Share

Part 4

Seperti yang kubilang, anggota dewan konsil adalah sekumpulan orang tua membosankan, dan aku terpaksa harus mentolerir keberadaan mereka. Seharusnya aku menyelinap keluar selagi ada kesempatan.

Aku meringis saat Colton menyikut perutku. Aku melempar tatapan sinis ke arahnya, namun anak bodoh ini sama sekali tidak peduli.

"Berhenti melamun!" bisik/bentaknya. 

Aku memutar bola mata, bocah ini berpikir dia bisa mengaturku. Salah satu perwakilan dewan konsil terlihat sedang berbicara dengan si tua Arthur.

"... Irealla membutuhkan kepastian, mereka ingin tau siapa diantara kedua pangeran yang menduduki posisi putra mahkota. Rakyat Irealla berhak mengetahui siapa yang akan menjadi raja mereka berikutnya," ucap pria yang paling tua. Pria itu tampaknya merupakan pemimpin dari rombongan ini.

Aku mendesah pelan, sudah begitu bosan dengan semua pembahasan ini, aku bahkan tidak peduli siapa yang akan menjadi raja. Hell ... aku tidak pernah menginginkan posisi tersebut.

"Kedua putraku masih terlalu muda, mereka belum mencapai usia untuk posisi tersebut," Raja Arthur beralasan.

Pria lain yang berada di sisi kanan pria tua tadi membuka suara.

"Dengan segala rasa hormat, semua keturunan kerajaan seharusnya melakukan upacara saat memasuki usia sepuluh tahun. Namu kedua pangeran belum pernah melewati tes dengan Oracle." 

Aku mendesah, tidak tertarik untuk terus menyimak obrolan tidak penting mereka. Pikiranku tertuju pada Zava, gadis itu betul-betul pandai menggunakan tubuhnya. Senyumku mengembang mengingat kebersamaan kami tadi, seakan dia diciptakan khusus untukku. Sial ... membayangkannya membuatku kembali menginginkannya. Bahkan tubuhku pun ikut bereaksi memikirkannya.

Di sebelahku, Colton menunjukkan ekspresi jijik.

"Tahan dirimu, bodoh!" bisiknya. "Kau bisa kembali memikirkan mortalmu itu setelah semua orang pergi."

Aku memutar bola mata kemudian berdiri, mengejutkan orang-orang. Bahkan salah satu dewan konsil yang tadi sedang berbicara mendadak terdiam melihatku. Bisa kulihat raut kemarahan di wajah Raja Arthur karena sikap tidak sopanku, tapi dia tentu kehilangan akal sehat jika berpikir kalau aku peduli.

"Kalian sudah selesai? aku sedang ada urusan penting sekarang." Aku tak menunggu jawaban mereka dan langsung pergi.

Memasuki bilik pribadiku, aku tak heran menemukan Luis sudah ada di sana. Dia mengangkat sebelah alis dan menyeringai.

"Kau bertahan lebih lama dari yang kuduga."

Aku tak menjawabnya. Membuka paksa beberapa kancing, kubiarkan udara segar menghapus kekesalanku.

"Jadi? apa yang mereka inginkan?" tanyanya lagi. Kali ini, aku menoleh ke arahnya.

"Kau tentu sudah tau apa maksud kedatangan mereka ke sini ... sama seperti beberapa tahun yang lalu." Aku menjatuhkan diri ke sofa dan menyandarkan tubuh lelahku.

"Aku tidak mengerti kenapa Raja Arthur menolak untuk melakukan upacaranya ... cepat atau lambat, kalian harus melakukan prosesnya." 

Aku terkekeh dengan perkataan Luis.

"Si tua itu takut jika aku yang terpilih."

Luis menatapku.

"Kalau Oracle memutuskan untuk memilihmu, maka tidak ada yang dapat dia lakukan untuk mencegahnya. Begitupun sebaliknya." Luis tampaknya tidak terlalu memahami jalan pikiran si tua itu.

"Ya, tapi dia bisa menundanya ...." Menatap ke luar jendela, aku melanjutkan perlahan. "Aku tau dia pasti sedang merencanakan sesuatu."

"Rencana apa maksudmu?" Luis mendekat, tampak tidak mengerti arah pembicaraanku. Aku menatapnya dengan serius sebelum melanjutkan.

"Si tua itu tidak ingin aku menjadi raja Irealla." Aku berdiri, meletakkan kedua tanganku ke bingkai jendela, menatap dataran Irealla yang membentang luas. "Dia tidak rela darah seorang mortal memimpin negeri ini ... sama seperti sebagian besar penduduk Irealla."

Luis menarik bahuku sehingga aku menghadap ke arahnya.

"Kau bukan seorang mortal, darah seorang Mage mengalir di tubuhmu." 

"Tidak merubah siapa ibuku," cetusku memotong pembicaraannya. 

Luis menatapku sedih, aku membuang muka, tak membutuhkan rasa simpati darinya.

"Aku tidak pernah menginginkan posisi sebagai seorang raja ... Namun, aku akan mengambil posisi itu jika hal ini dapat menghancurkan si tua bangka itu."

"Jayden!"

"Irealla akan merasakan kemarahanku ... mereka akan mengingat ketidak Adilan yang dialami oleh ibuku."

Aku meninggalkan Luis yang mematung di dekat jendela kamarku, meraih sebuah mantel, aku segera meninggalkan istana.

Hanya satu orang yang bisa menenangkan gemuruh hatiku saat ini.

———

Memasuki Eraden, suasana hatiku sudah mulai lebih baik. Aku segera menuju bar, tak peduli kalau mereka sedang bersiap-siap untuk tutup, Reynold tak berkomentar apapun saat melihat ekspresiku. Dia segera membawakan minuman yang biasa kupesan.

"Kami akan segera tutup, tapi jika kau ingin memesan kamar, aku bisa mempersiapkannya sekarang."

Aku hanya mengangguk dan menenggak minumanku.

Pintu bar terbuka, dan aku melihat Zava masuk. Dia tampak tak menyadari keberadaanku. Aku berjalan mendekatinya dan memeluknya dari belakang. Zava tampak terkejut, tapi segera tenang saat menyadari kalau ini aku.

"Aku sangat merindukanmu." Aku mengeratkan pelukanku, mengecup antara pertemuan leher dan bahunya membuat napasnya sedikit tercekat.

"Kita baru saja bersama tadi pagi." Zava memutar tubuhnya menghadapku. Senyum tipis menghias wajah lelahnya. 

"Terlalu lama." Aku mengubur wajahku di lehernya. "Tinggal lah denganku malam ini ...," pintaku.

"Apakah ini perintah atau permintaan?" Aku bisa mendengar tawa pada kata-katanya.

"Apapun yang membuatmu setuju." Aku mungkin terdengar seperti seorang anak kecil yang merengek pada ibunya. Zava tertawa geli dan memelukku lembut.

"Kau tau aku tidak bisa menolak pangeran Irealla."

Aku mengangkat wajahku, menatap wajah angelic-nya. Entah bagaimana aku sangat beruntung memiliki wanita sesempurna dia. Kutuntun Zava ke arah bar dan mengambil kunci dari Reynold dan segera ke atas.

Aku membuka pintu kamar dengan tidak sabar, menyeret Zava masuk dan segera menendang pintunya. Bibir kami segera beradu begitu pintu tertutup, dan aku segera mengarahkan Zava ke atas tempat tidur.

Zava mungkin seorang mortal, tapi dia telah menyihirku hingga begitu menggila terhadapnya. Aku menyentuh tiap lekuk tubuhnya, menikmati sensasi tiap kali dia bergetar di bawah sentuhanku.

"Jayden ...."

"Sshhh ... Kau tidak perlu melakukan apapun ... biarkan aku memanjakanmu."

Zara tampak lebih relaks, matanya tak beralih dariku. Aku merendahkan tubuhku, dan mulai menciumnya, sesekali tersenyum tiap kali dadanya bergemuruh dan napasnya tercekat. 

Saat ini ... aku bukanlah pangeran Irealla dan Zava bukan seorang budak dari kalangan mortal. Kami adalah dua bagian dari puzzle yang saling melengkapi ... tak ada kekuatan apapun di Irealla yang akan menghentikanku mencintai ratuku ... iya ... jika aku menjadi raja di Irealla, hanya satu wanita yang pantas menjadi ratuku.

Tidak ada yang lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status