“Rena hanya shock, jangan khawatir. Tidak ada yang serius. Rena hanya perlu beristirahat dan meminum obatnya dengan teratur. Segalanya akan membaik.” Helena berucap dengan suara yang terdengar tenang dan menyenangkan. Tangannya bergerak cepat menuliskan beberapa resep lalu menyerahkannya pada kakak laki-lakinya. Kemudian dia meraih jas dokternya yang tadi tidak dia kenakan lalu menyampirkannya di tangannya. Dia segera meraih tasnya dan merapikan apa saja yang harus dirapikan.
“Baiklah, kami akan pastikan kalau Rena akan meminum obatnya dengan teratur.” Wajah Amora yang manis tampak lega. Di sisinya ada Bella yang juga terlihat tidak kalah lega.
“Kalau begitu aku akan pergi. Aku di rumah sakit. Jika terjadi sesuatu, jangan sungkan untuk menghubungiku.” Helena tersenyum lalu berdiri perlahan. Amora adalah kekasih kakaknya. Bella adalah kekasih dari sahabat kakaknya. Sedangkan Rena akan menjadi istri dari seseorang yang ia dan kakaknya anggap sebagai saudara. Jadi membantu mereka sama sekali tidak merepotkan.
“Terima kasih.” Amora balas tersenyum. Sedikit banyak dia merasa sangat berterimakasih karena Helena yang selalu direpotkan namun tidak pernah tidak datang.
“Tidak masalah. Baiklah, aku pergi.” Helena berjalan keluar diikuti Bella yang bergerak dengan penuh rasa terima kasih.
Kamar itu hening selama Bella mengantarkan Helena pergi untuk kembali ke rumah sakit dengan diantar oleh tangan kanan Hendry-Joseph. Sedangkan di kamar, Amora memandang Rena dengan tatapan sendu, berharap orang itu segera membuka matanya. Ingin Rena segera bangun dan membaik. Sebagai sahabat, ia tidak tega melihat Rena terbaring pingsan seperti itu
“Oh astaga! Ya Tuhan! Akhirnya kamu bangun!” Amora berteriak penuh dengan rasa kelegaan.
“Nghh... Am-Amora?” Rena masih tampak di ambang kesadarannya, masih belum sepenuhnya menyadari keadaan di sekelilingnya. Tapi, suara teriakan Amora yang pertama kali ditangkap gendang telinganya.
“Rena!” Bella berlari dengan dramatis dari ruang depan setelah mendengar suara teriakan Amora dari kamar Rena. Segera mendekati Rena yang masih tampak lemah, Bella jadi terlihat ingin menangis.
“Rena! Akhirnya kamu bangun! Kamu membuatku takut!” Bella merengkuh Rena dalam dekapannya, melupakan fakta bahwa Rena baru saja terbangun.
“Sayang! Hentikan! Rena masih lemah, jangan memeluknya seperti itu. Itu terlalu erat, Sayang. Rena bisa saja pingsan lagi.” Ben cepat-cepat memisahkan Bella dan Rena sebelum kekasihnya membuat Rena kesulitan bernapas. Rena baru saja bangun dan Ben khawatir kalau Rena akan pingsan lagi.
“Oh! Oh... maaf, maaf. Maafkan aku, Rena. Tidak ada yang sakit kan? Tidak ada? Oh astaga! Apa yang aku lakukan?! Aku-“
“Bella.” Rena mencoba mengintrupsi Bella dengan suaranya yang lemah. Bella terlalu berisik hingga membuatnya pusing. Tapi yang paling mengganggunya adalah Bella yang terlalu khawatir. Dia tidak suka orang lain telalu khawatir padanya.
“Aku baik-baik saja.” Amora bersumpah demi apapun, suara Rena bahkan terdengar sangat lemah. Rena terdengar seperti berbisik, membuat Amora dan Bella benar-benar ragu kalau Rena dalam keadaan baik.
“Jangan berbohong. Kamu tidak, Rena. Kamu tidak baik-baik saja.” Suara Amora terdengar bergetar dan Hendry segera mendekat dan memeluk Amora yang langsung menangis.
“Sayang, kenapa menangis? Kamu lihat? Rena sudah tidak apa-apa. Rena sudah membaik. Sudah...” Hendry menenangkan seraya mengecup pucuk kepala Amora beberapa kali. Dia tahu kalau Rena tidak baik-baik saja, tapi melihat kekasihnya menangis membuat Hendry merasa hatinya meradang.
“Amora, aku tidak ap-“ Rena tiba-tiba terdiam dan tubuhnya menegang. Wajahnya yang tadinya mulai berwarna kini mulai lagi tanpa warna. Tangan kanannya yang sudah berbalut perban terangkat ke depan mulutnya. Sedangkan tangan kirinya mencengkram perutnya.
“Ohh.. kamu harus segera meminum obatmu.” Ben berbicara dengan suara yang gemetar karena kepanikan. Tangannya bergerak cepat meraih bungkusan di meja, tapi Bella malah menarik bahunya lembut.
“Tidak. Rena belum makan sesuatu.” Bella mengucapkan kalimat itu dengan sedikit panik.
“Amora! Hendry! Bisa tolong masak sesuatu?” Lalu Bella melihat Amora yang masih terisak mengangguk cepat. Ia kemudian menyambar tangan Hendry untuk berjalan cepat menuju dapur.
“Baiklah...” Bella mendekati Rena dan membantunya untuk berbaring dalam posisi nyaman lalu menyelimutinya sebatas dada. Dia sudah terlihat sedikit lebih terkendali dibandingkan sebelumnya.
“Istirahatlah, Rena. Aku dan Ben akan membersihkan ruang depan. Kalau bisa, kamu boleh tidur, tubuhmu benar-benar membutuhkan banyak istirahat.” Bella tersenyum dengan sangat cantik setelah melihat Rena tidak lagi menunjukkan reaksi tadi. Ben lalu meraih tangan kekasihnya dan menariknya dengan lembut.
Rena terdiam melihat bagaimana Ben memperlakukan Bella dengan teramat lembut dan mengingat bagaimana Hendry memeluk Amora dengan terlalu sayang. Rena terdiam lebih lama, kembali mengingat lagi kejadian yang membuatnya menjadi seberantakkan ini, mental dan fisiknya. Rena belum siap, benar-benar belum siap. Kehidupannya sungguh di bawah dari kata normal dan sekarang ia dipaksa untuk menerima segala sesuatu yang lebih gila. Takdir memaksanya untuk menganggukkan kepala karena ia harus sadar dimana posisinya yang sebenarnya.
Dia, Rena Martin, seorang sialan yang dipungut dari panti asuhan. Posisinya adalah tempat yang menjijikkan. Membuatnya lagi-lagi merasa tidak berarti. Membuatnya benar-benar ingat dan merindukan seseorang yang pernah menjadi malaikat pelindungnya, yang pernah membiarkannya merasa kelahirannya adalah anugrah.
“Kembalilah... aku mohon. Aku merindukanmu.” Rena mendesis pelan sambil menutup netra kecokelatannya. Ia tiba-tiba merasa sangat sedih dan tidur sebentar sepertinya akan membantunya keluar dari kesedihan itu. Tapi kemudian suara Bella yang lembut mengintrupsinya.
“Rena, ibumu menelepon. Siapkan barang-barangmu lalu makan dan minum obatmu. Kamu harus bersiap untuk Luke jemput.” Suara Bella yang lembut dan penuh kehati-hatian membuat Rena tiba-tiba merasa pening. Bagaimana ia bisa tidur jika sesuatu yang mengganggu pikirannya kembali datang? Dia tidak mau, terlalu engggan untuk kembali disakiti. Tapi Rena tetap mengangguk dalam ketidakberdayaan, karena takdir sudah memaksanya untuk selalu berkata iya.
.
.
.
Luke menutup pintu mobilnya dengan kasar, menghasilkan bunyi debuman yang sama sekali diabaikannya. Pikirannya kacau, keadaan kacau, segalanya kacau. Luke rasanya benar-benar mendidih. Tapi ia harus menata lagi emosinya, karena sekarang bukan saatnya melampiaskan kemarahan. Sekarang saatnya menjemput seseorang dan memulai segalanya.
“Astaga...” Suara Luke terdengar lelah. Dia juga mengusap wajahnya dengan lelah.
Luke tahu kenapa ibunya terlalu cepat merestui ia dan Rena. Luke mengerti kenapa ibunya terlalu cepat menyukai Rena. Mereka adalah orang-orang yang mengerikan, dirinya dan semua orang yang berhubungan dengannya. Sedangkan Rena hanya seperti anak kecil yang bahkan tidak mengerti dunia seperti apa yang akan ia hadapi nanti. Rena adalah seorang yang penurut, penakut dan mudah ditekan. Orang yang seperti itu adalah orang yang tidak berbahaya, menurut ibu seorang Luke Armstrong. Seorang seperti Rena tidak akan merebut kebahagiaan putranya. Seorang seperti Rena selalu tunduk di bawah kendali.
“Phoenix.” Ben menundukkan kepalanya patuh. Sedangkan Bella memandang Luke dengan tatapan yang tajam. Dia memang selalu tidak pernah menyukai laki-laki itu. Sementara Luke sudah terlalu terbiasa mengabaikannya. “Ben, harus berapa kali aku katakan padamu? Jangan menundukkan kepala padaku, kamu adalah keluargaku.” Luke menepuk bahu Ben dengan hangat, membuat Ben mengangkat kepalanya. Sedikit keangkuhan di wajahnya retak saat dia menatap adik sepupunya itu. “Yang datang sekarang adalah Luke Armstrong yang penuh pengawalan. Kamu yang sekarang adalah Phoenix dan Phoenix tengah menjemput calon pendampingnya. Silakan, dia sudah siap.” Ben sekali lagi menunjukkan sikap patuhnya, memiringkan tubuh dan membiarkan Luke masuk. Dia sedang sangat formal, terlalu terbiasa meletakkan dirinya di kondisi ini hingga ia sudah terlalu hapal mengenai siapa peran yang Luke ambil di kondisi-kondisi tertentu. Luke mengangkat kepalanya untuk membuat sikap angkuh dan aur
Rena menunduk dan duduk dengan tegang. Jari-jarinya yang saling bertautan tampak bergerak gelisah. Sedangkan Luke ada di sebelah kirinya. Ia tengah menyetir dengan pandangan terpaku pada jalanan yang tidak begitu ramai. “Aku akan pergi setelah mengantarmu. Jika kamu merasa perlu untuk segera beristirahat, aku bisa mengantarmu ke hotel terdekat atau kamu ingin langsung ke rumah?” Luke bertanya dengan mata melirik Rena dan menemukan orang itu terdiam dengan fokus yang terbelah. Matanya tampak menatap pangkuannya dengan dengan gamang. Apapun yang sedang dia pikirkan, Luke tidak suka diabaikan. Alis Luke tiba-tiba menukik tanda tidak suka. Tangannya mencengkram kemudi dan rahangnya mengeras. Luke tiba-tiba menukikkan mobilnya ke tepi jalan dengan brutal hingga Rena tersentak dan membelalakkan matanya. “Sialan, Rena Martin!” Luke berteriak marah sambil menarik dagu Rena agar menatapnya. Wajahnya yang mengeras tampak mengerut marah. “Sepertin
Rena mendesah lega saat kedua kakinya berhasil menapak di lantai datar dengan sempurna setelah berjuang dan kesakitan untuk menaiki tangga. Ia berjalan perlahan ke sebuah pintu besar yang indah. Segera membukanya saat sudah meraihnya untuk melihat sosok pria yang tengah tertidur dengan posisi tubuh duduk. Punggung tegap laki-laki itu terlihat bersandar dengan cukup nyaman di kepala ranjang. Rena tiba-tiba merasa sedikit takut karena harus membangunkan pria berwajah tampan yang terlihat kelelahan itu. Tapi kemudian ia menggelengkan kepalanya, Luke adalah calon suaminya dan Rena harus peduli padanya. Luke bisa saja sakit kalau tidak memiliki makanannya dan sebagai calon pasangan yang baik, Rena harus memperhatikan asupan makanan dan kesehatan Luke. Rena harus membuat calon suaminya merasa senang dan puas dengan pelayanannya. “Luke.” Rena memanggil lirih dan sedikit menggoyangkan tubuh Luke, berharap dengan itu Luke akan segera terbangun. Kemudian Luke tampak terganggu dan Rena menarik
Setelah Rena selesai menyiapkan sarapan, ia segera menuju ke kamar calon suaminya. Saat membuka pintu, ia menemukan Luke yang masih terlihat sangat serius. Calon suaminya masih berkutat dengan pekerjaannya. Setelah menyiapkan diri, Rena mendekat dengan hati-hati, cukup untuk membuat orang itu menatapnya. “L-Luke, a-aku berpikir untuk menyiapkan a-ir untukmu m-mandi.” Rena sekali lagi membuat rasa tidak nyaman mulai memenuhi hati Luke. Karena Rena dan sikapnya sungguh menciptakan perasaan lain di hatinya. “Baiklah, kamu siapkan air dan aku akan menyiapkan berkasku sebentar.” Luke menyahut dengan setengah minat. Calon istrinya adalah orang yang penurut dan Luke menyukainya. Tapi bagaimana bisa orang yang akan menjadi pendamping hidupnya menjadi sangat takut padanya? Mereka akan tinggal di sisi satu sama lain sampai tidak tahu kapan dan dia tidak bisa membayangkan kalau mereka akan hidup seperti itu terus-menerus. Rena berbalik dan pergi ke kamar
Luke duduk dengan tenang di samping laki-laki yang tengah menyetir dengan rahang mengeras. Laki-laki itu Jeffrey dan Jeffrey sedang marah. Tapi Luke tahu kalau ia tidak perlu melakukan apapun untuk membuat amarah orang itu meledak padanya. “Aku yang keliru atau kamu memang semakin berengsek?” Suara Jeffrey terdengar rendah dan serak. Luke tahu orang itu terlalu menahan emosinya. “Kita sama-sama tahu kalau aku memang berengsek.” Luke tersenyum. Ia sedikit bangga pada dirinya yang sangat tahu tabiat temannya itu. “Tingkat keberengsekanmu naik ke tingkat yang lebih berbahaya.” Jeffrey menyahut dengan geraman di akhir kalimatnya. Tapi Luke malah tertawa pelan. “Semakin berbahaya, maka Phoenix akan semakin hidup.” Nada suara itu terisi dengan kekejaman. Kekeh kecil muncul dari sela-sela bibirnya. “Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa ada jiwa sialan dalam tubuh rupawan? Iblis seharusnya tidak hidup di dunia manusia.” Jeffrey membelo
Rena melangkah menuju perpustakaan dengan sangat pelan. Meski tubuhnya masih terasa sakit, ia bertekad untuk mengerjakan berkasnya. Tubuhnya memang kesakitan, tapi pendidikannya adalah yang utama. Selain itu ada yang mengganjal di hatinya, Rena memang tidak merasakan nyaman di hatinya. Rasa tidak nyaman karena pembicaraan tadi dan karena meninggalkan teman-temannya tanpa pamit. Dia tidak terbiasa untuk bersikap egois hingga bersikap sedikit egois seperti tadi berhasil sedikit mengganggunya. Kepala Rena sampai terasa penuh karena rasa bersalah. “Oh! Hai, Rena Martin!” Seorang perempuan memanggil nama Rena dan Rena menatapnya untuk menemukan perempuan itu melihat ke arah jam tangannya sebentar. Perempuan itu adalah seorang dosen sekaligus penjaga perpustakaan yang sudah cukup akrab dengannya. Rena memang sangat menyukai perpustakaan, oleh karena itulah penjaga perpustakaan jadi mengenalnya. “Selamat pagi.” Ini pukul 10.32 am, masih pagi. “Selamat
“Bagaimana kabar James?” Irene mencoba mencairkan atmosfer beku sejak Rena pergi tadi. Tidak ada yang menyukai keadaan itu, jadi dia memutuskan mencoba untuk memecahkan suasana. “Baik. Anak itu baik-baik saja.” Ben tersenyum, mengingat betapa menggemaskannya kaki tangan paling diandalkannya itu. “Terkadang aku merasa kasihan padanya. Ia masih terlalu kecil untuk pekerjaan mengerikan itu.” Amora ikut menimpali. James sangat menggemaskan untuk mahasiswa yang memasuki semester awal. Jadi dia tidak bisa membayangkan kalau anak itu telah bekerja di bidang yang mengerikan. “Ben menyayangi anak itu, James tidak akan disakiti. Dia tidak akan membiarkan seseorang yang dia sayangi berada di dalam masalah.” Bella mengerti bagaimana Amora mencintai anak itu. James telah Amora anggap bagai putra sendiri. “Tapi bagaimana bisa anak sekecil itu menarik pelatuk dan melesakkan peluru di antara mata seseorang? Itu terlalu mengerikan untuk anak seusianya.” Amora berkata dengan rasa khawatir yang kenta
Luke benci rumah sakit karena di tempat itulah ia melihat orang yang pernah dicintainya meraung penuh kesedihan. Jadilah Luke membawa tubuh lunglai Rena ke rumah mereka yang besar dan memanggil Helena untuk segera datang. Luke sudah meminta Amora untuk mengganti baju Rena tadi, tepat setelah mereka tiba. Mencoba membuat tubuh kurus itu merasa nyaman meski ia sendiri merasa tidak nyaman mendengar ada banyaknya luka-luka yang pasti menyakitkan. “Bagaimana keadaan Rena? Apa ada sesuatu yang buruk?” Luke yang baru saja datang dari menerima beberapa panggilan segera bertanya, ia tampak khawatir. Ia mendapatkan panggilan dari pekerjaannya sementara Helena memeriksa keadaan Rena yang masih belum sadar. “Rena baik-baik saja. Luka karena pemukulan tidak banyak bertambah buruk dan hanya ada sedikit luka baru. Ia hanya perlu istirahat dan meminum obatnya dengan teratur agar bisa sembuh total.” Helena menyahut dengan tenang sambil mengemas peralatannya. Ia akan pergi setelah ini, karena pekerja