“Sudah lama menunggu?” Seorang perempuan bertanya dengan suara yang terdengar manja pada Luke. Suara itu mengejutkannya karena masih mengingat perkataan Luke sebelumnya.
“A-ah! Ti-tidak juga.” Luke tertarik kembali ke dunia nyata, suara Jane berhasil menariknya. Jane, seseorang yang ia sebut kekasih.
“Duduklah, Sayang.” Luke berusaha tersenyum dengan cepat, lalu ia membawa perempuan mungil itu duduk tepat di hadapannya. Apapun yang dia pikirkan, dia harus segera melupakannya. Jane telah berada di sini sekarang, dia hanya harus memberikan banyak perhatian.
“Cepat sekali. Kukira akan perlu paling tidak 15 menit untuk ke sini.” Luke lalu menemukan Jane yang tertawa dengan manis.
“Saat kamu menelepon, sebenarnya aku sedang berada di dekat sini.” Perempuan itu tersenyum cerah. Di dalam suaranya terselip keantusiasan.
“Oh, ya? Benar begitu?” Luke menaikkan sebelah alisnya.
“Iya. Aku bahkan sempat berbincang dengan Jeffrey di mobilmu.” Jane menunjukkan senyumnya yang paling manis.
“Berbincang?” Wajah Luke berubah mengerut dalam seketika. Apa maksud Jane dengan berbincang? Luke jadi berpikir kalau Jane melakukan sesuatu dengan Jeffrey. Perempuan itu memang suka mencari kesenangan, jadi sedikit salah mengambil maksudnya sudah tidak bisa dihindari.
“Aku hanya berbincang sedikit, tidak lebih. Apa yang kamu pikirkan?” Jane memainkan jari-jari Luke yang panjang dan besar.
“Tidak ada. Baiklah, aku mengerti.” Luke tersenyum lembut lalu mengecup punggung tangan Jane. Perempuan itu terlihat bahagia, tawa kecil muncul dari bibirnya.
.
.
.
Entah ini sudah keberapa kali perempuan mungil itu berjalan mondar-mandir. Dia tampak berantakan. Wajahnya pucat, tubuhnya mulai berkeringat. Dilihat dari pergerakannya, dia tengah sangat khawatir. Hingga di dalam hatinya ia bersumpah demi apapun kalau menunggu di saat seperti ini adalah ide terburuk yang pernah ia tahu. Waktu terasa sangat lambat, seakan melata. Atmosfir terasa sangat dingin, seakan beku.
“Ben! Kenapa mereka belum juga tiba? Berapa lama lagi waktu yang mereka butuhkan untuk ke sini?” Perempuan itu bertanya dengan nada suara yang tidak sabaran.
“Sabar, Sayang. Mungkin mereka sedang di jalan. Mereka juga harus ke sini bersama Helena bukan? Mungkin mereka sedikit lebih lama karena harus menjemput Helena di rumah sakit.” Ben berusaha menenangkan Bella.
“Kamu hanya bisa berkata ‘Sabar, Sayang’. Sementara Rena masih terbaring di sana, tidak bergerak dan belum juga bangun. Kita perlu Helena! Rena memerlukan seorang dokter!” Bella memijat keningnya yang terasa pening. Ben hanya diam, melawan atau membela diri sama dengan cari mati. Ben pernah mencoba sekali, rasanya sedetik seakan seperti setahun. Bella yang marah padanya sama dengan tidak memberi belaian.
Helena, tepatnya Helena Lewis adik kandung Hendry Lewis. Dia seharusnya menjadi pewaris sebagian Lewis Corp namun malah memberikan seluruh posisi yang ia miliki pada kakaknya yang tampan. Ia merasa tidak cocok dan tidak nyaman menduduki posisi itu. Ia lebih memilih menjadi dokter, mengabdi di masyarakat dan menjadi dokter pribadi Rena atas permintaan Hendry.
Tapi kemudian Ben merasa keberuntungan sedang berada di pihaknya. Pintu terbuka secara kasar, memotong perkataan Bella yang sudah dari hulu ke hilir. Dibuka oleh Amora yang datang bersama Helena dengan tanpa permisi.
“Oh! Hai! Dimana Rena?” Helena yang tampak cantik dengan kemeja berwarna biru langit bertanya dengan nada tenang.
“Di-di kamar. Ayo, aku antar!” Bella berjalan lebih dulu, diikuti Amora dan Helena yang berjalan beriringan. Mereka pergi secepat mungkin karena rasa panik, meninggalkan Ben dan Hendry.
“Hendry!” Ben memanggil Hendry dengan sedikit berbisik. Matanya memandang waspada pada orang-orang yang memasuki kamar Rena.
“Ya, bicaralah.” Hendry mengusap wajahnya lalu menatap Ben dengan fokus yang terbelah. Dia seakan tahu tentang apa yang akan Ben bicarakan.
“Bagaimana menurutmu? Apa kita harus menguak yang sebenarnya?” Ben menatap Hendry yang kali ini nampak berkali lipat tidak fokus.
“Jangan. Semua sudah terlambat, semua sudah sangat terlambat. Jika kita melakukannya, akan banyak yang mengalami kehancuran. Tapi yang utama adalah kehancuran Rena yang pasti akan merasa terkhianati.” Hendry mengambil napas perlahan dengan mata yang bergerak-gerak khawatir.
“Tidak, jangan. Biarkan Rena menguaknya sendiri.” Hendry melanjutkan dengan lemah dan Ben hanya menunduk dengan wajah setengah melamun.
.
.
.
“Jeffrey?” Luke memanggil sesaat setelah menutup pelan pintu besar dan mewah di belakangnya. Suaranya terdengar nyaring, cukup untuk mengisi keseluruhan rumah yang sangat luas itu.
Luke sebenarnya merasa bersalah pada sahabat yang sudah dianggapnya saudara itu. Sembarang diusir Jane dari mobil dan disuruh pulang dengan taksi. Luke tiba-tiba merasa kalau itu sudah sangat keterlaluan.
“Apa?” Jeffrey menyahut malas. Tapi nada suara marah sedikit menyusup dari sana.
Jeffrey duduk sangat santai di sofa dengan kedua kaki yang terangkat di atas meja. Duduk di depan televisi yang menampilkan salah satu program musik. Sekarang menatap sangsi Luke dengan wajah yang masih tampak tampan.
“Darimana saja? Kenapa tidak menyahut teleponku?” Luke bertanya dengan rasa kesal setengah mati.
“Kamu yang mengusirku, lalu kamu yang kesal?” Jeffrey menatap Luke tak kalah kesal. Alisnya menukik tajam dan ekspresinya mengeras, membuktikan tentang seberapa kesal perasaannya.
“Baiklah, aku minta maaf. Masalah tadi, kamu tahu itu keinginan Jane. Aku tidak mampu menolaknya, ia seperti saudaraku sendiri, sama sepertimu.” Pandangan mata Luke berubah lembut. Pelan-pelan Luke berjalan ke sisi lain Jeffrey dan duduk di tempat yang kosong.
“Sama? Kamu sebut itu sama? Itu sama sekali tidak sama! Bahkan orang dengan mata buta sekali pun dapat melihat kalau perlakuanmu tidak sama!” Jeffrey bukannya egois atau kekanakan, Jeffrey hanya lelah. Tidur tengah malam karena menemani Luke minum-minum, bangun pagi untuk menjalankan tugas pagi, menjaga Luke dan menyiapkan segala keperluan orang itu untuk kemudian diusir dengan sangat memalukan.
“Bukan. Tidak, bukan seperti itu. Lalu apa yang harus aku lakukan agar kamu mengerti? Kamu sama berartinya untukku. Atau mungkin lebi-“ Dering ponsel Luke mengalihkan seluruh atensi dua makhluk itu.
“Iya, Ibu.” Luke menyahut dengan matanya yang menatap Jeffrey yang tampak mengerutkan kening. Jeffrey hanya sedikit kebingungan memperhatikan tentang seberapa cepatnya Luke merubah nada bicaranya dari sebelumnya begitu menggebu menjadi sangat tenang.
“Ibu! Ti-tidak! Jangan mengambil keputusan secara sepihak!” Luke tiba-tiba berteriak, matanya menajam. Luke kemudian berdiri dengan cepat dan wajahnya berubah memerah.
“Ibu! Ibu!” Luke menjauhkan benda persegi panjang itu dari telinganya dengan geraman yang benar-benar terdengar marah.
“Sialan! Kenapa?! Kenapa aku harus bertemu dengan Rena Martin itu?!” Luke membanting tubuhnya ke sofa dan menjambak rambutnya frustasi. Tidak, ini tidak bisa terjadi. Luke tidak menginginkan ini. Rena Martin, wajah itu yang muncul di kepalanya. Kehidupan mereka untuk seterusnya sudah dipersiapkan.
“Rena hanya shock, jangan khawatir. Tidak ada yang serius. Rena hanya perlu beristirahat dan meminum obatnya dengan teratur. Segalanya akan membaik.” Helena berucap dengan suara yang terdengar tenang dan menyenangkan. Tangannya bergerak cepat menuliskan beberapa resep lalu menyerahkannya pada kakak laki-lakinya. Kemudian dia meraih jas dokternya yang tadi tidak dia kenakan lalu menyampirkannya di tangannya. Dia segera meraih tasnya dan merapikan apa saja yang harus dirapikan. “Baiklah, kami akan pastikan kalau Rena akan meminum obatnya dengan teratur.” Wajah Amora yang manis tampak lega. Di sisinya ada Bella yang juga terlihat tidak kalah lega. “Kalau begitu aku akan pergi. Aku di rumah sakit. Jika terjadi sesuatu, jangan sungkan untuk menghubungiku.” Helena tersenyum lalu berdiri perlahan. Amora adalah kekasih kakaknya. Bella adalah kekasih dari sahabat kakaknya. Sedangkan Rena akan menjadi istri dari seseorang yang ia dan kakaknya anggap sebagai saud
“Phoenix.” Ben menundukkan kepalanya patuh. Sedangkan Bella memandang Luke dengan tatapan yang tajam. Dia memang selalu tidak pernah menyukai laki-laki itu. Sementara Luke sudah terlalu terbiasa mengabaikannya. “Ben, harus berapa kali aku katakan padamu? Jangan menundukkan kepala padaku, kamu adalah keluargaku.” Luke menepuk bahu Ben dengan hangat, membuat Ben mengangkat kepalanya. Sedikit keangkuhan di wajahnya retak saat dia menatap adik sepupunya itu. “Yang datang sekarang adalah Luke Armstrong yang penuh pengawalan. Kamu yang sekarang adalah Phoenix dan Phoenix tengah menjemput calon pendampingnya. Silakan, dia sudah siap.” Ben sekali lagi menunjukkan sikap patuhnya, memiringkan tubuh dan membiarkan Luke masuk. Dia sedang sangat formal, terlalu terbiasa meletakkan dirinya di kondisi ini hingga ia sudah terlalu hapal mengenai siapa peran yang Luke ambil di kondisi-kondisi tertentu. Luke mengangkat kepalanya untuk membuat sikap angkuh dan aur
Rena menunduk dan duduk dengan tegang. Jari-jarinya yang saling bertautan tampak bergerak gelisah. Sedangkan Luke ada di sebelah kirinya. Ia tengah menyetir dengan pandangan terpaku pada jalanan yang tidak begitu ramai. “Aku akan pergi setelah mengantarmu. Jika kamu merasa perlu untuk segera beristirahat, aku bisa mengantarmu ke hotel terdekat atau kamu ingin langsung ke rumah?” Luke bertanya dengan mata melirik Rena dan menemukan orang itu terdiam dengan fokus yang terbelah. Matanya tampak menatap pangkuannya dengan dengan gamang. Apapun yang sedang dia pikirkan, Luke tidak suka diabaikan. Alis Luke tiba-tiba menukik tanda tidak suka. Tangannya mencengkram kemudi dan rahangnya mengeras. Luke tiba-tiba menukikkan mobilnya ke tepi jalan dengan brutal hingga Rena tersentak dan membelalakkan matanya. “Sialan, Rena Martin!” Luke berteriak marah sambil menarik dagu Rena agar menatapnya. Wajahnya yang mengeras tampak mengerut marah. “Sepertin
Rena mendesah lega saat kedua kakinya berhasil menapak di lantai datar dengan sempurna setelah berjuang dan kesakitan untuk menaiki tangga. Ia berjalan perlahan ke sebuah pintu besar yang indah. Segera membukanya saat sudah meraihnya untuk melihat sosok pria yang tengah tertidur dengan posisi tubuh duduk. Punggung tegap laki-laki itu terlihat bersandar dengan cukup nyaman di kepala ranjang. Rena tiba-tiba merasa sedikit takut karena harus membangunkan pria berwajah tampan yang terlihat kelelahan itu. Tapi kemudian ia menggelengkan kepalanya, Luke adalah calon suaminya dan Rena harus peduli padanya. Luke bisa saja sakit kalau tidak memiliki makanannya dan sebagai calon pasangan yang baik, Rena harus memperhatikan asupan makanan dan kesehatan Luke. Rena harus membuat calon suaminya merasa senang dan puas dengan pelayanannya. “Luke.” Rena memanggil lirih dan sedikit menggoyangkan tubuh Luke, berharap dengan itu Luke akan segera terbangun. Kemudian Luke tampak terganggu dan Rena menarik
Setelah Rena selesai menyiapkan sarapan, ia segera menuju ke kamar calon suaminya. Saat membuka pintu, ia menemukan Luke yang masih terlihat sangat serius. Calon suaminya masih berkutat dengan pekerjaannya. Setelah menyiapkan diri, Rena mendekat dengan hati-hati, cukup untuk membuat orang itu menatapnya. “L-Luke, a-aku berpikir untuk menyiapkan a-ir untukmu m-mandi.” Rena sekali lagi membuat rasa tidak nyaman mulai memenuhi hati Luke. Karena Rena dan sikapnya sungguh menciptakan perasaan lain di hatinya. “Baiklah, kamu siapkan air dan aku akan menyiapkan berkasku sebentar.” Luke menyahut dengan setengah minat. Calon istrinya adalah orang yang penurut dan Luke menyukainya. Tapi bagaimana bisa orang yang akan menjadi pendamping hidupnya menjadi sangat takut padanya? Mereka akan tinggal di sisi satu sama lain sampai tidak tahu kapan dan dia tidak bisa membayangkan kalau mereka akan hidup seperti itu terus-menerus. Rena berbalik dan pergi ke kamar
Luke duduk dengan tenang di samping laki-laki yang tengah menyetir dengan rahang mengeras. Laki-laki itu Jeffrey dan Jeffrey sedang marah. Tapi Luke tahu kalau ia tidak perlu melakukan apapun untuk membuat amarah orang itu meledak padanya. “Aku yang keliru atau kamu memang semakin berengsek?” Suara Jeffrey terdengar rendah dan serak. Luke tahu orang itu terlalu menahan emosinya. “Kita sama-sama tahu kalau aku memang berengsek.” Luke tersenyum. Ia sedikit bangga pada dirinya yang sangat tahu tabiat temannya itu. “Tingkat keberengsekanmu naik ke tingkat yang lebih berbahaya.” Jeffrey menyahut dengan geraman di akhir kalimatnya. Tapi Luke malah tertawa pelan. “Semakin berbahaya, maka Phoenix akan semakin hidup.” Nada suara itu terisi dengan kekejaman. Kekeh kecil muncul dari sela-sela bibirnya. “Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa ada jiwa sialan dalam tubuh rupawan? Iblis seharusnya tidak hidup di dunia manusia.” Jeffrey membelo
Rena melangkah menuju perpustakaan dengan sangat pelan. Meski tubuhnya masih terasa sakit, ia bertekad untuk mengerjakan berkasnya. Tubuhnya memang kesakitan, tapi pendidikannya adalah yang utama. Selain itu ada yang mengganjal di hatinya, Rena memang tidak merasakan nyaman di hatinya. Rasa tidak nyaman karena pembicaraan tadi dan karena meninggalkan teman-temannya tanpa pamit. Dia tidak terbiasa untuk bersikap egois hingga bersikap sedikit egois seperti tadi berhasil sedikit mengganggunya. Kepala Rena sampai terasa penuh karena rasa bersalah. “Oh! Hai, Rena Martin!” Seorang perempuan memanggil nama Rena dan Rena menatapnya untuk menemukan perempuan itu melihat ke arah jam tangannya sebentar. Perempuan itu adalah seorang dosen sekaligus penjaga perpustakaan yang sudah cukup akrab dengannya. Rena memang sangat menyukai perpustakaan, oleh karena itulah penjaga perpustakaan jadi mengenalnya. “Selamat pagi.” Ini pukul 10.32 am, masih pagi. “Selamat
“Bagaimana kabar James?” Irene mencoba mencairkan atmosfer beku sejak Rena pergi tadi. Tidak ada yang menyukai keadaan itu, jadi dia memutuskan mencoba untuk memecahkan suasana. “Baik. Anak itu baik-baik saja.” Ben tersenyum, mengingat betapa menggemaskannya kaki tangan paling diandalkannya itu. “Terkadang aku merasa kasihan padanya. Ia masih terlalu kecil untuk pekerjaan mengerikan itu.” Amora ikut menimpali. James sangat menggemaskan untuk mahasiswa yang memasuki semester awal. Jadi dia tidak bisa membayangkan kalau anak itu telah bekerja di bidang yang mengerikan. “Ben menyayangi anak itu, James tidak akan disakiti. Dia tidak akan membiarkan seseorang yang dia sayangi berada di dalam masalah.” Bella mengerti bagaimana Amora mencintai anak itu. James telah Amora anggap bagai putra sendiri. “Tapi bagaimana bisa anak sekecil itu menarik pelatuk dan melesakkan peluru di antara mata seseorang? Itu terlalu mengerikan untuk anak seusianya.” Amora berkata dengan rasa khawatir yang kenta