Malam itu, setelah keheningan panjang yang menyakitkan, Nayla memutuskan untuk tetap berada di rumah.
Bukan karena takut pada Revan, tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang menolak untuk menyerah begitu saja. Tapi tetap saja, ada batas yang tak terlihat di antara mereka. Sejak percakapan terakhir mereka, Revan memilih menjaga jarak. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerja, menghindari interaksi yang tak perlu. Nayla sendiri sudah lelah menunggu jawaban yang mungkin tak akan pernah datang. Hingga akhirnya, badai sesungguhnya mulai datang ke dalam kehidupan mereka. Suatu pagi, ketika Nayla sedang menikmati sarapannya di meja makan, Revan tiba-tiba muncul dengan ekspresi serius. “Aku akan mengadakan jamuan makan malam akhir pekan ini,” katanya tanpa basa-basi. Nayla mengangkat alis. “Jamuan makan malam?” Revan mengangguk. “Para investor akan datang. Aku ingin kau hadir.” Nayla mengerutkan kening. Selama ini, Revan tidak pernah melibatkannya dalam urusan bisnis. "Kenapa tiba-tiba aku harus ikut?" tanyanya hati-hati. Revan menatapnya dingin. “Karena mereka ingin bertemu istriku.” Nada suaranya seolah menyiratkan bahwa Nayla hanyalah bagian dari strategi bisnisnya. Nayla tersenyum sinis. "Jadi aku hanya sekadar pajangan?" Revan tidak membantah. Ada keheningan panjang di antara mereka sebelum Nayla akhirnya berkata, “Baik. Aku akan datang.” Namun dalam hatinya, ada perasaan aneh yang mengusik pikirannya. Dan dia tidak menyangka bahwa kehadirannya di acara itu akan mengubah hidupnya selamanya. Hari yang dinantikan pun tiba. Nayla berdiri di depan cermin, mengenakan gaun elegan berwarna merah tua yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Ia menatap pantulannya. Ini bukan dirinya yang biasa. Tapi malam ini, ia harus memerankan peran sebagai istri CEO dengan sempurna. Ketika ia turun, Revan sudah menunggunya di dekat pintu. Matanya sedikit membesar saat melihat penampilan Nayla, tapi ia segera mengalihkan pandangannya. "Kita pergi sekarang," katanya singkat. Mereka tiba di hotel mewah tempat acara diadakan. Puluhan tamu penting sudah berkumpul, berbincang tentang bisnis dan masa depan perusahaan. Nayla berusaha tersenyum, meski hatinya terasa berat. Tapi di tengah percakapan hangat itu, sebuah suara yang familiar membuatnya membeku. “Nayla?” Ia menoleh, dan matanya membelalak saat melihat sosok pria yang berdiri di hadapannya. Pria yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Ryan. Revan yang berada di sebelahnya langsung menangkap perubahan ekspresi Nayla. "Siapa dia?" tanyanya, nada suaranya mengandung kecurigaan. Ryan tersenyum kecil, meski ada sorot terkejut di matanya. “Aku mantan tunangannya.” Suasana mendadak membeku. Mata Revan berubah gelap. Sementara Nayla hanya bisa terdiam, tak tahu harus berkata apa. Dan malam itu, semuanya berubah. Tatapan Revan menusuk ke arah Ryan, sementara Nayla masih terdiam di tempatnya. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu Ryan lagi, apalagi dalam situasi seperti ini. “Sungguh kejutan yang menarik.” Ryan tersenyum kecil, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Nayla semakin gelisah. Revan melirik Nayla sebelum kembali menatap Ryan dengan tajam. “Kau mantan tunangannya?” Ryan mengangguk santai. “Ya. Kami pernah bertunangan beberapa tahun lalu. Tapi sepertinya dia tidak pernah menceritakan itu padamu, bukan?” Nayla meremas jemarinya sendiri, berusaha menahan gejolak perasaan yang berkecamuk. “Aku tidak perlu menceritakan masa laluku pada siapa pun,” katanya, suaranya lebih tegas dari yang ia kira. Revan mengamati Nayla dengan ekspresi sulit ditebak. “Jadi, kau menyembunyikan ini dariku?” Nayla menoleh, menatapnya dengan tajam. “Sejak kapan kau tertarik dengan kehidupan pribadiku?” Hening sejenak. Ryan terkekeh pelan, melirik interaksi dingin di antara mereka. “Sepertinya ada banyak yang terjadi dalam pernikahan kalian.” Revan tidak membalas, tapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia tidak menyukai situasi ini. Ryan melanjutkan, “Aku tidak akan mengganggu. Aku hanya ingin menyapa. Senang bertemu denganmu lagi, Nayla.” Nayla menelan ludah, lalu mengangguk pelan. “Ya… senang bertemu lagi.” Tapi jauh di dalam hatinya, perasaannya justru bertolak belakang. Ketika Ryan pergi, Revan menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “Kita bicara nanti.” Dan Nayla tahu, badai yang sebenarnya baru akan dimulai. Malam itu, setelah acara selesai, perjalanan pulang di mobil terasa begitu sunyi. Revan menyetir dengan rahang mengeras, matanya fokus ke jalanan. Nayla bisa merasakan ketegangannya. Hingga akhirnya, saat mereka tiba di rumah dan masuk ke dalam, Revan menutup pintu dengan sedikit lebih keras dari biasanya. “Kau tidak pernah menceritakan ini padaku.” Nayla menatapnya. “Aku tidak perlu menceritakan sesuatu yang tidak ada hubungannya denganmu.” Revan tertawa kecil, tapi tanpa humor. “Tidak ada hubungannya denganku?” Ia mendekat, menatap Nayla dengan mata tajam. “Aku suamimu, Nayla.” Nayla menatap balik, tidak ingin terlihat lemah. “Kita menikah bukan karena cinta, Revan. Jadi kenapa kau harus peduli siapa masa laluku?” Revan terdiam. Tapi matanya penuh gejolak emosi yang tidak bisa diartikan Nayla. “Kau tidak mengerti,” ucapnya akhirnya, suaranya lebih pelan. Nayla mengernyit. “Apa maksudmu?” Revan tidak menjawab. Ia hanya menatapnya selama beberapa detik, lalu menghela napas panjang. “Kita sudahi saja untuk malam ini.” Dan tanpa menunggu jawaban Nayla, ia berbalik dan pergi ke kamarnya sendiri. Meninggalkan Nayla dengan ratusan pertanyaan yang tidak terjawab. Nayla berdiri di tempatnya, menatap pintu kamar yang baru saja ditutup Revan. Di dalam hatinya, ada sesuatu yang terasa janggal. Kenapa Revan bereaksi seperti itu? Dia seharusnya tidak peduli. Pernikahan mereka hanyalah kesepakatan, bukan berdasarkan cinta. Tapi ekspresi wajah Revan barusan… seperti ada sesuatu yang mengusiknya lebih dari sekadar kecemburuan biasa. Nayla menghela napas dan melangkah ke kamarnya sendiri. Namun, saat ia berbaring di tempat tidur, pikirannya masih dipenuhi bayangan Ryan dan kata-kata terakhir Revan. “Kau tidak mengerti.” Apa yang sebenarnya tidak ia mengerti? Dan kenapa perasaan ini semakin membuat dadanya sesak? Keesokan harinya, Revan sudah pergi lebih pagi dari biasanya. Nayla turun ke ruang makan dan mendapati Bu Sari sedang menyiapkan sarapan. "Pak Revan sudah berangkat, Bu?" Nayla bertanya, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Bu Sari tersenyum lembut. "Iya, Nona Nayla. Beliau keluar lebih awal. Sepertinya ada urusan penting." Nayla mengangguk. Ia duduk dan mulai menyantap sarapannya dengan perlahan. Namun pikirannya terus berputar pada kejadian semalam. Mau tidak mau, ingatannya kembali pada Ryan. Dulu, Ryan adalah pria yang ia cintai dengan sepenuh hati. Mereka bertunangan, berjanji akan menikah dan membangun masa depan bersama. Tapi semuanya hancur dalam sekejap. Ryan meninggalkannya—tanpa alasan, tanpa penjelasan. Dan setelah bertahun-tahun, kini dia muncul kembali, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi yang lebih membingungkan Nayla adalah reaksi Revan. Mengapa dia begitu terganggu dengan kehadiran Ryan? Pernikahan mereka hanyalah formalitas. Seharusnya Revan tidak peduli dengan masa lalunya. Namun, sikapnya berkata sebaliknya. Nayla tidak tahu apa yang harus ia pikirkan lagi. Yang jelas, ia merasa bahwa badai yang lebih besar sedang mendekat. Dan kali ini, ia tidak tahu apakah ia bisa bertahan.Pagi itu, mentari menyelinap lembut melalui celah tirai apartemen. Suara burung yang samar terdengar dari kejauhan memberi nuansa damai yang sudah lama tak dirasakan Nayla. Ia terbangun lebih dulu, menyandarkan punggung di kepala ranjang sambil menatap Revan yang masih terlelap.Wajah itu... begitu tenang saat tidur. Tak ada tanda-tanda kekakuan CEO arogan seperti biasanya. Hanya Revan, laki-laki yang pernah ia cintai secara diam-diam, lalu akhirnya ia tinggalkan demi harga diri dan kebebasan.Nayla tersenyum getir. “Bodohnya aku waktu itu...”Namun di balik senyumnya, hatinya tetap menyimpan ragu. Ia belum tahu seperti apa Revan sekarang. Apakah perubahan itu hanya sesaat karena rindu, atau memang tulus ingin memperbaiki semuanya?Revan membuka mata perlahan. Menemukan Nayla sedang menatapnya dengan pandangan sendu.“Aku mimpi kamu ninggalin aku lagi,” gumamnya serak.Nayla tersentak kecil. “Kenapa mimpi seperti itu?”Revan menarik nafas dalam. “Karena aku takut. Meskipun kamu ada di
Sejak Nayla meninggalkan rumah untuk menjalankan proyek kemanusiaannya di desa terpencil, rumah Revan terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada suara langkah kaki di pagi hari, tidak ada wangi kopi yang biasa disiapkan Nayla, dan tidak ada percakapan kecil yang menjadi pengisi waktu mereka. Hari-hari Revan terasa kosong, meskipun pekerjaannya di kantor semakin padat. Di ruang kerjanya yang luas dan modern, Revan mencoba fokus. Namun, bayangan Nayla selalu muncul di sela-sela kesibukannya. Terkadang ia memandangi layar ponselnya berjam-jam, menunggu pesan dari Nayla. Namun sinyal di desa sangat terbatas. Hanya sesekali Nayla bisa mengirim kabar singkat. "Anak-anak di sini lucu-lucu, Van. Mereka memanggilku Kak Nay. Aku merasa seperti punya adik-adik baru." Revan tersenyum setiap kali membaca pesan itu. Ia membalas, "Aku bangga padamu. Tapi aku juga rindu." Suatu malam, setelah rapat panjang dan makan malam bisnis yang melelahkan, Revan kembali ke rumah. Ia berjalan melewati k
Malam mulai larut, tapi Nayla masih duduk di depan jendela, memandangi lampu-lampu kota yang berkedip-kedip dari kejauhan. Dalam diam, pikirannya sibuk memutar ulang kenangan yang membuat hatinya terasa sesak. Ia memeluk lututnya sendiri, berharap kehangatan dari pelukannya bisa menggantikan dingin yang merambat ke dalam hatinya. Sudah beberapa minggu ini hubungan mereka tidak lagi sama. Revan masih bersikap baik, masih pulang ke rumah, masih menatapnya dengan mata yang sama—tapi Nayla bisa merasakan jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka. Ada hal-hal yang dulu terasa hangat, kini mulai terasa asing. Ketukan pelan di pintu kamar membuatnya menoleh. Revan masuk, membawa secangkir teh hangat. “Untukmu,” katanya singkat, meletakkan cangkir di meja dekat jendela. Nayla tersenyum tipis. “Terima kasih.” Revan tidak langsung pergi. Ia duduk di sisi tempat tidur, lalu menatap punggung Nayla dalam diam. Ada banyak yang ingin ia katakan, tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu.
Nayla menatap Revan dengan perasaan tak menentu. Ia bisa melihat ketegangan di wajah suaminya—sesuatu yang jarang sekali terjadi. “Apa yang ingin kau katakan?” tanyanya hati-hati. Revan menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu ini akan sulit, tapi ia juga tahu bahwa Nayla berhak untuk mengetahui semuanya. “Aku bertemu dengan seseorang hari ini,” ujarnya pelan. Nayla mengernyit. “Seseorang?” “Clara.” Dada Nayla terasa seperti dihantam palu. Nama itu—nama yang hanya ia dengar sekilas dalam percakapan singkat Revan dengan beberapa orang di masa lalu—kini muncul kembali di hadapan mereka. Matanya membulat, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Mantan kekasihmu?” Revan mengangguk. “Ya.” Nayla mengatupkan bibirnya. Perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti hatinya, tetapi ia masih menunggu kelanjutan dari Revan. “Aku baru tahu sesuatu yang selama ini disembunyikan dariku,” lanjut Revan dengan suara berat. “Aku... aku punya seora
Langkah Nayla terasa ringan, namun hatinya penuh dengan beban berat. Ia mengikuti Revan menuju ruang tamu, di mana seorang wanita berambut panjang dengan gaun elegan berwarna merah sudah menunggu. Clara. Wanita itu tampak anggun, dengan wajah yang menunjukkan ketenangan sekaligus kepercayaan diri. Ia tersenyum tipis saat melihat Revan mendekat, tetapi senyumnya sedikit memudar saat menyadari Nayla juga ada di sana. "Revan," suara Clara lembut, tetapi memiliki ketegasan di dalamnya. "Kita perlu bicara." Revan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, ekspresinya dingin. "Bicara tentang apa?" Clara menatap Nayla sesaat, lalu kembali menatap Revan. "Ini penting." Nayla menahan napas. Bagaimana jika Clara adalah bagian dari masa lalu Revan yang belum selesai? Bagaimana jika... wanita ini adalah seseorang yang pernah sangat berarti dalam hidupnya? Namun, sebelum Nayla bisa terus membiarkan pikirannya berlarian, suara Revan membuyarkan lamunannya. "Apapun yang ing
Malam itu, Nayla berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka. Suara detak jam di dinding terdengar lebih nyaring dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi kejadian sore tadi—tatapan Revan yang tajam, genggaman tangannya yang kuat, dan kata-kata yang menggantung di udara. "Jangan buat keadaan menjadi rumit." Nayla menarik napas panjang, lalu berbalik ke samping, menatap langit-langit kamar yang diterangi cahaya lampu tidur. Apa maksud Revan? Bukankah sejak awal pernikahan ini memang sudah rumit? Bagaimana mungkin ia bisa menjalani semuanya tanpa melibatkan perasaan? Pintu kamar mandi terbuka, membuat Nayla refleks menoleh. Revan keluar dengan rambut yang masih basah, hanya mengenakan kaus hitam dan celana pendek. Mereka saling bertatapan sekilas sebelum Revan berjalan menuju lemari, mengambil ponselnya, lalu duduk di sofa yang ada di sudut kamar. Nayla mengalihkan pandangannya. Biasanya, ia tidak begitu memperhatikan kebiasaan Revan, tapi entah mengapa malam ini ia m