Share

Bab 2 Panggilan Mama

last update Last Updated: 2025-06-23 15:13:07

#2

"Ibu nggak apa-apa?"

Suara itu terdengar lembut, penuh kekhawatiran.

Bu Sandra menoleh, dan matanya membulat. Orang yang sudah menyelamatkan nyawanya ternyata gadis penjual donat yang tadi dicarinya. Semalaman ia memikirkan gadis itu. Kebaikannya begitu membekas dalam hatinya.

Gadis penjual donat itu telah dua kali menyelamatkannya. Pertama, menyelamatkan harga dirinya sewaktu membayarkan soto saat ia lupa membawa dompet. Kedua, gadis itu baru saja menyelamatkan nyawanya. Entah bagaimana nasibnya andai gadis itu tidak menolongnya. Wanita paruh baya itu masih syok.

Gadis itu meringis, tangannya mencengkeram lengan kirinya yang kini berdarah. Luka gores memanjang dari siku hingga pergelangan tangan, akibat terserempet sepeda motor yang hampir menabrak Bu Sandra.

"Ibu tidak apa-apa?" Suara gadis itu bergetar, tapi ia masih berusaha tersenyum.

Bu Sandra tercekat. Seharusnya ia yang bertanya seperti itu! Gadis itu terluka karena menyelamatkan dirinya, tapi masih memikirkan keadaannya.

"Nak, tanganmu berdarah!" Bu Sandra buru-buru meraih tangan gadis itu, panik melihat darah yang mulai menetes ke aspal. "Kamu terluka karena menyelamatkan saya!"

"Tidak apa-apa, Bu. Hanya luka kecil saja," ujar gadis itu. Wajahnya sedikit pucat.

"Mana bisa saya diam saja? Kita harus ke rumah sakit sekarang!" Bu Sandra menggamit lengan gadis itu dengan hati-hati, membantunya berdiri. Wanita paruh baya itu menoleh ke arah Mang Asep yang kini sudah berdiri terpaku di sebelahnya. "Mang Asep! Cepat antar ke rumah sakit terdekat!"

"Eh, tapi Bu, saya ... tidak perlu. Ini hanya luka ringan saja, kok."

"Tidak ada tapi! Lukamu harus segera diobati!"

Gadis itu tampak ragu, tapi melihat kesungguhan Bu Sandra, akhirnya ia mengangguk pelan. "Baiklah, Bu. Tapi saya harus memberi tahu Mbok Jamu dulu."

Bu Sandra menunggu sementara gadis itu bergegas menghampiri penjual jamu gendong yang tengah melayani pembeli di depan pasar. Mereka bertukar beberapa kata sebelum gadis itu kembali dengan senyuman kikuk. "Sudah, Bu. Saya ikut."

Bu Sandra menghela napas lega. "Ayo!"

Di dalam mobil, Bu Sandra mencuri pandang ke arah gadis yang duduk di sebelahnya. Meski berusaha menahan sakit, raut wajah gadis itu tak bisa menyembunyikan betapa perih lukanya.

"Nama kamu siapa, Nak?"

"Viola, Bu. Biasa dipanggil Vio," jawab gadis itu dengan suara lembut.

"Vio." Bu Sandra mengulang pelan, mencoba membiasakan diri dengan nama itu.

Ada rasa hangat menyusup ke hatinya. Gadis ini begitu berbeda dari semua wanita yang dikenalkan Azam kepadanya. Tidak ada keluhan keluar dari bibirnya saat sakit. Tidak ada gengsi berjualan donat di pasar. Ketulusan terpancar dari sorot mata sendunya.

Tak lama, mereka tiba di rumah sakit terdekat. Seorang perawat menyambut mereka, segera menangani luka gadis itu. Bu Sandra duduk di samping gadis itu, memperhatikan saat perawat membersihkan dan membalut luka Viola dengan perban.

Ponselnya berdering, Bu Sandra bangkit dari duduknya dan melangkah menjauh untuk menjawab telepon dari putranya. "Mama lagi di rumah sakit, Zam!"

"Mama kenapa? Sakit?" tanya suara bariton dari seberang telpon terdengar panik.

"Mama tadi hampir ketabrak motor. Untung ada gadis baik yang nolong Mama. Udah, dulu, Zam. Nanti Mama ceritain detailnya di rumah saja." Bu Sandra menutup sambungan telepon.

"Untung lukanya tidak terlalu dalam, hanya lecet cukup besar. Tapi, tetap harus berhati-hati agar tidak infeksi," ucap perawat itu sambil tersenyum ramah.

"Terima kasih, Sus," ucap gadis itu tulus.

Setelah urusan administrasi selesai, Bu Sandra kembali menghampiri Viola yang duduk di ruang tunggu. Ia mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang berisi uang lalu mengangsurkan kepada gadis itu.

"Apa ini? Tidak usah, Bu!"

"Jangan menolak," potong Bu Sandra tegas. "Ini bentuk terima kasih saya karena kamu sudah menyelamatkan nyawa saya."

Viola tersenyum kikuk, merasa tidak nyaman. "Tidak perlu, Bu." Gadis itu menolak secara halus.

Bu Sandra mendesah kecewa. "Ya sudah, saya bayar utang soto aja kalo begitu."

"Tidak usah, Bu."

Bu Sandra tidak memaksa lagi. Ia makin salut, ternyata Viola bukanlah gadis matre. Selama ini ia pikir semua orang matrealistis. Ternyata gadis dihadapannya selalu tulus dalam menolong. Ia makin kagum dengan sosok gadis penjual donat itu. "Sekarang, saya antar kamu pulang."

Mata gadis itu membelalak. "Hah? Tapi, untuk apa, Bu?"

Bu Sandra tersenyum penuh arti. "Karena saya ingin mengenal keluargamu lebih dekat."

Di dalam hati, Bu Sandra sudah mengambil keputusan. Mungkin, takdir memang membawanya bertemu dengan gadis ini. Mungkin gadis sederhana ini bisa dijadikannya sebagai kandidat pertama calon menantu idamannya.

Viola minta diturunkan di mulut gang yang sempit. Bu Sandra ikut turun, berjalan mengikuti langkah gadis itu menyusuri sepanjang lorong sempit.

Saat tiba di deretan kontrakan petak sederhana, seorang bocah perempuan berusia sekitar lima tahun berlari kecil menyambut kedatangan mereka.

"Mama ...! Kok lama banget? Aku laper!" rengek bocah perempuan itu.

Viola tersenyum seraya mengusap kepala bocah itu dengan lembut. "Maaf ya, Rosi. Mama tadi nggak bisa jemput kamu ke sekolah. Tadi dijemput Mbok Jamu, ya?"

Bu Sandra tercengang. Pandangannya terkunci pada Viola dan bocah perempuan itu. Otaknya berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya.

Mama? Jadi Viola itu seorang ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 28 Pertemuan Mengharukan

    #28Perlahan, Viola menggenggam tangan Varrel lebih erat. "Kakak .…" Hanya satu kata itu yang keluar, tapi cukup untuk membuat hati Varrel mencelos. Pemuda itu tersenyum, matanya memanas, diusap kepala adiknya dengan lembut. "Iya, Vio. Kakak di sini. Kakak nggak akan pernah ninggalin kamu lagi." Varrel merengkuh tubuh kurus sang adik ke dalam pelukannya. Air matanya berjatuhan tak terbendung lagi. Kebahagiaan tak terkira karena bisa menemukan juga penyesalan karena terlambat untuk mencari adiknya. Azam yang sejak tadi menyaksikan pertemuan adik dan kakak yang terpisah selama hampir 20 tahun ikut tersenyum haru, hingga menitik air matanya. Pintu terbuka. Semua mata menoleh ke arah pintu, Viola juga. Seorang pria paruh baya melangkah masuk dengan tatapan hati-hati. Viola tercengang. Wajah itu terlihat familiar. Ia ingat pernah melihat pria paruh baya itu duduk di bangku kayu, menikmati nasi uduk Mak Ijah. Tapi, kenapa sekarang dia ada di sini?Lebih membingungkan lagi, Varrel yang

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 27 Kita Bersaudara, Vio

    #27Sudah seharian ini Viola terbaring lemah di atas tikar pandan lusuh. Gadis itu sudah tidak sanggup untuk bangun. Tubuhnya semakin panas, wajahnya pucat, dan bibirnya kering. Rosi duduk di sebelah kakaknya dengan raut wajah khawatir dan ketakutan. Hari sudah gelap, lampu belum nyala karena token listrik habis. "Bangun, Ma! Jangan tidur terus," bisik Rosi dengan suara serak. Bocah perempuan berusia 5 tahun itu mengoyang tubuh Viola yang semakin lemah.Air matanya jatuh satu per satu. Rosi tidak tahu harus bagaimana. Ia masih kecil, belum paham cara merawat orang sakit. Di luar gelap, Rosi tidak berani keluar rumah sendirian untuk mencari pertolongan. Viola melarang adiknya keluar malam karena terkadang ada ular karena kontrakan mereka di pinggir kali. Rosi ketakutan Viola akan mati karena dari tadi matanya terpejam, tidak bergerak sama sekali. Ia hanya memiliki Viola seorang di dunia ini. Rosi bingung melihat keadaan Viola. Di luar sudah gelap, ia tak berani keluar untuk meminta

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 26 Kabar Gembira

    Sejak pertemuannya dengan gadis penjual donat, Pak Adyaksa jadi tidak berselera makan saat makan malam. Terpikir apakah putrinya sudah makan dengan layak atau tengah menahan lapar di luar sana. Perasaan bersalah dan penyesalan terus menghantuinya. "Mas, kok piringnya masih kosong?" tanya Sinta heran. "Aku ambilin nasi, ya?""Nggak usah. Aku lagi nggak selera makan." Pak Adyaksa bangkit dari duduknya lalu melangkah meninggalkan ruang makan menuju ruang kerjanya.Pria yang separuh rambutnya sudah memutih itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi portabel yang empuk. Matanya terpejam dan pertemuannya dengan gadis penjual donat di warung Mak Ijah tergambar jelas di benaknya. Wajah sendu gadis itu terus terbayang-bayang. Pertemuannya dengan gadis penjual donat tak bisa dilupakannya. Di dalam ruang kerjanya Pak Adyaksa duduk termenung lama dengan tatapan kosong. Tangannya menggenggam sebuah foto lama, foto mantan istrinya, Dahlia dengan bayi perempuan dalam gendongannya."Viola kecil

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 25 Kemiripan Wajah dan Kesamaan Nama

    #25Wajah gadis itu sangat mirip dengan seseorang dari masa lalunya. Sorot mata teduhnya, hidung bangir, dan bentuk bibir tipisnya. Semua begitu mirip dengan mantan istrinya, Dahlia. yang ia usir dari rumah dua puluh tahun lalu.Tangan Pak Adyaksa gemetar saat meletakkan sendok. Ia menatap gadis itu lekat-lekat. Dadanya bergemuruh menahan semua perasaan yang membuncah. Gadis penjual donat itu menoleh dan balas menatap pria paruh baya itu dengan kening berkerut. "Pak?" Rizal menyadari perubahan ekspresi majikannya saat menatap Viola. "Bapak kenapa?" tanyanya khawatir. Pak Adyaksa tak menjawab. Matanya masih terkunci pada gadis yang tengah berbicara dengan Mak Ijah. Seolah merasakan tatapan intens itu, gadis yang tengah menyerahkan kotak donat ke Mak Ijah itu menoleh. Tatapan mereka bertemu. Sejenak, waktu terasa berhenti berputar. Gadis itu mengernyit. Ada sesuatu yang aneh dengan pria berjas rapi itu. Baru kali ini ia melihat pelanggan nasi uduk Mak Ijah berpakaian necis seperti i

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 24 Merasa Dejavu

    #24Tak terasa, sudah sebulan lebih Viola dan Rosi tinggal di kontrakan kecil di pinggir kali yang bau. Dindingnya lembap, atapnya bocor jika hujan, dan tikus-tikus sering berlarian di atas plafon saat malam hari, berisik sekali menganggu orang tidur. Meskipun tempat tinggalnya saat ini jauh dari kata nyaman, Viola sudah bersyukur. Setidaknya, di sini ia merasa aman. Para preman yang mengusirnya tidak akan menemukan keberadaannya di tempat persembunyiannya. Setiap pagi, Viola bangun sebelum subuh. Tangannya cekatan menguleni adonan, mencetaknya satu per satu, lalu membiarkan sampai mengembang. Setelah satu jam, donat-donat itu tinggal digoreng hingga matang keemasan. Setelah selesai dihias dengan topping, donat-donat cantik itu disusun rapi di dalam wadah plastik berbentuk kotak. Dengan bersemangat Viola berjalan menuju warung nasi uduk Mak Ijah untuk menitipkan dagangannya. "Titip ya, Mak," ujar Viola dengan senyum tersungging di bibirnya. Mak Ijah mengangguk, menatap gadis itu

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 23 Bukan Gadis Biasa

    #23Azam menatap Varrel dengan kening berkerut. "Jadi … Viola itu adik lo, Rel?" tanyanya, masih sulit percaya. Varrel mengangguk, matanya menerawang. "Iya. Gue seneng banget akhirnya bisa ketemu lagi dengannya setelah dua puluh tahun terpisah. Tapi sekarang dia hilang lagi," ucapnya dengan raut wajah sedih. Sebagai kakak yang seharusnya bisa melindungi, ia jadi mengkhawatirkan keadaan adiknya. Azam menghembuskan napas lega, bercampur sedikit rasa malu. Selama ini, ia sempat mengira Varrel adalah rivalnya dalam merebut hati Viola. Namun, ternyata, sahabatnya justru kakak kandung gadis itu.“Kita cari Viola lagi, yuk!" ajak Azam mantap.Dengan mengendarai mobil Azam, mereka mulai menyusuri jalanan kota, bertanya kepada setiap orang yang mereka temui di jalan. Mereka mencari ke setiap sudut pasar, terminal, stasiun, juga di tempat-tempat keramaian, barangkali Viola ada di sana tengah berjualan donat. Semua sudut di kota metropolitan sudah dijelajahi, tapi tidak ada satu pun yang meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status