LOGIN“Astaghfirullahaladzim, jangan begini, Ma.” Zahra langsung meraih tubuh mertuanya yang berlutut memeluk kakinya. “Kita semua ada di posisi sulit. Aku tidak menyalahkan siapapun atas apa yang terjadi. Kita semua jelas tidak mau berada pada posisi ini.”
Mela memeluk Zahra erat. Tubuh wanita itu gemetar karena menahan tangis. Dia tidak mau sampai kedua cucunya yang asyik bermain mendengar pembicaraannya dengan Zahra. “Kecelakaan itu terjadi bukan atas kehendak Mas Ammar. Sudah jalannya harus begitu. Kalaupun kelak jodoh antara aku dan Mas Ammar selesai, itu semua terjadi bukan karena kesalahan siapapun. Ini hanya tentang hati dan aku tidak siap menjalani poligami. Mas Ammar yang memutuskan dan aku berhak pula memilih jalan yang kuinginkan. Jadi, berhenti menyalahkan diri karena ini bukan salah Mama.” Kedua wanita itu bertangisan. Sakit benar terjebak dalam keadaan yang tidak diinginkan. Zahra yang menyudahi terlebih dahulu. Dia tidak mau terus menangis. Cukup sudah beberapa waktu ke belakang dia dan Ammar menangis dalam sujud panjang setiap malam, memohon bantuan atas ketentuan yang tidak bisa mereka elakkan. Jam sembilan malam, Ammar masuk ke rumah. Lelaki itu menghela napas panjang melihat Mela yang duduk di ruang tamu, menunggunya. Tanpa bertanya, dari sorot mata dia tahu kalau kedua anaknya sudah tidur bersama Zahra di kamar mereka. “Rika tadi berisik nanyain kamu, minta temenin mengerjakan tugas mewarnai dari gurunya. Setelah dibujuk Zahra, akhirnya dia mau juga mengerjakan ditemani mamanya.” Mela memaksakan senyum saat Ammar mencium tangannya. Dia mengelus kepala anak lelakinya yang sudah menanggung banyak tanggung jawab sejak lama. “Bagaimana, Ma?” Ammar langsung bertanya saat duduk di samping Mela. Dia sengaja pulang larut agar Mela dan Zahra bisa bicara dari hati ke hati. Ammar berharap Zahra bisa luluh karena istrinya itu sangat dekat dengan mamanya. Mengingat pilihan dari keluarga Adelia sudah harga mati, Ammar mau tidak mau menerima syarat damai dari mereka agar tidak dijebloskan kedalam penjara. “Sebagai sesama wanita, Mama mengerti perasaan Zahra yang keberatan kamu menikahi wanita itu.” Mela memegang tangan Ammar yang menunduk dalam. “Mama minta Zahra mempertimbangkan keputusannya karena ada Rika dan Riko. Selebihnya, Mama tidak mau terlalu memaksa. Mengingat kedua adikmu adalah perempuan, Mama tidak bisa membayangkan sakit hatinya kalau mereka sampai berada di posisi yang sama.” “Aku tidak bisa kehilangan Zahra, Ma. Tidak bisa ….” Ammar memejamkan mata, berusaha menekan perasaannya yang begitu nyeri membayangkan harus melepas wanita yang sangat dia cinta. Lima tahun usia pernikahan mereka dan rasa untuk istrinya tidak berubah sedikitpun sejak pertama kali dia menaruh hati pada Zahra. “Mama akan coba bicara pada Azizah agar kuliahnya cuti dulu. Kalau untuk biaya sekolah Anisa, nanti Mama bisa ikut bungkus-bungkus kerupuk di rumah Haji Roni. Kalau telaten, sehari bisa lumayan juga.” Mela sakit melihat anak lelakinya hancur karena keadaan. “Maaf karena sudah banyak membebanimu selama ini, Ammar. Seharusnya, Azizah dan Anisa masih tanggung jawab Ibu.” “Mama bicara apa?” Ammar mengangkat wajah, menatap tidak suka pada Mela karena ucapannya barusan. “Aku itu pengganti Papa. Kelak, saat Azizah dan Anisa menikah, insya Allah aku yang menjadi wali mereka. Itu artinya, Mama dan mereka adalah tanggung jawabku. Aku tidak suka Mama bicara begini. Apalagi, Mama sakit begini karena terlalu banyak bekerja sejak Papa berpulang agar bisa membiayai kuliahku dulu.” Mereka terdiam lama setelahnya, sibuk dengan pikiran masing-masing. Mela menginap dua hari disana karena tidak bisa meninggalkan Azizah dan Anisa terlalu lama. Malam harinya, Zahra mengajak Ammar bicara setelah kedua anak mereka terlelap. “Aku mau menginap di rumah Ibu dan Bapak, Mas. Kangen, sudah lama tidak kesana.” Zahra menoleh pada Ammar yang sudah merebahkan diri di kasur. Lelaki itu meletakkan ponsel yang sejak tadi dia pegang. “Tidak bisa sekarang-sekarang, besok sampai lusa Mas agak padat di kantor. Tidak bisa pulang on time. Sabtu saja kita kesana ….” “Mas tidak ikut. Aku mau menginap bertiga dengan anak-anak saja.” Ammar terdiam mendengar ucapan istrinya. Lelaki itu memperhatikan wajah Zahra lamat-lamat, terlihat keseriusan dari wajah wanita yang sudah dia nikahi selama lima tahun ini.” “Kita butuh jeda. Mas perlu waktu untuk sendiri, begitu juga dengan aku. Mungkin dengan perpisahan sementara ini, kita bisa berpikir dengan lebih jernih mengenai keputusan yang akan kita ambil kedepan.” Zahra bicara sambil mengalihkan pandangan. Hampir saja air matanya terjatuh saat bertatapan dengan Ammar tadi. “Berapa hari rencana disana?” Ammar meraih tangan Zahra. Lelaki itu menghela napas panjang memandangi cincin pernikahan mereka yang melingkar di jari manis istrinya. Dia mengulurkan sebelah tangan yang lain, memegang dagu Zahra dan memalingkannya agar kembali bertatapan. Aduh … perih nian hati Ammar melihat mata istrinya berkaca-kaca. “Semingguan mungkin, Mas.” “Berangkat sabtu saja, nanti Mas antar.” “Iya ….” Zahra mengangguk pelan. Wanita itu memejamkan mata saat Ammar mengikis jarak di antara mereka. Lama mereka tenggelam menikmati rasa hingga mendadak sesak memenuhi dada Zahra mengingat permasalahan yang sedang mereka hadapi. Wanita itu terisak pelan. Air matanya mengalir ke sela bi bi r hingga ci u man mereka terasa asin. “Mas!” Zahra menahan d a da Ammar saat dia merasakan suaminya semakin menuntut. Lima tahun menikah, dia jelas hafal gerak-gerik suaminya. “Aku sedang berhalangan. Baru hari ini mulainya.” Ammar mengulas senyum dan mengangguk. Ke cu p an kecil mendarat lagi di bi bi r Zahra sebelum akhirnya dia mengajak istrinya berbaring bersama. Zahra menghela napas panjang saat tangan Ammar melingkar di pinggangnya. Dia tahu betul Ammar menginginkannya. Beruntung dia memiliki alasan syar’i untuk menolak keinginan suaminya karena dia sedang enggan berhubungan. “Maaf ….” Suara Zahra terdengar serupa bisikan. Air matanya mengalir membasahi bantal saat merasakan Ammar mengeratkan pe lu k an. Lelaki itu bahkan menenggelamkan wajah ke rambutnya. “Tidurlah, kita istirahat ….” Zahra menggigit bibir agar tangisannya tidak kembali tumpah. Dia mengelus tangan Ammar di perutnya. Lima tahun menikah, hanya saat dia mengASIhi kedua anak mereka Ammar tidak memeluknya saat tidur. Akankah dia merindukan dekapan penuh kasih dari lelaki yang sangat dia cintai itu andai kelak akhirnya berpisah?“Jelaskan pada istrimu kalau kamu harus menemani Adelia terapi. Dia harus mengerti kalau suaminya harus mempertanggungjawabkan kesalahannya. Lagipula, tidak setiap minggu kamu menemani Adelia terapi. Weekend lainnya kamu masih bisa menghabiskan waktu bersama anak dan istrimu. Jadi, segera kemari, Ammar. Kami sudah berbaik hati menunggu pertanggungjawabanmu sampai selama ini.”Ammar menghela napas panjang saat telepon dimatikan secara sepihak dari seberang sana. Selama ini, dia memang selalu menemani Adelia setiap kali terapi, seperti yang diinginkan oleh keluarga wanita itu. Dia bukannya lupa kalau hari ini jadwal terapi Adelia. Akan tetapi, dia sudah berjanji pada Zahra akan mengantar istrinya itu menginap ke rumah orangtuanya.“Aku bisa berangkat sendiri kalau Mas mau kesana. Lagipula, aku sepertinya harus mulai belajar melakukan semuanya sendiri agar tidak kaget saat kita berpisah nantinya.”“Kamu bicara apa, Yang?” Ammar langsung menyimpan ponsel. Dia tidak menyadari kalau Adelia
“Astaghfirullahaladzim, jangan begini, Ma.” Zahra langsung meraih tubuh mertuanya yang berlutut memeluk kakinya. “Kita semua ada di posisi sulit. Aku tidak menyalahkan siapapun atas apa yang terjadi. Kita semua jelas tidak mau berada pada posisi ini.” Mela memeluk Zahra erat. Tubuh wanita itu gemetar karena menahan tangis. Dia tidak mau sampai kedua cucunya yang asyik bermain mendengar pembicaraannya dengan Zahra.“Kecelakaan itu terjadi bukan atas kehendak Mas Ammar. Sudah jalannya harus begitu. Kalaupun kelak jodoh antara aku dan Mas Ammar selesai, itu semua terjadi bukan karena kesalahan siapapun. Ini hanya tentang hati dan aku tidak siap menjalani poligami. Mas Ammar yang memutuskan dan aku berhak pula memilih jalan yang kuinginkan. Jadi, berhenti menyalahkan diri karena ini bukan salah Mama.”Kedua wanita itu bertangisan. Sakit benar terjebak dalam keadaan yang tidak diinginkan. Zahra yang menyudahi terlebih dahulu. Dia tidak mau terus menangis. Cukup sudah beberapa waktu ke bel
“Ammar beruntung sekali memiliki istri sepertimu. Tidak semua suami bisa mendapatkan istri yang bisa berbesar hati membiarkan suaminya membiayai hidup saudaranya.” Mela mengusap air mata di wajahnya. Dia menggigit bibir melihat bahu Zahra yang bergetar.“Aku juga beruntung sekali memiliki Mas Ammar sebagai suami, Ma. Terlebih lagi, aku beruntung memiliki Mama sebagai mertua.” Zahra bicara dengan suara serak. Dia menatap mertuanya dengan wajah yang penuh linangan air mata. “Berkat didikan Mama, Mas Ammar menjadi sosok suami yang pengertian dan penuh kasih sayang. Bukan hanya masalah nafkah lahir dan batin, mengurus anak, membantu mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan dia juga memperlakukan aku sangat baik. Dalam rentang lima tahun pernikahan kami, dalam ingatanku tidak pernah satu kalipun Mas Ammar meninggikan suara saat berbicara meski dalam keadaan kesal.”“Kalian beruntung karena saling memiliki.” Mela menatap Zahra. Dia tersenyum di antara tangis saat Zahra meraih tangannya yang mul
“Tolong bantu aku, Ra, tolong … andai aku menikahinya, itu terjadi karena terpaksa.” Ammar menatap Zahra yang mengusap air mata di wajah basahnya. “Tolong ingat kebaikanku selama lima tahun pernikahan kita. Apa pernah sekali saja aku melalaikan kewajiban sebagai seorang suami dan Ayah? Apa pernah aku menyakiti perasaanmu dan anak-anak? Dalam setiap urusan, kalian selalu aku utamakan.”“Aku ingat semua kebaikanmu, Mas. Aku akui Mas suami yang memenuhi semua standar yang diimpikan oleh seorang istri. Ini hanya masalah hati … dan aku tidak siap untuk berbagi.” Tangisan Zahra mengencang saat Ammar berdiri dan menariknya ke dalam pelukan. Sakit. Dia tahu mereka sama-sama tersakiti karena keadaan ini.“Kita keluar, Mas.” Zahra mengurai kedekatan. Dia mengalihkan pandangan karena kalau bertatapan dengan suaminya, Zahra tahu dia akan menangis lagi. “Kasihan anak-anak. Ini hari mereka bersama kita. Rika dan Riko pasti sudah menunggu-nunggu agar bisa seharian bermain dengan papa dan mamanya.” Z
“Jangan hanya memikirkan kondisi istri dan anak-anakmu, mereka sehat dan tanpa kekurangan apapun. Lihat anakku, dia lumpuh dan ditinggalkan tunangannya karena kesalahanmu. Jadi, nikahi anakku!”Ammar meremas kemudi kencang mengingat ucapan Ammar saat memintanya menikahi Adelia pertama kali. Sepanjang perjalanan pulang, wajah Gunawan yang terus mendesaknya agar menikahi Adelia dan wajah istri serta kedua anak mereka berlarian di kepala.“Papa pulaaaang ….”Ammar tersenyum lebar saat melihat putrinya yang berusia empat tahun berlarian menyambut di depan pintu. Dia mengangkat anaknya tinggi-tinggi hingga membuat gadis kecil yang rambutnya dikepang dua itu tertawa-tawa kesenangan.“Pappa … Pa … Pa … Pappaaaa ….”“Ayo, ayo, Riko kesini ….” Ammar tertawa melihat anaknya yang baru lancar berjalan semingguan ini berjalan dengan sedikit limbung ke arahnya. Dia lalu mengangkat bayi berusia tiga belas bulan itu juga, membuat kedua anaknya tertawa-tawa.“Rika, Riko, ayo jangan gelendotan sama Pap
“Aku tidak peduli dengan istrimu. Yang terpenting, nikahi anakku!” Lelaki yang mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam menatap Ammar dengan pandangan tajam. Dia membenarkan kacamata dan menghela napas panjang. Ini kali ketiga mereka bertemu dan dia jelas tidak mau ada tawar menawar lagi.“Tidak ada kata damai! Kamu harus bertanggung jawab karena sudah membuat anakku lumpuh. Kamu sendiri mengakui kalau kecelakaan itu terjadi murni karena kelalaianmu dalam mengemudi. Jadi, tidak ada pembicaraan lain lagi untuk urusan ini. Jangan datang lagi menemuiku kecuali untuk untuk membicarakan pernikahanmu dengan anakku. Atau … jeruji besi menunggumu untuk mempertanggungjawabkan kesalahanmu!”Ammar menghela napas panjang, berusaha memenuhi rongga dadanya yang terasa sesak. Aroma cairan pembersih lantai khas rumah sakit memenuhi penciumannya. Suara televisi yang menyala sayup-sayup terdengar saat mereka terdiam, sengaja dikecilkan saat dia masuk ke ruangan ini sekitar lima belas menit yang







