#4
Setelah Azam dan Pak Malik berangkat kerja, rumah terasa senyap. Bi Arum tengah bersiap pergi ke pasar seperti biasa. Wanita paruh baya itu membenahi tas belanjaannya, memastikan daftar kebutuhan yang akan dibeli sudah dicatat semua. . Namun, ketika ia hendak melangkah keluar, suara Bu Sandra menghentikannya. "Bi, nggak usah ke pasar hari ini!" Bi Arum menoleh, bingung. "Lho, kenapa, Bu? Stok sayuran di kulkas tinggal sedikit." Bu Sandra menutup majalah wanita yang sejak tadi hanya dibolak-balik saja tanpa benar-benar dibaca isinya. Wanita paruh baya itu masih terus memikirkan gadis penjual donat yang sudah menyelamatkan harga diri dan juga nyawanya. "Saya aja yang pergi ke pasar, Bi." Bi Arum semakin heran. Sudah bertahun-tahun bekerja di rumah ini, baru kali ini majikannya mau turun langsung berbelanja ke pasar tradisional yang becek. "Ibu yakin?" Bu Sandra mengangguk. "Tiba-tiba saya kepengen makan soto yang di pasar. Sekalian saya mau ketemu seseorang." Bi Arum tak berani membantah. Meski heran, ia hanya menurut. "Baik, Bu. Kalau begitu, saya siapkan tasnya." Tak lama kemudian, Bu Sandra sudah siap berangkat. Dengan langkah mantap, ia keluar rumah. Mang Asep sudah duduk dibalik kemudi, siap mengantarkan ke pasar. Ada sesuatu yang mengusik pikiran Bu Sandra sejak beberapa hari lalu. Viola. Ia tidak akan pernah melupakan, gadis itu pernah menyelamatkan nyawanya. Saat ia nyaris tertabrak sepeda motor, gadis itu menarik tangannya dengan sigap. Jika tidak, mungkin ia sudah tertabrak dan terluka parah. Kemarin ia sempat mengira Viola adalah calon menantu idaman. Namun, setelah tahu gadis itu sudah mempunyai anak, harapannya pupus seketika. Sekarang, pikirannya mulai tenang. Ia bisa berpikir dengan jernih. Kecewa? Mungkin. Tapi, Viola tetap gadis baik penyelamat hidupnya. Bu Sandra memutuskan untuk tetap menjalin tali silaturahmi dengan gadis itu. Sesampainya di pasar, Bu Sandra menghirup aroma khas yang memenuhi udara. Aroma rempah-rempah di kuah soto panas membuat perutnya kelaparan. Langkah Bu Sandra terhenti di depan warung soto favoritnya. Antrean sudah mengular, tapi ia tak keberatan menunggu. Sambil berdiri, matanya sibuk mengamati sekitar. Dan saat itulah ia melihat Viola. Gadis itu berjalan menyusuri lorong pasar, membawa keranjang berisi donat. Senyum ramahnya mengembang tiap kali ia menawarkan dagangannya pada calon pembeli. Bu Sandra memperhatikan dari kejauhan. Hatinya sedikit hangat melihat cara Viola berinteraksi dengan pembeli. Gadis itu memang pekerja keras. Tanpa pikir panjang, ia melambaikan tangan. "Viola!" Viola menghentikan langkahnya, mencari sumber suara. Saat melihat Bu Sandra, gadis itu terkejut. "Bu Sandra?" Viola tersenyum hangat, melangkah menghampiri wanita paruh baya itu. Bu Sandra tersenyum. "Sini, duduk dulu. Saya traktir makan soto." Viola tampak ragu. "Terima kasih tawarannya, Bu. Maaf saya masih harus jualan." "Makan satu mangkuk soto hanya menghabiskan sedikit waktumu," sahut Bu Sandra. "Ayo, anggap saja ini rezeki. Pamali untuk ditolak." Setelah sedikit membujuk, Viola akhirnya menurut. Ia duduk di hadapan Bu Sandra sambil menurunkan keranjangnya. Tak butuh waktu lama, dua mangkuk soto panas sudah tersaji di meja mereka. Aroma rempah yang kuat menyeruak, membuat perut semakin lapar. "Minta dibungkus satu, Mas," seru Bu Sandra kepada penjual soto. "Buat anakmu nanti, Vio," lanjutnya, melirik Viola. Viola tersedak. "Eh, anak saya?" Mata gadis itu membulat. "Iya, Rosi itu anakmu 'kan?" Viola tertawa pelan. "Oh, Rosi? Dia bukan anak saya, Bu. " Bu Sandra mengernyit. "Bukan anakmu?" Viola menggeleng. "Rosi itu adik saya." Tangan Bu Sandra refleks berhenti mengaduk sotonya. "Adik?" Viola mengangguk. “Orang tua kami sudah meninggal dunia. Sejak bayi, saya yang mengurus adik saya." Bu Sandra mengerjapkan mata, mencoba mencerna informasi ini. Rosi bukan anak Viola? Gadis itu ternyata belum menikah? Seketika, dadanya terasa lapang. Seperti awan mendung yang tiba-tiba tersingkap oleh sinar matahari. Semuanya jadi terang-benderang. Fix. Viola masih lajang. Tiba-tiba, semangatnya kembali membuncah. Wajahnya berubah semringah. Sambil menyendok soto, Bu Sandra pura-pura bertanya santai. "Jadi, kamu belum menikah, Vio?" "Belum, Bu." "Lalu, bagaimana kamu mencukupi kebutuhan kalian berdua?” “Dari jualan donat ini, Bu,” sahut Viola. "Alhamdulillah, cukup buat kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah Rosi.” Bu Sandra mengangguk-angguk. Semakin lama berbicara dengan Viola, semakin ia merasa gadis itu memang pantas menjadi menantunya. Bukan hanya cantik dan pekerja keras, tapi juga penuh tanggung jawab. Tanpa pikir panjang, Bu Sandra merogoh ponselnya. Jemarinya dengan cekatan mengetik pesan kepada putra tunggalnya. [Azam, sekarang juga ke pasar tradisional. Mama mau kenalin kamu dengan seseorang] Azam baru saja selesai meeting dengan klien ketika ponselnya bergetar. Ia membaca pesan dari mamanya dan mengernyit. Mama akan mengenalkan seseorang? Siapa? Azam sempat ingin mengabaikan pesan itu, tapi mengingat mamanya jarang meminta sesuatu dengan nada mendesak seperti ini, ia akhirnya mengalah. Dengan langkah malas, ia menuju mobilnya dan melajukan kendaraan roda empat itu menuju pasar. Baru saja Azam tiba di pasar, ponselnya bergetar. Pesan dari mamanya muncul di layar. [Mama tunggu di warung soto. Cepat ke sini, ada gadis yang ingin Mama kenalkan padamu.] Dengan enggan, Azam berjalan masuk ke pasar mencari warung soto. Matanya tertuju pada layar ponsel hendak membalas pesan dari mamanya hingga tidak fokus melihat jalan di depannya. Tiba-tiba seseorang menabrak tubuhnya dengan keras. Azam kehilangan keseimbangan dan jatuh terjerembab di genangan air kotor. Cipratan air hitam pekat mengotori kemeja putih dan celananya. Ia menggeram, wajahnya menegang. "Sial!" gerutunya. Di hadapannya, seorang gadis juga terjatuh. Keranjang donatnya terguling, donat-donatnya berhamburan di tanah yang basah dan kotor. Gadis itu mendongak, wajahnya penuh emosi. "Kamu yang nabrak, malah marah-marah!" seru gadis itu, suaranya bergetar. "Lihat ini, donat saya rusak semua! Bagaimana ini? Saya tidak bisa menjualnya?" Azam ikutan tersulut emosinya, hendak membalas, tapi suaranya tertahan begitu melihat wajah gadis itu. Mata sendu itu mengingatkannya dengan gadis penjual donat yang ditemuinya di taman kota kemarin sore. Gadis yang mampu membuat dadanya berdebar.Azam tersenyum tipis. "Jadi... bagaimana kalau kita bertunangan?"Jantung Viola berdetak begitu kencang hingga ia merasa Azam bisa mendengarnya. Bu Sandra dan Alicia saling pandang. Keputusan ada di tangan Viola. Akankah ia menerimanya?Derrrt ... derrt derrt .... Di saat suasana tegang menunggu jawaban Viola, dering ponsel terdengar dari sling bag gadis itu. Semua orang di ruang tamu saling berpandangan. "Angkat dulu, Viola! Siapa tahu telepon penting," saran Bu Sandra. "Apa???" Viola syok. Berita itu sangat mengejutkan. Kekhawatiran langsung menyergap. "Kenapa, Vio? Siapa yang nelpon?" tanya Azam ikutan panik saat melihat wajah Viola yang langsung pucat. "Kak Varrel menemukan ibu pingsan di rumah. Sekarang lagi dalam perjalanan ke rumah sakit," ucap Viola sambil terisak-isak. Bu Sandra bangkit. "Ayo, kita susulin ke rumah sakit. Zam, siapkan mobil! Mama ganti baju dulu!""Tante, aku boleh ikut?" tanya Alicia. "Ganti baju tidurmu dengan yang lebih sopan, Alicia!"Azam meraih k
"Maaf, Tante. Aku tadi ketiduran," ucap perempuan itu dengan nada bicara santai, lalu duduk di sebelah Bu Sandra.Viola makin dibuat penasaran. Siapa perempuan ini sebenarnya? Kenapa dia di sini? Dan kenapa Bu Sandra tampak begitu akrab dengannya. Perasaan tak nyaman menjalar di dadanya. Ia menatap Bu Sandra, menunggu penjelasan.Bu Sandra tersenyum, seperti bisa membaca pikiran gadis itu. "Viola, kenalin ini Alicia."Alicia. Nama itu terdengar asing, tetapi kini terasa begitu mengusik bagi Viola."Alicia sudah dari kecil dekat dengan keluarga kami," lanjut Bu Sandra. "Dan ...." Wanita paruh baya itu berhenti sejenak, seakan memilih kata-kata. "Saya ingin mengenalkan kalian. Cepat atau lambat, kalian akan sering bertemu."Jantung Viola berdetak lebih cepat. Jadi benar. Tujuan Bu Sandra memanggilnya ke rumah untuk diperkenalkan dengan Alicia. Dan itu berarti, mungkin benar dugaannya. Azam dan Alicia memiliki hubungan khusus. Viola tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kekecewaan ya
Azam menoleh tepat saat Viola akan berbalik. Mata mereka bertemu. Sejenak, dunia seperti membeku. Viola bisa melihat keterkejutan di mata Azam. Viola menelan ludah. Matanya bergantian menatap Azam dan perempuan itu. Namun, yang membuat dadanya mencelos bukan hanya keberadaan perempuan itu melainkan ekspresi Azam yang datar. Tidak ada rasa bersalah di sana. Tidak ada kepanikan saat melihatnya. Hanya keterkejutan sesaat, lalu ekspresi yang sulit diartikan.Seharusnya Azam berkata sesuatu. Seharusnya dia menjelaskan, tapi dia tidak melakukannya. Viola tidak sanggup menunggu lebih lama. Tanpa berkata apa-apa, ia membalikkan badan dan pergi, menahan sesak yang menghantam dadanya.Viola bertanya-tanya dalam hatinya. Apa ia cemburu? Kenapa dadanya terasa terbakar dan sesak. Langkah Viola semakin cepat, nyaris seperti berlari kecil. Suara langkah kakinya bergema di sepanjang trotoar kampus, menyatu dengan detak jantungnya yang tak beraturan. Udara sore yang seharusnya sejuk justru terasa
Suasana kampus sore itu terasa lebih lengang dari biasanya. Sebagian besar mahasiswa sudah lama pulang, hanya tersisa segelintir orang saja. Mendung menggantung di langit, seakan mencerminkan suasana hati Viola yang kelabu. Sudah satu minggu Azam seperti menghilang begitu saja. Tidak pernah mengirim pesan, tidak ada panggilan telepon. Bahkan Azam tidak pernah lagi mengantarkannya atau menjemputnya kuliah. Awalnya, Viola berpikir mungkin Azam hanya sibuk. Mungkin saja pekerjaan di kantor menumpuk dikejar deadline. Namun, semakin hari, keganjilan itu semakin terasa. Azam bukan tipe pria yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Biasanya, Azam rutin mengirimkan pesan setiap hari beberapa kali, sekadar pesan singkat seperti bertanya "Sudah makan belum?" atau "Hati-hati di jalan" atau sekedar ucapan good morning dan good night selalu hadir di layar ponselnya. Viola mengembuskan napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi panjang di taman kampus. Tangannya menggenggam ponsel, menatap lay
#37Azam baru saja meninggalkan sebuah restoran tempatnya meeting dengan klien. Langit siang itu tertutup awan tipis, sinar matahari menerobos samar di sela-selanya, menyinari jalanan kota yang mulai padat. Saat mobilnya melintasi gerbang kampus, pandangannya sekilas menangkap papan nama fakultas yang familiar.Tempat kuliah Viola.Tanpa rencana, kemudi mobilnya berbelok ke arah kampus. Ada dorongan spontan—entah dari mana—untuk mampir. Siapa tahu gadis itu sudah selesai kelas.Kali ini, ia sengaja tidak menelepon atau mengirim pesan. Tidak ada “Aku di sini” atau “Lagi di dekat kampusmu.” Azam ingin melihat reaksi Viola ketika tiba-tiba ia muncul. Kejutan kecil, pikirnya.Pada malam pertemuan dua keluarga, Viola sudah memutuskan keinginannya untuk fokus kuliah dulu. Belum siap menerima pertunangan, apalagi menikah. Gadis itu masih belum puas menikmati masa mudanya. Sebelum bertemu dengan ayah kandungnya, Viola terlalu lelah bekerja membanting tulang untuk menafkahi dirinya dan adiknya
Viola menarik napas dalam dan berucap, "Aku butuh waktu untuk berpikir, Bu Sandra."Bagi Viola, ini bukan keputusan yang bisa ia buat dalam waktu sekejap. Ruangan masih diliputi keheningan setelah jawaban Viola.Bu Sandra tersenyum, meski sedikit kaku. "Tentu, Sayang. Aku mengerti ini mendadak untukmu. Tapi aku harap kamu bisa mempertimbangkannya dengan baik."Azam hanya mengangguk pelan. Ia tidak menunjukkan ekspresi kecewa, tetapi sorot matanya tajam mengamati reaksi Viola. Apa pun keputusan yang diambil gadis itu, Azam akan mendukungnya, sebab ia hanya menginginkan kebahagiaan Viola. Sudah begitu banyak penderitaan dan kesusahan yang dihadapi perempuan yang dulu berprofesi sebagai penjual donat itu. Dahlia menggenggam tangan putrinya di bawah meja, memberikan dukungan dalam diam. Ia tahu ini bukan keputusan yang bisa dibuat Viola dalam keadaan buru-buru. Keputusannya menyangkut masa depan. Pak Adyaksa akhirnya bersuara, meskipun ada perasaan kurang percaya diri. "Viola masih muda