Samar-samar kudengar banyak suara yang memanggil dan mengguncang tubuhku. Aku pun tersedak. Semua air yang telah tertelan kumuntahkan kembali. Kepalaku pusing dan dadaku terasa sesak. Pandanganku pun kabur. Mereka kembali menepuk-nepuk punggungku.
Setelah beberapa saat aku pun mulai sadar. Ada beberapa pria yang mengerumuni aku. Mereka mengenakan jaket kulit. Tubuh mereka semua kekar. Mereka lebih terlihat seperti preman.
"Aku ada dimana? Kenapa aku disini?" Kualihkan pandanganku ke sekitar. Ternyata aku ada diatas kapal. Di sudut sana aku melihat ada beberapa wanita. Apa mereka yang menolongku? Tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Perutku mual. Aku mabuk laut.
"Terima kasih kalian sudah menolongku. Tapi bisakah kalian menurunkan aku? Aku ingin pulang."
"Nona pelabuhan masih jauh dari sini. Apa kau ingin turun ke dalam air ini lagi?" kata salah satu dari mereka.
Aku ingin pulang. Tapi aku tidak mau turun ke dalam air lagi. "Lalu kapal ini akan pergi kemana?" Tanyaku.
"Hongkong." Jawabnya lagi.
"Apa?" Aku hampir berteriak ketika mengucapkan itu. "Aku tidak ingin pergi bersama kalian ke Hongkong. Bisakah kalian menurunkan aku di dermaga terdekat? Aku mohon." Kataku lagi sambil memohon pada mereka.
Mereka saling pandang dan kemudian mengangguk. "Baiklah. Kau tunggu saja di sana." Ia menunjuk ke sudut kapal.
"Terima kasih," balasku.
Kemudian dengan tertatih aku berjalan ke sudut kapal bergabung bersama penumpang yang lainnya. Aku merasa aneh karena mereka semua adalah perempuan yang masih muda. Kuberanikan diriku untuk bertanya kepada mereka.
"Apa kalian ingin pergi ke Hongkong?" Tanyaku.
"Ya, kami ingin bekerja disana. Mereka menawarkan pekerjaan kepada kami." Kata wanita berbaju pink. Kemudian ia mengulurkan tangannya. "Aku Gladis." Ia tersenyum.
Aku meraih tangannya, "Naomi. Mmm..pekerjaan apa yang mereka tawarkan? Apakah harus wanita semua ya?" Tanyaku curiga.
"Kami tidak tahu detailnya seperti apa. Tapi yang jelas mereka hanya buka lowongan buat wanita saja."
Aku merasa aneh dengan jawaban Gladis. Jenis pekerjaan apa yang hanya membutuhkan wanita saja. Aku teringat sesuatu. Sontak aku membelalakkan mataku. Apa jangan-jangan mereka akan dijadikan sebagai wanita penghibur. Karena belakangan ini marak sindikat perdagangan wanita.
"Apa kalian tidak curiga kepada mereka? Mengapa kalian percaya pada mereka? Harusnya kalian memastikan dulu kebenarannya. Bagaimana jika mereka hanya menipu kalian saja?" Kataku kesal. Aku memegang kepalaku yang sakit. Mengapa aku harus diselamatkan para bandit ini.
Aku melihat dari kejauhan banyak cahaya-cahaya lampu . Pasti itu dermaga terdekat pikirku. Lalu aku berjalan menghampiri para preman itu yang sedang minum-minum.
"Maaf aku mengganggu kalian. Bisakah aku turun di dermaga itu? Aku ingin pulang, ayahku sedang menungguku di rumah." Aku memberanikan diri untuk bertanya kepada mereka.
Mereka hanya saling pandang dan kemudian tertawa melihatku.
"Kapal ini tidak bisa menepi nona. Kami sedang dikejar waktu. Jika tidak, bos kami akan marah."
"Tapi..bukankah kalian sudah berjanji akan menurunkan aku di dermaga terdekat?"
"Kami berbohong." Mereka menyeringai. "Kau begitu cantik. Tubuhmu sangat indah. Bagaimana mungkin kami menurunkanmu. Banyak pria jahat di luar sana.” Pria bertubuh kekar itu memandangiku dari atas hingga ke bawah. Sontak aku menutupi dadaku dengan kedua tanganku.
Aku baru menyadari aku masih memakai gaun sialan ini. Gaunku masih belum kering. Angin malam berhembus kencang. Seketika aku menggigil kedinginan. Kemudian aku memohon pada mereka agar menurunkan aku.
"Aku mohon. Aku ingin pulang. Aku tidak ingin ikut bersama kalian. Ayahku sendirian dirumah." Aku memasang mimik yang menyedihkan berharap mereka akan iba. Namun mereka malah menertawakanku.
Aku merasa sial sekali. Habis keluar dari lubang buaya masuk ke sarang serigala. Mengapa semesta begitu kejam padaku. Air mataku mengalir. Aku mundur. Aku meringkuk di sudut kapal. Kubenamkan wajahku dia kedua lututku. Aku tidak ingin orang melihatku menangis. Ayah aku merindukanmu.
Adrian aku membencimu. Aku menyalahkan Adrian. Jika bukan karenanya aku tidak akan berakhir menyedihkan seperti ini. Aku tidak akan memaafkanmu Adrian. Sampai kapanpun tidak akan.
"Kau menangis? Hmm.. aku mengerti perasaanmu. Menangis lah jika itu membuatmu lebih baik." Gladis duduk di sebelahku dan ia menepuk-nepuk punggungku. "Punggungmu?" Ia terdiam sejenak. Aku yakin dia pasti melihat punggungku yang penuh memar. "Emm...sebenarnya apa yang terjadi padamu?" Tanya gladis penasaran.
Aku menoleh kepada Gladis. Aku butuh seseorang untuk meluapkan semua hal yang sudah aku alami.
"Mungkin ini hari terburuk dalam hidupku. Suamiku menjualku kepada rekan bisnisnya. Dan sekarang aku berakhir disini . Aku benar-benar sial." Aku hanya menunduk dengan tatapan kosong.
"Jadi karena itukah kau melompat ke air?" Tanya Gladis lagi. Aku hanya mengangguk saja.
Gladis merangkulku tangannya menepuk-nepuk punggungku yang memberikan sedikit ketenangan.
Entah sudah berapa lama kami berada di lautan. Aku sungguh rindu daratan. Sejauh mata memandang hanya ada air. Tubuhku semakin kurus. Kami hanya di beri makan pagi dan malam hari saja.
Kulitku pun terasa kering dan warnanya sudah kecoklatan akibat sengatan matahari. Wajar saja sebab aku hanya memakai gaun yang diberikan adrian waktu itu. Terlalu terbuka. Bila malam angin akan menembus masuk ke kulitku. Sungguh sangat menyiksa tubuhku.
Suara-suara bising dari kapal memecah lamunanku. Aku terperanjat melihat di depan sana ada daratan. Kapal-kapal besar juga berjejeran disana. Aku senang dan juga sedih. Senang karena melihat daratan lagi dan sedih karena aku tidak bisa pulang.
Kapal kami akhirnya bersandar di pelabuhan. Aku menghela napas lega. Mungkin kami sudah tiba di Hongkong . Aku bisa melihat gedung- gedung tinggi dari sini terlihat indah dengan cahaya lampu yang warna-warni. Aku yakin ini sudah tengah malam tapi aku melihat masih banyak orang yang beraktifitas di sekitaran pelabuhan.
"Hei kau! Cepat kesini." Pria botak itu memanggilku dengan garang. Lalu aku menghampirinya. Kulihat Gladis dan yang lainnya sudah turun. Aku mengikutinya turun kebawah.
"Bos ingin bertemu denganmu bersikap lah yang baik." Katanya lagi.
"Laoban (bos) , ini wanita yang kukatakan tadi." Si botak itu menunjuk ke arahku. Aku hanya memandangi mereka dengan tatapan waspada.
Wanita yang dipanggil bos itu tersenyum puas melihatku. Ia berwajah oriental. Ia memakai bedak tebal dengan lipstik merah menyala. Ia terlihat seperti seorang mucikari. Ia juga memegang kipas lipat di tangan kanannya. Kemudian ia memegang daguku menggoyangkannya kekanan dan kekiri. Sontak aku menepis tangannya dari wajahku.
Ia tersenyum dan kemudian berbicara dalam bahasa Mandarin. Aku hanya mengerti sedikit bahasanya. Dulu aku pernah mengikuti kelas bahasa Mandarin, tapi aku sering bolos.
"Aiya, kau sungguh cantik tapi lihat keadaanmu sungguh memprihatinkan. Tapi tak apa aku akan membuatmu semakin cantik lagi." Ia tersenyum senang dan kemudian ia meyuruh pria botak itu membawaku.
Aku berusaha melepaskan tangannya. Aku tidak mau ikut dengan mereka. Tapi apalah dayaku tubuhku saja masih lemah. Kekuatan yang kumiliki tidak sebanding dengannya. Ia menarikku dengan paksa. Tanganku terasa sakit. Aku hanya bisa menurut saja.
Mereka membawa kami ke dalam sebuah bangunan yang tampak sudah tua. Namun begitu masuk kedalam interiornya sangat bagus. Nuansa warna merah maroon dengan lampu yang tidak terlalu terang. Di sudut ruangan ada juga meja bar ada beberapa wanita dan pria yang sedang duduk disitu.
Aku baru menyadari ternyata ini adalah rumah bordil. Kakiku gemetaran. Aku tidak mau menjadi wanita penghibur. Aku harus pergi dari sini.
"Bawa dia masuk ke dalam kamar suruh Xiao Mei membersihkannya. Nanti Tuan Lei datang aku akan mengenalkannya pada tuan Lei." Kata wanita itu.
Lalu pria botak itu membawaku masuk ke dalam kamar. Di dalam sana ada seorang wanita. Ia tersenyum. Dia sangat cantik dengan rambutnya yang panjang terurai. Tapi pakaiannya minim sekali. Ia lebih terlihat seperti Tante girang.
"Laoban (bos) bilang kau harus membersihkan wanita ini. Ia akan dikenalkan pada Tuan Lei ." setelah mengatakan itu ia pergi keluar kamar.
"Jadi kau pekerja baru disini? Aku Xiao Mei dan kau siapa namamu?" Ia menghampiriku dan mulai membuka pakaian yang kukenakan.
"Aku Naomi. Apa yang akan kau lakukan padaku."
"Tentu saja membersihkanmu. Lihat semua luka ini. Cek..cek..cek...berapa usiamu? Kau terlihat masih muda sekali."
"29 tahun. Kalau bisa memilih,..." Aku terdiam sejenak. "Lebih baik mereka membiarkanku saja tenggelam di dalam air. Daripada harus menjadi wanita penghibur. Aku hanya ingin pulang. Aku merindukan Ayahku." Aku menangis meratapi nasibku.
Xiao Mei hanya diam mendengarku. Ia terus mengelap badanku. Kemudian ia memberikan baju baru padaku. Aku memakainya. Aku terlihat seperti wanita penggoda di balik cermin itu. Aku memakai gaun mini yang terlalu ketat. Seketika aku benci melihatnya.
Kemudian xiao Mei membawa aku keluar. Dia membisikkan sesuatu padaku. "Jika ingin bertahan disini menurutlah dengan apa yang mereka katakan. Maka kau akan aman."
Aku hanya diam saja. Pikiranku sedang memikirkan cara untuk keluar dari sini. Aku tidak ingin berada di sini lebih lama lagi. Xiao Mei membawa aku menemui wanita yang mereka panggil laoban (bos). Wanita itu sedang berbincang dengan seorang pria yang berpakaian rapi. Dilihat dari wajahnya sepertinya ia berusia 30 tahunan. Ia menoleh ke arahku dan membuat senyuman yang dipaksa.
"Tuan Lei, ini wanita yang kukatakan tadi. Bagaimana menurutmu, bukankah dia cantik?"
Pria itu menatapku dari atas hingga kebawah. Kemudian ia tersenyum dan membelai pipiku. "Cantik sekali.” Dengan sigap aku langsung menepis tangan pria itu menjauh dari wajahku. Aku tidak Sudi disentuhnya.
Pria itu hanya tersenyum kaget melihat reaksiku. "Wah, ternyata kau sangat agresif. Aku semakin menyukaimu. Aku akan membawa dia bersamaku." Dia kemudian menoleh wanita itu.
Kemudian mereka bertransaksi. Aku tidak menyangka mereka menjualku kepada Tuan Lei. Nasibku sungguh sial. Mungkin dikehidupan sebelumnya aku seorang penghianat sehingga semesta menghukum aku seperti ini.
Tuan Lei merangkulku dan membawaku keluar. Aku risih disentuhnya. Kulihat di luar ada 2 orang pria bertubuh kekar berdiri di sebelah mobil. Mereka adalah pengawal Tuan Lei. Kemudian mereka membukakan pintu mobil untuk kami.
Di dalam mobil aku hanya diam saja melihat keluar jendela. Tuan Lei mengambil kesempatan meraba pahaku. Aku terperanjat. Sontak kutepis tangannya. Dia semakin menjadi. Ia mendekati wajahku hendak menciumku. Tanganku reflek mendorongnya ke belakang.
"Kumohon jangan lakukan itu padaku."
"Kau terlalu munafik nona. Tapi aku menyukainya. Semuanya yang ada pada dirimu aku menyukainya." Dia menyeringai.
Tiba-tiba kepalaku terasa pusing sekali. Perutku mual dan terasa kembung. Aku baru ingat aku belum makan sejak tadi pagi. Asam lambungku naik. Aku meringis kesakitan memegang perutku. Tuan Lei menyadari aku kesakitan ia segera menyuruh pengawalnya untuk menghentikan mobilnya di apotik terdekat.
Tuan Lei memberikan obat untukku. Tapi perutku mual sekali. Aku mau muntah. Sontak aku menutup mulutku dengan telapak tamganku agar isi lambungku tidak keluar. Tuan Lei membuka pintu memberikan isyarat untuk aku memuntahkannya di luar. Aku pun segera turun.
Aku merasa lega setelah aku memuntahkannya. Kupegangi kepalaku yang masih terasa pusing. Mataku memandangi kesekitar. Ada banyak orang disini. Sepertinya kota ini tidak pernah tidur. Meskipun sudah tengah malam namun masih tetap sibuk. Terlintas di benakku untuk melarikan diri dari mereka. Ini kesempatanku.
Aku melirik pengawal Tuan Lei, mereka masih mengawasiku. Aku mengambil napas dalam-dalam mengumpulkan keberanianku dan kekuatanku. Menunggu mereka lengah. Beruntung saja ponsel Tuan Lei berdering. Ia sedang sibuk menerima panggilan. Aku hanya perlu mengalihkan perhatian pengawalnya.
Aku memegangi perutku dan berakting hendak muntah lagi. Lalu aku meminta air minum kepada mereka. Saat pengawal yang satu lagi hendak mengambil air mineral dari dalam mobil, dengan segera aku berdiri dan berlari secepat mungkin.
Mereka menyadari niatku dan mengejarku. Aku terus berlari mengikuti kemana tujuan kakiku. Tak kurasakan lagi sakitnya telapak kakiku saat menginjak aspal yang kasar. Napasku terengah. Jantungku berdegup kencang. Aku sudah lelah berlari namun aku tidak ingin berhenti.
[Jika kau terlalu fokus, maka yang lain tak tampak bagimu. Jika kau terlalu jatuh ke dalam, maka kau akan sulit untuk naik. Jika kau terlalu memaksa mengejar sesuatu, segalanya belum tentu berakhir seperti yang kau inginkan.] Saat aku menulis cerita ini, aku menangis di pojokan karena merasa bersalah telah membuat ending yang menyedihkan seperti ini. Tapi dari awal aku buat cerita ini, memang sudah aku seting endingnya seperti ini. Jangan bully author ya😁 Tolong dimaafkan 😁😍 Memang tragis sih endingnya 😭😭😭😭 Sumpah aku nulisnya sambil mewek. Ga tega sama karakternya. Tapi cerita harus terus berlanjut. Terima kasih banyak buat kalian yang sudah baca Kisah Cinta Naomi. Aku bangga dan bahagia banget ceritaku ada yang baca. Pokoknya terima kasih, dear! Oh ya, kalian bisa baca buku aku yang lainnya. Seperti : KAU MILIKKU, kisah si cewek bar-bar dan superstar yang menderita philophobia Atau kalian suka genre Fanta
Dulu aku tidak pernah peduli dengan yang namanya cinta. Wanita hanyalah mainan saja bagiku. Namun, kini semuanya berubah sejak aku bertemu dengan Naomi. Hanya dengan sebuah senyuman polos ia berhasil memikat hatiku. Segalanya kulakukan untuk menarik perhatiannya, tetapi di dalam pandangannya hanya ada Zhou Tian.Kini aku memiliki dirinya seutuhnya setelah melenyapkan Zhou Tian, tetapi aku tidak merasa bahagia. Kupikir jika Zhou Tian mati, Naomi akan membuka hatinya untukku. Namun sekarang ia malah seperti mayat hidup. Setiap harinya ia hanya membisu memandangi langit. Tubuhnya semakin kurus karena tak ingin makan.Dan aku semakin frustrasi melihatnya yang menyedihkan seperti itu. Apa yang aku cari? Apa yang aku kejar? Aku telah dibutakan cinta, tetapi cinta itu sendiri menyiksaku sampai ke tulang. Setiap hari aku membujuknya dan memohon maaf kepadanya. Sedikitpun ia tidak peduli dengan semua yang kulakukan.
Sepasang tangan terulur dan merangkul pinggangku lalu menarik aku dengan keras. Hingga kami terjungkal ke atas lantai. Dia meringis kesakitan karena aku mendarat di atas tubuhnya. Aku begitu marah telah diselamatkannya. Saat ini aku hanya ingin menemui Zhou Tian.”Kau sudah gila! Untuk apa kau berdiri di sana? Apa yang ada dalam pikiranmu, hah?!” Sergah Fan Yin.Dalam sekejap tatapan mata serta raut wajahnya berubah lembut, ”Nao, kumohon jangan lakukan lagi hal bodoh seperti itu. Aku tidak mau kehilanganmu, Nao.”Aku menatap lurus ke dalam matanya lalu tanganku reflek menampar wajahnya. Sangat keras sampi meninggalkan bekas merah di sana. Ia tertegun dengan sikapku. Aku tak ingin berbicara. Semua suaraku seakan pergi dengan Zhou Tian. Diam.Kemudian aku bangkit berdiri dan duduk di kursi yang mengarah langsung ke luar jendela. Menatap kosong ke luar sana. Menangis
Saat aku membuka mata, cahaya-cahaya putih membutakan mataku beberapa saat. Di sekeliling, tembok-tembok putih dengan sedikit warna keemasan di garis tepiannya mengelilingi aku. Tempat ini sangat asing bagiku. Aku tidak tahu ada di mana. Mengapa aku bisa ada di sini? Kupegangi kepalaku dan mengacak-acak rambutku. Tetiba aku teringat dengan Zhou Tian. Pikiranku kembali kalut. Aku mulai panik. Pintu besar berwarna coklat itu jadi sasaran kemarahanku. Kugedor-gedor pintunya bahkan aku menendang pintu itu hingga kakiku sakit. Tak hentinya aku berusaha membuka pintu. Kursi kayu yang ada di depan meja rias, aku ambil dan melemparkannya ke pintu, namun seinci pun tidak bergerak. Suara teriakanku bergema di ruangan ini. Berkali-kali aku minta tolong tak satupun suara dari luar sana yang terdengar. Sunyi. Sedari tadi hanya suaraku saja yang memenuhi ruangan ini. Zhou Tian, bagaimana keadaanmu sekarang? Aku sangat ingin bertemu denganmu. Kau harus
Tuxedo putih yang di kenakan Zhou Tian berubah menjadi merah gelap dan berbau anyir. Darah segar keluar dari lubang bekas timah panas itu, terus mengalir hingga mengenai gaunku. Aku tidak henti-hentinya menekan lubang kecil itu. Suara tangisanku meraung-raung, pikiranku kalut. Rasa takut kehilangan akan dirinya berhasil membuatku seperti orang gila. Walaupun pandanganku mulai gelap akibat tidak kuat melihat darah, aku tetap bertahan di sisinya. Memukul-mukul pipinya agar tetap tersadar. ”Tian-tian, jangan tinggalkan aku. Kau harus bertahan! Kau tidak boleh mati. Aku akan membunuhmu jika kau lakukan itu!” isakan tangisanku semakin menjadi. Duniaku sudah runtuh. Pilar istanaku sudah roboh. Tetapi pria ini masih bisa tersenyum di saat sedang sekarat. Dia bukan kucing yang memiliki sembilan nyawa. Apa ia pasrah dengan semua ini? Aku benci melihatnya tersenyum seperti itu. Aku merasa itu seakan yang terakhir kulihat.
Seketika tubuhku gemetaran dan kalut. Aku takut hal buruk terjadi dengan Zhou Tian. Suaraku memekik berusaha meredakan ketegangan di antara mereka. Segera aku berdiri di depan Zhou Tian untuk menghalangi arah revolver Fan Yin.”Menyingkirlah, Nao! Aku tidak mau melukaimu. Aku hanya perlu menyingkirkan penghalang jalanku saja.” Fan Yin berusaha keras menguatkan genggamannya pada batang revolver itu. Bahkan revolver itu bergetar mengikuti getaran tangan Fan Yin.”Biar aku saja yang menggantikanya. Lakukanlah, aku harap itu bisa meredakan amarahmu. Tembak saja aku!” Aku berteriak kencang sampai-sampai tenggorokanku terasa sakit.Walaupun saat ini aku ketakutan dengan segala kengerian yang mungkin terjadi padaku, tetapi seinci pun kakiku tak bergeser. Kesunyian seketika melanda dikala matahari semakin menghilang. Gelap. Hanya ada cahaya dari lampu-lampu di garis batas pelabuhan. Gemuruh ombak yang men
Samar-samar aku mendengar suara bising dan aroma amis yang kuat di sekitarku. Perlahan aku membuka mata masih tampak buram. Kepalaku masih pusing dan perutku terasa mual. ”Hei, Nao. Kau sudah sadar?” suara yang sangat aku kenali memanggil namaku. Itu suara Fan Yin. Kini aku bisa melihat jelas wajahnya. Kualihkan pandanganku ke sekitar. Kapal-kapal tampak berjejer, aku ada di pelabuhan. Bau amis yang menyengat mencuat dari kapal ikan yang bersandar di sana. Mengapa aku bisa ada di sini? Di mana Zhou Tian? Apa yang sedang terjadi? Semua pertanyaan itu bermunculan di kepalaku. Lalu aku menatap Fan Yin dengan sinis. ”A Yin, mengapa kita di sini? Mengapa kau membawa aku kemari?” aku memekik. Kupegangi kepalaku yang masih pusing. Ia berjalan mendekati aku dan duduk selonjoran di sampingku. Ia menyandarkan kepalanya di pundakku, menangis tersedu-sedu. ”Maafkan aku, Nao.
Suara berisik dari burung camar juga deburan ombak yang menghantam karang, membangunkan tidurku. Dari celah-celah tenda, semburat cahaya putih menelisik masuk, menerpa netra yang masih setengah sadar. Rupanya pagi datang lagi. Kubuka dengan keras ziper tenda, pemandangan yang disuguhkan sungguh memanjakan mata.Zhou Tian masih malas-malasan, ia semakin menarik selimutnya. Ia menutup matanya dengan tangannya, menghalau sinar matahari yang tumpah ke wajahnya. Bergeser ke kiri dan ke kanan. Aku menikmati tingkahnya yang menggemaskan seperti itu. Aku tergoda untuk mengusili dia yang sedang tertidur itu, lalu kuambil rambutku dan menggoyangkannya di hidung Zhou Tian. Ia menggerakkan wajahnya dan mengusap hidungnya. Namun, ia tetap tertidur. Ah, aku semakin menjahilinya hingga ia terbangun dan tampak kesal.”Bangunlah, hari sudah terang,” perintahku.”Nao, aku masih ngantuk. Tolong nanti saja bangunkan
Zhou Tian segera bangun dari posisi tidurnya dan duduk menghadapku. Lalu ia menggerakkan kepalanya, memberikan kode agar aku bangun mengikutinya. Aku merasa agak kebingungan dengan sikapnya yang terlihat canggung dan sedikit salah tingkah. Mataku menelisik jauh ke dalam bola mata berwarna coklat itu, ia terlihat gelisah. ”Ada apa? Mengapa kau sangat gusar? Apakah ada yang mengusik pikiranmu?” tanyaku. Zhou Tian menggelengkan kepalanya beberapa kali lalu meraih tanganku dan meremasnya dengan lembut. Sebuah senyuman terbit di wajahnya yang sedikit berpasir. Tatapannya pada saat itu sangat dalam dan penuh cinta. ”Nao, hmm sebenarnya a-aku...” bahkan suaranya terdengar bergetar, ”ada yang ingin aku berikan, tetapi pejamkan dulu matamu dan jangan mengintip.” Rasa bingung bercampur penasaran mengaduk-aduk hatiku. Dan sedetik kemudian aku memejamkan mataku. Sungguh, ia membuatku penasara