LOGIN“Jelaskan pada istrimu kalau kamu harus menemani Adelia terapi. Dia harus mengerti kalau suaminya harus mempertanggungjawabkan kesalahannya. Lagipula, tidak setiap minggu kamu menemani Adelia terapi. Weekend lainnya kamu masih bisa menghabiskan waktu bersama anak dan istrimu. Jadi, segera kemari, Ammar. Kami sudah berbaik hati menunggu pertanggungjawabanmu sampai selama ini.”
Ammar menghela napas panjang saat telepon dimatikan secara sepihak dari seberang sana. Selama ini, dia memang selalu menemani Adelia setiap kali terapi, seperti yang diinginkan oleh keluarga wanita itu. Dia bukannya lupa kalau hari ini jadwal terapi Adelia. Akan tetapi, dia sudah berjanji pada Zahra akan mengantar istrinya itu menginap ke rumah orangtuanya. “Aku bisa berangkat sendiri kalau Mas mau kesana. Lagipula, aku sepertinya harus mulai belajar melakukan semuanya sendiri agar tidak kaget saat kita berpisah nantinya.” “Kamu bicara apa, Yang?” Ammar langsung menyimpan ponsel. Dia tidak menyadari kalau Adelia sudah duduk di sampingnya karena tadi pikirannya melayang kemana-mana. “Kenapa kamu terus membicarakan perpisahan, Ra? Otakku serasa buntu setiap kali kamu menyinggung hal itu.” “Karena memang itu yang akan kita hadapi.” Zahra membalas tatapan suaminya tidak berkedip. Sekian detik berlalu, dia memalingkan wajah. Air matanya tumpah. “Memangnya kamu ada pilihan lain selain menikahi wanita itu seperti yang diminta keluarganya, Mas? Tidak ‘kan?” “Aku sedang berusaha mencari jalan terbaik ….” Zahra menggeleng menanggapi ucapan suaminya. Kalimat itu bernada dusta. Lima tahun menikah, dia bisa mendengar keragu-raguan Ammar saat mengucapkannya. Meski Zahra tahu betul sebesar apa cinta suaminya pada dirinya dan kedua anak mereka, lelaki itu jelas tidak bisa mengabaikan Ibu dan kedua adiknya begitu saja. “Sudahlah, Mas, tidak perlu bersusah payah memikirkan kalimat indah agar tidak terlalu menyakiti. Faktanya, saat ini, kita sedang mengulur waktu dan mempersiapkan diri untuk saling melepas ketika sudah saatnya nanti.” Ammar urung menanggapi ucapan istrinya saat melihat anak pertama mereka berjalan cepat menuju mobil sambil tertawa-tawa. Di belakangnya, Riko ikut berteriak-teriak di gendongang pengasuhnya. “Jangan begitu, Ra, aku benar-benar sedang mencari cara agar tidak ada yang menjadi korban karena keputusan yang akan kuambil nantinya.” “Cukup, Mas! Jangan bahas apapun di hadapan anak-anak.” Zahra meraih tisu di dasbor. Dia mengusap air mata yang membasahi wajahnya. Wanita itu menoleh saat Ammar mengelus bahunya sambil menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Untuk pertama kali sepanjang lima tahun pernikahan mereka, dia tidak mempercayai ucapan lelaki yang selama ini selalu mengusahakan yang terbaik untuk keluarga kecil mereka. “Ah, sebentar, mainan masak-masakan Rika ketinggalan!” Rika yang sudah membuka pintu mobil berbalik arah, membuat pengasuhnya terpaksa mengikuti karena dia yang memegang kunci. “Harus dibawa, soalnya Rika mau main masak-masakan nanti sama Kakek dan Nenek.” Samar-samar, masih terdengar suara Rika menanggapi ucapan pengasuhnya. “Nanti tidak usah bicara apa-apa pada Bapak dan Ibu, Mas.” Zahra bicara tanpa menoleh ke arah suaminya. Dia memperhatikan kehebohan Rika dari balik kaca jendela. Gadis kecilnya itu keluar rumah menenteng koper plastik berisi set peralatan masak lengkap. “Aku tidak mau mereka jadi banyak pikiran. Nanti, kalau keputusan kita sudah bulat, aku yang akan bicara ke mereka. Jangan menambahi beban pikiran orang tuaku atas kegamangan pilihanmu.” Hening. Jeda tercipta cukup lama di antara mereka. Ammar menghela napas panjang entah untuk yang keberapa kalinya. Lelaki itu meremas kemudi menyadari Zahra bisa membaca arah pikirannya. Tadinya, dia sempat berniat menceritakan masalahnya pada mertuanya. Ammar berharap, mungkin saja kedua orang tua Zahra bisa melembutkan hati wanita itu mengingat hubungan mereka yang sangat baik selama ini. “Papa kok nggak bawa baju? Kata Mama kita mau menginap lama di rumah Kakek dan Nenek.” Rika memajukan tubuhnya ke depan, di antara kursi Papa dan mamanya. “Tadi malam waktu Mama masukin baju ke koper, Rika nggak lihat baju Papa. Barusan pas Rika menaruh koper mainan masakan di bagasi, tidak ada juga tas baju Papa disana.” “Papa mau ada kerjaan keluar kota, Sayang, makanya Mama ajak Rika dan Riko menginap di rumah Kakek dan Nenek.” Sekar menoleh sambil tersenyum lebar. Dia menoel pipi tembem anaknya. Gadis kecil itu terlihat manis dengan rambut dikepang dua. “Lama dong nggak ketemu?” Rika mengerucutkan bibirnya sambil melirik ke arah Ammar yang mulai menjalankan mobil. “Nanti kalau pulang Papa bawain oleh-oleh yang banyak buat Rika dan Riko ya?” “Siap!” Ammar mengacungkan jempol. Dia tertawa mendengar teriakan girang anaknya. Lelaki itu melirik ke arah Zahra yang memilih menatap keluar jendela setelah Rika duduk anteng bersama adik dan pengasuhnya. Ammar menghela napas panjang, kepalanya terasa berat sekali. Jalan kedepan bercabang dua dan dia masih bimbang akan memilih yang mana. Satu arah mengorbankan rumah tangganya, arah yang lain mengorbankan pendidikan kedua adiknya. Sementara disini, Zahra diam-diam menghapus ujung matanya yang basah. Tidak dia pungkiri, hatinya sakit saat berbohong pada Rika tadi. Selama ini, Ammar adalah sosok Ayah yang sangat baik untuk anak-anak mereka. Lelaki itu bukan hanya memenuhi nafkah, tapi dia juga hadir sebagai sosok Ayah yang begitu dengan Rika dan Riko di usia keemasan mereka. Ammar menjadi figur Ayah yang mendampingi Zahra memenuhi kebutuhan kasih sayang dan memastikan tumbuh kembang kedua anak mereka mendapatkan yang terbaik dari yang bisa diusahakan. Zahra menggigit bibirnya kencang-kencang untuk mengalihkan rasa nyeri di hati. Kalau sekarang saja dia sudah merasa sakit saat membohongi anak mereka masalah menginap ini, lalu, bagaimana nanti caranya dia menjelaskan pada Rika dan Riko tentang perpisahan seandainya dia dan Ammar tidak berjodoh lagi?“Jelaskan pada istrimu kalau kamu harus menemani Adelia terapi. Dia harus mengerti kalau suaminya harus mempertanggungjawabkan kesalahannya. Lagipula, tidak setiap minggu kamu menemani Adelia terapi. Weekend lainnya kamu masih bisa menghabiskan waktu bersama anak dan istrimu. Jadi, segera kemari, Ammar. Kami sudah berbaik hati menunggu pertanggungjawabanmu sampai selama ini.”Ammar menghela napas panjang saat telepon dimatikan secara sepihak dari seberang sana. Selama ini, dia memang selalu menemani Adelia setiap kali terapi, seperti yang diinginkan oleh keluarga wanita itu. Dia bukannya lupa kalau hari ini jadwal terapi Adelia. Akan tetapi, dia sudah berjanji pada Zahra akan mengantar istrinya itu menginap ke rumah orangtuanya.“Aku bisa berangkat sendiri kalau Mas mau kesana. Lagipula, aku sepertinya harus mulai belajar melakukan semuanya sendiri agar tidak kaget saat kita berpisah nantinya.”“Kamu bicara apa, Yang?” Ammar langsung menyimpan ponsel. Dia tidak menyadari kalau Adelia
“Astaghfirullahaladzim, jangan begini, Ma.” Zahra langsung meraih tubuh mertuanya yang berlutut memeluk kakinya. “Kita semua ada di posisi sulit. Aku tidak menyalahkan siapapun atas apa yang terjadi. Kita semua jelas tidak mau berada pada posisi ini.” Mela memeluk Zahra erat. Tubuh wanita itu gemetar karena menahan tangis. Dia tidak mau sampai kedua cucunya yang asyik bermain mendengar pembicaraannya dengan Zahra.“Kecelakaan itu terjadi bukan atas kehendak Mas Ammar. Sudah jalannya harus begitu. Kalaupun kelak jodoh antara aku dan Mas Ammar selesai, itu semua terjadi bukan karena kesalahan siapapun. Ini hanya tentang hati dan aku tidak siap menjalani poligami. Mas Ammar yang memutuskan dan aku berhak pula memilih jalan yang kuinginkan. Jadi, berhenti menyalahkan diri karena ini bukan salah Mama.”Kedua wanita itu bertangisan. Sakit benar terjebak dalam keadaan yang tidak diinginkan. Zahra yang menyudahi terlebih dahulu. Dia tidak mau terus menangis. Cukup sudah beberapa waktu ke bel
“Ammar beruntung sekali memiliki istri sepertimu. Tidak semua suami bisa mendapatkan istri yang bisa berbesar hati membiarkan suaminya membiayai hidup saudaranya.” Mela mengusap air mata di wajahnya. Dia menggigit bibir melihat bahu Zahra yang bergetar.“Aku juga beruntung sekali memiliki Mas Ammar sebagai suami, Ma. Terlebih lagi, aku beruntung memiliki Mama sebagai mertua.” Zahra bicara dengan suara serak. Dia menatap mertuanya dengan wajah yang penuh linangan air mata. “Berkat didikan Mama, Mas Ammar menjadi sosok suami yang pengertian dan penuh kasih sayang. Bukan hanya masalah nafkah lahir dan batin, mengurus anak, membantu mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan dia juga memperlakukan aku sangat baik. Dalam rentang lima tahun pernikahan kami, dalam ingatanku tidak pernah satu kalipun Mas Ammar meninggikan suara saat berbicara meski dalam keadaan kesal.”“Kalian beruntung karena saling memiliki.” Mela menatap Zahra. Dia tersenyum di antara tangis saat Zahra meraih tangannya yang mul
“Tolong bantu aku, Ra, tolong … andai aku menikahinya, itu terjadi karena terpaksa.” Ammar menatap Zahra yang mengusap air mata di wajah basahnya. “Tolong ingat kebaikanku selama lima tahun pernikahan kita. Apa pernah sekali saja aku melalaikan kewajiban sebagai seorang suami dan Ayah? Apa pernah aku menyakiti perasaanmu dan anak-anak? Dalam setiap urusan, kalian selalu aku utamakan.”“Aku ingat semua kebaikanmu, Mas. Aku akui Mas suami yang memenuhi semua standar yang diimpikan oleh seorang istri. Ini hanya masalah hati … dan aku tidak siap untuk berbagi.” Tangisan Zahra mengencang saat Ammar berdiri dan menariknya ke dalam pelukan. Sakit. Dia tahu mereka sama-sama tersakiti karena keadaan ini.“Kita keluar, Mas.” Zahra mengurai kedekatan. Dia mengalihkan pandangan karena kalau bertatapan dengan suaminya, Zahra tahu dia akan menangis lagi. “Kasihan anak-anak. Ini hari mereka bersama kita. Rika dan Riko pasti sudah menunggu-nunggu agar bisa seharian bermain dengan papa dan mamanya.” Z
“Jangan hanya memikirkan kondisi istri dan anak-anakmu, mereka sehat dan tanpa kekurangan apapun. Lihat anakku, dia lumpuh dan ditinggalkan tunangannya karena kesalahanmu. Jadi, nikahi anakku!”Ammar meremas kemudi kencang mengingat ucapan Ammar saat memintanya menikahi Adelia pertama kali. Sepanjang perjalanan pulang, wajah Gunawan yang terus mendesaknya agar menikahi Adelia dan wajah istri serta kedua anak mereka berlarian di kepala.“Papa pulaaaang ….”Ammar tersenyum lebar saat melihat putrinya yang berusia empat tahun berlarian menyambut di depan pintu. Dia mengangkat anaknya tinggi-tinggi hingga membuat gadis kecil yang rambutnya dikepang dua itu tertawa-tawa kesenangan.“Pappa … Pa … Pa … Pappaaaa ….”“Ayo, ayo, Riko kesini ….” Ammar tertawa melihat anaknya yang baru lancar berjalan semingguan ini berjalan dengan sedikit limbung ke arahnya. Dia lalu mengangkat bayi berusia tiga belas bulan itu juga, membuat kedua anaknya tertawa-tawa.“Rika, Riko, ayo jangan gelendotan sama Pap
“Aku tidak peduli dengan istrimu. Yang terpenting, nikahi anakku!” Lelaki yang mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam menatap Ammar dengan pandangan tajam. Dia membenarkan kacamata dan menghela napas panjang. Ini kali ketiga mereka bertemu dan dia jelas tidak mau ada tawar menawar lagi.“Tidak ada kata damai! Kamu harus bertanggung jawab karena sudah membuat anakku lumpuh. Kamu sendiri mengakui kalau kecelakaan itu terjadi murni karena kelalaianmu dalam mengemudi. Jadi, tidak ada pembicaraan lain lagi untuk urusan ini. Jangan datang lagi menemuiku kecuali untuk untuk membicarakan pernikahanmu dengan anakku. Atau … jeruji besi menunggumu untuk mempertanggungjawabkan kesalahanmu!”Ammar menghela napas panjang, berusaha memenuhi rongga dadanya yang terasa sesak. Aroma cairan pembersih lantai khas rumah sakit memenuhi penciumannya. Suara televisi yang menyala sayup-sayup terdengar saat mereka terdiam, sengaja dikecilkan saat dia masuk ke ruangan ini sekitar lima belas menit yang







