Langit Surabaya mendung, seolah menggambarkan suasana hati Nayla Azzahra yang dipaksa mengenakan gaun pengantin putih hari ini. Tangannya terasa dingin saat ia duduk di depan cermin besar, wajahnya tampak pucat meski telah dipoles dengan riasan sempurna.
Hari ini seharusnya menjadi momen bahagia bagi seorang wanita, tetapi tidak baginya. Pernikahan ini bukanlah impiannya, melainkan sebuah paksaaan. "Nayla, sudah siap?" Suara lembut ibunya, Bu Rina, membuyarkan lamunannya. Ia menoleh, matanya berkaca-kaca. "Bu... apa tidak ada cara lain?" Bu Rina menggenggam tangan putrinya dengan erat. "Nak, ini satu-satunya cara agar kita bisa menyelamatkan keluarga kita. Kamu tahu sendiri, hutang ayahmu terlalu besar..." Nayla memejamkan mata, menahan air mata yang hampir jatuh. Semua ini demi keluarganya. Demi ayahnya yang tengah sakit dan bisnis keluarganya yang di ambang kehancuran. Revan Adrian. Nama lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Seorang CEO muda, dingin, dan dikenal sebagai pria tanpa perasaan. Pernikahan ini hanyalah kontrak bisnis antara keluarganya dan keluarga Revan. Tidak ada cinta di dalamnya. Tiga puluh menit kemudian... Di depan altar, Nayla berdiri di samping Revan. Pria itu terlihat tampan dalam balutan setelan hitam, namun ekspresinya begitu datar, nyaris tanpa emosi. Pendeta mulai membacakan janji suci, tetapi Nayla merasa dunia seolah berputar lambat. "Saya terima." Suara bariton Revan terdengar tenang, tanpa sedikit pun keraguan. Pendeta menoleh ke arahnya. "Nayla Azzahra, apakah Anda bersedia menerima Revan Adrian sebagai suami Anda, dalam suka dan duka?" Kerongkongannya terasa kering. Ia menatap pria di hadapannya, mata tajamnya begitu dingin. Hatinya berteriak untuk menolak, tetapi ia tahu, menolak bukanlah pilihan. Dengan napas gemetar, Nayla akhirnya mengucapkan kata yang akan mengubah hidupnya selamanya. "Saya terima." Tepuk tangan bergema di dalam ruangan. Para tamu tersenyum, mengira ini adalah pernikahan yang penuh kebahagiaan. Tetapi bagi Nayla, ini adalah awal dari sebuah kurungan tanpa cinta. Ia merasakan tangan Revan yang dingin menyentuh jemarinya saat pria itu menyematkan cincin emas di jari manisnya. Tidak ada kelembutan, tidak ada tatapan penuh cinta, hanya sekadar formalitas. Ketika giliran Nayla menyematkan cincin di jari Revan, ia mencoba menahan getaran di tangannya. "Silakan cium pengantinnya," kata pendeta dengan senyum ramah. Nayla menegang. Ciuman? Ia menoleh ke arah Revan, berharap pria itu menolak seperti dirinya. Namun, yang dilakukan pria itu justru membuat jantung Nayla berdebar. Revan menarik pinggangnya dan mengecup keningnya sekilas. Dingin. Tanpa emosi. Tamu-tamu bersorak kecil, menganggap momen itu romantis. Nayla tahu betul, ciuman itu tidak lebih dari sekadar formalitas. Setelah prosesi usai, mereka berdua berjalan menyusuri lorong menuju pintu keluar gedung pernikahan. Lampu kamera berkilatan, para wartawan mengambil gambar mereka. Pernikahan ini bukan hanya tentang keluarga, tapi juga bisnis dan reputasi. "Revan! Nayla! Beri kami satu senyuman!" seorang fotografer berteriak. Nayla tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegugupan dalam dirinya. Di sampingnya, Revan tetap dengan ekspresi datarnya, seolah pernikahan ini sama sekali tidak berarti baginya. Mobil Pengantin Di dalam mobil yang melaju menuju rumah baru mereka, keheningan terasa begitu mencekam. Hanya suara AC dan gesekan kain gaun Nayla yang terdengar. Nayla menggigit bibirnya, mencoba mencari topik pembicaraan, tetapi entah mengapa mulutnya terasa kelu. Akhirnya, ia menghela napas dan memberanikan diri. "Revan..." "Hm?" jawab pria itu tanpa menoleh. "Apa kita benar-benar harus tinggal bersama?" Revan mengalihkan pandangannya ke arahnya, tatapan mata tajamnya membuat Nayla sedikit gugup. "Kamu pikir kita bisa menjalani pernikahan ini tanpa tinggal dalam satu rumah?" Nayla menelan ludah. "Aku hanya... maksudku, kita tidak saling mencintai." Revan menyeringai kecil, tetapi bukan dengan kehangatan, melainkan ejekan. "Dan kamu pikir aku menikahimu karena cinta?" Nayla terdiam. Sakit memang mendengar kata-kata itu, tapi ia tahu sejak awal pernikahan ini hanyalah kontrak. "Tidak perlu merasa terbebani," lanjut Revan, suaranya dingin. "Kita hanya perlu menjalani ini selama dua tahun. Setelah itu, kamu bebas." Dua tahun. Nayla menunduk, menyadari bahwa ia harus menghabiskan 730 hari ke depan dalam pernikahan yang hampa ini. Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah mewah. Tidak, bukan rumah. Ini lebih pantas disebut istana. Pilar-pilar tinggi, taman luas dengan lampu-lampu elegan, serta gerbang besar yang dijaga oleh dua pengawal berseragam hitam. "Turun," kata Revan singkat. Nayla menarik napas dalam dan melangkah keluar. Begitu pintu rumah terbuka, aroma bunga mawar menyeruak di udara. Interior megah menyambutnya—lantai marmer mengkilap, lampu gantung kristal, dan tangga besar yang mengarah ke lantai atas. Namun, keindahan ini tidak membuatnya merasa nyaman. Ia tahu, mulai hari ini hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Nayla berdiri di ambang pintu, matanya menyapu setiap sudut rumah megah yang kini akan menjadi tempat tinggalnya. Dingin. Sepi. Tak berjiwa. Itu kesan pertama yang ia rasakan. Revan berjalan mendahului tanpa menoleh, membiarkan Nayla tertinggal beberapa langkah di belakang. Seorang pelayan wanita paruh baya segera menyambut mereka dengan senyum ramah. “Selamat datang, Tuan dan Nyonya. Saya Bu Sari, kepala pelayan di rumah ini,” katanya sopan. Nayla menatapnya ragu. Nyonya? Terdengar aneh di telinganya. Bu Sari menoleh ke arah Revan. “Apakah Tuan ingin langsung beristirahat?” Revan hanya mengangguk. “Kamar sudah disiapkan?” “Tentu, Tuan.” Nayla menegang. Kamar? Apakah mereka akan tidur di ruangan yang sama? Seolah membaca pikirannya, Revan menoleh sekilas. “Tenang saja, aku tidak tertarik berbagi tempat tidur dengan wanita yang tidak kucintai.” Kata-kata itu menyakitkan, tapi Nayla menahan diri untuk tidak bereaksi. Apa yang bisa diharapkan dari pernikahan kontrak? Bu Sari mengantar Nayla ke sebuah kamar yang begitu luas. Langit-langitnya tinggi dengan lampu kristal menggantung di tengah. Ranjang berukuran king berdiri megah di tengah ruangan, dikelilingi furnitur mewah yang tampaknya sangat mahal. “Silakan beristirahat, Nyonya. Jika membutuhkan sesuatu, panggil saja saya,” kata Bu Sari sebelum meninggalkannya sendirian. Nayla menatap bayangannya di cermin besar di sudut kamar. Gaun pengantinnya masih melekat di tubuhnya, tetapi ia tak merasa seperti pengantin baru. Ia berjalan menuju ranjang dan duduk di tepinya. Beginikah rasanya menikah tanpa cinta? Air matanya hampir jatuh, tapi ia buru-buru menghapusnya. Tidak. Aku tidak boleh menangis. Aku harus kuat. Dua Tahun. Hanya dua tahun, lalu ia akan bebas. Beberapa Hari Kemudian Pernikahan sudah berlalu, tapi Nayla masih merasa seperti orang asing di rumah ini. Revan hampir tidak pernah ada di rumah. Jika pun ada, pria itu selalu bersikap dingin dan tidak berbicara kecuali diperlukan. Ia menghabiskan waktunya di kamar atau di taman belakang yang luas. Namun, kesepian tetap menghantuinya. Suatu pagi, ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Namun, saat turun ke lantai satu, ia mendengar suara Revan berbicara di ruang tamu. “Jadi, kau benar-benar menikah dengan gadis itu?” Suara seorang pria lain terdengar, sedikit mengejek. Nayla berhenti melangkah. “Kau tahu alasannya,” jawab Revan, suaranya terdengar malas. “Tapi menikah? Serius? Kau bahkan tidak tertarik padanya, bukan?” “Tentu saja tidak. Aku tidak pernah mencintai siapa pun, dan dia bukan pengecualian.” Dada Nayla terasa sesak. “Oh, jadi dia hanya pengantin kontrak? Kau tidak takut dia jatuh cinta padamu?” Revan terkekeh. “Dia bukan tipeku, dan aku yakin dia juga tidak ingin jatuh cinta padaku. Kami hanya perlu menjalani ini sampai semuanya selesai.” Nayla mengepalkan tangannya. Entah kenapa, kata-kata itu menyakitinya lebih dari yang ia harapkan. Dengan cepat, ia membalikkan badan dan kembali ke kamarnya, mencoba menenangkan hatinya yang mulai bergejolak. Ia harus mengingatkan dirinya sendiri: Ini hanya pernikahan kontrak. Jangan berharap lebih.Pagi itu, mentari menyelinap lembut melalui celah tirai apartemen. Suara burung yang samar terdengar dari kejauhan memberi nuansa damai yang sudah lama tak dirasakan Nayla. Ia terbangun lebih dulu, menyandarkan punggung di kepala ranjang sambil menatap Revan yang masih terlelap.Wajah itu... begitu tenang saat tidur. Tak ada tanda-tanda kekakuan CEO arogan seperti biasanya. Hanya Revan, laki-laki yang pernah ia cintai secara diam-diam, lalu akhirnya ia tinggalkan demi harga diri dan kebebasan.Nayla tersenyum getir. “Bodohnya aku waktu itu...”Namun di balik senyumnya, hatinya tetap menyimpan ragu. Ia belum tahu seperti apa Revan sekarang. Apakah perubahan itu hanya sesaat karena rindu, atau memang tulus ingin memperbaiki semuanya?Revan membuka mata perlahan. Menemukan Nayla sedang menatapnya dengan pandangan sendu.“Aku mimpi kamu ninggalin aku lagi,” gumamnya serak.Nayla tersentak kecil. “Kenapa mimpi seperti itu?”Revan menarik nafas dalam. “Karena aku takut. Meskipun kamu ada di
Sejak Nayla meninggalkan rumah untuk menjalankan proyek kemanusiaannya di desa terpencil, rumah Revan terasa lebih sunyi dari biasanya. Tidak ada suara langkah kaki di pagi hari, tidak ada wangi kopi yang biasa disiapkan Nayla, dan tidak ada percakapan kecil yang menjadi pengisi waktu mereka. Hari-hari Revan terasa kosong, meskipun pekerjaannya di kantor semakin padat. Di ruang kerjanya yang luas dan modern, Revan mencoba fokus. Namun, bayangan Nayla selalu muncul di sela-sela kesibukannya. Terkadang ia memandangi layar ponselnya berjam-jam, menunggu pesan dari Nayla. Namun sinyal di desa sangat terbatas. Hanya sesekali Nayla bisa mengirim kabar singkat. "Anak-anak di sini lucu-lucu, Van. Mereka memanggilku Kak Nay. Aku merasa seperti punya adik-adik baru." Revan tersenyum setiap kali membaca pesan itu. Ia membalas, "Aku bangga padamu. Tapi aku juga rindu." Suatu malam, setelah rapat panjang dan makan malam bisnis yang melelahkan, Revan kembali ke rumah. Ia berjalan melewati k
Malam mulai larut, tapi Nayla masih duduk di depan jendela, memandangi lampu-lampu kota yang berkedip-kedip dari kejauhan. Dalam diam, pikirannya sibuk memutar ulang kenangan yang membuat hatinya terasa sesak. Ia memeluk lututnya sendiri, berharap kehangatan dari pelukannya bisa menggantikan dingin yang merambat ke dalam hatinya. Sudah beberapa minggu ini hubungan mereka tidak lagi sama. Revan masih bersikap baik, masih pulang ke rumah, masih menatapnya dengan mata yang sama—tapi Nayla bisa merasakan jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka. Ada hal-hal yang dulu terasa hangat, kini mulai terasa asing. Ketukan pelan di pintu kamar membuatnya menoleh. Revan masuk, membawa secangkir teh hangat. “Untukmu,” katanya singkat, meletakkan cangkir di meja dekat jendela. Nayla tersenyum tipis. “Terima kasih.” Revan tidak langsung pergi. Ia duduk di sisi tempat tidur, lalu menatap punggung Nayla dalam diam. Ada banyak yang ingin ia katakan, tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu.
Nayla menatap Revan dengan perasaan tak menentu. Ia bisa melihat ketegangan di wajah suaminya—sesuatu yang jarang sekali terjadi. “Apa yang ingin kau katakan?” tanyanya hati-hati. Revan menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kebenaran. Ia tahu ini akan sulit, tapi ia juga tahu bahwa Nayla berhak untuk mengetahui semuanya. “Aku bertemu dengan seseorang hari ini,” ujarnya pelan. Nayla mengernyit. “Seseorang?” “Clara.” Dada Nayla terasa seperti dihantam palu. Nama itu—nama yang hanya ia dengar sekilas dalam percakapan singkat Revan dengan beberapa orang di masa lalu—kini muncul kembali di hadapan mereka. Matanya membulat, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Mantan kekasihmu?” Revan mengangguk. “Ya.” Nayla mengatupkan bibirnya. Perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti hatinya, tetapi ia masih menunggu kelanjutan dari Revan. “Aku baru tahu sesuatu yang selama ini disembunyikan dariku,” lanjut Revan dengan suara berat. “Aku... aku punya seora
Langkah Nayla terasa ringan, namun hatinya penuh dengan beban berat. Ia mengikuti Revan menuju ruang tamu, di mana seorang wanita berambut panjang dengan gaun elegan berwarna merah sudah menunggu. Clara. Wanita itu tampak anggun, dengan wajah yang menunjukkan ketenangan sekaligus kepercayaan diri. Ia tersenyum tipis saat melihat Revan mendekat, tetapi senyumnya sedikit memudar saat menyadari Nayla juga ada di sana. "Revan," suara Clara lembut, tetapi memiliki ketegasan di dalamnya. "Kita perlu bicara." Revan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, ekspresinya dingin. "Bicara tentang apa?" Clara menatap Nayla sesaat, lalu kembali menatap Revan. "Ini penting." Nayla menahan napas. Bagaimana jika Clara adalah bagian dari masa lalu Revan yang belum selesai? Bagaimana jika... wanita ini adalah seseorang yang pernah sangat berarti dalam hidupnya? Namun, sebelum Nayla bisa terus membiarkan pikirannya berlarian, suara Revan membuyarkan lamunannya. "Apapun yang ing
Malam itu, Nayla berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka. Suara detak jam di dinding terdengar lebih nyaring dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi kejadian sore tadi—tatapan Revan yang tajam, genggaman tangannya yang kuat, dan kata-kata yang menggantung di udara. "Jangan buat keadaan menjadi rumit." Nayla menarik napas panjang, lalu berbalik ke samping, menatap langit-langit kamar yang diterangi cahaya lampu tidur. Apa maksud Revan? Bukankah sejak awal pernikahan ini memang sudah rumit? Bagaimana mungkin ia bisa menjalani semuanya tanpa melibatkan perasaan? Pintu kamar mandi terbuka, membuat Nayla refleks menoleh. Revan keluar dengan rambut yang masih basah, hanya mengenakan kaus hitam dan celana pendek. Mereka saling bertatapan sekilas sebelum Revan berjalan menuju lemari, mengambil ponselnya, lalu duduk di sofa yang ada di sudut kamar. Nayla mengalihkan pandangannya. Biasanya, ia tidak begitu memperhatikan kebiasaan Revan, tapi entah mengapa malam ini ia m
Hari itu hujan turun deras di luar jendela, menciptakan suara menenangkan yang biasanya membuat Nayla nyaman. Tapi kali ini, pikirannya terlalu penuh untuk bisa menikmati suasana. Setelah pertemuannya dengan Nyonya Adrian, perasaan Nayla semakin tak menentu. Kata-kata wanita itu masih terngiang jelas di kepalanya. "Aku ingin kau meninggalkan Revan sebelum semuanya terlambat." Sejak awal, Nayla tahu pernikahan ini hanyalah kontrak. Tapi mengapa hatinya mulai merasa terusik? Ia memandangi ponselnya. Tak ada pesan dari Revan. Pria itu belum pulang sejak kemarin dan tidak memberi kabar apa pun. Nayla menggigit bibirnya. Haruskah ia menghubungi Revan lebih dulu? Atau ia harus menunggu? Sebelum ia bisa mengambil keputusan, dering telepon tiba-tiba membuyarkan pikirannya. Ia langsung meraih ponselnya, berharap itu dari Revan. Namun, saat melihat nama di layar, hatinya sedikit mencelos. "Dion" Dion adalah sahabatnya sejak kuliah. Pria yang selalu ada di sisinya sebelum pernikahan ini
Malam semakin larut, tetapi Nayla masih terjaga di kamarnya. Pikirannya dipenuhi dengan kata-kata Revan sebelumnya."Aku hanya tidak ingin kehilanganmu."Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.Apa maksudnya? Bukankah selama ini Revan menganggap pernikahan mereka hanyalah kontrak bisnis? Mengapa ia mulai berbicara seperti ini?Nayla berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, tetapi hatinya tetap gelisah.Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya ia terduduk, menghela napas panjang.Tak lama, suara ketukan di pintu terdengar.Tok. Tok.Jantung Nayla berdegup lebih cepat.Ia ragu untuk membuka pintu, tetapi akhirnya ia berjalan ke sana dan membukanya.Revan berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus hitam dan celana santai. Tatapan matanya tajam, tetapi juga terlihat… lelah."Ada apa?" tanya Nayla, berusaha terdengar tenang.Revan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Aku ingin bicara."Nayla menggigit bibirnya. Ia tahu percakapan ini akan sulit, tetapi ia mengangg
Langkah Revan cepat dan penuh ketegangan saat ia menarik tangan Nayla, memaksanya keluar dari kafe. Nayla mencoba melepaskan diri, tapi genggaman Revan begitu kuat. "Revan, lepaskan!" protesnya. Pria itu tidak menjawab, justru semakin mempercepat langkahnya menuju mobil yang diparkir di depan. Ryan tidak mengejar. Hanya menatap mereka dengan ekspresi tenang, seolah ingin melihat sejauh mana Revan akan bertindak. Begitu sampai di mobil, Revan membuka pintu dan mendorong Nayla masuk dengan lembut. Tanpa kata, ia berjalan ke sisi lain dan masuk, menyalakan mesin, lalu menginjak gas dengan cukup kencang. Suasana di dalam mobil penuh dengan ketegangan. Nayla mendekap kedua tangannya di dada, mencoba mengendalikan emosinya yang mulai memanas. "Apa yang kau lakukan?!" bentaknya akhirnya. Revan tetap fokus pada jalan, wajahnya tegang dan rahangnya mengeras. "Aku membawamu pulang." "Aku bisa pulang sendiri! Kau tidak perlu menyeretku seperti ini!" Revan tertawa sinis,