FAZER LOGIN“Nak Ammar tidak ikut menginap disini?” Anis menautkan alis saat Ammar hendak berpamitan. Biasanya, menantunya itu selalu ikut menginap disana.
“Tidak, Bu, aku ada pekerjaan keluar kota minggu depan makanya Zahra dan anak-anak aku titip disini saja. Ini juga mau langsung pulang karena ada yang harus disiapkan di kantor sebelum berangkat senin besok.” Ammar berdehem pelan saat bertatapan dengan Zahra. Lelaki itu memalingkan pandangan lebih dulu karena tidak kuasa beradu pandang lebih lama. Ammar memang berencana akan langsung menemui Adelia yang sedang terapi di rumah sakit setelah ini. Itulah sebabnya, dia pamit buru-buru saat memastikan anak dan istrinya sudah sampai dengan selamat. “Jadi ini mau langsung pulang?” Anis kembali bertanya. “Duduk dulu sebentar. Mama masak ketupat sayur tadi, sengaja.” Anis tersenyum melihat menantunya langsung duduk kembali. Dia memang masak itu untuk menyambut mereka karena Ammar sangat menyukai ketupat sayur buatannya. “Masalah kecelakaan waktu itu bagaimana, Mar?” Zaldy yang baru selesai membereskan aquarium di teras belakang ikut bergabung di ruang tamu. Lelaki itu mengaduk kopi yang sekalian dia bawa dari dapur. “Insya Allah aman, Pak.” Ammar menunduk saat berbicara, tidak berani menatap wajah mertuanya. Apalagi, ada Zahra yang ikut duduk bersama mereka. “Mobilmu bagaimana?” “Masih belum direparasi, Pak. Kemarin masih fokus menyelesaikan masalah dengan keluarga korban dulu biar bisa jalur damai saja.” Ammar mengusap tengkuknya saat mendengar Zahra terbatuk pelan. “Kalau butuh bantuan, bicara ke Bapak. Kita ini keluarga, jadi jangan sungkan. Mobil itu perlu karena kamu juga bekerja menggunakan itu. Sekarang bagaimana?” “Aku pakai motor kalau berangkat kerja, Pak. Kalau mau pergi-pergi, bisa pakai mobil Zahra.” “Oh iya, misal butuh bantuan buat reparasi, bicara saja. Jangan sungkan.” Ammar mengangguk mengiyakan. Dia menghela napas panjang mengingat kebaikan mertuanya. Dia pasti akan sangat menyakiti perasaan mereka andai terjadi perpisahan dengan Zahra. Rasa bersalahnya semakin menjadi-jadi saat melihat Anis datang membawa nampan. Lihatlah, mertuanya bahkan sengaja masak makanan yang dia sukai untuk menyambut kedatangannya. Ah … Ammar benar-benar terjebak keadaan. Ibarat makan buah simalakama, dimakan mati Bapak, tidak dimakan mati Ibu. Serba salah. Sepemergian Ammar, Anis mendekati Zahra yang duduk di teras belakang. Meski Rika dan Riko berteriak-teriak kegirangan membantu Kakek mereka mencuci batu-batu untuk hiasan akuarium, Anis melihat Zahra justru melamun sejak tadi. “Kamu sedang ada masalah dengan Ammar?” Anis mengulas senyum melihat anaknya yang sedikit terkejut karena pertanyaannya yang tiba-tiba. “Meski kamu tidak cerita, Ibu bisa melihat kalau kalian sedang tidak baik-baik saja. Firasat seorang Ibu jarang salah pada anaknya, seperti juga firasat seorang istri pada suaminya. Bukan begitu?” “Ribut biasa saja, Bu, bukan yang gimana-gimana. Aku cuma agak gimana, gitu, karena Mas Ammar keluar kota agak lebih lama dari biasa.” Zahra memaksakan senyum, tidak mau sampai orang tuanya berpikiran macam-macam. Sebagai anak bungsu, dia merasakan betul perhatian orang tuanya yang kadang tetap menganggap dia anak kecil meski sudah punya anak dua. “Kalau suami mau pergi, hati istri harus lapang, biar rezekinya lancar. Doakan dia agar selamat dan sehat sampai kembali lagi ke rumah.” Anis mengelus punggung anaknya. Sejujurnya, ada yang sedikit mengusik hatinya. Melihat raut wajah Zahra, dia tahu kalau permasalahan anak dan menantunya tidak seenteng itu. Akan tetapi, Anis menahan diri untuk bertanya karena Zahra juga sepertinya masih enggan bercerita. “Iya, Bu.” Zahra memalingkan wajah, berpura menatap Rika dan Riko yang tertawa-tawa memainkan batu-batu hias milik kakeknya. Diam-diam, dia menghapus ujung matanya yang basah. Hampir saja isaknya keluar saat merasakan elusan tangan ibunya. “Kalau ada apa-apa, cerita. Kamu tidak sendiri. Ibu dan Bapak selalu disini. Kakakmu juga tidak pernah absen menanyakan kabarmu meski dia tinggal di luar pulau. Meski sudah menikah, kamu tetap anak kami, Ra. Kamu tetap bungsunya Bapak dan Ibu.” “Bu ….” Suara Zahra tercekat. Wanita itu menatap Anis dengan mata mengembun. Dia memalingkan wajah dengan cepat sebelum ibunya melihat air matanya yang meluncur tidak tertahankan. “Aku mau istirahat dulu, Bu, mumpung duo krucil itu ada pawangnya.” Zahra kembali berbicara setelah bisa meredam emosinya. Dia berdiri saat melihat Anis mengangguk. Melalui ujung mata, dia bisa melihat Anis menggendong Riko sebelum akhirnya menghilang di balik pintu. Di kamar, Zahra merebahkan tubuhnya di kasur. Hampir satu jam berlalu, Ammar belum berkabar. Padahal, biasanya suaminya itu langsung mengabari setiap sampai ke tempat tujuan. Mendadak, air matanya mengalir. Dia tahu Ammar pergi menemani Adelia setelah mengantar mereka tadi. Sekarang saja dia sudah cemburu karena Ammar tidak berkabar, apalagi nanti. Dia tidak bisa membayangkan akan bagaimana sakitnya seumur hidup tersiksa karena berbagi cinta. “Adelia ….” Zahra membuka media sosial Adelia untuk pertama kali. Beruntung, wanita itu menggunakan nama asli sehingga tak payah dia menemukannya. Wajah manis dengan dua lesung pipi langsung menyapa mata Zahra begitu akun media sosial Adelia terbuka. Foto-foto saat liburan, di tempat kerja, juga foto-foto pertunangan Adelia beberapa bulan yang lalu masih terpajang jelas di sana. Sebagai orang lain, dia bisa melihat kehidupan Adelia sangat sempurna dulunya. Zahra bisa mengerti kalau sekarang gadis itu sangat hancur karena mengalami kelumpuhan, juga ditinggalkan oleh tunangan. Namun, sebagai sesama wanita, tidakkah Adelia bisa menimbang rasa? Haruskah keterpurukannya menghancurkan kebahagiaan orang lain juga?“Bawa tas dan buka pintu mobil, Ma!” Gunawan langsung mengangkat Adelia sambil memerintahkan istrinya. Dia berusaha menenangkan diri meski khawatir sekali melihat keadaan Adelia yang sudah tidak sadarkan diri. Lelaki itu berkali-kali menghela napas panjang agar bisa fokus mengemudikan mobil. Sesekali, dia melihat keadaan anaknya yang berbaring di kursi tengah bersama Fatma.“Ammar tidak bisa dihubungi sejak tadi sore.” Fatma menjelaskan tanpa diminta. Dia tahu Gunawan tentu bertanya-tanya, tapi lelaki itu menahan diri karena melihat dia yang panik sekali. “Ya, Allah, kalau ada dosa dan kesalahan kami di masa lalu, jangan timpakan balasannya pada anak dan cucu kami. Biar kami yang menanggungnya sendiri.” Fatma mencium kening Adelia yang tak sadarkan diri di pangkuannya. Hatinya patah melihat anaknya melewati masa kehamilan yang demikian berat.“Ammar ….”“Berhenti menyebut nama Ammar!” Gunawan mengembuskan napas kencang saat tanpa sengaja membentak istrinya. Lelaki itu menatap spion te
“Ganteng anak kita, Yang, wajahnya mirip kamu semua kecuali matanya. Berarti, kalau dia besar nanti, wajahnya adalah kamu versi laki-laki. Ah … mau kamu jadi perempuan atau laki-laki, semoga kita tetap berlainan jenis kalau memang ada kehidupan lain, Yang. Mau di kehidupan manapun, aku akan berdoa semoga kita tetap berjodoh nantinya.”Ammar mencengkram rambutnya erat hingga kulit kepalanya terasa sakit mengingat kebahagiaan mereka saat Riko lahir. Lengkap sudah semua. Dua anak sepasang yang sehat. Pekerjaan bagus dan mereka juga saling mencintai. Perasaan itu bahkan tidak berkurang sedikitpun meski sudah bertahun-tahun. Tidak pernah ada definisi bosan meski sesekali mereka ada cekcok kecil juga.“Yang? Kalau nanti Rika dan Riko sudah besar dan bisa ditinggal-tinggal, kita jalan-jalan berdua yuk? Ke pantai atau ke puncak gitu. Aku mau ngerasain pacaran halal. Habisnya begitu menikah, langsung hamil Rika. Kita langsung fokus ke anak. Apalagi sejak ada Riko, perhatian kita hampir sepenuh
Apalagi, hubungannya dengan Ammar juga belum membaik saat ini. Mereka terlibat perang dingin dan saling diam, nyaris tidak pernah ngobrol lagi. Adelia benar-benar merasa sendiri di kehamilan pertamanya.“Sabar-sabar ….” Fatma membantu Adelia berbaring di kasur. Dia memijat pinggang anaknya pelan. Tubuh Adelia ringkih dan kurus sekali. Anaknya itu muntah setiap kali ada makanan dan minuman masuk. Jarang sekali Adelia bisa makan dengan nikmat. Setelah pendarahan kemarin, Adelia sudah dua kali masuk IGD, diinfus karena dehidrasi kekurangan asupan makanan dan minuman.“Bawaan hamil itu beda-beda. Semakin besar kehamilan, nanti kamu semakin sehat.” Fatma tersenyum saat bertatapan dengan Adelia. “Mungkin dari keturunan juga. Dulu, saat hamil kamu, Mama juga bedrest total. Baru setelah memasuki trimester kedua, usia kandungan sudah dua puluhan minggu, baru enak makan. Semangat. Ingat kamu membawa amanah nyawa di rahimmu. Banyak-banyak berdoa yang baik karena doa Ibu hamil insya Allah didenga
"Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltahaa 'alaih."Tubuh Zahra masih sedikit gemetar saat merasakan tangan Indra memegang ubun-ubunnya sambil membacakan doa. Wanita itu menghela napas panjang berkali-kali untuk menenangkan diri. Tidak pernah dia sangka kalau hari ini dia akan menjadi seorang istri lagi. Setelah Indra selesai membaca doa, dia mengangkat kepala. Zahra memejamkan mata saat Indra mengecup keningnya. Aduh … baru dicium kening saja rasanya Zahra sudah tersetrum ke seluruh tubuh. Bulu-bulu halus di sekitar bibir Indra terasa menggelitik kulitnya.“Apa bisa dipanggil tetangga sekitar untuk ikut merasakan kebahagiaan hari ini, Om? Eh … Pak?” Indra terkekeh saat masih merasa rikuh mengganti panggilan pada Zaldy. “Tadi saya sudah memesan katering, sekitar satu jam lagi sampai disini katanya. Pas lah untuk jam makan siang kalau ada tetangga yang sedang di rumah.” Sebenarnya, Indra sudah memesan kate
Zaldy mengangguk mantap. Dia sudah yakin sepenuh hati untuk melepas Zahra pada Indra. Zaldy merasa tenang karena anaknya mendapatkan pengganti yang tidak kalah baiknya dengan suami pertamanya dulu.“Om titip Zahra, Nak Indra. Dia pernah patah hati saat sedang mencintai sepenuh hati. Zahra pernah terluka saat cintanya sedang berbunga. Sakit itu adalah kehilangan ketika semua sedang dalam keadaan baik-baik saja. Masih beruntung Zahra tidak gila waktu itu meski terkadang tidak nyambung saat diajak bicara.” Zaldy mengusap matanya yang berkaca-kaca. “Jaga dia. Jangan torehkan luka untuk kedua kalinya di hati Zahra.”“Insya Allah saya akan menjaga amanah kepercayaan dan tanggung jawab yang Om berikan.” Indra mengangguk mantap, meski dia tidak mengerti sepenuhnya apa maksud Zaldy. Indra memang tidak mencari tahu tentang penyebab perceraian Ammar dan Zahra. Dia tidak mau masa lalu mempengaruhi pandangannya pada mereka. Yang Indra tahu, dia mengenal Ammar dan Zahra sebagai orang baik saat ini
Ammar memejamkan mata. Lelaki itu menghela napas panjang. Tidak mungkin dia mundur untuk pulang. Indra dan Zahra sudah melihat mobilnya. Dia kadung parkir di halaman. Setelah merasa bisa mengendalikan diri, Ammar keluar dari mobil. Dia memaksakan senyum saat berjabat tangan dengan Indra. Tubuhnya terasa lemas tidak bertenaga, tapi Ammar berusaha menegarkan hati agar bisa berdiri tegak di hadapan Zahra dan Indra.“Anak-anak mana? Aku … mau izin ajak mereka main keluar saja biar tidak mengganggu disini.” Ammar memaksakan tawa saat Indra menepuk bahunya sambil terkekeh. “Tidak lama, paling makan di mall sama main di playground. Sebelum maghrib insya Allah sudah di rumah lagi.” Ammar menoleh ke arah Zahra. Dia berusaha keras menahan pandangan agar tidak melirik ke arah cincin yang melingkar di jari manis mantan istrinya.“Rika dan Riko tidur, Mas.” Zahra menghela napas panjang. Dia sedikit salah tingkah saat Ammar tidak bisa menahan pandangan dan menatap cincin berhias permata zamrud di j







