Share

Bab 2.Kepingan rasa

Aku adalah wanita yang lembut. Tak pernah sekalipun aku marah apalagi membantah. Pernah satu kali aku menjawab suamiku dengan mengatakan alasan aku melakukan hal yang tidak disukai suamiku. Namun apa yang terjadi? Dia membanting pintu keras sekali sambil matanya menatapku tajam. Aku hanya bisa menangis di kamar.

“Lalu kamu maunya apa? Pakai ojek saja kalau tidak bisa menjemput anak – anak. Kalau memang alasanmu cape!”

“Bukan mas, aku ingin kamu tahu pekerjaan rumahku banyak mas. Kalau aku telat menjemput harusnya kamu ngerti mas.” ucapku dengan suara bergetar menahan tangis.

Begitulah suamiku bila harus berdebat. Dia tidak akan mendengarkan beribu alasan kalau memang tidak sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Padahal aku hanya ingin dipeluk dan disayangi.

Sepuluh tahun sudah aku berumah tangga. Aku tak menampik aku bahagia dengan tingkah lucu keempat anakku. Di luar semua yang kurasakan dengan larangan suamiku. Aku masih bersyukur memiliki mereka. Anak – anakku adalah hadiah terbesar dalam perjalanan hidupku.

Tumpukan kata larangan, ribuan tangisan bahkan pelukan yang hampir tidak pernah aku rasakan membuatku tak tahan. Air mataku terlampau kering karena sudah habis kesabaranku. Aku tak pernah meminta suamiku mengijinkanku menari karena memang pernah aku bahas sebelum aku hamil. Namun saat itu aku masih menyetujuinya karena bayangan kebahagiaan sebuah pernikahan dengan anak – anak yang lucu.

“Kelak kau mau anak berapa?”

“Aku pengennya dua saja mas. ” ujarku tersenyum.

“Dikit amat. Lima saja ya. Biar ramai rumah kita. ” suamiku berkata dengan yakinnya. Saat itu aku hanya terdiam. Karena jujur aku memiliki firasat aneh. Perkenalan dengan suamiku yang singkat membuatku tak terlalu mengenal perangainya.

Aku mengenal suamiku ketika kupentas di kota Samarinda. Dia menjadi panitia teater tempatku pentas. Maka jelas sekali dalam ingatanku bahwa dia mengetahui aku seorang penari. Namun setelah menikah, dia sama sekali tidak menyinggung profesiku dulu. Bahkan anak – anak tidak diberitahunya bahwa aku penari. Dia benar – benar hendak menghilangkan identitasku.

Saat aku berpacaran dengan suamiku dulu,  hampir semua temanku tidak menyetujuinya. Bahkan kedua orangtuaku melarang.

“Lus, dia baik sih. Kerjaan pun ok. Tapi aku kok kurang sreg ya sama dia.” Dian sahabatku mengingatkanku.

“Kurang sreg gimana?”

“Gimana ya. Semenjak kamu sama dia, auramu ga keluar lus. Jadi pendiam. Jarang kumpul sama kita. Pokoknya kaya bukan kamu yang dulu lah.”

“Ya sudahlah Dian. Moga – moga itu hanya perasaanmu saja. Edi yang kukenal baik sekali. Dia terlihat memiliki visi dalam hidupnya. Semangat untuk menata masa depan yang aku suka.” ujarku menguatkan.

“Hmm ya masa depan dia. Masa depanmu?” kali ini Dian berbicara seolah dia meramal masa depanku.

Benar saja yang Dian khawatirkan. Aku merasa tidak bisa menata hidupku. Aku hanya menata hidup mas Edi dengan menyatukan kepingan keinginan suamiku menjadi mozaik yang bersatu. Walaupun seharusnya mozaik itu adalah milikku juga. Namun aku tak diberikan kesempatan menempelkan kepingan satupun.

Bukan Dian saja yang melarangku melanjutkan hubungan dengan Edi, suamiku. Tetapi kedua orangtuaku pada awalnya tidak menyetujuinya. Kata mereka aku berubah semenjak kenal Edi. Perangaiku menjadi tak periang bahkan badanku kurus. Padahal jujur aku tak merasakan apa yang mereka bilang. Entah karena aku sedang dimabuk cinta. Maka larangan yang suamiku berikan dulu kukira adalah wujud cinta.

“Hapus nomer mereka semua! aku tidak suka!” ujar suamiku dulu.

“Tapi mereka Cuma teman mas. Aku tak pernah berpikir apapun.” ucapku sambil mencoba menata hati.

Kuakui semenjak pacaran, suamiku sangat cemburuan. Tidak ada nomer telepon lelaki di handponeku saat itu. Edi benar – benar menghapusnya. Berselisih hanya karena aku mendapat pesan singkat dari temanku yang laki – laki. Padahal hanya menanyakan tugas kuliah.

Perangai suamiku dulu tidak aku sadari berdampak pada kehidupanku. Saat itu kupikir sikapnya begitu karena rasa cintanya padaku. aku benar - benar dibutakan cinta. Perkenalan singkat berlanjut pada sebuah pernikahan. Orangtuaku akhirnya merestuiku. Edi menunjukkan keseriusannya dengan meminangku datang ke rumah. Pekerjaan Edi sebagai kontraktor dinilai cukup untuk merangkai masa depan yang cerah. Perangai Edi yang suka mengaturku belum terlihat ketika kami pacaran. Aku sering mengabaikan ketika kami bertengkar. Karena kukira hanya karena kecemburuan Edi padaku saja. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status