Share

Bab 4 Insiden di Pasar

Penulis: EstrianaTamsir
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-23 15:15:00

#4

Setelah Azam dan Pak Malik berangkat kerja, rumah terasa senyap. Bi Arum tengah bersiap pergi ke pasar seperti biasa. Wanita paruh baya itu membenahi tas belanjaannya, memastikan daftar kebutuhan yang akan dibeli sudah dicatat semua. . Namun, ketika ia hendak melangkah keluar, suara Bu Sandra menghentikannya.

"Bi, nggak usah ke pasar hari ini!"

Bi Arum menoleh, bingung. "Lho, kenapa, Bu? Stok sayuran di kulkas tinggal sedikit."

Bu Sandra menutup majalah wanita yang sejak tadi hanya dibolak-balik saja tanpa benar-benar dibaca isinya. Wanita paruh baya itu masih terus memikirkan gadis penjual donat yang sudah menyelamatkan harga diri dan juga nyawanya. "Saya aja yang pergi ke pasar, Bi."

Bi Arum semakin heran. Sudah bertahun-tahun bekerja di rumah ini, baru kali ini majikannya mau turun langsung berbelanja ke pasar tradisional yang becek. "Ibu yakin?"

Bu Sandra mengangguk. "Tiba-tiba saya kepengen makan soto yang di pasar. Sekalian saya mau ketemu seseorang."

Bi Arum tak berani membantah. Meski heran, ia hanya menurut. "Baik, Bu. Kalau begitu, saya siapkan tasnya."

Tak lama kemudian, Bu Sandra sudah siap berangkat. Dengan langkah mantap, ia keluar rumah. Mang Asep sudah duduk dibalik kemudi, siap mengantarkan ke pasar.

Ada sesuatu yang mengusik pikiran Bu Sandra sejak beberapa hari lalu. Viola. Ia tidak akan pernah melupakan, gadis itu pernah menyelamatkan nyawanya. Saat ia nyaris tertabrak sepeda motor, gadis itu menarik tangannya dengan sigap. Jika tidak, mungkin ia sudah tertabrak dan terluka parah.

Kemarin ia sempat mengira Viola adalah calon menantu idaman. Namun, setelah tahu gadis itu sudah mempunyai anak, harapannya pupus seketika. Sekarang, pikirannya mulai tenang. Ia bisa berpikir dengan jernih. Kecewa? Mungkin. Tapi, Viola tetap gadis baik penyelamat hidupnya. Bu Sandra memutuskan untuk tetap menjalin tali silaturahmi dengan gadis itu.

Sesampainya di pasar, Bu Sandra menghirup aroma khas yang memenuhi udara. Aroma rempah-rempah di kuah soto panas membuat perutnya kelaparan.

Langkah Bu Sandra terhenti di depan warung soto favoritnya. Antrean sudah mengular, tapi ia tak keberatan menunggu. Sambil berdiri, matanya sibuk mengamati sekitar.

Dan saat itulah ia melihat Viola. Gadis itu berjalan menyusuri lorong pasar, membawa keranjang berisi donat. Senyum ramahnya mengembang tiap kali ia menawarkan dagangannya pada calon pembeli.

Bu Sandra memperhatikan dari kejauhan. Hatinya sedikit hangat melihat cara Viola berinteraksi dengan pembeli. Gadis itu memang pekerja keras. Tanpa pikir panjang, ia melambaikan tangan. "Viola!"

Viola menghentikan langkahnya, mencari sumber suara. Saat melihat Bu Sandra, gadis itu terkejut.

"Bu Sandra?" Viola tersenyum hangat, melangkah menghampiri wanita paruh baya itu.

Bu Sandra tersenyum. "Sini, duduk dulu. Saya traktir makan soto."

Viola tampak ragu. "Terima kasih tawarannya, Bu. Maaf saya masih harus jualan."

"Makan satu mangkuk soto hanya menghabiskan sedikit waktumu," sahut Bu Sandra. "Ayo, anggap saja ini rezeki. Pamali untuk ditolak."

Setelah sedikit membujuk, Viola akhirnya menurut. Ia duduk di hadapan Bu Sandra sambil menurunkan keranjangnya. Tak butuh waktu lama, dua mangkuk soto panas sudah tersaji di meja mereka. Aroma rempah yang kuat menyeruak, membuat perut semakin lapar.

"Minta dibungkus satu, Mas," seru Bu Sandra kepada penjual soto. "Buat anakmu nanti, Vio," lanjutnya, melirik Viola.

Viola tersedak. "Eh, anak saya?" Mata gadis itu membulat.

"Iya, Rosi itu anakmu 'kan?"

Viola tertawa pelan. "Oh, Rosi? Dia bukan anak saya, Bu. "

Bu Sandra mengernyit. "Bukan anakmu?"

Viola menggeleng. "Rosi itu adik saya."

Tangan Bu Sandra refleks berhenti mengaduk sotonya. "Adik?"

Viola mengangguk. “Orang tua kami sudah meninggal dunia. Sejak bayi, saya yang mengurus adik saya."

Bu Sandra mengerjapkan mata, mencoba mencerna informasi ini. Rosi bukan anak Viola? Gadis itu ternyata belum menikah?

Seketika, dadanya terasa lapang. Seperti awan mendung yang tiba-tiba tersingkap oleh sinar matahari. Semuanya jadi terang-benderang.

Fix. Viola masih lajang.

Tiba-tiba, semangatnya kembali membuncah. Wajahnya berubah semringah. Sambil menyendok soto, Bu Sandra pura-pura bertanya santai. "Jadi, kamu belum menikah, Vio?"

"Belum, Bu."

"Lalu, bagaimana kamu mencukupi kebutuhan kalian berdua?”

“Dari jualan donat ini, Bu,” sahut Viola. "Alhamdulillah, cukup buat kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah Rosi.”

Bu Sandra mengangguk-angguk. Semakin lama berbicara dengan Viola, semakin ia merasa gadis itu memang pantas menjadi menantunya. Bukan hanya cantik dan pekerja keras, tapi juga penuh tanggung jawab.

Tanpa pikir panjang, Bu Sandra merogoh ponselnya. Jemarinya dengan cekatan mengetik pesan kepada putra tunggalnya.

[Azam, sekarang juga ke pasar tradisional. Mama mau kenalin kamu dengan seseorang]

Azam baru saja selesai meeting dengan klien ketika ponselnya bergetar. Ia membaca pesan dari mamanya dan mengernyit.

Mama akan mengenalkan seseorang? Siapa?

Azam sempat ingin mengabaikan pesan itu, tapi mengingat mamanya jarang meminta sesuatu dengan nada mendesak seperti ini, ia akhirnya mengalah. Dengan langkah malas, ia menuju mobilnya dan melajukan kendaraan roda empat itu menuju pasar.

Baru saja Azam tiba di pasar, ponselnya bergetar. Pesan dari mamanya muncul di layar.

[Mama tunggu di warung soto. Cepat ke sini, ada gadis yang ingin Mama kenalkan padamu.]

Dengan enggan, Azam berjalan masuk ke pasar mencari warung soto. Matanya tertuju pada layar ponsel hendak membalas pesan dari mamanya hingga tidak fokus melihat jalan di depannya. Tiba-tiba seseorang menabrak tubuhnya dengan keras.

Azam kehilangan keseimbangan dan jatuh terjerembab di genangan air kotor. Cipratan air hitam pekat mengotori kemeja putih dan celananya. Ia menggeram, wajahnya menegang.

"Sial!" gerutunya.

Di hadapannya, seorang gadis juga terjatuh. Keranjang donatnya terguling, donat-donatnya berhamburan di tanah yang basah dan kotor. Gadis itu mendongak, wajahnya penuh emosi.

"Kamu yang nabrak, malah marah-marah!" seru gadis itu, suaranya bergetar. "Lihat ini, donat saya rusak semua! Bagaimana ini? Saya tidak bisa menjualnya?"

Azam ikutan tersulut emosinya, hendak membalas, tapi suaranya tertahan begitu melihat wajah gadis itu. Mata sendu itu mengingatkannya dengan gadis penjual donat yang ditemuinya di taman kota kemarin sore. Gadis yang mampu membuat dadanya berdebar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 28 Pertemuan Mengharukan

    #28Perlahan, Viola menggenggam tangan Varrel lebih erat. "Kakak .…" Hanya satu kata itu yang keluar, tapi cukup untuk membuat hati Varrel mencelos. Pemuda itu tersenyum, matanya memanas, diusap kepala adiknya dengan lembut. "Iya, Vio. Kakak di sini. Kakak nggak akan pernah ninggalin kamu lagi." Varrel merengkuh tubuh kurus sang adik ke dalam pelukannya. Air matanya berjatuhan tak terbendung lagi. Kebahagiaan tak terkira karena bisa menemukan juga penyesalan karena terlambat untuk mencari adiknya. Azam yang sejak tadi menyaksikan pertemuan adik dan kakak yang terpisah selama hampir 20 tahun ikut tersenyum haru, hingga menitik air matanya. Pintu terbuka. Semua mata menoleh ke arah pintu, Viola juga. Seorang pria paruh baya melangkah masuk dengan tatapan hati-hati. Viola tercengang. Wajah itu terlihat familiar. Ia ingat pernah melihat pria paruh baya itu duduk di bangku kayu, menikmati nasi uduk Mak Ijah. Tapi, kenapa sekarang dia ada di sini?Lebih membingungkan lagi, Varrel yang

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 27 Kita Bersaudara, Vio

    #27Sudah seharian ini Viola terbaring lemah di atas tikar pandan lusuh. Gadis itu sudah tidak sanggup untuk bangun. Tubuhnya semakin panas, wajahnya pucat, dan bibirnya kering. Rosi duduk di sebelah kakaknya dengan raut wajah khawatir dan ketakutan. Hari sudah gelap, lampu belum nyala karena token listrik habis. "Bangun, Ma! Jangan tidur terus," bisik Rosi dengan suara serak. Bocah perempuan berusia 5 tahun itu mengoyang tubuh Viola yang semakin lemah.Air matanya jatuh satu per satu. Rosi tidak tahu harus bagaimana. Ia masih kecil, belum paham cara merawat orang sakit. Di luar gelap, Rosi tidak berani keluar rumah sendirian untuk mencari pertolongan. Viola melarang adiknya keluar malam karena terkadang ada ular karena kontrakan mereka di pinggir kali. Rosi ketakutan Viola akan mati karena dari tadi matanya terpejam, tidak bergerak sama sekali. Ia hanya memiliki Viola seorang di dunia ini. Rosi bingung melihat keadaan Viola. Di luar sudah gelap, ia tak berani keluar untuk meminta

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 26 Kabar Gembira

    Sejak pertemuannya dengan gadis penjual donat, Pak Adyaksa jadi tidak berselera makan saat makan malam. Terpikir apakah putrinya sudah makan dengan layak atau tengah menahan lapar di luar sana. Perasaan bersalah dan penyesalan terus menghantuinya. "Mas, kok piringnya masih kosong?" tanya Sinta heran. "Aku ambilin nasi, ya?""Nggak usah. Aku lagi nggak selera makan." Pak Adyaksa bangkit dari duduknya lalu melangkah meninggalkan ruang makan menuju ruang kerjanya.Pria yang separuh rambutnya sudah memutih itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi portabel yang empuk. Matanya terpejam dan pertemuannya dengan gadis penjual donat di warung Mak Ijah tergambar jelas di benaknya. Wajah sendu gadis itu terus terbayang-bayang. Pertemuannya dengan gadis penjual donat tak bisa dilupakannya. Di dalam ruang kerjanya Pak Adyaksa duduk termenung lama dengan tatapan kosong. Tangannya menggenggam sebuah foto lama, foto mantan istrinya, Dahlia dengan bayi perempuan dalam gendongannya."Viola kecil

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 25 Kemiripan Wajah dan Kesamaan Nama

    #25Wajah gadis itu sangat mirip dengan seseorang dari masa lalunya. Sorot mata teduhnya, hidung bangir, dan bentuk bibir tipisnya. Semua begitu mirip dengan mantan istrinya, Dahlia. yang ia usir dari rumah dua puluh tahun lalu.Tangan Pak Adyaksa gemetar saat meletakkan sendok. Ia menatap gadis itu lekat-lekat. Dadanya bergemuruh menahan semua perasaan yang membuncah. Gadis penjual donat itu menoleh dan balas menatap pria paruh baya itu dengan kening berkerut. "Pak?" Rizal menyadari perubahan ekspresi majikannya saat menatap Viola. "Bapak kenapa?" tanyanya khawatir. Pak Adyaksa tak menjawab. Matanya masih terkunci pada gadis yang tengah berbicara dengan Mak Ijah. Seolah merasakan tatapan intens itu, gadis yang tengah menyerahkan kotak donat ke Mak Ijah itu menoleh. Tatapan mereka bertemu. Sejenak, waktu terasa berhenti berputar. Gadis itu mengernyit. Ada sesuatu yang aneh dengan pria berjas rapi itu. Baru kali ini ia melihat pelanggan nasi uduk Mak Ijah berpakaian necis seperti i

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 24 Merasa Dejavu

    #24Tak terasa, sudah sebulan lebih Viola dan Rosi tinggal di kontrakan kecil di pinggir kali yang bau. Dindingnya lembap, atapnya bocor jika hujan, dan tikus-tikus sering berlarian di atas plafon saat malam hari, berisik sekali menganggu orang tidur. Meskipun tempat tinggalnya saat ini jauh dari kata nyaman, Viola sudah bersyukur. Setidaknya, di sini ia merasa aman. Para preman yang mengusirnya tidak akan menemukan keberadaannya di tempat persembunyiannya. Setiap pagi, Viola bangun sebelum subuh. Tangannya cekatan menguleni adonan, mencetaknya satu per satu, lalu membiarkan sampai mengembang. Setelah satu jam, donat-donat itu tinggal digoreng hingga matang keemasan. Setelah selesai dihias dengan topping, donat-donat cantik itu disusun rapi di dalam wadah plastik berbentuk kotak. Dengan bersemangat Viola berjalan menuju warung nasi uduk Mak Ijah untuk menitipkan dagangannya. "Titip ya, Mak," ujar Viola dengan senyum tersungging di bibirnya. Mak Ijah mengangguk, menatap gadis itu

  • Konglomerat Terpikat Tukang Donat   Bab 23 Bukan Gadis Biasa

    #23Azam menatap Varrel dengan kening berkerut. "Jadi … Viola itu adik lo, Rel?" tanyanya, masih sulit percaya. Varrel mengangguk, matanya menerawang. "Iya. Gue seneng banget akhirnya bisa ketemu lagi dengannya setelah dua puluh tahun terpisah. Tapi sekarang dia hilang lagi," ucapnya dengan raut wajah sedih. Sebagai kakak yang seharusnya bisa melindungi, ia jadi mengkhawatirkan keadaan adiknya. Azam menghembuskan napas lega, bercampur sedikit rasa malu. Selama ini, ia sempat mengira Varrel adalah rivalnya dalam merebut hati Viola. Namun, ternyata, sahabatnya justru kakak kandung gadis itu.“Kita cari Viola lagi, yuk!" ajak Azam mantap.Dengan mengendarai mobil Azam, mereka mulai menyusuri jalanan kota, bertanya kepada setiap orang yang mereka temui di jalan. Mereka mencari ke setiap sudut pasar, terminal, stasiun, juga di tempat-tempat keramaian, barangkali Viola ada di sana tengah berjualan donat. Semua sudut di kota metropolitan sudah dijelajahi, tapi tidak ada satu pun yang meng

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status