskan nafas panjang. “Syukurlah kalau Teteh enggak apa-apa mah ….” Setidaknya, itu berarti dia tidak perlu membawa Khaira memeriksakan diri ke Psikiater.&ld
Ketika kakak beradik itu bermunajat, nun jauh di sebuah kamar, di gedung apartemen yang memayungi rumah mungil Khair dan Khaira, seseorang juga menghamparkan sajadahnya, memohon petunjuk agar diberikan ketetapan hati atas pilihan-pilihan yang dihadadapkan kepadanya.Setelah seharian beraktivitas, lelah tak juga membuat lelaki itu tertidur lelap. Dihampirinya laci meja di sisi tempat tidurnya. Sebuah buku bernuansa vintage, bersampul kulit warna cream agak lusuh ada di dalamnya bersama lembaran-lembaran sketsa. Dibukanya laci itu. Diraihnya buku tadi.Malam itu dia bertekad mengkhatamkan isinya untuk mencari tahu siapa pemiliknya.Di halaman pertama buku harian klasik bersampul kulit warna cream yang sudah agak lusuh itu tertulis:Dear diary,Aku selalu penasaran, mengapa rasa sayang mama dan papa membuat hidupku sesak dan tertekan. Aku merasa tak pernah bisa berdiri di atas sepatuku sendiri.Di usia 18, aku sudah bekerj
Lewat kehadiran Aa sebuah rahasia mau tidak mau jadi terungkap. Meski kehadiran Aa sebagai suamiku tak direstui, aku tidak peduli. Toh, nyatanya hanya dia yang menerimaku tanpa cela. Hanya dia yang senyatanya memberiku identitas sejati dalam keluarga yang kami bangun kini.Aa yang seorang perantau dari jiran dianggap tak akan mampu menjamin hidupku dengan layak. Statusnya sebagai pekerja kontrak dan kewarganegaraannya, kerap dijadikan alasan untuk menolak kehadirannya menjadi menantu di keluargaku yang selalu memposisikan diri sebagai keluarga terhormat. Padahal, bukan itu alasan penolakan mereka yang sesungguhnya. Papa memang pernah menjadi orang yang disegani waktu menjabat sebagai polisi. Namun, apalah arti kesombongan terhadap pangkat dan jabatan. Toh setelah pensiun dan sakit-sakitan, untuk bernafas saja dia kadang memerlukan selang dan tabung oksigen. Hanya saja di kala sudah sehat lagi, bentakan dan teriakan tetap jadi senjata andalannya u
Dear diary,Entah ini surat atau curhat, aku hanya ingin meninggalkan jejak untuk seseorang kelak. Seseorang yang pernah bergelung di rahimkudan telah terlahir ke dunia menjadi anakku. Kutulis ini didorong kekhawatiran terbesarku tentang masa depannya. Suatu hari dia akan hidup dan menghadapi dunianya sendiri. Jauh sebelum itu terjadi, aku ingin menjaga dan memastikan semuanya baik-baik saja kelak. Jika aku terlanjur tiada sebelum dapat kembali melihat senyumnya, aku harap dia tahu bahwa aku selalu ada. Tidak pernah meninggalkannya. Tidak pernah pergi sejengkal pun dari hidupnya.Aku ingin dia bisa hidup dengan baik, tumbuh dengan ceria, dan jadi anak yang bahagia dengan atau tanpa aku di sisinya. Dia adalah wasiatku. Kutitipkan dia hanya kepada Yang Maha Kuasa, Yang menciptakan aku dan dia, Yang mengikatkan pertalian darah kami berdua, Yang menjamin hidup dan mati, Yang Maha mengetahui, Yang Maha Pengasih dan Mah
Waktu bergulir. Kesibukan membelit hingga kadang beberapa persoalan terbengkalai. Namun, hari-hari terus berjalan.Di sebuah ruang rapat yang luas, Ahsan duduk di kursi utama sebagai pemimpin rapat. Gawainya yang tergeletak di atas meja, menyala tanpa suara. Di layar tampak notifikasi dari grup Whatsapp Prodi PAI. Ahsan yang tengah menyimak presentasi salah satu staf-nya mengambil jeda sesaat untuk membaca pesan masuk tersebut.“Rapat prodi dipercepat satu jam. Kita mulai jam 09.30 WIB.” Demikian isi pesan di grup khusus dosen dan staf prodi PAI di kampus tempat Ahsan mengabdi.Dia menghela nafas. Bentrok jadwal rapat kantor dan rapat kampus yang paling dia hindari akhirnya terjadi. Siapa sangka pihak prodi mempercepat agenda rapat untuk menindaklanjuti kosongnya posisi kaprodi seklaigus dosen pembimbing skripsi beberapa mahasiswa tingkat akhir yang ditinggalkan almarhum ustaz Rofiq.Tak lama berpikir, Ahsan membuka suara begitu staf kan
Kesempatan berada di perpustakaan tak Khair sia-siakan. Dia ambil setumpuk buku dan mempelajarinya dengan seksama. Tak lama kemudian, Ustaz Ahsan rupanya juga menyambangi tempat yang sama.“Jadi belum ada orang yang menanyakan soal kehilangan buku harian di sini?” telisik dia di sela obrolan ringannya dengan penjaga perpustakaan.“Belum ada, Ustaz. Kalau ada, pasti nanti saya kabari.”“Baik.”Ahsan mengedarkan pandang ke sekeliling. Sekelompok mahasiswi sedang bisik-bisik sambil mencuri pandang ke arahnya. Mereka mengitari meja yang tersedia di tengah ruang perpustakaan. Meja dan kursi baca juga terpasang di sepanjang dinding. Ada beberapa PC yang terpasang di sana. Itu memudahkan mahasiswa untuk browsing dengan wifi gratis.Ahsan juga menangkap sekilas sosok Khair di salah satu meja tersebut. Pemuda itu sedang sibuk dengan buku-buku dan beberapa carik kertas. PC di depannya menyala dan menampilkan sebuah laman w
Saat keluar ruangan, tampak lelaki asing yang mengantarnya sedang berdiri di meja administrasi. Dia mengeluarkan sejumlah uang dan menyodorkannya ke loket.Belum sempat Khaira melangkah ke sana, lelaki itu menoleh kemudian berjalan ke arahnya."Sudah selesai?" tanya dia.Khaira mengangguk."Bagaimana keadaannya?""Harus dirawat.""Berapa lama?""Dua sampai tiga hari."Lelaki itu mengaggukan kepala."Ya, sudah. Ayo, saya antar pulang!""Saya mau bayar biaya perawatannya dulu. Kalau mau pulang, silakan duluan saja!" tolak Khaira."Sudah saya bayar."Sontak Khaira mendongak. Ditatapnya wajah orang yang sejak tadi tak diperhatikannya."Saya bisa bayar sendiri," tegas Khaira."Tapi sudah saya bayar.""Berapa?""Seiklasnya. Petugasnya bilang begitu.""Iya, tapi berapa nominalnya yang tadi sudah dibayarkan? Nanti saya ganti," Khaira mulai ngotot.Lelaki itu malah ny