#5
"Kamu yang nabrak, malah marah-marah!" seru gadis itu, suaranya bergetar menahan emosi. "Lihat ini! Donat saya rusak semua! Bagaimana saya bisa menjualnya?" Azam hendak membalas, tapi suaranya tertahan begitu melihat wajah gadis itu. Mata sendu itu mengingatkanya dengan gadis yang ia temui di taman kemarin sore. Gadis itu membuat dadanya berdebar-debar. Viola tidak menyadari keterkejutan Azam. Ia sibuk mengumpulkan donat yang masih bisa diselamatkan. Ponselnya bergetar. Gadis itu buru-buru mengeluarkannya dari saku, menekan tombol jawab dengan tergesa. "Baik, Bu Guru, saya segera ke sana." Tanpa melihat lagi ke arah Azam, gadis itu bangkit dan melangkah dengan tergesa-gesa keluar pasar. Azam hanya bisa menatap kepergian gadis itu dengan ekspresi campur aduk. Ia baru saja membuat kesan buruk di depan gadis yang sudah menarik perhatiannya. Dengan langkah berat, Azam melanjutkan melangkah ke kedai soto tempat mamanya menunggu. "Astaga, Azam!" seru Bu Sandra begitu melihat kondisi putranya yang mengenaskan. "Baju kamu kenapa kotor begitu?" Azam tersenyum masam, menarik kursi plastik bundar dan duduk di sebelah mamanya. "Tabrakan sama seseorang tadi, Ma." "Tabrakan?" Bu Sandra mengernyit, lalu mendekat, mencium aroma tak sedap dari tubuh anaknya. "Ya ampun, bau sekali!" "Gadis yang mau Mama kenalkan mana?" Azam memeriksa sekeliling. "Untung gadis itu sudah pergi jadi nggak bisa lihat keadaanmu yang memalukan kayak gini." *** Viola melangkah tergesa menuju TK tempat Rosi bersekolah. Napasnya memburu, keringat membasahi pelipisnya. Begitu memasuki ruang UKS, ia mendapati tubuh kecil adiknya terbaring lemas dengan wajah pucat. "Mama ...," gumam bocah perempuan itu dengan suara lemah. Viola segera meraih tubuh mungil itu dalam pelukannya. "Kita pulang, ya? Mama buatkan bubur," bisiknya. Rosi hanya mengangguk kecil, bersandar pada bahunya. Viola berjalan keluar sambil menggendong Rosi. Setibanya di rumah kontrakan kecil mereka, Viola menidurkan Rosi di atas kasur tipis yang sudah mulai usang. Bocah itu menggigil. Viola menyelimuti nya. Viola mengelus rambut bocah perempuan itu pelan. "Rosi, maaf ya," bisik Viola lirih, nyaris tak terdengar. Jari-jarinya menyentuh pipi adiknya yang panas. Perasaan bersalah menyesakkan dadanya. Pikirannya berputar, membawa ingatannya kembali ke malam yang mengubah hidupnya. LIMA TAHUN LALU Malam itu Viola baru pulang dari tempat bimbel, masih mengenakan seragam putih abu-abu. Rumah kecil mereka tampak sunyi. Di ruang tamu, ibunya duduk di sofa, menggendong bayi yang baru berumur tiga bulan. "Sudah pulang, Nak?" tanya Bu Dahlia tersenyum. Wajahnya tampak lelah. Viola duduk di samping ibunya, menatap bayi mungil yang tertidur nyenyak di gendongan sang ibu. "Rosi rewel hari ini?" tanyanya pelan. Ibunya mengangguk. "Iya, badannya sedikit demam abis imunisasi. Vio mandi dulu sana sebelum tidur!" Viola baru hendak beranjak meninggalkan ruang tamu, ketika tiba-tiba pintu digedor dengan sangat keras. "Buka! Atau kudobrak pintu ini!" Viola dan ibunya saling berpandangan. Ketakutan terlihat jelas di wajah Bu Dahlia. Napasnya tercekat, tangannya semakin erat memeluk bayi dalam gendongannya. "Vio, cepat masuk kamar!" "Tapi, Ma ...." "Masuk!" seru ibunya lebih keras. Viola ragu, tapi akhirnya berjalan menuju kamar. Namun, saat ia baru akan menutup pintu, terdengar ibunya menjerit. BRAAAK!!! Ayah tirinya menerobos masuk. Wajahnya merah karena mabuk. Matanya melotot, napasnya bau alkohol menyengat. "Kamu pikir bisa lari dariku, hah! Dasar perempuan sial-an!" hardik pria bertubuh besar itu dengan amarah yang meluap. Bu Dahlia berdiri, masih mendekap bayi di dadanya. "Bang, jangan buat keributan di sini!" PLAK! Tamparan keras itu membuat kepala Bu Dahlia terpelanting ke samping. Viola membeku di tempatnya, dadanya bergemuruh menahan marah. Ini bukan pertama kalinya ia melihat ibunya diperlakukan seperti ini. Suami ibunya memang sering melakukan KDRT. Air mata menggenang di pelupuk mata Bu Dahlia. Napasnya tersengal, tapi ia tak berkata apa-apa. Viola tak tahan lagi. Ia keluar dari persembunyiannya, berdiri tegap di hadapan pria itu. "Jangan sakiti ibuku lagi!" Pria itu berbalik, menatap Viola dari ujung kepala hingga kaki. Senyumnya berubah menjadi seringai mengerikan. "Kamu sudah besar sekarang, Sayang, " gumam pria itu sambil melangkah mendekat. Viola merasakan bulu kuduknya berdiri. Tatapan pria itu terlihat aneh. Ia mundur ke belakang, punggungnya terbentur dinding. Napasnya tersengal. "A-aku mohon, jangan mendekat!" Pria itu terkekeh. "Apa yang bisa kau lakukan, hah?" Bu Dahlia berusaha berdiri, tapi tubuhnya terlalu letih. "Bang, tolong jangan sakiti Vio! Dia anakku!" jerit Bu Dahlia. Pria itu tak peduli. Tangannya terulur, meraih lengan Viola dan menariknya dengan kasar. Viola meronta, tapi cengkeraman itu terlalu kuat. Kepanikan melumpuhkan tubuhnya. Napasnya pendek-pendek. Matanya menangkap ada vas bunga di meja. Dengan sisa keberanian, ia meraihnya dan menghantam kepala pria itu sekuat tenaga. PRANG! Pria itu ambruk. Darah mengalir dari pelipisnya. Matanya kosong. Viola terpaku, dadanya naik turun dengan cepat. Tangannya gemetar. "A-aku ... membunuhnya .…" Bu Dahlia segera memeluk putrinya yang syok. "Vio, tenang… tenang…." Viola menatap tubuh yang tergeletak tak bernyawa di lantai. Tubuhnya menggigil. Ketakutan sekonyong-konyong menyergapnya. Bu Dahlia menangkup wajah Viola, menatapnya dalam-dalam. "Dengar, Nak. Ibu yang akan mengaku. Ibu yang akan masuk penjara." Viola menggeleng keras. "Tapi, Bu ...." "Tidak ada tapi. Masa depanmu masih panjang. Kamu harus janji merawat adikmu." Tak lama, polisi datang. Bu Dahlia menyerahkan diri, mengaku bahwa dialah yang membunuh suaminya karena membela diri. Hari itu, dunia Viola runtuh seketika. Viola tersentak dari lamunannya. Matanya menatap Rosi yang kini tertidur pulas. Air mata mengalir deras di pipinya setiap teringat peristiwa berdarah malam itu. "Ibu, aku rindu," bisiknya. Setiap menatap wajah Rosi, Viola jadi teringat ibunya yang kini masih mendekam di jeruji besi. Tangan Viola menarik laci kecil, mengambil buku diary ibunya yang belum pernah dibukanya. Sebuah foto usang terselip di sana. Saat Viola memungutnya, matanya melebar. Di foto berlatar belakang sebuah wahana permainan, ada ibunya menggendong bocah perempuan yang berusia dua tahun. Viola yakin itu dirinya. Dan seorang anak lelaki berumur sekitar sepuluh tahun berdiri di sebelah ibunya. Viola menggigit bibir. Tangannya bergetar meraba foto. "Siapa dia?" gumamnya. Hatinya mencelos. Apa aku punya kakak laki-laki?Azam tersenyum tipis. "Jadi... bagaimana kalau kita bertunangan?"Jantung Viola berdetak begitu kencang hingga ia merasa Azam bisa mendengarnya. Bu Sandra dan Alicia saling pandang. Keputusan ada di tangan Viola. Akankah ia menerimanya?Derrrt ... derrt derrt .... Di saat suasana tegang menunggu jawaban Viola, dering ponsel terdengar dari sling bag gadis itu. Semua orang di ruang tamu saling berpandangan. "Angkat dulu, Viola! Siapa tahu telepon penting," saran Bu Sandra. "Apa???" Viola syok. Berita itu sangat mengejutkan. Kekhawatiran langsung menyergap. "Kenapa, Vio? Siapa yang nelpon?" tanya Azam ikutan panik saat melihat wajah Viola yang langsung pucat. "Kak Varrel menemukan ibu pingsan di rumah. Sekarang lagi dalam perjalanan ke rumah sakit," ucap Viola sambil terisak-isak. Bu Sandra bangkit. "Ayo, kita susulin ke rumah sakit. Zam, siapkan mobil! Mama ganti baju dulu!""Tante, aku boleh ikut?" tanya Alicia. "Ganti baju tidurmu dengan yang lebih sopan, Alicia!"Azam meraih k
"Maaf, Tante. Aku tadi ketiduran," ucap perempuan itu dengan nada bicara santai, lalu duduk di sebelah Bu Sandra.Viola makin dibuat penasaran. Siapa perempuan ini sebenarnya? Kenapa dia di sini? Dan kenapa Bu Sandra tampak begitu akrab dengannya. Perasaan tak nyaman menjalar di dadanya. Ia menatap Bu Sandra, menunggu penjelasan.Bu Sandra tersenyum, seperti bisa membaca pikiran gadis itu. "Viola, kenalin ini Alicia."Alicia. Nama itu terdengar asing, tetapi kini terasa begitu mengusik bagi Viola."Alicia sudah dari kecil dekat dengan keluarga kami," lanjut Bu Sandra. "Dan ...." Wanita paruh baya itu berhenti sejenak, seakan memilih kata-kata. "Saya ingin mengenalkan kalian. Cepat atau lambat, kalian akan sering bertemu."Jantung Viola berdetak lebih cepat. Jadi benar. Tujuan Bu Sandra memanggilnya ke rumah untuk diperkenalkan dengan Alicia. Dan itu berarti, mungkin benar dugaannya. Azam dan Alicia memiliki hubungan khusus. Viola tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kekecewaan ya
Azam menoleh tepat saat Viola akan berbalik. Mata mereka bertemu. Sejenak, dunia seperti membeku. Viola bisa melihat keterkejutan di mata Azam. Viola menelan ludah. Matanya bergantian menatap Azam dan perempuan itu. Namun, yang membuat dadanya mencelos bukan hanya keberadaan perempuan itu melainkan ekspresi Azam yang datar. Tidak ada rasa bersalah di sana. Tidak ada kepanikan saat melihatnya. Hanya keterkejutan sesaat, lalu ekspresi yang sulit diartikan.Seharusnya Azam berkata sesuatu. Seharusnya dia menjelaskan, tapi dia tidak melakukannya. Viola tidak sanggup menunggu lebih lama. Tanpa berkata apa-apa, ia membalikkan badan dan pergi, menahan sesak yang menghantam dadanya.Viola bertanya-tanya dalam hatinya. Apa ia cemburu? Kenapa dadanya terasa terbakar dan sesak. Langkah Viola semakin cepat, nyaris seperti berlari kecil. Suara langkah kakinya bergema di sepanjang trotoar kampus, menyatu dengan detak jantungnya yang tak beraturan. Udara sore yang seharusnya sejuk justru terasa
Suasana kampus sore itu terasa lebih lengang dari biasanya. Sebagian besar mahasiswa sudah lama pulang, hanya tersisa segelintir orang saja. Mendung menggantung di langit, seakan mencerminkan suasana hati Viola yang kelabu. Sudah satu minggu Azam seperti menghilang begitu saja. Tidak pernah mengirim pesan, tidak ada panggilan telepon. Bahkan Azam tidak pernah lagi mengantarkannya atau menjemputnya kuliah. Awalnya, Viola berpikir mungkin Azam hanya sibuk. Mungkin saja pekerjaan di kantor menumpuk dikejar deadline. Namun, semakin hari, keganjilan itu semakin terasa. Azam bukan tipe pria yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Biasanya, Azam rutin mengirimkan pesan setiap hari beberapa kali, sekadar pesan singkat seperti bertanya "Sudah makan belum?" atau "Hati-hati di jalan" atau sekedar ucapan good morning dan good night selalu hadir di layar ponselnya. Viola mengembuskan napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi panjang di taman kampus. Tangannya menggenggam ponsel, menatap lay
#37Azam baru saja meninggalkan sebuah restoran tempatnya meeting dengan klien. Langit siang itu tertutup awan tipis, sinar matahari menerobos samar di sela-selanya, menyinari jalanan kota yang mulai padat. Saat mobilnya melintasi gerbang kampus, pandangannya sekilas menangkap papan nama fakultas yang familiar.Tempat kuliah Viola.Tanpa rencana, kemudi mobilnya berbelok ke arah kampus. Ada dorongan spontan—entah dari mana—untuk mampir. Siapa tahu gadis itu sudah selesai kelas.Kali ini, ia sengaja tidak menelepon atau mengirim pesan. Tidak ada “Aku di sini” atau “Lagi di dekat kampusmu.” Azam ingin melihat reaksi Viola ketika tiba-tiba ia muncul. Kejutan kecil, pikirnya.Pada malam pertemuan dua keluarga, Viola sudah memutuskan keinginannya untuk fokus kuliah dulu. Belum siap menerima pertunangan, apalagi menikah. Gadis itu masih belum puas menikmati masa mudanya. Sebelum bertemu dengan ayah kandungnya, Viola terlalu lelah bekerja membanting tulang untuk menafkahi dirinya dan adiknya
Viola menarik napas dalam dan berucap, "Aku butuh waktu untuk berpikir, Bu Sandra."Bagi Viola, ini bukan keputusan yang bisa ia buat dalam waktu sekejap. Ruangan masih diliputi keheningan setelah jawaban Viola.Bu Sandra tersenyum, meski sedikit kaku. "Tentu, Sayang. Aku mengerti ini mendadak untukmu. Tapi aku harap kamu bisa mempertimbangkannya dengan baik."Azam hanya mengangguk pelan. Ia tidak menunjukkan ekspresi kecewa, tetapi sorot matanya tajam mengamati reaksi Viola. Apa pun keputusan yang diambil gadis itu, Azam akan mendukungnya, sebab ia hanya menginginkan kebahagiaan Viola. Sudah begitu banyak penderitaan dan kesusahan yang dihadapi perempuan yang dulu berprofesi sebagai penjual donat itu. Dahlia menggenggam tangan putrinya di bawah meja, memberikan dukungan dalam diam. Ia tahu ini bukan keputusan yang bisa dibuat Viola dalam keadaan buru-buru. Keputusannya menyangkut masa depan. Pak Adyaksa akhirnya bersuara, meskipun ada perasaan kurang percaya diri. "Viola masih muda