#2
"Ibu nggak apa-apa?" Suara itu terdengar lembut, penuh kekhawatiran. Bu Sandra menoleh, dan matanya membulat. Orang yang sudah menyelamatkan nyawanya ternyata gadis penjual donat yang tadi dicarinya. Semalaman ia memikirkan gadis itu. Kebaikannya begitu membekas dalam hatinya. Gadis penjual donat itu telah dua kali menyelamatkannya. Pertama, menyelamatkan harga dirinya sewaktu membayarkan soto saat ia lupa membawa dompet. Kedua, gadis itu baru saja menyelamatkan nyawanya. Entah bagaimana nasibnya andai gadis itu tidak menolongnya. Wanita paruh baya itu masih syok. Gadis itu meringis, tangannya mencengkeram lengan kirinya yang kini berdarah. Luka gores memanjang dari siku hingga pergelangan tangan, akibat terserempet sepeda motor yang hampir menabrak Bu Sandra. "Ibu tidak apa-apa?" Suara gadis itu bergetar, tapi ia masih berusaha tersenyum. Bu Sandra tercekat. Seharusnya ia yang bertanya seperti itu! Gadis itu terluka karena menyelamatkan dirinya, tapi masih memikirkan keadaannya. "Nak, tanganmu berdarah!" Bu Sandra buru-buru meraih tangan gadis itu, panik melihat darah yang mulai menetes ke aspal. "Kamu terluka karena menyelamatkan saya!" "Tidak apa-apa, Bu. Hanya luka kecil saja," ujar gadis itu. Wajahnya sedikit pucat. "Mana bisa saya diam saja? Kita harus ke rumah sakit sekarang!" Bu Sandra menggamit lengan gadis itu dengan hati-hati, membantunya berdiri. Wanita paruh baya itu menoleh ke arah Mang Asep yang kini sudah berdiri terpaku di sebelahnya. "Mang Asep! Cepat antar ke rumah sakit terdekat!" "Eh, tapi Bu, saya ... tidak perlu. Ini hanya luka ringan saja, kok." "Tidak ada tapi! Lukamu harus segera diobati!" Gadis itu tampak ragu, tapi melihat kesungguhan Bu Sandra, akhirnya ia mengangguk pelan. "Baiklah, Bu. Tapi saya harus memberi tahu Mbok Jamu dulu." Bu Sandra menunggu sementara gadis itu bergegas menghampiri penjual jamu gendong yang tengah melayani pembeli di depan pasar. Mereka bertukar beberapa kata sebelum gadis itu kembali dengan senyuman kikuk. "Sudah, Bu. Saya ikut." Bu Sandra menghela napas lega. "Ayo!" Di dalam mobil, Bu Sandra mencuri pandang ke arah gadis yang duduk di sebelahnya. Meski berusaha menahan sakit, raut wajah gadis itu tak bisa menyembunyikan betapa perih lukanya. "Nama kamu siapa, Nak?" "Viola, Bu. Biasa dipanggil Vio," jawab gadis itu dengan suara lembut. "Vio." Bu Sandra mengulang pelan, mencoba membiasakan diri dengan nama itu. Ada rasa hangat menyusup ke hatinya. Gadis ini begitu berbeda dari semua wanita yang dikenalkan Azam kepadanya. Tidak ada keluhan keluar dari bibirnya saat sakit. Tidak ada gengsi berjualan donat di pasar. Ketulusan terpancar dari sorot mata sendunya. Tak lama, mereka tiba di rumah sakit terdekat. Seorang perawat menyambut mereka, segera menangani luka gadis itu. Bu Sandra duduk di samping gadis itu, memperhatikan saat perawat membersihkan dan membalut luka Viola dengan perban. Ponselnya berdering, Bu Sandra bangkit dari duduknya dan melangkah menjauh untuk menjawab telepon dari putranya. "Mama lagi di rumah sakit, Zam!" "Mama kenapa? Sakit?" tanya suara bariton dari seberang telpon terdengar panik. "Mama tadi hampir ketabrak motor. Untung ada gadis baik yang nolong Mama. Udah, dulu, Zam. Nanti Mama ceritain detailnya di rumah saja." Bu Sandra menutup sambungan telepon. "Untung lukanya tidak terlalu dalam, hanya lecet cukup besar. Tapi, tetap harus berhati-hati agar tidak infeksi," ucap perawat itu sambil tersenyum ramah. "Terima kasih, Sus," ucap gadis itu tulus. Setelah urusan administrasi selesai, Bu Sandra kembali menghampiri Viola yang duduk di ruang tunggu. Ia mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang berisi uang lalu mengangsurkan kepada gadis itu. "Apa ini? Tidak usah, Bu!" "Jangan menolak," potong Bu Sandra tegas. "Ini bentuk terima kasih saya karena kamu sudah menyelamatkan nyawa saya." Viola tersenyum kikuk, merasa tidak nyaman. "Tidak perlu, Bu." Gadis itu menolak secara halus. Bu Sandra mendesah kecewa. "Ya sudah, saya bayar utang soto aja kalo begitu." "Tidak usah, Bu." Bu Sandra tidak memaksa lagi. Ia makin salut, ternyata Viola bukanlah gadis matre. Selama ini ia pikir semua orang matrealistis. Ternyata gadis dihadapannya selalu tulus dalam menolong. Ia makin kagum dengan sosok gadis penjual donat itu. "Sekarang, saya antar kamu pulang." Mata gadis itu membelalak. "Hah? Tapi, untuk apa, Bu?" Bu Sandra tersenyum penuh arti. "Karena saya ingin mengenal keluargamu lebih dekat." Di dalam hati, Bu Sandra sudah mengambil keputusan. Mungkin, takdir memang membawanya bertemu dengan gadis ini. Mungkin gadis sederhana ini bisa dijadikannya sebagai kandidat pertama calon menantu idamannya. Viola minta diturunkan di mulut gang yang sempit. Bu Sandra ikut turun, berjalan mengikuti langkah gadis itu menyusuri sepanjang lorong sempit. Saat tiba di deretan kontrakan petak sederhana, seorang bocah perempuan berusia sekitar lima tahun berlari kecil menyambut kedatangan mereka. "Mama ...! Kok lama banget? Aku laper!" rengek bocah perempuan itu. Viola tersenyum seraya mengusap kepala bocah itu dengan lembut. "Maaf ya, Rosi. Mama tadi nggak bisa jemput kamu ke sekolah. Tadi dijemput Mbok Jamu, ya?" Bu Sandra tercengang. Pandangannya terkunci pada Viola dan bocah perempuan itu. Otaknya berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya. Mama? Jadi Viola itu seorang ....Azam tersenyum tipis. "Jadi... bagaimana kalau kita bertunangan?"Jantung Viola berdetak begitu kencang hingga ia merasa Azam bisa mendengarnya. Bu Sandra dan Alicia saling pandang. Keputusan ada di tangan Viola. Akankah ia menerimanya?Derrrt ... derrt derrt .... Di saat suasana tegang menunggu jawaban Viola, dering ponsel terdengar dari sling bag gadis itu. Semua orang di ruang tamu saling berpandangan. "Angkat dulu, Viola! Siapa tahu telepon penting," saran Bu Sandra. "Apa???" Viola syok. Berita itu sangat mengejutkan. Kekhawatiran langsung menyergap. "Kenapa, Vio? Siapa yang nelpon?" tanya Azam ikutan panik saat melihat wajah Viola yang langsung pucat. "Kak Varrel menemukan ibu pingsan di rumah. Sekarang lagi dalam perjalanan ke rumah sakit," ucap Viola sambil terisak-isak. Bu Sandra bangkit. "Ayo, kita susulin ke rumah sakit. Zam, siapkan mobil! Mama ganti baju dulu!""Tante, aku boleh ikut?" tanya Alicia. "Ganti baju tidurmu dengan yang lebih sopan, Alicia!"Azam meraih k
"Maaf, Tante. Aku tadi ketiduran," ucap perempuan itu dengan nada bicara santai, lalu duduk di sebelah Bu Sandra.Viola makin dibuat penasaran. Siapa perempuan ini sebenarnya? Kenapa dia di sini? Dan kenapa Bu Sandra tampak begitu akrab dengannya. Perasaan tak nyaman menjalar di dadanya. Ia menatap Bu Sandra, menunggu penjelasan.Bu Sandra tersenyum, seperti bisa membaca pikiran gadis itu. "Viola, kenalin ini Alicia."Alicia. Nama itu terdengar asing, tetapi kini terasa begitu mengusik bagi Viola."Alicia sudah dari kecil dekat dengan keluarga kami," lanjut Bu Sandra. "Dan ...." Wanita paruh baya itu berhenti sejenak, seakan memilih kata-kata. "Saya ingin mengenalkan kalian. Cepat atau lambat, kalian akan sering bertemu."Jantung Viola berdetak lebih cepat. Jadi benar. Tujuan Bu Sandra memanggilnya ke rumah untuk diperkenalkan dengan Alicia. Dan itu berarti, mungkin benar dugaannya. Azam dan Alicia memiliki hubungan khusus. Viola tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kekecewaan ya
Azam menoleh tepat saat Viola akan berbalik. Mata mereka bertemu. Sejenak, dunia seperti membeku. Viola bisa melihat keterkejutan di mata Azam. Viola menelan ludah. Matanya bergantian menatap Azam dan perempuan itu. Namun, yang membuat dadanya mencelos bukan hanya keberadaan perempuan itu melainkan ekspresi Azam yang datar. Tidak ada rasa bersalah di sana. Tidak ada kepanikan saat melihatnya. Hanya keterkejutan sesaat, lalu ekspresi yang sulit diartikan.Seharusnya Azam berkata sesuatu. Seharusnya dia menjelaskan, tapi dia tidak melakukannya. Viola tidak sanggup menunggu lebih lama. Tanpa berkata apa-apa, ia membalikkan badan dan pergi, menahan sesak yang menghantam dadanya.Viola bertanya-tanya dalam hatinya. Apa ia cemburu? Kenapa dadanya terasa terbakar dan sesak. Langkah Viola semakin cepat, nyaris seperti berlari kecil. Suara langkah kakinya bergema di sepanjang trotoar kampus, menyatu dengan detak jantungnya yang tak beraturan. Udara sore yang seharusnya sejuk justru terasa
Suasana kampus sore itu terasa lebih lengang dari biasanya. Sebagian besar mahasiswa sudah lama pulang, hanya tersisa segelintir orang saja. Mendung menggantung di langit, seakan mencerminkan suasana hati Viola yang kelabu. Sudah satu minggu Azam seperti menghilang begitu saja. Tidak pernah mengirim pesan, tidak ada panggilan telepon. Bahkan Azam tidak pernah lagi mengantarkannya atau menjemputnya kuliah. Awalnya, Viola berpikir mungkin Azam hanya sibuk. Mungkin saja pekerjaan di kantor menumpuk dikejar deadline. Namun, semakin hari, keganjilan itu semakin terasa. Azam bukan tipe pria yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Biasanya, Azam rutin mengirimkan pesan setiap hari beberapa kali, sekadar pesan singkat seperti bertanya "Sudah makan belum?" atau "Hati-hati di jalan" atau sekedar ucapan good morning dan good night selalu hadir di layar ponselnya. Viola mengembuskan napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi panjang di taman kampus. Tangannya menggenggam ponsel, menatap lay
#37Azam baru saja meninggalkan sebuah restoran tempatnya meeting dengan klien. Langit siang itu tertutup awan tipis, sinar matahari menerobos samar di sela-selanya, menyinari jalanan kota yang mulai padat. Saat mobilnya melintasi gerbang kampus, pandangannya sekilas menangkap papan nama fakultas yang familiar.Tempat kuliah Viola.Tanpa rencana, kemudi mobilnya berbelok ke arah kampus. Ada dorongan spontan—entah dari mana—untuk mampir. Siapa tahu gadis itu sudah selesai kelas.Kali ini, ia sengaja tidak menelepon atau mengirim pesan. Tidak ada “Aku di sini” atau “Lagi di dekat kampusmu.” Azam ingin melihat reaksi Viola ketika tiba-tiba ia muncul. Kejutan kecil, pikirnya.Pada malam pertemuan dua keluarga, Viola sudah memutuskan keinginannya untuk fokus kuliah dulu. Belum siap menerima pertunangan, apalagi menikah. Gadis itu masih belum puas menikmati masa mudanya. Sebelum bertemu dengan ayah kandungnya, Viola terlalu lelah bekerja membanting tulang untuk menafkahi dirinya dan adiknya
Viola menarik napas dalam dan berucap, "Aku butuh waktu untuk berpikir, Bu Sandra."Bagi Viola, ini bukan keputusan yang bisa ia buat dalam waktu sekejap. Ruangan masih diliputi keheningan setelah jawaban Viola.Bu Sandra tersenyum, meski sedikit kaku. "Tentu, Sayang. Aku mengerti ini mendadak untukmu. Tapi aku harap kamu bisa mempertimbangkannya dengan baik."Azam hanya mengangguk pelan. Ia tidak menunjukkan ekspresi kecewa, tetapi sorot matanya tajam mengamati reaksi Viola. Apa pun keputusan yang diambil gadis itu, Azam akan mendukungnya, sebab ia hanya menginginkan kebahagiaan Viola. Sudah begitu banyak penderitaan dan kesusahan yang dihadapi perempuan yang dulu berprofesi sebagai penjual donat itu. Dahlia menggenggam tangan putrinya di bawah meja, memberikan dukungan dalam diam. Ia tahu ini bukan keputusan yang bisa dibuat Viola dalam keadaan buru-buru. Keputusannya menyangkut masa depan. Pak Adyaksa akhirnya bersuara, meskipun ada perasaan kurang percaya diri. "Viola masih muda