Share

Part 3

Seorang pelayan sedang membantuku pakaian saat Luis memasuki kamarku perlahan, dia tampak masih sedikit waspada mendekatiku.

"Apakah kau sudah merasa tenang sekarang?" tanyanya.

"Aku tidak akan membunuhmu, kalau itu yang kau maksud," jawabku datar. Luis tampak melepas napas lega, tampaknya sikapku kemarin betul-betul membuatnya takut.

"Kau akan pergi kemana?" Luis kembali bertanya.

"Menjauh dari tempat ini," jawabku malas, menepis tangan pelayan wanita yang sedang memasangkan kancing bajuku, dan mulai melakukannya sendiri.

Luis mencubit batang hidungnya seolah kepalanya mendadak sakit.

"Jayden ... bisakah kau berhenti membuatku terkena masalah?" Dia memulai lekturnya. "Raja Arthur sudah mengatakan kalau—"

"Luis ... Luis ... Luis ...." Aku mengisyaratkan pada pelayan wanita tadi untuk meninggalkan kami, dan dia segera menuruti tanpa protes. Aku menatap Luis dengan alis terangkat. "Aku tidak mendengarkan saat si tua bangka itu bicara, lantas apa yang membuatmu berpikir kalau aku akan mendengarkanmu sekarang?"

"Sebagai satu-satunya orang yang mampu bertahan dengan semua omong kosongmu, kupikir kau akan sedikit peduli dengan kelangsungan hidupku." Aku tertawa dengan kedramatisannya, tapi Luis tak menangkap humor yang sama.

"Tentu saja aku peduli," jawabku kemudian. "Hidup tentu akan membosankan jika kau mati, aku tidak akan menemukan orang yang mengasyikkan untuk diganggu."

Luis tampak kesal, tapi dia menyerah untuk memaksaku tinggal.

"Setidaknya beritahu aku kemana kau akan pergi?" 

Aku tak menjawab, hanya melempar senyum malas kepadanya. Luis sepertinya paham maksudku karena dia langsung mengerutkan hidung dan menatap malas padaku.

"Kau akan menemui mortal itu, bukan?" Aku tak menjawab, hanya terkekeh karena nada kesalnya. "Aku tidak tau apa yang dilakukan wanita itu sampai membuatmu tergila-gila."

"Cinta Luis ... ini dinamakan cinta ... tapi kau tentu tidak memahaminya."

Sebuah emosi asing melintas di mata Luis tapi segera menghilang secepat ia datang, hingga aku berpikir kalau aku hanya membayangkannya saja. Aku tidak bisa memahami apa maksudnya, tapi, perasaan sedih yang meluap dari Luis begitu besar untuk kuabaikan.

"Luis ...?"

Luis menggeleng, seolang tersadar dari lamunan.

"Pergilah, Jayden." Dia meninggalkanku mematung sendiri. 

Tatapanku tak beralih dari pintu, begitu bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Luis menyembunyikan sesuatu dariku.

———

Aku menyusuri jalan sempit di wilayah Utara Irealla, dan memasuki bar tua di mana para mortal selalu menghabiskan waktu bersenang-senang. Eraden adalah tempat yang selalu membuatku merasa nyaman.

Semua pandangan tertuju padaku manakala aku memasuki bar. Ini bukan pertama kalinya aku ke sini, namun orang-orang masih juga merasa tegang tiap kali melihatku berkunjung.

Aku mendekati pria tua yang bertugas membuatkan minuman. Reynold, nama si bartender.

"Seperti biasa?" Suara berat pria tua itu kukawab dengan anggukan.

Mataku mencari-cari di antara orang-orang yang berkunjung, tapi dia tak terlihat di manapun.

"Apa yang kau cari," tanya Reynold meletakkan minumanku.

Aku meraih gelas itu dan menenggak seluruh isinya dengan sekali tegukan, membiarkan cairan memabukkan itu membakar tenggorokanku.

"Kau tau siapa yang kucari." Aku tak menatapnya, Reynold terkekeh dan mengangguk. Aku menyurungkan gelasku. "Lagi."

Reynold tidak berkomentar, dia segera mengambilkan minumanku. Aku meminumnya dengan perlahan kali ini, menikmati setiap sensasi yang ditimbulkannya.

"Gadis itu ditugaskan untuk membawa bunga-bunga ke istana."

Aku terkejut mendengar jawaban Reynold. Bagaimana mungkin aku tidak mengetahui semua ini.

Aku menghempas gelas ditangan dengan kesal. Setelah semua masalah yang kutimbulkan untuk datang ke sini, Zava ternyata berada di istana. Aku terkekeh ... betul-betul ironis.

Aku meletakkan beberapa keping emas dan berdiri.

"Ini terlalu banyak." Reynold hampir berteriak.

"Aku mentraktir semua yang ada di sini, silahkan minum sampai puas."

Semua orang bersorak mendengar kata-kataku. Segera kutinggalkan bar dan bergegas kembali ke istana.

Tak memakan waktu lama untukku mencapai istana, memasuki aula utama, terlihat berbagai kesibukan di dalamnya. Ada banyak mortal di sini, tapi tak bisa kutemukan Zava di antara mereka.

Aku baru saja akan meninggalkan aula saat Luis masuk bersama beberapa orang. Luis melihatku sebelum aku sempat mengendap pergi.

"Oh, Jayden ... Syukurlah kau sudah kembali." Dia berjalan ke arahku. Aku membuang napas kesal sebelum memaksakan senyuman.

"Ada apa, Luis?" aku bertanya basa-basi, ingin cepat pergi dari sini dan menemukan Zava.

"Jayden, aku hanya ingin meminta padamu, demi tuhan, jangan meninggalkan istana setidaknya hingga tengah malam."

Aku menatap Luis heran. 

"Kalau ini soal dewan konsil—"

"Tentu saja ini tentang dewan konsil." Aku sedikit kesal karena Luis berani memotong pembicaraanku. "Jayden, kau tau ini bukan kunjungan biasa, ak—"

"Luis." Aku mengangkat tanganku, mengisyaratkannya untuk berhenti. "Aku tau soal maksud kedatangan mereka malam ini, dan aku akan mengatakannya sekali lagi, aku tidak peduli."

"Jay—"

"Sudahlah, Luis, aku sedang ada urusan penting." Aku meninggalkannya sebelum sempat menjawab.

"Tunggu... Jayden ... apa yang kau rencanakan kali ini?"

Aku tak menghiraukannya dan setengah berlari menuju sayap Utara, di mana jamuan biasanya diadakan. Di sini terlihat beberapa mortal sedang berkerja, tapi seperti tadi, Zava tidak ada bersama mereka. Dimana sebetulnya gadis itu.

Aku mengusap rambut kesal, dan meneruskan pencarian ke bagian lain istana. Aku betul-betul merasa bodoh saat tidak dapat menemukan Zava di mana-mana, gadis itu seakan sengaja bersembunyi dariku.

Saat hendak meneju ke taman belakang istana, aku melihat Zava berjalan keluar dari sayap timur istana, tempat di mana bilik tidur berada. Apa yang dilakukannya di sana? Apakah dia tau kalau seorang mortal tidak boleh memasuki wilayah tersebut?

Aku mengikutinya diam-diam saat dia berjalan ke arah pintu belakang istana, sepertinya untuk kembali ke aula utama dan membantu temannya yang lain. Saat dia melewati sebuah pintu, aku segera menarik tubuhnya, terdengar napasnya sedikit tercekat saat aku membawanya ke dalam ruangan kosong tersebut. 

"Jayden ... kau hampir membuatku terkena serangan jantung!"

Segera merapalkan mantra pelindung, agar tak ada orang yang dapat mendengar kami, aku segera memeluknya.

"Kau tidak tau seberapa rindunya aku padamu." Zava mencoba mendorong tubuhku, tapi kami sama-sama tau, dia tak betul-betul ingin aku berhenti.

"Jayden ... kau tidak bisa ...." Aku memotong pembicaraannya dengan sebuah ciuman dan tersenyum saat wajahnya seketika memerah.

"Jayden ... kalau sampai ada yang melihat—"

"Sshhh ...." Aku menggigit bibir ranumnya pelan, menghentikan racauannya. "Biarkan aku mencintaimu, Zava." Aku kembali menciuminya, kali ini, Zava menciumku balik dengan gairah yang sama.

"Aku juga merindukanmu ...." Bisiknya sedikit tersengal, saat bibir kami akhirnya berpisah.

"Aku mencarimu kemana-mana ...." Aku menatapnya, menyatukan dahi kami. "Kenapa kau seolah menghindariku."

Zava tertawa.

"Aku terlalu sibuk menata bunga untuk bilik tidur Putri Yvonne untuk bersembunyi darimu." Godanya.

"Hmhm ....?"

Zava mengalungkan kedua lengannya pada leherku, menciumi daguku, terus ke leherku, membuatku mengerang, melupakan apa yang tadi ingin kutanyakan padanya.

"Kau bisa membuatku mendapat masalah besar," bisiknya penuh goda.

"Hmm ...? Kau juga bisa terkena masalah jika melawan pangeran Irealla," godaku.

Zava tertawa geli.

"Benar ... Jadi sebaiknya aku memenuhi keinginan pangeranku ...." Bibir kami kembali bertemu, dengan lebih berapi-api, lebih menuntut ... seakan kami tidak pernah merasa cukup akan satu sama lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status