Share

Bab 3 Getaran Aneh

last update Last Updated: 2025-06-23 15:13:59

#3

Viola tersenyum, lalu mengusap kepala bocah perempuan itu dengan lembut. "Maaf ya, Rosi. Mama tadi nggak bisa jemput kamu ke sekolah. Tadi dijemput Mbok Jamu, ya?"

Bu Sandra tercengang. Pandangannya terkunci pada Viola dan bocah perempuan itu. Otaknya berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya.

Mama?

Gadis itu ... sudah punya anak?

Wajah Bu Sandra yang semula cerah kini meredup. Bibirnya mengatup erat, sorot matanya dipenuhi keterkejutan dan kekecewaan. Ternyata Viola bukan gadis lajang yang ia bayangkan bisa menjadi calon menantu.

Tanpa sadar, jemari Bu Sandra mencengkeram tas tangannya. Dadanya bergemuruh, seperti ada badai yang berputar liar di dalamnya.

Menantu idamannya ... musnah dalam sekejap.

***

Bu Sandra duduk di kursi dekat jendela, menatap kosong ke luar. Di tangannya ada secangkir teh yang sejak tadi hanya dipegang saja. Biasanya, rumah ini dipenuhi suara ceria dan obrolannya yang tak ada habisnya. Tapi kini, hanya ada keheningan yang menyelimuti.

Azam, yang sedang bersiap berangkat kerja, berhenti di ambang pintu. Pandangannya tertuju pada mamanya yang duduk termenung. Pandangan matanya kosong. Sudah beberapa hari ini mamanya terlihat sering melamun.

“Mama sakit?” tanyanya hati-hati.

Bu Sandra menggeleng.

Azam menghela napas, lalu duduk di kursi sebelah mamanya. "Kenapa akhir-akhir ini murung terus, Ma?"

Bu Sandra menoleh. Bibirnya terbuka sedikit, seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, akhirnya ia hanya menggeleng pelan.

Azam ingin bertanya lagi, tapi suara tawa terdengar dari ruang tengah.

“Zam, kamu tahu nggak kenapa mamamu manyun terus?”

Pak Malik muncul dari balik pintu dengan ekspresi geli. Azam hanya melirik sekilas, tanpa berniat merespon ucapan papanya.

"Mamamu kecewa berat. Gadis yang mau dijadikan menantu ternyata ... seorang ibu muda! Ha ... ha ...." Tawa pria paruh baya itu membahana. "Kocak, ya ...."

Seketika Bu Sandra melotot. Ia menyesal bercerita kepada suaminya tentang gadis penjual donat itu. "Ini nggak lucu, Pah!" serunya menahan kesal.

Azam mengerjapkan mata, lalu menatap mamanya dengan rasa ingin tahu. "Serius, Ma?"

"Bayangkan, Zam! Mama sudah mantap memilih dia sebagai calon menantu. Eh, ternyata dia sudah punya anak!" Suara Bu Sandra sarat dengan kekecewaan.

Bu Sandra mengembuskan napas panjang. Dalam hatinya, ia menertawakan kebodohannya sendiri. Kenal baru sebentar, tapi ia sudah berkhayal jauh, terlalu bersemangat menjodohkan putranya dengan gadis itu.

Azam, yang mendengar itu, hanya tersenyum kecil. Mau ikut tertawa, takut mamanya semakin kesal.

Ia melirik jam tangan. "Aku berangkat kerja dulu, Ma. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab Bu Sandra pelan.

Azam melangkah menuju garasi, masuk ke dalam Fortuner hitamnya, lalu melajukan kendaraan ke jalan raya yang padat. Setengah jam kemudian, pria tampan berusia 30 tahun itu tiba di kantornya. Seperti biasa, lobi gedung sepuluh lantai itu dipenuhi lalu-lalang karyawan yang mulai berdatangan.

Suara keras seorang sekuriti menarik perhatiannya.

“Sudah dibilang, jangan jualan di sini! Pergi sana!”

Azam menoleh. Di dekat pos sekuriti seorang gadis berkerudung berdiri membawa keranjang berisi dagangannya. Wajahnya memucat, tangannya mencengkeram erat pegangan keranjang.

“Pak, saya cuma .…”

“Pergi!” Sekuriti itu mengibaskan tangan, lalu mendorong bahu gadis itu hingga hampir terjatuh.

Azam melihat semua itu, tapi langkahnya tidak melambat. Ia bukan tipe orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Lagi pula, aturan tetap aturan. Trotoar di depan gedung ini memang tidak boleh digunakan untuk berjualan.

Namun, ia sedikit mengernyit. Cara sekuriti itu menegur terlalu kasar. Tanpa menoleh lagi, Azam melangkah masuk ke gedung kantornya. Banyak pekerjaan yang sudah menunggu.

Sore harinya, kepala Azam terasa penuh. Pekerjaan menumpuk, pikirannya kusut. Sebagian karyawan sudah pulang.

"Sepertinya aku harus me-refresh otakku biar seger," gumamnya.

Azam memilih berjalan keluar gedung kantornya, melangkah tanpa tujuan, membiarkan kakinya membawa dirinya ke mana saja.

Langkahnya berhenti di sebuah taman kecil. Pepohonan rindang menaungi bangku-bangku kayu yang berjajar rapi. Meski sederhana, tempat itu terasa tenang.

Di salah satu sudut, seorang kakek tua berdiri di belakang gerobak sederhana. Aroma kopi pekat yang sedang diseduhnya di gelas plastik tercium oleh Azam.

Azam mendekat. "Pak, kopi hitam satu."

Kakek itu mengangguk, menuangkan kopi dengan tangan yang sedikit bergetar. Azam membayar tanpa banyak bicara, lalu menyeruput minumannya perlahan.

Hangat. Pahit. Tapi anehnya, menenangkan pikirannya yang kusut. Saat ia menikmati kopinya, matanya menangkap sesuatu.

Tak jauh dari tempat duduknya, seorang gadis tengah sibuk melayani pembeli. Tangannya cekatan, memasukkan donat dalam kantong kertas. Azam memperhatikan cukup lama. Pembelinya ramai, sepertinya enak, pikirnya.

Entah karena lapar atau sekadar penasaran, Azam pun mendekat. "Saya beli dua."

Gadis itu mendongak. Mata mereka bertemu. Waktu seolah berhenti. Azam terpaku. Gadis itu ....

Ia mengenalnya. Penjual donat itu adalah gadis sama yang tadi pagi diusir oleh sekuriti di depan kantornya.

Sekarang, di bawah langit senja yang kemerahan, ia bisa melihat lebih jelas. Wajah gadis itu ternyata lebih cantik dari yang ia kira. Mata bulatnya yang jernih, alisnya yang tebal dengan bulu mata lentik. Bibirnya yang sedikit terbuka karena terkejut.

Dada Azam berdebar tanpa alasan yang jelas. Gadis itu juga tampak terkejut, tapi ia cepat-cepat menunduk, membungkus dua donat dengan rapi, lalu menyerahkan kepadanya.

Azam mengulurkan tangan untuk menerima. Saat jari mereka bersentuhan, sesuatu yang aneh terjadi. Sebuah getaran halus, seperti sengatan listrik yang menjalar di kulitnya.

Singkat, tapi cukup untuk membuat Azam menegang sesaat. Gadis itu juga terlihat sedikit tersentak, tapi ia segera menarik tangannya.

Azam menelan ludah, berusaha mengabaikan sensasi aneh yang baru saja terjadi. Ia pergi tanpa banyak bicara.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 28 Pertemuan Mengharukan

    #28Perlahan, Viola menggenggam tangan Varrel lebih erat. "Kakak .…" Hanya satu kata itu yang keluar, tapi cukup untuk membuat hati Varrel mencelos. Pemuda itu tersenyum, matanya memanas, diusap kepala adiknya dengan lembut. "Iya, Vio. Kakak di sini. Kakak nggak akan pernah ninggalin kamu lagi." Varrel merengkuh tubuh kurus sang adik ke dalam pelukannya. Air matanya berjatuhan tak terbendung lagi. Kebahagiaan tak terkira karena bisa menemukan juga penyesalan karena terlambat untuk mencari adiknya. Azam yang sejak tadi menyaksikan pertemuan adik dan kakak yang terpisah selama hampir 20 tahun ikut tersenyum haru, hingga menitik air matanya. Pintu terbuka. Semua mata menoleh ke arah pintu, Viola juga. Seorang pria paruh baya melangkah masuk dengan tatapan hati-hati. Viola tercengang. Wajah itu terlihat familiar. Ia ingat pernah melihat pria paruh baya itu duduk di bangku kayu, menikmati nasi uduk Mak Ijah. Tapi, kenapa sekarang dia ada di sini?Lebih membingungkan lagi, Varrel yang

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 27 Kita Bersaudara, Vio

    #27Sudah seharian ini Viola terbaring lemah di atas tikar pandan lusuh. Gadis itu sudah tidak sanggup untuk bangun. Tubuhnya semakin panas, wajahnya pucat, dan bibirnya kering. Rosi duduk di sebelah kakaknya dengan raut wajah khawatir dan ketakutan. Hari sudah gelap, lampu belum nyala karena token listrik habis. "Bangun, Ma! Jangan tidur terus," bisik Rosi dengan suara serak. Bocah perempuan berusia 5 tahun itu mengoyang tubuh Viola yang semakin lemah.Air matanya jatuh satu per satu. Rosi tidak tahu harus bagaimana. Ia masih kecil, belum paham cara merawat orang sakit. Di luar gelap, Rosi tidak berani keluar rumah sendirian untuk mencari pertolongan. Viola melarang adiknya keluar malam karena terkadang ada ular karena kontrakan mereka di pinggir kali. Rosi ketakutan Viola akan mati karena dari tadi matanya terpejam, tidak bergerak sama sekali. Ia hanya memiliki Viola seorang di dunia ini. Rosi bingung melihat keadaan Viola. Di luar sudah gelap, ia tak berani keluar untuk meminta

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 26 Kabar Gembira

    Sejak pertemuannya dengan gadis penjual donat, Pak Adyaksa jadi tidak berselera makan saat makan malam. Terpikir apakah putrinya sudah makan dengan layak atau tengah menahan lapar di luar sana. Perasaan bersalah dan penyesalan terus menghantuinya. "Mas, kok piringnya masih kosong?" tanya Sinta heran. "Aku ambilin nasi, ya?""Nggak usah. Aku lagi nggak selera makan." Pak Adyaksa bangkit dari duduknya lalu melangkah meninggalkan ruang makan menuju ruang kerjanya.Pria yang separuh rambutnya sudah memutih itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi portabel yang empuk. Matanya terpejam dan pertemuannya dengan gadis penjual donat di warung Mak Ijah tergambar jelas di benaknya. Wajah sendu gadis itu terus terbayang-bayang. Pertemuannya dengan gadis penjual donat tak bisa dilupakannya. Di dalam ruang kerjanya Pak Adyaksa duduk termenung lama dengan tatapan kosong. Tangannya menggenggam sebuah foto lama, foto mantan istrinya, Dahlia dengan bayi perempuan dalam gendongannya."Viola kecil

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 25 Kemiripan Wajah dan Kesamaan Nama

    #25Wajah gadis itu sangat mirip dengan seseorang dari masa lalunya. Sorot mata teduhnya, hidung bangir, dan bentuk bibir tipisnya. Semua begitu mirip dengan mantan istrinya, Dahlia. yang ia usir dari rumah dua puluh tahun lalu.Tangan Pak Adyaksa gemetar saat meletakkan sendok. Ia menatap gadis itu lekat-lekat. Dadanya bergemuruh menahan semua perasaan yang membuncah. Gadis penjual donat itu menoleh dan balas menatap pria paruh baya itu dengan kening berkerut. "Pak?" Rizal menyadari perubahan ekspresi majikannya saat menatap Viola. "Bapak kenapa?" tanyanya khawatir. Pak Adyaksa tak menjawab. Matanya masih terkunci pada gadis yang tengah berbicara dengan Mak Ijah. Seolah merasakan tatapan intens itu, gadis yang tengah menyerahkan kotak donat ke Mak Ijah itu menoleh. Tatapan mereka bertemu. Sejenak, waktu terasa berhenti berputar. Gadis itu mengernyit. Ada sesuatu yang aneh dengan pria berjas rapi itu. Baru kali ini ia melihat pelanggan nasi uduk Mak Ijah berpakaian necis seperti i

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 24 Merasa Dejavu

    #24Tak terasa, sudah sebulan lebih Viola dan Rosi tinggal di kontrakan kecil di pinggir kali yang bau. Dindingnya lembap, atapnya bocor jika hujan, dan tikus-tikus sering berlarian di atas plafon saat malam hari, berisik sekali menganggu orang tidur. Meskipun tempat tinggalnya saat ini jauh dari kata nyaman, Viola sudah bersyukur. Setidaknya, di sini ia merasa aman. Para preman yang mengusirnya tidak akan menemukan keberadaannya di tempat persembunyiannya. Setiap pagi, Viola bangun sebelum subuh. Tangannya cekatan menguleni adonan, mencetaknya satu per satu, lalu membiarkan sampai mengembang. Setelah satu jam, donat-donat itu tinggal digoreng hingga matang keemasan. Setelah selesai dihias dengan topping, donat-donat cantik itu disusun rapi di dalam wadah plastik berbentuk kotak. Dengan bersemangat Viola berjalan menuju warung nasi uduk Mak Ijah untuk menitipkan dagangannya. "Titip ya, Mak," ujar Viola dengan senyum tersungging di bibirnya. Mak Ijah mengangguk, menatap gadis itu

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 23 Bukan Gadis Biasa

    #23Azam menatap Varrel dengan kening berkerut. "Jadi … Viola itu adik lo, Rel?" tanyanya, masih sulit percaya. Varrel mengangguk, matanya menerawang. "Iya. Gue seneng banget akhirnya bisa ketemu lagi dengannya setelah dua puluh tahun terpisah. Tapi sekarang dia hilang lagi," ucapnya dengan raut wajah sedih. Sebagai kakak yang seharusnya bisa melindungi, ia jadi mengkhawatirkan keadaan adiknya. Azam menghembuskan napas lega, bercampur sedikit rasa malu. Selama ini, ia sempat mengira Varrel adalah rivalnya dalam merebut hati Viola. Namun, ternyata, sahabatnya justru kakak kandung gadis itu.“Kita cari Viola lagi, yuk!" ajak Azam mantap.Dengan mengendarai mobil Azam, mereka mulai menyusuri jalanan kota, bertanya kepada setiap orang yang mereka temui di jalan. Mereka mencari ke setiap sudut pasar, terminal, stasiun, juga di tempat-tempat keramaian, barangkali Viola ada di sana tengah berjualan donat. Semua sudut di kota metropolitan sudah dijelajahi, tapi tidak ada satu pun yang meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status