#3
Viola tersenyum, lalu mengusap kepala bocah perempuan itu dengan lembut. "Maaf ya, Rosi. Mama tadi nggak bisa jemput kamu ke sekolah. Tadi dijemput Mbok Jamu, ya?" Bu Sandra tercengang. Pandangannya terkunci pada Viola dan bocah perempuan itu. Otaknya berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya. Mama? Gadis itu ... sudah punya anak? Wajah Bu Sandra yang semula cerah kini meredup. Bibirnya mengatup erat, sorot matanya dipenuhi keterkejutan dan kekecewaan. Ternyata Viola bukan gadis lajang yang ia bayangkan bisa menjadi calon menantu. Tanpa sadar, jemari Bu Sandra mencengkeram tas tangannya. Dadanya bergemuruh, seperti ada badai yang berputar liar di dalamnya. Menantu idamannya ... musnah dalam sekejap. *** Bu Sandra duduk di kursi dekat jendela, menatap kosong ke luar. Di tangannya ada secangkir teh yang sejak tadi hanya dipegang saja. Biasanya, rumah ini dipenuhi suara ceria dan obrolannya yang tak ada habisnya. Tapi kini, hanya ada keheningan yang menyelimuti. Azam, yang sedang bersiap berangkat kerja, berhenti di ambang pintu. Pandangannya tertuju pada mamanya yang duduk termenung. Pandangan matanya kosong. Sudah beberapa hari ini mamanya terlihat sering melamun. “Mama sakit?” tanyanya hati-hati. Bu Sandra menggeleng. Azam menghela napas, lalu duduk di kursi sebelah mamanya. "Kenapa akhir-akhir ini murung terus, Ma?" Bu Sandra menoleh. Bibirnya terbuka sedikit, seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, akhirnya ia hanya menggeleng pelan. Azam ingin bertanya lagi, tapi suara tawa terdengar dari ruang tengah. “Zam, kamu tahu nggak kenapa mamamu manyun terus?” Pak Malik muncul dari balik pintu dengan ekspresi geli. Azam hanya melirik sekilas, tanpa berniat merespon ucapan papanya. "Mamamu kecewa berat. Gadis yang mau dijadikan menantu ternyata ... seorang ibu muda! Ha ... ha ...." Tawa pria paruh baya itu membahana. "Kocak, ya ...." Seketika Bu Sandra melotot. Ia menyesal bercerita kepada suaminya tentang gadis penjual donat itu. "Ini nggak lucu, Pah!" serunya menahan kesal. Azam mengerjapkan mata, lalu menatap mamanya dengan rasa ingin tahu. "Serius, Ma?" "Bayangkan, Zam! Mama sudah mantap memilih dia sebagai calon menantu. Eh, ternyata dia sudah punya anak!" Suara Bu Sandra sarat dengan kekecewaan. Bu Sandra mengembuskan napas panjang. Dalam hatinya, ia menertawakan kebodohannya sendiri. Kenal baru sebentar, tapi ia sudah berkhayal jauh, terlalu bersemangat menjodohkan putranya dengan gadis itu. Azam, yang mendengar itu, hanya tersenyum kecil. Mau ikut tertawa, takut mamanya semakin kesal. Ia melirik jam tangan. "Aku berangkat kerja dulu, Ma. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam," jawab Bu Sandra pelan. Azam melangkah menuju garasi, masuk ke dalam Fortuner hitamnya, lalu melajukan kendaraan ke jalan raya yang padat. Setengah jam kemudian, pria tampan berusia 30 tahun itu tiba di kantornya. Seperti biasa, lobi gedung sepuluh lantai itu dipenuhi lalu-lalang karyawan yang mulai berdatangan. Suara keras seorang sekuriti menarik perhatiannya. “Sudah dibilang, jangan jualan di sini! Pergi sana!” Azam menoleh. Di dekat pos sekuriti seorang gadis berkerudung berdiri membawa keranjang berisi dagangannya. Wajahnya memucat, tangannya mencengkeram erat pegangan keranjang. “Pak, saya cuma .…” “Pergi!” Sekuriti itu mengibaskan tangan, lalu mendorong bahu gadis itu hingga hampir terjatuh. Azam melihat semua itu, tapi langkahnya tidak melambat. Ia bukan tipe orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Lagi pula, aturan tetap aturan. Trotoar di depan gedung ini memang tidak boleh digunakan untuk berjualan. Namun, ia sedikit mengernyit. Cara sekuriti itu menegur terlalu kasar. Tanpa menoleh lagi, Azam melangkah masuk ke gedung kantornya. Banyak pekerjaan yang sudah menunggu. Sore harinya, kepala Azam terasa penuh. Pekerjaan menumpuk, pikirannya kusut. Sebagian karyawan sudah pulang. "Sepertinya aku harus me-refresh otakku biar seger," gumamnya. Azam memilih berjalan keluar gedung kantornya, melangkah tanpa tujuan, membiarkan kakinya membawa dirinya ke mana saja. Langkahnya berhenti di sebuah taman kecil. Pepohonan rindang menaungi bangku-bangku kayu yang berjajar rapi. Meski sederhana, tempat itu terasa tenang. Di salah satu sudut, seorang kakek tua berdiri di belakang gerobak sederhana. Aroma kopi pekat yang sedang diseduhnya di gelas plastik tercium oleh Azam. Azam mendekat. "Pak, kopi hitam satu." Kakek itu mengangguk, menuangkan kopi dengan tangan yang sedikit bergetar. Azam membayar tanpa banyak bicara, lalu menyeruput minumannya perlahan. Hangat. Pahit. Tapi anehnya, menenangkan pikirannya yang kusut. Saat ia menikmati kopinya, matanya menangkap sesuatu. Tak jauh dari tempat duduknya, seorang gadis tengah sibuk melayani pembeli. Tangannya cekatan, memasukkan donat dalam kantong kertas. Azam memperhatikan cukup lama. Pembelinya ramai, sepertinya enak, pikirnya. Entah karena lapar atau sekadar penasaran, Azam pun mendekat. "Saya beli dua." Gadis itu mendongak. Mata mereka bertemu. Waktu seolah berhenti. Azam terpaku. Gadis itu .... Ia mengenalnya. Penjual donat itu adalah gadis sama yang tadi pagi diusir oleh sekuriti di depan kantornya. Sekarang, di bawah langit senja yang kemerahan, ia bisa melihat lebih jelas. Wajah gadis itu ternyata lebih cantik dari yang ia kira. Mata bulatnya yang jernih, alisnya yang tebal dengan bulu mata lentik. Bibirnya yang sedikit terbuka karena terkejut. Dada Azam berdebar tanpa alasan yang jelas. Gadis itu juga tampak terkejut, tapi ia cepat-cepat menunduk, membungkus dua donat dengan rapi, lalu menyerahkan kepadanya. Azam mengulurkan tangan untuk menerima. Saat jari mereka bersentuhan, sesuatu yang aneh terjadi. Sebuah getaran halus, seperti sengatan listrik yang menjalar di kulitnya. Singkat, tapi cukup untuk membuat Azam menegang sesaat. Gadis itu juga terlihat sedikit tersentak, tapi ia segera menarik tangannya. Azam menelan ludah, berusaha mengabaikan sensasi aneh yang baru saja terjadi. Ia pergi tanpa banyak bicara.Azam tersenyum tipis. "Jadi... bagaimana kalau kita bertunangan?"Jantung Viola berdetak begitu kencang hingga ia merasa Azam bisa mendengarnya. Bu Sandra dan Alicia saling pandang. Keputusan ada di tangan Viola. Akankah ia menerimanya?Derrrt ... derrt derrt .... Di saat suasana tegang menunggu jawaban Viola, dering ponsel terdengar dari sling bag gadis itu. Semua orang di ruang tamu saling berpandangan. "Angkat dulu, Viola! Siapa tahu telepon penting," saran Bu Sandra. "Apa???" Viola syok. Berita itu sangat mengejutkan. Kekhawatiran langsung menyergap. "Kenapa, Vio? Siapa yang nelpon?" tanya Azam ikutan panik saat melihat wajah Viola yang langsung pucat. "Kak Varrel menemukan ibu pingsan di rumah. Sekarang lagi dalam perjalanan ke rumah sakit," ucap Viola sambil terisak-isak. Bu Sandra bangkit. "Ayo, kita susulin ke rumah sakit. Zam, siapkan mobil! Mama ganti baju dulu!""Tante, aku boleh ikut?" tanya Alicia. "Ganti baju tidurmu dengan yang lebih sopan, Alicia!"Azam meraih k
"Maaf, Tante. Aku tadi ketiduran," ucap perempuan itu dengan nada bicara santai, lalu duduk di sebelah Bu Sandra.Viola makin dibuat penasaran. Siapa perempuan ini sebenarnya? Kenapa dia di sini? Dan kenapa Bu Sandra tampak begitu akrab dengannya. Perasaan tak nyaman menjalar di dadanya. Ia menatap Bu Sandra, menunggu penjelasan.Bu Sandra tersenyum, seperti bisa membaca pikiran gadis itu. "Viola, kenalin ini Alicia."Alicia. Nama itu terdengar asing, tetapi kini terasa begitu mengusik bagi Viola."Alicia sudah dari kecil dekat dengan keluarga kami," lanjut Bu Sandra. "Dan ...." Wanita paruh baya itu berhenti sejenak, seakan memilih kata-kata. "Saya ingin mengenalkan kalian. Cepat atau lambat, kalian akan sering bertemu."Jantung Viola berdetak lebih cepat. Jadi benar. Tujuan Bu Sandra memanggilnya ke rumah untuk diperkenalkan dengan Alicia. Dan itu berarti, mungkin benar dugaannya. Azam dan Alicia memiliki hubungan khusus. Viola tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kekecewaan ya
Azam menoleh tepat saat Viola akan berbalik. Mata mereka bertemu. Sejenak, dunia seperti membeku. Viola bisa melihat keterkejutan di mata Azam. Viola menelan ludah. Matanya bergantian menatap Azam dan perempuan itu. Namun, yang membuat dadanya mencelos bukan hanya keberadaan perempuan itu melainkan ekspresi Azam yang datar. Tidak ada rasa bersalah di sana. Tidak ada kepanikan saat melihatnya. Hanya keterkejutan sesaat, lalu ekspresi yang sulit diartikan.Seharusnya Azam berkata sesuatu. Seharusnya dia menjelaskan, tapi dia tidak melakukannya. Viola tidak sanggup menunggu lebih lama. Tanpa berkata apa-apa, ia membalikkan badan dan pergi, menahan sesak yang menghantam dadanya.Viola bertanya-tanya dalam hatinya. Apa ia cemburu? Kenapa dadanya terasa terbakar dan sesak. Langkah Viola semakin cepat, nyaris seperti berlari kecil. Suara langkah kakinya bergema di sepanjang trotoar kampus, menyatu dengan detak jantungnya yang tak beraturan. Udara sore yang seharusnya sejuk justru terasa
Suasana kampus sore itu terasa lebih lengang dari biasanya. Sebagian besar mahasiswa sudah lama pulang, hanya tersisa segelintir orang saja. Mendung menggantung di langit, seakan mencerminkan suasana hati Viola yang kelabu. Sudah satu minggu Azam seperti menghilang begitu saja. Tidak pernah mengirim pesan, tidak ada panggilan telepon. Bahkan Azam tidak pernah lagi mengantarkannya atau menjemputnya kuliah. Awalnya, Viola berpikir mungkin Azam hanya sibuk. Mungkin saja pekerjaan di kantor menumpuk dikejar deadline. Namun, semakin hari, keganjilan itu semakin terasa. Azam bukan tipe pria yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Biasanya, Azam rutin mengirimkan pesan setiap hari beberapa kali, sekadar pesan singkat seperti bertanya "Sudah makan belum?" atau "Hati-hati di jalan" atau sekedar ucapan good morning dan good night selalu hadir di layar ponselnya. Viola mengembuskan napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi panjang di taman kampus. Tangannya menggenggam ponsel, menatap lay
#37Azam baru saja meninggalkan sebuah restoran tempatnya meeting dengan klien. Langit siang itu tertutup awan tipis, sinar matahari menerobos samar di sela-selanya, menyinari jalanan kota yang mulai padat. Saat mobilnya melintasi gerbang kampus, pandangannya sekilas menangkap papan nama fakultas yang familiar.Tempat kuliah Viola.Tanpa rencana, kemudi mobilnya berbelok ke arah kampus. Ada dorongan spontan—entah dari mana—untuk mampir. Siapa tahu gadis itu sudah selesai kelas.Kali ini, ia sengaja tidak menelepon atau mengirim pesan. Tidak ada “Aku di sini” atau “Lagi di dekat kampusmu.” Azam ingin melihat reaksi Viola ketika tiba-tiba ia muncul. Kejutan kecil, pikirnya.Pada malam pertemuan dua keluarga, Viola sudah memutuskan keinginannya untuk fokus kuliah dulu. Belum siap menerima pertunangan, apalagi menikah. Gadis itu masih belum puas menikmati masa mudanya. Sebelum bertemu dengan ayah kandungnya, Viola terlalu lelah bekerja membanting tulang untuk menafkahi dirinya dan adiknya
Viola menarik napas dalam dan berucap, "Aku butuh waktu untuk berpikir, Bu Sandra."Bagi Viola, ini bukan keputusan yang bisa ia buat dalam waktu sekejap. Ruangan masih diliputi keheningan setelah jawaban Viola.Bu Sandra tersenyum, meski sedikit kaku. "Tentu, Sayang. Aku mengerti ini mendadak untukmu. Tapi aku harap kamu bisa mempertimbangkannya dengan baik."Azam hanya mengangguk pelan. Ia tidak menunjukkan ekspresi kecewa, tetapi sorot matanya tajam mengamati reaksi Viola. Apa pun keputusan yang diambil gadis itu, Azam akan mendukungnya, sebab ia hanya menginginkan kebahagiaan Viola. Sudah begitu banyak penderitaan dan kesusahan yang dihadapi perempuan yang dulu berprofesi sebagai penjual donat itu. Dahlia menggenggam tangan putrinya di bawah meja, memberikan dukungan dalam diam. Ia tahu ini bukan keputusan yang bisa dibuat Viola dalam keadaan buru-buru. Keputusannya menyangkut masa depan. Pak Adyaksa akhirnya bersuara, meskipun ada perasaan kurang percaya diri. "Viola masih muda