Share

King of Irealla
King of Irealla
Author: Deidre

Part 1

Mengucapkan mantra singkat, aku menatap kilatan cahaya yang menjalar dari jemari, kilatan-kilatan itu tumbuh dan membentuk bola cahaya kebiruan berukuran kecil. Cahaya biru itu berputar perlahan, aku tersenyum saat ukurannya mulai membesar.

"Jayden!" Konsentrasiku terpecah hingga bola cahaya di tanganku tiba-tiba meluap, menciptakan letupan kecil sebelum lenyap.

Menoleh ke belakang, sebuah senyuman tidak dapat kutahan melihat wajah kesalnya.

"Jayden, aku sudah memperingatkan untuk tidak ke sini." Matanya mencari-cari, seakan takut ada yang melihat. Aku hampir tertawa melihatnya.

"Mau bagaimana lagi, kau terus menolak untuk menemuiku." Aku mengulurkan tangan, mengisyaratkan agar dia mendekat.

Zava masih terlihat kesal, tapi mulai berjalan ke arahku. Aku meraih tangannya ketika dia sudah cukup dekat dan mengarahkannya duduk di sampingku. Zava menghela napas, aku hanya tersenyum melihatnya.

"Jayden, kau tidak bisa selalu datang kemari, seorang bisa saja melihat."

Aku memutar bola mata. "Aku yang akan mengurus jika sampai demikian," aku menenangkannya.

"Kau tidak mengerti, jika keluargamu tau, kau mungkin akan menghabiskan beberapa waktu di bilik tahanan, tapi aku? aku ... mereka akan membunuhku hanya karena berada terlalu dekat denganmu." Dia meracau. "Sebaiknya kau pulang," pintanya hampir memelas.

Zava terkadang bisa cukup dramatis, namun aku paham letak ketakutannya. Zava hanya seorang mortal. Jika pihak kerajaan melihatnya bersamaku, maka dia akan mendapat hukuman cukup berat, hingga kematian. Namun dia juga seharusnya tau kalau aku tidak akan pernah membiarkan hal itu sampai terjadi.

Mataku menatap ke depan, mengamati dinding tak terlihat yang menjadi pembatas Irealla dengan dunia luar. Di mana para mortal hidup dengan merdeka—setidaknya begitu yang sering kudengar.

Melirik ke arah Zava, mataku menangkap kelelahan pada wajah manisnya. Matanya tampak tidak fokus, seakan tengah tersesat dalam fikirannya. rambut ikalnya terlihat sedikit berantakan, menutupi sebagian wajah putihnya. Namun dia tetap sempurna di mataku.

Terkadang ... aku berpikir, apakah semua akan berbeda jika kami tinggal di luar sana? Aku menggeleng, menolak untuk memikirkan hal bodoh itu. Di sana mungkin bahkan jauh lebih buruk, mortal dikenal sebagai makhluk yang tidak dapat diprediksi, mereka berbuat sekehendaknya dan tidak pernah peduli dengan peraturan.

Aku mengarahkan sebuah angin lembut ke wajah lelahnya, mengusap rambut panjangnya perlahan. Zava tampak sedikit terkejut, dia menatapku dan memutar bola mata.

"Aku masih marah padamu."

"Hmhm ...." Aku mulai kesulitan menahan tawa, terkadang Zava seakan lupa kalau aku bisa merasakan emosi, dan apa yang kutangkap darinya saat ini sangat jauh dari kemarahan.

Aku menjentikkan jari, menatap pada gundukan kecil yang mulai terbentuk pada tanah tak jauh dari kaki Zava seolah sesuatu mendorong dari bawah. Napasnya tercekat dan Zava segera menarik kakinya. Matanya membulat saat sebuah tunas muncul, tumbuh membesar dengan dedaunan hijau. Sebuah cabang tumbuh memanjang mendekatinya sebelum sebuah bunga berwarna merah muncul pada ujung cabang itu dan merekah.

Zeva berusaha menahan senyumnya, tapi aku merasa sudah menang saat ujung bibirnya terangkat.

"Kau masih marah sekarang?" tanyaku tak lagi menahan senyuman.

Tangannya meraih bunga tersebut dan memetiknya. Dia menatapku tersenyum.

"Aku tidak pernah menangkapmu sebagai pria romantis."

"Aku bisa romantis saat ku mau," jawabku singkat sebelum menatap serius. "Apa kau benar-benar ingin aku pergi?"

Zava mendesah pelan dan berpindah dari tempatnya dan memposisikan diri di pangkuanku, kedua tangannya melingkar manja pada leherku lembut.

"Ah ... kau tau aku tidak setega itu." Zava menggigit telingaku pelan. "Lagipula ... kau sudah jauh-jauh datang ke sini," bisiknya, sambil menabur ciuman lembut pada leherku. "Dan tentu saja." Dia memundurkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya padaku hingga bibir kami hanya berjarak satu tarikan napas. "Aku tidak akan berani menolak seorang pangeran Irealla." 

Bibir kami beradu penuh gairah, kuraih wajahnya dan mengunci bibir kami. Bisa kurasakan kedua tangan halusnya merabai tubuhku, membuat tubuhku seakan dibakar oleh hasrat yang menyelimuti kami saat ini.

Kami berpisah saat hanya untuk menarik napas, Zava tak mengalihkan tatapannya dariku, napas kami beradu. Dadaku masih bergemuruh, dan aku bisa merasakan getaran perasaan Zava saat ini dengan begitu kuat. Dia menginginkanku.

"Tentu saja." Aku menarik tubuhnya mendekat. ."Itu mungkin tidak akan berakhir baik." Aku tersenyum, mengeratkan pelukan pada pinggangnya, aku kembali mengklaim bibir merahnya.

"Aku harus kembali," ucapku, menatap Zava yang sedang mengenakan pakaiannya. 

Dia menatapku, wajahnya merenggut, seakan tak ingin melepasku pergi. Aku hampir tertawa ... mengingat tadi dia terus menyuruhku pulang.

Zava mendekat, melingkarkan kedua tangannya pada pinggangku, dia menyandarkan wajahnya di dadaku.

"Aku tak ingin kau pergi." 

Aku mendesah pelan, gadis ini sungguh tau kelemahanku. Kuraih bahunya dan membuatnya menatapku.

"Aku tau ... aku akan kembali mencari cara agar kita bisa bertemu."

Zava membuang wajah ... raut sedih tak dapat dia sembunyikan.

"Aku begitu lelah, Jayden," bisiknya. "Aku lelah bersembunyi." Zava menatapku, kedua netranya mulai berkaca-kaca menampakkan dia akan menangis.

Aku betul-betul lemah melihat air matanya. Kuraih tubuhnya dan kupeluk erat.

"Aku ingin seperti pasangan lain, mereka bebas bergandengan tangan di manapun." Zava melanjutkan, tangannya memelukku semakin erat. Berbagai emosi yang dia rasakan hampir melumpuhkanku, semua terasa begitu mencekik. "Aku ingin pergi ke taman kota bersamamu, atau ke festival bunga cahaya ... atau bahkan sekedar pergi ke market bersama." Zava menatapku. "Kenapa kita tidak bisa seperti pasangan lainnya?"

"Zava ...." 

"Tidak...." Dia menggeleng. "Jangan meminta maaf, Jayden." Dia kembali menyandarkan dirinya ke dadaku. "Semua ini bukan kesalahan kita, takdir yang membuatmu terlahir sebagai seorang Mage, dan aku hanya seorang mortal."

"Aku bisa meninggalkan semuanya." Napas Zava tercekat, dia seketika melepas pelukannya dan menatapku terkejut.

"Jayden, kau tidak bisa mengatakan hal seperti itu." Dia berjalan menjau, kedua tangan menyilang di dada. "Kau tidak bisa melakukan kebodohan seperti itu."

Aku mendekatinya, memeluk tubuhnya dari belakang

"Aku tidak peduli pada apapun ... aku tau apa yang kuinginkan."

Zava berbalik ke arahku, dia menatapku serius.

"Sebagai pewaris tahta, kau tidak bisa—"

Aku menciumnya, dengan efektif menghentikan pembicaraannya.

"Aku tidak pernah memilih semua itu ... dan aku tidak peduli dengan apa yang akan terjadi."

Zava menggeleng, aku tau apa yang akan dikatakannya, dan melanjutkan.

"Aku mage terkuat di Irealla ... aku bahkan hampir sekuat belum mendapatkan kekuatan penuhku tapi aku hampir sekuat ayahku." Aku mengangkat tanganku dan menatapnya. "Ayahku mungkin penguasa Irealla ...." Menatap Zava, aku melanjutkan dengan penuh keyakinan, menekankan tiap kata yang kukatakan. "Tapi bahkan dia tak akan mampu melawanku."

Butiran bening jatuh dari sudut matanya, yang segera kuhapus dengan ibu jariku.

"Bersabarlah ... bila waktunya tiba, aku akan membebaskan para mortal." Aku mengecup kedua matanya. "Kalian bukan budak di mataku."

Zava memelukku.

"I love you," bisiknya.

"I love you more," balasku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status