Udara di lembah retakan itu mendadak berat. Angin yang tadinya berputar acak kini tertarik menuju pusat kekelaman, seolah dunia sendiri menahan napas. Manticore itu—makhluk purba dari kegelapan yang lebih tua dari nama-nama peradaban—mengangkat tubuhnya. Otot-otot bagai belitan baja berdenyut di bawah kulit bersisik yang memantulkan cahaya bulan redup. Sayapnya terbentang perlahan, tiap helai membran bergetar, menyalakan kilau samar seperti bara hijau di sepanjang tulang rawan sayapnya. Dari ujung ke ujung, lebarnya cukup untuk menutup pandangan langit, membuat malam semakin kelam. Kael menggenggam erat gagang senjatanya, pupil matanya menyipit, menakar tiap detak sayap itu. Lalu, Fenum Noctis menundukkan kepalanya, mulutnya membuka perlahan, gigi-gigi bagai bilah obsidian berkilat dalam busa cairan beracun. Dari kedalaman tenggorokannya, terdengar getar—awal dari sebuah nada yang bukan sekadar suara, melainkan pecahan dunia. Aumannya meledak. Bukan auman biasa. Itu adal
Di jalanan melayang kota yang retak, Kinari, Kael, dan Xhae bertarung bahu-membahu bersama para Aeon Vanguard. Plasma bercahaya membelah udara, pedang cahaya beradu dengan tombak perunggu, dan kilatan Trident Aetheryn berputar bagai pusaran laut purba di tengah badai. Setiap gerakan mereka menyatu: Kael menangkis dengan bilah ether, Kinari melibas dengan lembing lautannya, dan Xhae menyalak dengan ledakan plasma yang membumihanguskan barisan Cynocephali. Mereka berkomunikasi tanpa kata—dengan isyarat mata, anggukan, dan denting senjata. Layaknya sekutu perang yang sudah berabad mengarungi medan tempur. Gelombang Cynocephali itu surut setelah pertumbahan darah yang mutlak, tubuh-tubuh mereka bergelimpangan, beberapa berlari mundur dengan raungan marah. Dari bibir jalanan mengambang, pasukan Aeon mengumandangkan sorak kemenangan—teriakan metalik yang menggema lewat helm nanoforge mereka. Namun, kegembiraan itu terhenti. Cynocephali yang tersisa tiba-tiba berlutut, menga
Sesosok Cynocephali melesat dari sisi kiri medan, gerakannya cepat seperti panah yang dilepaskan dari busur raksasa. Taringnya menyeringai, matanya liar, dan tombak kuno di tangannya menusuk lurus ke dada sang prajurit Aeon. Ujung besi itu menghantam lapisan nano-titanium yang berpendar tipis, memercikkan cahaya biru. Namun, hantaman itu seperti memukul dinding bintang, memantul keras hingga membuat Cynocephali itu terlempar mundur, terhuyung di udara sebelum jatuh menghantam tanah. Belum sempat mengangkat senjatanya kembali, bayangan lain langsung melompat—seekor Cynocephali yang lebih besar, zirahnya penuh torehan perang, saber melengkung di tangannya terangkat tinggi, siap membelah helm nanoforge itu. Tetapi sang ratu melihatnya lebih dulu. “Tidak di hadapanku.” Ia meraih Trident Aetheryn lalu melemparnya. Trident itu terbang menembus kabut perang, mengeluarkan nada nyaring yang bukan suara logam, melainkan seperti alunan petir di kedalaman air. Ujungnya menembus dada Cyn
Daun pintu besi itu bergeser dengan suara berat yang tak hanya terdengar di telinga, tetapi juga di tulang—gemeretak mekanikal bercampur dengung purba, seolah engselnya digerakkan oleh raksasa yang sudah lama mati. Saat celah itu melebar, cahaya asing menyembur masuk, memantul di kulit dan baju mereka dengan kilau yang tak dikenali oleh mata dunia mana pun. Langkah pertama melewati ambang terasa seperti menembus lapisan tipis antara mimpi dan kenyataan. Udara di baliknya lebih padat, beraroma logam, ozon, dan… sesuatu yang seperti debu kuno yang baru saja dibangkitkan. Di hadapan mereka, terbentang sebuah kota yang tak mungkin ada. Menara-menara perak menjulang tinggi bak jarum yang menusuk langit, beberapa menggantung di udara, ditopang oleh medan tak terlihat. Jalan-jalan melayang berkelok di antara bangunan, dan kendaraan-kendaraan berbentuk melengkung berlayar di atasnya, mengeluarkan semburat cahaya di setiap lintasan. Namun semua itu tidak utuh. Retakan waktu tel
Langkah-langkah Astrelyn tak menimbulkan suara. Namun setiap kali kakinya menyentuh tanah pulau itu, gelombang tipis cahaya menyebar bagai riak di air, memantulkan bayangan pintu-pintu yang tak terhitung jumlahnya. “Ini adalah Titik-Titik Takdir,” suara sang dewa terdengar seperti gema dari tujuh arah sekaligus. “Setiap pintu adalah satu simpul dalam anyaman yang lebih luas dari bintang-bintang. Setiap simpul… adalah dunia yang hidup atau mati oleh satu keputusan.” Pintu-pintu itu berderet, melingkar, berlapis-lapis seperti kelopak bunga yang tidak pernah selesai mekar. Ada pintu dari kayu tua yang berlumut, pintu kristal yang berdenyut dengan cahaya, pintu besi raksasa yang dihiasi relief naga, Hingga pintu tak kasatmata yang hanya dapat dilihat dari sudut tertentu. Setiap pintu memiliki denyut sendiri, napas sendiri, seolah ia adalah makhluk hidup yang menunggu dipanggil. Astrelyn berhenti di tengah lingkaran pintu yang menyebar di setiap penjuru pulau, memandan
Kael berdiri di tengah antara untaian nama purba itu. Hampa di sekelilingnya seperti samudra hitam yang menunggu, tanpa ombak, tanpa dasar. Huruf-huruf yang membentuk nama-nama itu berputar perlahan di udara, setiap suku kata seakan memiliki denyut jantungnya sendiri. Ia mengulurkan tangan. Menyentuh nama pertama. "Vohramis Nalkéth," Begitu namanya menyentuh bibir Kael, kesunyian yang sudah membungkus ruang ini berubah menjadi lapisan yang lebih pekat, lebih dingin. Pandangannya memucat, warna-warna di sekitarnya tersedot, hingga hanya abu-abu yang tersisa. Lalu, dirinya melihat Kinari—atau sesuatu yang mirip dirinya—duduk di bawah pohon yang membatu. ia tidak bergerak, tidak bernafas. Dan di balik wajahnya yang tenang, Kael merasa ada sesuatu yang telah berakhir dan tak akan pernah kembali. Vohramis membawa jawaban… tapi jawaban itu terlalu mutlak. Tidak ada jalan kembali di sini. Kael menarik diri, huruf-hurufnya lantas pecah begitu saja, menjadi serpihan es