Share

2. Jauh dari rumah

Aku teringat janji makan siang dengan ayah. Hampir saja aku melupakan itu. Aku buru-buru pergi ke tempat yang sudah kami sepakati. Aku bahkan tidak sempat mengganti bajuku. Aku hanya menguncir rambutku dan memoles bibirku dengan lipstik warna pink.

Restoran pangsit yang ada di ujung jalan ini adalah tempat yang sering kami kunjungi. Dulu, ayah, ibu dan aku sering makan pangsit disitu. Aku melihat ayah dari kaca. Ia sedang menungguku di dalam. Ayah melihat keluar dan melambaikan tangannya saat melihatku. Aku tersenyum. Aku menghampiri ayah.

"Ayah sudah lama menungguku?"

"Tidak. Duduklah. Ayah senang melihatmu, Nao." Ayah tersenyum.

"Iya ayah. Maafkan aku ayah. Aku tidak pernah mengabari ayah sebulan ini. Pasti itu membuat ayah khawatir."

Kupandangi ayah yang terlihat lebih kurus. Pasti berat ayah hidup sendiri sekarang. Tidak ada aku yang selalu menemaninya. Aku merasa bersalah kepada ayah.

"Apa ayah sakit? Mengapa ayah terlihat kurus sekali. Apa ayah tidak makan teratur?"

Aku meraih tangan ayah. Tangannya terasa dingin dan kasar penuh dengan kapalan. Itu adalah tanda perjuangan dan kerja kerasnya selama ini.

"Ayah baik-baik saja. Kamu tidak usah terlalu khawatir. Ayah makan teratur kok. Ayah senang kamu masih memperhatikan ayah." 

Ayah meletakan tangannya di atas kepalaku dan mengusap kepalaku. Seakan menyampaikan rasa rindunya padaku. Aku membalasnya dengan senyuman. Pelayan restoran pun datang menghampiri kami sambil membawa buku menu. Aku melihat-lihat menu yang tertera. Dan aku memilih bakmi kuah. Ayah memesan Pangsit. Kukembalikan menunya kepada si pelayan itu.

Pandanganku menelisik ke seluruh ruangan. Seketika terlintas kenangan saat bersama ibu disini. Masih terekam dalam memori, ibu akan duduk di sebelahku sambil menyuapiku. Tanpa sadar bibirku tersenyum. Tempat ini tidak berubah masih sama seperti dulu. Bangunannya sudah tua tapi masih kokoh.

"Ayah masih ingat dulu ibu paling menyukai bakmi disini. Dan kamu pun juga menyukainya." Terukir senyuman di wajah ayah saat mengenangnya.

"Tentu saja. Kami memiliki selera yang sama. Seandainya ibu masih disini. Aku ingin kembali ke masa itu," kataku lirih.

Akhirnya makanan yang kami pesan pun diantar si pelayan tadi. Aku langsung melahap bakmi milikku. Setelah sekian lama aku memakan lagi bakmi ini. Ada kenangan manis yang terpatri di semangkuk bakmi.

"Ayah, nanti selesai makan kita ke makam ibu ya. Aku rindu pada ibu sudah lama kita tidak mengunjungi ibu." 

"Iya, ayah juga merindukan ibu. Kalau begitu cepat habisin makananmu. Biar kita tidak  kesorean ke sana." Perintah ayah padaku.

Aku pun melanjutkan memakan bakmiku. Ayah terlihat bersemangat untuk mengunjungi ibu. Aku bahagia saat melihat ayah seperti itu.

****************

Kami pun pergi mengunjungi ibu ketempat peristirahatannya. Aku membawa seikat mawar merah kesukaan ibu. Ibu pernah mengatakan mawar melambangkan cinta dan ketulusan. Meski terlihat mencolok di pemakaman tapi aku menyukainya.

"Ibu, kami datang mengunjungimu. Apakah kau merindukan kami? Maaf, jika belakangan ini aku jarang mengunjungimu, Bu." Tak terasa air mataku jatuh. Aku masih belum bisa menerima kepergian ibu. Ayah menepuk-nepuk pundakku. Menenangkan tangisku yang pecah.

"Nao..jika kamu menangis seperti ini ibumu akan sedih diatas sana. Kamu harus bisa melepaskan ibu, Nak. Hapus air matamu." Ayah menghapus air mataku dengan tangannya. Aku mengangguk kepada ayah. Kuseka air mataku. Lalu aku meletakkan bunga mawar merah yang kubawa ke Nissan ibu.

Tiba- tiba ponselku berdering. Tanganku sibuk mengambil ponselku dari dalam tasku. Kulihat dilayar Adrian yang menghubungi aku. Aku teringat janji  makan malam bersama Adrian.

"Halo." Jawabku dengan suara yang masih berat akibat menangis.

"Kau dimana? Mengapa tidak ada dirumah?" Suara Adrian terdengar meninggi. Aku lupa memberitahunya akan menemui ayah.

"Ah, maaf aku lupa memberitahumu tadi. Aku sedang diluar bersama ayah. Aku belum mengunjungi ayah sejak kita menikah. Aku merindukannya, jadi aku berinisiatif untuk menemuinya.” Jawabku, tanganku yang lain sibuk mencabuti rumput liar yang tumbuh di pusara ibu.

"Segeralah pulang. Kau tidak melupakan janji malam ini, kan?"

"Ya, aku akan kembali. Jadi tunggu saja dirumah." Aku mengakhiri panggilan itu dan melirik ayah, kulihat dia mengawasi aku dengan cemas.

"Apa Adrian memperlakukanmu dengan baik, nak?" Tanya ayah padaku, mata yang hitam itu menelisik ke dalam mataku, seolah takut mengatakan kebohongan.

Aku bingung harus mengatakannya. Aku tidak ingin ayah tahu bahwa Adrian bersikap kasar dan acuh padaku.

"Adrian baik padaku ayah. Ia begitu perhatian dan juga sangat menyayangiku.” Aku berbohong. Tapi tidak masalah ini hanya bohong demi kebaikan. "Ah, ayah sepertinya kita harus segera pulang. Karena malam ini Adrian akan mengajakku makan malam. Dia sudah menungguku dirumah. Tidak apa-apa kan, ayah? jika kita hanya sebentar saja disini ?"

Ayah tersenyum. Kemudian ayah meletakkan kedua tangannya dipipiku sambil mencubit pipiku dengan lembut.

”Ternyata putri ayah sedang ada kencan ya. Kalau begitu kita pulang saja. Nanti nak Adrian kelamaan menunggu kamu.”

Kami pun pulang setelah berpamitan pada ibu. Aku mengantar ayah terlebih dulu ke rumah ayah. Ku lihat rumah masih berantakan. Pasti ayah tidak sempat untuk membersihkannya. Ku lihat arlojiku masih jam 5 sore masih ada waktu untuk membersihkan rumah ayah sebentar.

Setelah selesai beberes aku pamit pada ayah. Aku buru-buru pergi. Khawatir Adrian menunggu lama dan marah padaku. Sesampainya dirumah aku melihat Adrian duduk di sofa sambil melipat kedua tangannya di dada. Mimik wajahnya terlihat bosan. Ia menoleh ke arahku dan berdiri dari duduknya.

”Mengapa baru datang sekarang? Sekarang sudah jam 7. Dan kau baru tiba. Aku benci harus menunggu.” Adrian membentak ku lalu kemudian ia menghela napas. ”Cepat ganti pakaianmu. Aku sudah menyiapkan gaun yang akan kau pakai di kamarmu.” Suaranya mulai lembut dan aku hanya menganggukkan kepalaku lalu pergi ke kamarku.

Di atas ranjang ada sebuah gaun berwarna merah. Gaun itu tanpa lengan dengan leher berbentuk v yang terlalu rendah. Sebenarnya gaun itu cantik hanya saja terlalu sexy bagiku. Aku memakai gaun itu di depan cermin. Aku malu. Gaunnya terlalu terbuka. Punggungku terekspos semua. Belahan dadaku pun terlihat. Apa Adrian tidak salah membeli gaun. Ini sama saja dengan tidak memakai baju.

Aku kaget ketika Adrian tiba- tiba masuk kekamar. Ia terdiam melihatku. Ia memandangiku dari atas hingga kebawah. Secara reflek aku menutupi dadaku dengan tanganku.

”Kenapa kau masuk ke kamarku? Bukankah tanganmu bisa mengetuk pintu terlebih dulu," ketusku pada Adrian.

”Kau lama sekali jadi aku datang untuk mengecek saja. Kalau sudah selesai segera lah turun." Adrian membalikkan badannya lalu melangkah keluar kamar.

”Tunggu. Bisakah aku memakai baju yang lain saja. Ini tidak cocok denganku. Terlalu terbuka aku malu memakainya,” pintaku pada Adrian.

”Tidak bisa. Kau harus memakai gaun itu.”  Ia terus berjalan tanpa menoleh.

”Tapi..." Belum selesai aku mengatakannya Adrian sudah memotong ucapanku, ”jangan menolak. Menurut saja pada perkataan ku.” Ucap Adrian.

Aku tidak punya pilihan lain. Aku menurut saja.  Kuikuti ia dari belakang. Kami menuju ke garasi. Lalu aku masuk ke dalam mobil Adrian. Ini pertama kalinya aku duduk di dalam mobil Adrian. Selama ini ia tidak pernah mengajakku kemana pun. Disepanjang perjalanan Adrian tidak berbicara sepatah kata pun. Ia hanya fokus kedepan. Aku diam saja melihat keluar jendela. Aku tidak ingin menggangunya menyetir.

Kami pun tiba di hotel bintang tujuh. Adrian menurunkanku di lobby hotel. Ia pun memberikan kunci mobilnya kepada petugas parkir. Lalu ia berjalan ke arahku. ”ayo masuk,” ajak Adrian. Aku hanya mengangguk saja.

Kemudian kami masuk ke dalam lift. Adrian menekan tombol 5. Saat keluar dari dalam lift, sejauh mata memandang tidak ada restoran disini. Hanya lorong panjang yang disebelah kanan dan kirinya adalah kamar.

”Hei..bukankah kau bilang kita akan dinner? Lalu kenapa kita ada di depan kamar ini?” Tanyaku penasaran.

”Ya, kita dinner disini. Aku juga memesan kamar untuk kita. Ayo, mari masuk." Ajak Adrian.

Perasaanku tidak enak. Aku memiliki firasat buruk tentang ini. Sebelum kami masuk kedalam kamar Adrian  mengambil ponselnya dari saku celananya. Ia menjauh untuk menghubungi seseorang. aku menunggunya di depan pintu kamar. Aku tidak tahu siapa yang dihubunginya tapi yang pasti kalimat terakhir yang kudengar adalah 'kami sudah di sini'.

Setelah selesai berbicara dari ponsel itu, Adrian kembali. Ia menyuruhku untuk menunggu di dalam kamar. ”Tunggulah sebentar disini. Aku meninggalkan dompetku di dalam mobil. Aku pergi mengambilnya dulu.”

”Mengapa dompetmu bisa tertinggal? Ya sudah, pergilah tapi jangan lama-lama ya.”

Adrian pun pergi meninggalkanku sendiri di kamar. Aku duduk diatas ranjang. Kamar ini sangat luas. Ada jendela kaca yang besar langsung menghadap ke luar. Pemandangan kota dari sini terlihat indah. Sudah 30 menit berlalu namun Adrian belum kembali juga. Aku mulai jenuh. 

Aku berjalan ke luar balkon. Lampu- lampu yang berkilauan di malam hari begitu indah di lihat dari atas sini. Lama aku berdiri disini tapi adrian belum juga kembali. Apa dompetnya belum ketemu? Kemudian aku kembali masuk ke dalam untuk mengambil ponselku. Aku mencoba menghubungi Adrian tapi ia tidak menjawab panggilan dariku. Berulang kali aku menghubunginya namun nihil.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Seseorang masuk. Aku mengira itu adalah Adrian sontak saja aku langsung mengeluh kepadanya.

”Mengapa kau lama sekali? Apa dompetmu sudah ketemu.”

”Halo sayangku.”

Aku kaget bukan kepalang. Dia bukan Adrian melainkan tuan jackson . Mengapa ia disini. Aku panik. Adrian pun belum kembali juga.

”Maaf, sepertinya anda salah kamar tuan. Jadi segeralah keluar.” Perintahku padanya.

Tuan Jackson tersenyum. Namun senyumannya sungguh menakutkan. Seperti singa yang hendak memangsa makanannya. Dia melangkah mendekatiku. Kakiku sontak mundur.

”Mau apa kau? Jangan mendekat. Adrian sebentar lagi akan datang. Menyingkirlah.” Aku mendorong tuan Jackson ke belakang. Lantas aku mengambil ponsel menghubungi Adrian. Dia tidak menjawab panggilanku. Tuan Jackson tertawa melihat aku.

”Lalu dimana sekarang suamimu itu? Apa kau tidak merasa aneh. Dia meninggalkanmu sendiri disini. Dan aku juga disini. Kau mengerti maksudku kan?”

”Apa maksudmu? Aku tidak mengerti dengan semua ini. Adrian tidak mungkin meninggalkanku denganmu. Aku istrinya. Tidak mungkin dia melakukan itu.” Aku panik. Pikiranku mulai kalut. Mengapa Adrian belum kembali  juga?

Tuan Jackson mendekatiku lagi. Aku menghindar. Lalu aku berlari menuju pintu hendak keluar, namun tuan Jackson berhasil menarik tubuhku. Ia mendekap tubuhku dari belakang . Aku meronta berusaha melepaskan dekapan tuan Jackson. Usahaku sia-sia. Kekuatanku tidak bisa mengimbangi tenaganya. Aku menangis. Hanya itu yang bisa kulakukan.

”Kumohon lepaskan aku. Biarkan aku pergi,” aku memohon padanya.

”Tidak sayangku,” Ia membelai kepalaku. Kemudian ia melanjutkan ucapannya, ”Adrian sudah menyerahkanmu padaku. Suamimu itu perusahaannya hampir bangkrut . Ia memohon padaku untuk kembali berinvestasi di perusahaannya. Dan kau sebagai jaminannya.”

Hatiku sakit mendengarnya. Aku tidak percaya Adrian melakukan semua ini kepadaku. Pantas saja ia tiba-tiba mengajakku makan malam ternyata semua itu sudah di rencanakannya.

Aku meronta melawan tuan Jackson. Dengan sigap aku menginjak kaki tuan Jackson dengan ujung tumit sepatuku. Kemudian aku bergegas lari keluar kamar.  Namun sial diluar kamar ternyata ada pengawal tuan jackson. Ada 4  orang yang berdiri di lorong. Aku berusaha menerobos mereka.  Kemudian aku mendengar tuan Jackson berteriak, ”tahan wanita itu. Jangan biarkan dia pergi.”

Mereka menghalangi jalanku. Aku melakukan perlawanan. Tapi berujung sia-sia. Mereka berhasil menahan aku. Aku memohon pada mereka untuk melepaskan diriku. Mereka bahkan tidak memiliki empati.

Tuan Jackson kemudian mendekat. Ia menarik rambutku. Lalu plakk!!! Ia menampar wajahku. Pipiku terasa sakit dan perih. Aku menangis.

”Dasar wanita murahan. Aku tidak mungkin melepaskanmu begitu saja. ” kemudian ia menyeretku masuk kedalam kamar. Ia mengunci pintu kamar.

Aku berteriak berharap akan ada orang yang mendengarku. Namun tuan Jackson semakin menjadi . Ia memukuli aku dengan tali pinggangnya. Sekujur tubuhku terasa sakit. Aku bersujud dan menangkupkan tangan memohon kepada-nya.

”Kumohon lepaskan aku. Aku akan melakukan apa saja tapi biarkan aku pergi.” Aku memohon tapi dia malah tertawa. Kemudian ia menundukkan badannya mendekat ke wajahku.

”Kau yakin akan memberikan yang kuinginkan? Aku mau tubuhmu.” Tuan Jackson menyeringai memandangi aku.

Mendengar itu aku bergerak mundur sambil menggelengkan kepalaku. ”Tidak.. aku tidak mau melakukannya. Kumohon jangan lakukan itu padaku." Tangisku semakin menjadi. Aku kembali berteriak minta tolong.

”Tolong....kumohon siapa pun tolonglah.” Suaraku semakin serak.

”Tidak ada gunanya kau berteriak tak seorang pun akan menolongmu.” Ia menyeretku ke atas ranjang.

Aku melakukan perlawanan . Tangannya begitu kekar. Ia mencengkram kedua tanganku. Aku meronta-ronta. Ia semakin beringas. Aku tidak menyangka akan mengalami hal buruk seperti ini.                           

****************

Airmataku tiada hentinya mengalir. Mengapa ini harus terjadi padaku. Aku terkulai lemah. Seluruh tubuhku penuh luka dan memar. Bajuku sudah tersingkap. Aku malu. Aku hanya menangisi diriku. Tuan Jackson hanya tersenyum puas melihatku seperti ini. Ia membelai rambutku. Namun aku bergeming. Aku sudah tak memiliki tenaga lagi untuk melawan. Ia sudah menodai aku. Aku benci melihatnya. Kualihkan pandanganku ke sudut kamar.

"Kau membuatku sangat senang. Tubuhmu sangat indah.” Tuan Jackson mengecup leherku kemudian ia berdiri. Setelah itu ia pergi meninggalkan aku begitu saja tanpa merasa bersalah.

Aku pergi kekamar mandi menyiram tubuhku yang kotor. Lama aku duduk dibawah shower dengan air yang mengalir. Aku terus-terusan menangis. Hatiku sakit sekali. Adrian aku sangat membencimu. Setega itu kau padaku. Mengapa kau memberikan aku pada si bangsat Jackson.

Setelah selesai membersihkan tubuhku, aku pergi keluar hotel. Semua mata memandangku. Ada yang berbisik ketika melihatku. Mungkin mereka kasihan padaku atau menghinaku yang seperti ini. Wajar saja jika mereka melihatku dengan tatapan aneh. Gaun yang kukenakan sudah koyak. Sekujur tubuhku penuh luka memar akibat kibasan ikat pinggang tuan Jackson. Bibirku pun juga luka. Tak bisa kugambarkan kondisiku saat ini. Aku sendiri pun begitu kasihan melihat tubuhku. Aku hanya terus berjalan dengan tatapan kosong. Pikiranku melayang entah kemana. Bahkan aku pun tak merasakan kakiku kesakitan saat menginjak kerikil di sepanjang jalan.

Tanpa kusadari aku berjalan terlalu jauh. Aku melihat kesekeliling ternyata aku sudah berada di atas jembatan. Aku melihat kebawah. Kemudian terlintas di benakku untuk melompat. Aku tak ingin hidup. Aku malu. Mengapa aku harus mengalami ini? Lalu aku naik ke atas pagar jembatan. Sekali lagi aku melihat kebawah. Aku merasakan adrenalin ku di pompa. Jantungku berdegup kencang. Sebenarnya aku takut ketinggian.

”Tidak. Aku takut ketinggian. Aku harus turun.” Seketika aku membatalkan niatku untuk terjun kebawah.

Namun saat aku hendak turun kakiku tergelincir dan aku pun jatuh bebas ke bawah masuk kedalam air. Byurrr!!! Airnya terasa dingin menembus kulitku. Aku panik. Aku tidak pandai berenang. Sial kenapa dari dulu aku tidak belajar berenang saja. 

Aku meronta-ronta berusaha menggapai ke permukaan. Namun air yang masuk ke paru-paruku membuat aku semakin lemas. Aku terus jatuh dan mulai hilang kesadaran. Mungkin ini akhir hidupku. Terlintas bayangan ayah disaat terakhir. Maafkan aku ayah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status