Share

Bab : 6

KITA BELI KESOMBONGAN MERTUAMU, NDUK! 

Part : 6

Aku sudah berteriak minta tolong, Bang Arman tetap saja tak peduli. Ia berusaha menarik tanganku masuk ke rumah.

Tiba-tiba, byuuurrr ... Seember air tumpah membasahi tubuh Bang Arman.

"Aaarrrgggh ... Siapa yang menyiramku?" pekik Bang Arman geram.

"Saya! Kenapa, kamu mau marah sama saya?" sahut Bapak. Seketika Bang Arman terdiam. 

"Tapi, kenapa aku disiram, Pak?" 

"Masih untung kamu saya siram air biasa, bukan air comberan. Kenapa kamu memaksa anak saya, huh? Memangnya kamu siapa?"

"Saya suaminya. Saya yang lebih berhak atas Nia."

"Lelaki seperti kamu itu nggak pantas disebut suami. Lepaskan anak saya! Atau saya teriakin kamu maling!" ancam Bapak.

Perlahan cengkeraman di tanganku mengendur. Kuusap-usap bekas cengkeraman Bang Arman tadi. Masih terasa panas dan perih.

"Ngapain kamu di sini? Dan dari mana kamu tahu kalau kami di Jogja?" tanya Bapak ketus.

"Kemarin aku ke Lembang. Tapi kalian nggak ada. Aku nanya ke tetangga. Katanya kalian ke Jogja. Mereka juga yang memberi tahu alamat kalian di Jogja ke saya, Pak."

"Oh, ternyata kamu masih nyariin anakku toh? Untuk apa? Untuk kamu sakiti? Kami akan segera mengurus perceraian kalian! Sekarang kalian pergi dari sini!" usir Bapak sambil mendorong tubuh Bang Arman.

"Nggak, Pak. Aku nggak akan pulang tanpa Indah dan Nia." Bang Arman tetap bersikeras. 

"Berapa kali harus kukatakan, Bang. Aku nggak sudi balik sama kamu. Lebih baik kamu pergi sekarang. Nanti kita ketemu saja di pengadilan!"

"Kamu benar-benar perempuan nggak tahu diuntung. Miskin saja belagu. Kalian di sini karena bekerja pada almarhum Juragan Saras 'kan? 

"Ka-kamu kenal sama Juragan Saras?" tanya Bapak.

"Siapa yang nggak kenal sama Juragan Saras. Suami juragan Saras langganan tetap di hotel kami. Kalian babu Juragan Saras 'kan?"

"Enak saja kamu kalau bicara. Mereka ini-- " Ucapan Mas Darmo menggantung karena tepukan pelan Bapak di punggungnya.

"Apa? Mereka ini kenapa? Paling karena di kampung sudah nggak ada lagi yang percaya mempekerjakan kalian, makanya kalian ke sini bekerja di tempat Juragan Saras dan Juragan Prapto 'kan?"

Hati ini dongkol sebenarnya. Ingin sekali membuka siapa kami sebenarnya. Siapa Juragan Saras dan Juragan Prapto itu. Tapi aku teringat kata-kata Bapak. Mereka pasti tidak akan membiarkan perceraian, jika tahu aku ini adalah pewaris tunggal eyang. Karena mereka itu keluarga matrealistis.

"Terserah kamu mau bilang apa, Arman. Pokoknya kamu cepat pergi dari sini sekarang, sebelum kesabaran saya habis!"

"Cuih, miskin belagu!" Lelaki berkulit putih itu meludah sambil berlalu masuk ke dalam mobilnya. Dari sudut mata, tampak tangan Bapak mengepal kuat menahan amarah.

Mobil sedan silver itu pergi dengan kecepatan tinggi. Seperti itu 'lah kalau Bang Arman marah. Dia cuma berani pada kami. Kalau sudah di depan ibunya, lelaki itu seperti tidak memiliki daya upaya. Mirip seperti ayahnya yang tak memiliki nyali jika berhadapan dengan wanita paruh baya bernama Rahma Sari itu.

Bapak terduduk di tangga teras. Tampaknya ia masih kesal dengan perlakuan Bang Arman tadi. Laki-laki itu sungguh tidak memiliki adab sama sekali. Padahal bapakku itu jelas-jelas adalah mertuanya.

"Bapak minum dulu. Biar tenang." Ibu berjalan cepat menghampiri bapak dengan segelas air putih di tangannya. Bapak meneguk air putih itu hingga habis setengah gelas.

"Arman itu memang breng-sek! Kok ada manusia tak beradab dan sombong seperti dia sih? Astaghfirullahal 'Adhiim." Bapak mengurut dadanya. "Bapak nggak sanggup membayangkan seperti itu yang kamu alami selama lima tahun ini, Nduk?"

"Begitu 'lah, Pak. Makanya aku berpikir sejuta kali untuk kembali kepada Bang Arman," tukasku.

"Bapak tidak akan pernah setuju, jika kamu kembali pada lelaki sombong itu."

"Aku juga nggak mau, Pak. Tapi, ngomong-ngomong, Bang Arman bertanya pada tetangga kita yang mana ya, Pak?" tanyaku penasaran.

"Sepertinya dia bertanya pada Pak Asep. Karena cuma Pak Asep yang tahu alamat eyang di Jogja. Lagi pula, bapak sudah berpesan pada semua tetangga kita. Dan bo-dohnya Arman itu, dia nggak pernah mencari tahu tentang keluarga istrinya."

"Kenapa Bapak melarang saya untuk memberitahukan siapa Bapak sebenarnya?" tanya Mas Darmo.

"Nggak sekarang, Mo. Tunggu Nia dan laki-laki itu bercerai dulu. Dan perlahan-lahan dia akan tahu siapa kami sebenarnya."

❣ HM ❣

Karena kejadian kedatangan Bang Arman yang mengundang keributan kemarin, aku jadi gagal ke pabrik. Mood-ku telanjur rusak. Semoga saja dia tidak tahu siapa sebenarnya Danu Suryoprawiro, sampai perceraian kami benar-benar terjadi.

Dengan menggunakan motor, aku melaju menuju pabrik batik di kawasan Umbulharjo. Setelah itu, baru ke toko di Malioboro. 

Sebenarnya ada mobil milik eyang Saras, tapi aku lebih memilih motor. Selain aku tidak bisa membawa mobil, tapi rasanya lebih cepat dan praktis kalau menggunakan motor.

Setiba di sana, Bapak menyambutku. Ternyata lelaki yang sudah menginjak usia lebih dari 50 tahun itu sudah sampai lebih dulu di sana.

Bapak membawaku untuk melihat-lihat berkeliling. Bagaimana proses pembuatan batik dimulai dari para wanita-wanita Jogja yang melukis dengan canting di atas selembar kain polos, hingga bisa menghasilkan corak yang luar biasa indah. Sampai proses pengepakan dan pengiriman. Batik Jogja eyang sampai dikirim ke luar negeri juga. 

"Nduk, perkenalkan, ini Abimanyu. Anak sahabat eyang kamu. Dia juga memiliki saham di sini."

"Hai, aku Abimanyu."

"Aku Kania. Panggil saja Nia, Mas."

"Nanti nak Abimanyu yang akan mengajari kamu di sini. Kamu siap 'kan bolak balik Jogja-Lembang? Karena setelah kebub teh itu kita beli, kamu akan sangat sibuk sekali lho, Nduk. Ditambah urusan perceraian kamu."

"Insya Allah siap, Pak."

"Bagus. Bapak senang mendengarnya. Nak Abimanyu, saya tinggal dulu ya. Titip Nia."

"Baik, Pakde. Saya akan Nia baik-baik. Pakde tenang saja."

❣ HM ❣

Panggilan sidang perceraian sampai di meja kerjaku setelah sebulan lalu didaftarkan. Entah kenapa hati ini rasanya seperti tak menentu. Apakah aku masih mencintai Bang Arman? Tapi apa pun itu, keputusan bercerai dari lelaki som-bong itu sudah sangat bulat. Tak ada yang bisa dipertahankan lagi. Hati ini bukan batu.

Keesokannya, aku sudah siap untuk berangkat ke Jakarta ditemani Bapak, Ibu juga Indah. Gadis kecil itu sangat senang begitu mengetahui kami akan naik pesawat lagi.

Pukul 10.08 WIB pesawat sampai di bandara, kami segera memanggil taksi untuk langsung ke pengadilan agama. Sidang diadakan pukul 11.00 WIB. Masih ada waktu.

Bapak dan Ibu tetap saja berpenampilan sederhana. Begitu pun aku. Tidak ada yang mempercayai kalau Bapak adalah juragan teh dan padi.

"Eh, orang miskin belagu sudah datang."

Aku menoleh sekilas. Suara yang sudah sangat kuhapal, karena hinaan yang tak pernah berhenti ke luar dari mulutnya.

❣ BERSAMBUNG ❣

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Arman dan keluarganya sombong banget
goodnovel comment avatar
Nuniee
Astaga jelek amat tuh mulut...ngakunya orang kaya tpi sayang minim attitude
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status