LOGIN
“Aku tidak peduli dengan istrimu. Yang terpenting, nikahi anakku!”
Lelaki yang mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam menatap Ammar dengan pandangan tajam. Dia membenarkan kacamata dan menghela napas panjang. Ini kali ketiga mereka bertemu dan dia jelas tidak mau ada tawar menawar lagi. “Tidak ada kata damai! Kamu harus bertanggung jawab karena sudah membuat anakku lumpuh. Kamu sendiri mengakui kalau kecelakaan itu terjadi murni karena kelalaianmu dalam mengemudi. Jadi, tidak ada pembicaraan lain lagi untuk urusan ini. Jangan datang lagi menemuiku kecuali untuk untuk membicarakan pernikahanmu dengan anakku. Atau … jeruji besi menunggumu untuk mempertanggungjawabkan kesalahanmu!” Ammar menghela napas panjang, berusaha memenuhi rongga dadanya yang terasa sesak. Aroma cairan pembersih lantai khas rumah sakit memenuhi penciumannya. Suara televisi yang menyala sayup-sayup terdengar saat mereka terdiam, sengaja dikecilkan saat dia masuk ke ruangan ini sekitar lima belas menit yang lalu. Dia melirik ke arah seorang wanita yang sedang dibantu oleh saudaranya untuk duduk di kursi roda. Wanita berambut sepinggang itu tidak sekalipun menatap dirinya. Dari raut wajahnya yang sembab, Ammar tahu ada kesedihan mendalam dan kemarahan yang bersarang kuat di hatinya. “Anak saya dua orang masih kecil-kecil, Pak Gun ….” “Aku tidak memintamu meninggalkan keluargamu! Aku hanya memintamu menikahi anakku, menggantikan posisi tunangannya yang memutuskan hubungan sebelah pihak karena tidak mau memiliki istri cacat.” Gunawan mengepalkan tangan saat mendengar suara isak tangis anaknya. Sejujurnya, hatinya juga nyeri setiap kali menyadari kalau dua kaki Adelia sudah tidak bisa berfungsi seperti dulu lagi. “Kamu seorang Ayah, sama seperti aku. Jadi, kamu pasti paham betul rasanya mengkhawatirkan masa depan anakmu.” Mata Gunawan berkaca-kaca saat melihat Adelia minta pada istrinya agar mereka segera keluar. Putrinya enggan mendengarkan percakapan lebih lanjut. “Rencana pernikahannya yang akan digelar beberapa bulan lagi batal, padahal dia dan tunangannya sudah berhubungan selama empat tahun. Jadi, apa menurutmu aku bisa tenang saja disaat melihat kenyataan kalau kemungkinan tidak akan ada lelaki yang mau menikahi wanita cacat seperti anakku?” Ammar menunduk, meremas jemarinya yang saling bertaut. Lelaki itu memijat keningnya, kepalanya terasa berat menghadapi tuntutan dari orang tua Adelia. “Nikahi dia. Kamu yang membuat Adelia cacat begitu. Jadi, kamu harus bertanggung jawab padanya seumur hidupmu.” Gunawan memberi penekanan di setiap kata yang dia ucapkan. Lelaki berusia lima puluh enam tahun itu berdiri dan meraih kunci mobil di atas nakas. Setelah dirawat beberapa minggu, hari ini Adelia diperbolehkan pulang. Dia memberikan kartu nama pada Ammar. “Ini alamat rumah kami. Datang kemari bersama keluargamu untuk membicarakan tanggal pernikahan kalian. Jangan terlalu lama karena aku bukan termasuk orang yang sabaran.” Ammar menghela napas panjang saat Gunawan meninggalkannya sendirian. Dia memukul sofa yang dia duduki saat pintu ruangan tertutup. Dengan perasaan kacau, Ammar akhirnya ikut pergi saat petugas kebersihan rumah sakit masuk untuk membereskan ruangan. “Adelia!” Ammar sedikit berteriak saat sampai di parkiran. Dia berjalan cepat menghampiri keluarga Gunawan yang baru saja akan masuk ke mobil. “Bisa kita bicara berdua? Sebentar saja.” Ammar menatap Adelia dengan pandangan penuh permohonan. Ini pertama kalinya dia bicara dengan gadis itu meski dalam tiga kali pertemuan, mereka berada dalam satu ruangan. “Adelia sedang dalam kondisi yang tidak stabil, Nak Ammar.” Fatma bicara pada Ammar sambil membantu Adelia masuk ke mobil. Setelah pintu mobil ditutup, dia menoleh pada Ammar yang masih berdiri di tempatnya semula. “Dia belum bisa diajak bicara. Setiap malam, dia berteriak-teriak seperti orang gila karena belum bisa menerima keadaan. Adelia bahkan harus diberi obat penenang. Dia sudah diberi rujukan untuk bertemu dengan psikiater.” Fatma menghapus ujung matanya yang basah. Sungguh, keadaan anaknya saat ini benar-benar membuatnya bersusah hati. “Divonis cacat permanen dan ditinggalkan oleh tunangan yang selama ini selalu ada untuknya membuat dia terpukul hebat. Padahal, rencana pernikahan mereka tidak sampai tiga bulan lagi.” Wanita yang mengenakan selendang untuk menutupi rambutnya itu mengusap hidungnya yang terasa sesak, berle n dir. “Pulanglah, maaf kalau tuntutan kami dirasa berat. Semoga saja, keluarga Nak Ammar bisa mengerti. Kami juga berada dalam posisi sulit saat ini.” Fatma meraih tangan suaminya, mengajak lelaki itu masuk ke mobil. Dia tidak mau sampai Gunawan gelap mata dan mencelakai Ammar karena kemarahan yang teramat sangat. Ammar menatap kepergian mobil keluarga Adelia dengan wajah nelangsa. Dia berjalan gontai menuju mobilnya yang diparkir tidak jauh dari sana. Lelaki itu memukuli kemudi beberapa kali. Dia akhirnya berhenti saat merasa lelah. Bayangan saat kecelakaan terjadi kembali memenuhi kepala Ammar hingga dia merasa pusing. Dia yang baru saja pulang dari dinas luar kota memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi saat melihat jalanan lengang. Panggilan video istri dan kedua anaknya lepas maghrib tadi terus membayang, membangkitkan kerinduan yang terus menghentak-hentak karena tiga hari tidak bertemu. Lalu, kecelakaan itu terjadi begitu saja. Sangat cepat hingga Ammar bahkan kesulitan mencerna apa yang sedang terjadi. Teriakan panjang dan suara decitan rem karena mobil dipaksa berhenti memecah keheningan langit malam itu. “Astaghfirullah ….” Ammar mengusap wajah dengan kedua tangan saat mengingat semua. Dia menghela napas panjang. Dadanya seperti dihimpit beban berat, sementara pundaknya seakan ditekan sangat kencang. Lelaki itu terdiam lama memikirkan percakapannya dengan Gunawan tadi. Harga mati. Tidak ada tawar menawar lagi. Ammar menggenggam kemudi erat. Perlahan, air mata mengalir di pipinya saat wajah istri dan kedua anaknya menari-nari di pelupuk mata.Di tempat berbeda, Zahra duduk termenung di halaman belakang. Sesekali, lamunannya buyar saat mendengar suara tawa Riko dan Rika yang sedang ‘membantu’ Zaldy membersihkan aquarium. Kegiatan itu memang paling mereka sukai karena bisa memegang tanaman dan batu-batu hias yang tadinya tersusun indah di dalam sana.“Coba kamu telpon Ammar, Ra.” Anis duduk dan menghampiri putrinya. Tadi malam, Zahra sudah menceritakan tentang pembicaraannya dengan Indra beberapa hari yang lalu. Kemungkinan, mereka akan pindah ke rumah Indra setelah acara resepsi pernikahan dilaksanakan. “Kalian harus bicara. Bagaimanapun juga, Ammar itu papanya Riko dan Rika. Apalagi, dia tidak pernah melalaikan kewajibannya. Kamu tidak bisa membawa anak-anak begitu saja tanpa persetujuannya.”Zahra menutup wajah dengan kedua tangan. Dia jelas tidak akan bisa membiarkan Riko dan Rika tinggal bersama Ibu dan bapaknya agar Ammar bisa nyaman kalau mau menemui mereka. Akan tetapi, Zahra juga tidak bisa memaksakan kehendak pada
Novita menghela napas panjang berkali-kali untuk menenangkan diri saat duduk di ruang tamu rumah orang tua Pandu. Wanita itu meremas jari tangannya yang saling bertaut. Dia melirik ke arah Devi yang terlihat lebih tenang. Padahal, selama beberapa hari ke belakang mereka berdua kalang kabut karena tidak ada kejelasan mengenai kelanjutan rencana pernikahan yang waktunya sudah semakin dekat.“Sebelum Mas Pandu berangkat ke Jepang, hubungan kami masih baik-baik saja, Om, Tante.” Novita menghapus air matanya. Dia melirik ke arah Pandu yang sejak tadi duduk dengan tenang, seolah memang sudah siap menghadapi hari ini. “Tapi … sejak bertemu dengan Mbak Adelia saat menjenguk Mama di rumah sakit, Mas Pandu jadi berubah. Puncaknya, saat kembali ke Jepang, kami tidak ada komunikasi sama sekali.”Orang tua Pandu menghela napas panjang. Sejujurnya, mereka sudah mengetahui tentang alasan Pandu. Keduanya juga setuju kalau anaknya ingin membatalkan pernikahan. Bukannya apa-apa, mereka sudah bisa melih
“Rika kangen Papa, Om.” Rika mengusap matanya yang basah. Sudah hampir tiga minggu, Ammar tidak datang. Papanya bahkan tidak mengangkat telepon dari mereka. “Biasanya, sepulang kerja, Papa sering mampir. Sabtu dan minggu juga sering datang, ajak Rika dan Riko jalan-jalan.” Rika menunduk. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menyembunyikan suara isakannya yang tidak bisa lagi ditahan.Indra terdiam beberapa saat mendengar ucapan Rika. Dia memang tidak memaksakan kedua anak sambungnya mengganti panggilan padanya. Kalau Rika dan Riko nyaman memanggilnya Om, Indra tidak apa-apa. Dia bukan tipe orang yang ribet harus sesuai dengan aturan ini dan itu menurut pandangan orang lain. Setelah banyak perjalanan hidup yang dia jadikan pelajaran, Indra mementingkan kenyamanan diri dan orang-orang yang dia sayangi daripada memikirkan pandangan orang diluar sana.“Coba Om telpon Papa ya? Barangkali Papa sibuk sekali makanya belum menemui Rika lagi.” Indra mengusap kepala Rika yang masih
Ammar mengempaskan badannya ke sofa. Hampir saja dia terjatuh karena terpeleset bantal yang dilemparkan oleh istrinya. Lelaki itu memejamkan mata sambil memijat kepalanya yang terasa berat. Dia baru tahu kalau patah hati rasanya semenyakitkan ini. Memikirkan Zahra sudah tidak mungkin menjadi miliknya lagi membuat Ammar tidak bisa berpikir jernih. Ucapan Adelia di sela-sela tangis bahkan tidak masuk ke dalam otaknya sama sekali.Di tempat berbeda, Anis tersenyum lebar saat Indra memberikan bungkusan berisi sate maranggi. Wanita itu bersyukur sekali, dua kali memiliki menantu, keduanya sama-sama baik dan pandai menempatkan diri. Meski dia akui antara Ammar dan Indra jelas berbeda, tapi keduanya punya cara tersendiri dalam bersikap hormat dan sopan pada mertua.“Jangan suka membanding-bandingkan orang.” Zaldy bicara pelan saat mereka hanya berdua saja di dapur, menikmati sate yang dibawakan oleh Indra meski tadi sudah makan. Sementara Rika dan Riko lebih tertarik menempel pada Zahra kare
“Mohon maaf sekali, sepertinya belum bisa dalam waktu dekat ini, Mas Indra. Anak saya sedang hamil dan harus bedrest.” Gunawan menoleh ke arah Fatma. Mereka mengangguk bersamaan sebagai kode sudah menyelesaikan makan. “Kami permisi duluan, Mas Indra, Mbak Zahra. Rumah lumayan jauh dari sini, biar bisa keburu tidak maghrib di jalan.” Gunawan menyalami Indra dan Zahra bergantian.“Selamat ….” Fatma bicara dengan suara serak saat bersalaman dengan Zahra. Wanita itu memeluk Zahra erat-erat, meski Zahra tidak membalas pelukannya. Sejujurnya, dia senang melihat wanita itu bisa bangkit kembali dan sudah menemukan tambatan hati lagi. Dia mengelus bahu Zahra sebelum akhirnya melangkah mengikuti suaminya.“Kaget Papa pas tahu Mas Indra kepincut dengan jandanya Ammar. Padahal, kurang apa itu anak-anak teman Papa memperkenalkan anak mereka ke Mas Indra.” Gunawan memperhatikan Zahra dan Indra yang tampak ngobrol santai dari dalam mobil. “Hebat juga wanita keras kepala itu bisa meluluhkan hati Mas
“Aduh … pengantin baru jadi bikin iri, deh. Antar jemput banget nih? Bawaannya pengen nempel mulu kayaknya.” Wilda terkekeh saat Zahra mencubit pinggangnya. Kabar Zahra sudah melangsungkan akad nikah sudah diketahui oleh para rekan kerja. Indra bahkan membelikan nasi kotak untuk makan siang sebagai bentuk syukuran pernikahan. Lelaki itu gerak cepat sepertinya agar semua orang tahu kalau Zahra sudah menjadi Nyonya Indra.“Bagaimana rasanya, Ra? Kamu libur dua tahun, terus langsung disergap duda sepuluh tahun?” suara tawa Wilda berderai, membuat beberapa karyawan yang ada di lobby kantor menoleh ke arah mereka berdua. Dia ikut senang mendengar Zahra akhirnya melabuhkan hati kembali. Sejujurnya, Wilda kasihan sekali melihat Zahra dulu. Temannya itu sempat trauma dengan lawan jenis karena pernikahannya hancur disaat sedang baik-baik saja.“Pasti semalam suntuk kalian lembur ya? Berasa pasangan muda kalian kayaknya karena sama-sama melepas dahaga.” Wilda kembali menggoda karena Zahra memil







