Share

Part 2

Hari sudah cukup gelap saat aku kembali ke kastil. Aku membiarkan angin membawaku naik ke kamarku di lantai dua, bersyukur karena tidak ada yang mengunci jendelanya selama aku pergi.

Memasuki kamar, aku segera menutup jendela dan merebahkan diri di atas tempat tidur.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan kasar dan Luis, sahabat sekaligus tangan kananku, masuk.

"Aku benar-benar bosan menutupi kelakuanmu." Aku menatapnya yang sudah lebih dulu menatap marah padaku. "Suatu hari aku tidak akan melindungimu, Jayden, jadi belajarlah untuk lebih bertanggung jawab." Aku memutar bola mata dan mengangkat tubuhku ke posisi duduk.

"Nice to meet you too," ucapku sarkas.

Wajah Luis mengerut menunjukkan ekspresi jijik. "Dan lain kali kau memutuskan bermain-main, kau setidaknya bisa menghilangkan aroma mortal dari tubuhmu!" ucapnya jijik.

Aku tertawa, sebelum berdiri dan mulai melepas pakaian.

"Apa masalahmu hari ini?" tanyaku.

"Masalahku? Lebih tepatnya masalahmu. Raja Arthur menanyakan tentangmu." Aku menatap Luis dengan alis terangkat.

"Apa yang pria tua itu inginkan dari anak haramnya ini?"

"Jayden!"

"Apa? Itu benar bukan? Ibuku seorang pelacur yang dihamili oleh sang raja," cetusku. "Sebuah tindakan bodoh yang harus dibayar dengan kepalanya." Luis menarik napas, bahunya terlihat menegang. 

Melempar pakaian kotorku aku melanjutkan. "Nasib yang seharusnya juga kualami kalau bukan karena sihirku," cetusku sinis. Luis menatapku tajam, dia tak pernah suka saat pembicaraan tentang ibu terangkat. 

Aku tidak tau apa masalahnya, tapi pembicaraan tentang ibuku selalu membuatnya marah. Namun semua yang mengenal Luis tentu tau ketidaksukaannya pada mortal, jadi mungkin itu alasannya.

"Berhenti dengan omong kosong ini dan segera temui ayahmu. Dan demi Tuhan mandi dan hilangkan aroma mortal itu darimu. Terkadang aku berpikir kau sengaja mempersulit hidupku." Luis keluar, aku tertawa dengan kekesalannya.

Beberapa pelayan memasuki kamarku untuk menyiapkan tempat pemandian, yang aku yakin atas perintah Luis. Aku memerintahkan mereka untuk meninggalkan kamarku, pada awalnya, mereka tampak ragu tapi melihat ekspresiku, ketiganya segera berlari keluar seolah iblis sedang mengejar mereka.

Setelah mandi dan mengganti pakaian—tidak tanpa menyemprotkan penetral aroma ke tubuh—aku bergegas ke luar. Ketiga pelayan tadi masih menunggu di luar, aku menerintahkan mereka untuk membersihkan kamarku dan segera berlalu, dua orang penjaga segera mengikutiku tanpa bersuara.

Mataku menangkap Luis yang sudah berdiri di depan ruang makan, dia mengangguk saat melihatku dan segera membuka pintu.

Di dalam, Yvonne dan Colton sudah menunggu ... di ujung meja, terlihat ayah duduk dengan wajah serius. Dia terlihat menarik napas saat melihatku. Aku melempar senyum pada Colton yang menatap kesal padaku.

Aku duduk di dekat Colton, dan dia segera mencecarku dengan pertanyaan. "Kemana saja kau?" ucapnya setengah berteriak setengah berbisik.

"Keluar," jawabku singkat.

Pelayan segera menghidangkan makan malam setelah mendapat isyarat dari ayah, Colton tampak masih kesal denganku tapi dia tak melanjutkan pertanyaannya.

"Jayden, bagaimana latihanmu?" Aku sedikit bingung atas pertanyaan ayah, mataku menangkap Luis di ujung lain ruangan yang menatapku penuh ekspektasi. Ah ... jadi itu alasan yang dia berikan pada pria tua ini.

"Tidak buruk."

"Aku tidak tau kenapa kau tidak menggunakan ruang latihan di sini."

Aku mengunyah pelan sebelum memikirkan jawaban yang tidak akan membuatnya marah.

"Aku lebih suka melakukannya di tempat terbuka," jawabku sekenanya.

Ayah tampak tidak puas dengan jawabanku, tapi memutuskan untuk tidak memperpanjangnya.

Aku mulai menikmati makananku, namun pria tua ini kembali berbicara.

"Dewan konsil akan kemari besok, pastikan kalian tidak meninggalkan istana."

Colton dan Yvonne menjawab patuh, aku membuang napas.

"Aku ada rencana besok."

"Batalkan." Suaranya tidak meninggalkan tempat untuk argumen. Namun aku tak pernah membiarkan pria tua ini mendikte hidupku.

"Aku tidak akan menunda rencana ku hanya untuk menemui para orang tua membosankan itu." Aku menyesap anggurku.

Jayden!" si tua itu membentak, menggebrak meja dengan kepalan tangannya. Yvonne dan Colton tampak sedikit terkejut, tapi aku tetap bergeming.

Aku menatap malas padanya. Terlihat jelas urat-urat di wajahnya menegang menahan amarah.

"Kau tidak pernah gagal mengingatkan wanita seperti apa ibumu." Kata-kata itu jauh lebih menyakitkan dari tusukan pedang apapun. Aku mengusap dadaku yang mendadak terasa sesak.

Mataku terasa panas. Aku berdiri dan menghempaskan kedua tangan pada meja dan menatap tajam pada laki-laki yang menyebut dirinya ayahku.

"Sebaiknya kau berpikir lagi sebelum mengatakan sesuatu tentang ibuku!" Aku tidak berteriak atau membentak, tapi dari wajahnya, aku yakin pria tua itu dapat mendengar ancaman dari kata-kataku.

"Jaga nada bicaramu!"

Aku bisa merasakan ketegangan para penjaga yang ada di sekitar kami, tapi aku tidak memecahkan kontak mata dari pria tua itu.

"Ayah, Jayden hanya sedang lelah, maafkan dia." Yvonne untuk pertama kalinya bersuara.

"Diam! Aku tidak meminta pendapatmu." Yvonne terdiam, dia menundukkan kepala, aku bisa merasakan berbagai emosi mengalir darinya. Amarah dan kesediahan merupakan yang paling dominan.

"Dengarkan ini baik-baik. Jika kau berani mengatakan hal buruk tentang ibuku, maka aku tidak akan segan untuk membunuhmu, meski harus melakukannya dengan cara kotor." 

Si tua itu tampak terkejut mendengar kata-kataku. Aku tidak menunggu respon darinya dan segera meninggalkan ruang makan, karena kalau aku sampai berada di sini lebih lama, aku mungkin akan betul-betul membunuhnya.

"Jayden! Aku belum selesai bicara padamu!" Aku tak menghiraukannya dan terus berlalu. Dari sudut mata, terlihat Luis segera bergegas mengejarku.

"Jayden!" Luis memanggilku, aku tak berhenti atau menoleh.

Aku mengibaskan tangan menyebabkan pintu terhempas tepat sebelum dia bisa masuk. Setidaknya Luis tahu untuk tidak menggangguku saat ini.

"Aaarrgggh...!" teriakku.

Semua benda di kamarku bergetar karena kuatnya emosi yang kurasakan saat ini. Aku merasa seolah akan meluap dengan kemarahan.

Menghempaskan tubuh ke tempat tidur, aku menutup mata dan mencoba mengendalikan diri.

Aku tidak bisa kehilangan kendali seperti ini. Setidaknya tidak sekarang. Membuka mata, kulihat semua kembali tenang.

Aku mengangkat kedua tangan dan menatapnya lekat-lekat. Suatu hari, aku akan membalaskan dendam ibuku, dan saat hari itu tiba, bahkan para dewa tak akan mampu menghentikanku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status