Aira memetik gitar yang dia pangku, menyanyi diiringi lantunan gitar merdu. Suaranya begitu mendayu penuh perasaan hingga membuat para pengunjung fokus kepadanya.
Lagu Donna Donna milik Joan Baez yang dia bawakan merupakan kenangan bersama Ibu. Lagu ini menjadi lagu perpisahan beliau dengan Aira, lagu terakhir yang Ibu ajarkan sebelum beliau pergi ke surga.
Tadi Aira sangat marah pada Bayu karena dia menghina sang Ibu, yang bagi Aira adalah sosok idola, sosok yang sangat dia cinta juga merindu.
Beginilah kegiatan Aira. Setiap hari Kamis dan Jumat dia sering manggung di kafe. Setiap bulan dia mendapat uang tiga ratus ribu, lumayan untuk uang jajan. Dia melakukan semua ini karena kondisi perekonomian keluarga serba pas-pasan. Uang kiriman Bapak yang bekerja sebagai seorang tentara hanya cukup untuk biaya kost dan kuliah, sisanya Aira mencari sendiri.
Di penghujung acara, dia melihat sosok misterius itu. Sosok pria tampan keturunan Russia dan Jepang. Dia selalu duduk di kursi bar dekat jendela, mengamati Aira dari jauh. Hari ini Aira bertekat akan berkenalan dengannya. Tadi malam dia sudah menghapal beberapa kalimat perkenalan Russia, Jepang, China, bahkan Korea. Semua demi untuk mengenal sosok tampan itu.
Selesai bermain gitar, pengunjung bertepuk tangan mengiringi langkahnya turun dari panggung. Ia nekat menghampiri pemuda misterius.
"Hallo, spokoynoy nochi mogu ya tebya uznat?" ujar Aira memakai bahasa Russia hasil belajar, sambil mengangkat tangan mengajak bersalaman.
Raut wajah pemuda terlihat kaget. Sepertinya tidak mengerti.
Aira mencoba memakai bahasa Jepang. "Hallo, oyasuminasai, watashi wa anata o shiru koto ga dekimasu ka?"
Pemuda itu bengong, lalu mata sipit semakin menyipit ketika tertawa. Dia mengangguk kecil. "Boleh. Aku tidak menyangka kamu menguasai banyak bahasa."
Wajah Aira memerah malu. "Namamu siapa?"
"Namaku Kai Razanov."
"A-aku Aira Damayanti. Bisa bahasa Indonesia?"
Kai mengangguk. "Aku lahir di Surabaya."
Aira bertambah malu. Bagaimana tidak, ternyata pemuda itu bisa bahasa Indonesia.
Kebetulan penghuni kursi bar sebelah bangkit pergi. Kursi kosong hangat itu menjadi tempat singgah Aira.
"Aku traktir kopi, mau?" tanya Aira.
"Dalam rangka apa?"
"Ingin saja."
"Oke kalau begitu. Kopi hitam, ya."
Tak lama menanti, dua gelas kopi hitam singgah ke meja bar. Aira memutar-mutar gelas hangat di atas meja bar. Aira ingin mengenal lebih jauh sosok Kai, tetapi bibirnya seperti dilapisi lem kertas. Setelah mengumpulkan keberanian dia memejamkan sejenak lalu berucap.
"Kai."
"Aira."
Keduanya bengong sesaat lalu tertawa kecil nyaris serempak.
"Jangan gugup, aku bukan vampir," canda Kai.
Butuh waktu tiga puluh menit bagi Aira untuk menekan rasa gugup, hingga berani bertanya "Kamu kerja di mana?"
"Kenapa?"
"Tidak jadi." Aira meneguk kopi pahit yang mulai kehilangan panas.
Melihat tingkah Aira, Kai tersenyum lembut. "Aku bekerja di Keyword, tahu kan?"
Aira mengangguk. Dia tahu tempat itu. Sebuah gedung yang menjual alat musik juga menyewakan studio musik untuk dipakai anak band latihan. Keyword merupakan anak perusahaan dari promotor musik internasional. Dia penasaran sosok seperti Kai bekerja di bagian mana? Tidak mungkin dia menjadi penunggu kasir.
Aira suka sekali mengamati mata indah Kai yang memancarkan warna biru muda. Alisnya juga subur banget dan rambut tebal panjang bergelombang seperti mengundang untuk diremas. Dia suka memperhatikan bibir Kai yang berhias jenggot tipis. Waktu kecil Aira sering menggosok lengan ke jenggot tipis Bapak. Rasanya geli enak. Apa jenggot Kai juga seenak itu?
"Kamu hebat," puji Kai. "Gadis bisa bermain musik sambil menyanyi. Suara kamu merdu pula."
Lagi-lagi Kai membuat Aira tersenyum. Ini sesuatu yang langka, ada yang memuji Aira secara langsung dan bisa tahu kalau dia seorang perempuan. Walau dari nama juga sudah bisa ditebak, tetap saja ini spesial.
Kai lebih banyak memancing Aira untuk bicara. Lama kelamaan situasi mencair. Mereka mengobrol tentang musik karena keduanya menggeluti sesuatu di bidang musik. Dari obrolan mereka, Aira mengetahui jika Kai merupakan editor audio visual yang cukup terkenal. Walau dia belum mendengar nama Kai di beberapa toko musik, tapi beberapa karya Kai pernah dia dengar. Pemuda itu juga memiliki kemampuan langka yaitu pendengaran tala-mutlak. Kai sendiri selalu memuji apapun tentang Aira, seperti sekarang.
"Aira, serius. Matamu indah banget. Beruntung aku bisa melihat dengan jelas dari dekat." Begitu puji Kai, sampai membuat Aira salah tingkah, membuka kacang tanah, biji kacang dibuang kulitnya di makan.
Mereka kembali tertawa dan membahas banyak hal. Entah Kai benar-benar menyukai Korea juga anime seperti Aira, atau hanya mencoba bersikap baik di depan idola, tapi mereka benar-benar mendapat quality time berdua.
Aira benar-benar jatuh hati pada sosok itu, ingin dia selamanya terjebak berdua dengan Kai. Tak terasa mereka menghabiskan banyak waktu mengobrol. Jarum jam di dinding memberi tahu jika sekarang pukul setengah sepuluh malam.
"Bagaimana Aira, mau aku antar pulang?"
"Tidak usah, Kak. Aku bawa motor sendiri."
"Tidak apa, motor kamu titipkan saja ke pihak kafe, bisa kan Mbak?" tanya Kai sambil menoleh ke Barista.
Gadis muda itu mengangguk-angguk dengan cepat. "Bisa banget kok, apalagi Mbak Aira sering tampil di sini, jadi sudah cukup dikenal."
"Tuh," sambung Kai. "Bagaimana, aku antar ya? Sudah malam, bahaya kalau gadis seorang diri di luar."
"Tidak usah." Aira masih takut. Bagaimana pun dia baru mengenal Kai, walau benar-benar jatuh hati sekalipun dia tak ingin terjadi sesuatu yang tak diinginkan. "Kapan-kapan saja, Kak."
Syukurlah Kai pengertian. Dia mengangguk pelan. "Baiklah kalau begitu. Mbak Barista, jadi berapa total harga semua--"
"Jangan Kak, jangan," sela Aira, menarik lengan Kemeja Kai supaya pemuda itu kembali duduk. "Kan janjinya aku yang mau mentraktir, Kakak jangan membayar."
"Tidak apa-apa, suatu kehormatan bisa mentraktir idola. Anggap ini hadiah dari fans-mu."
"Jangan, anggaplah aku mentraktir fans nomor satu."
Mereka tarik-ulur ingin saling mentraktir, hingga pada akhirnya keduanya tertawa kecil. Kai memilih duduk manis, membiarkan Aira menang.
Walau belum gajian, Aira tetap nekat membayar kopi. Dia mengandalkan kartu kredit. Memberi kartu pada barista untuk digosok ke alat yang terdapat di sebelah mesin kasir. Selang beberapa lama, barista datang dengan wajah kecut.
"Maaf, Mbak. Kartunya tidak bisa dipakai. Ada kartu lain?"
"Masak sih? Sudah dicoba berkali-kali?" tanya Aira dengan nada panik.
Barista mengangguk pelan.
"Biar aku saja yang bayar," sela Kai, hendak membayar kopi memakai uang tunai. tunai.
Namun, Aira bersikeras tak ingin membiarkan pemuda itu membayar. Dia menahan tangan Kai, sambil bangkit dari sana.
"Tunggu sini, biar aku cek. Pasti ada kesalahan. Jangan ke mana-mana, ya. Jangan bayar," pesan Aira.
Gadis itu pergi bersama Barista menuju meja kasir. Dia mencoba memasukkan kode seri berkali-kali. Dia juga mencoba menggosok kartu ke mesin berulang kali, hasilnya sama. Ketika menoleh mengecek keberadaan Kai, pemuda itu telah pergi. Aira menghampiri barista yang menjaga di bar.
"Loh, pemuda berjas putih di sini ke mana?"
"Pulang Mbak. Tenang, kopi-nya udah dibayar sama dia."
"Dia yang bayar? Semua?"
Barista mengangguk kecil. Ia tak paham kenapa Aira menepuk kening.
Semua rencana Aira gagal. Sekarang dia ingin meremas hancur kartu kredit lantaran gara-gara benda tolol ini, malah dia yang kena traktir Kai.
Dia tak tinggal diam. Rasa penasaran membuatnya berlari ke mini-market sebelah kafe. Di sana ada mesin ATM. Segera dia memeriksa saldo yang bisa diambil. Kosong. Sekali lagi dia mencoba, mengulang ritual di mesin ATM, hasilnya sama. Saldo kosong.
Dia anjlok terduduk di lantai bersandar tembok bilik ATM sambil melipat kaki. Uang tabungan senilai lima puluh juta, uang yang dikumpulkan dari kecil semua raib. Di sana juga ada uang kiriman bapak untuk bayar biaya Kos dan SPP.
Ia teringat ucapan Bayu. Teringat bagaimana para pem-bully sial itu beraksi. Dia mengangguk kecil, memandang tajam lurus sambil menggigit kuku jempol tangan.
Beberapa hari berlalu. Aira melesat keluar kelas dengan cara jalan seperti Giant di film Doraemon. Dan seperti Suneo, Mei mengiringi langkahnya. "Tunggu, Aira Tenang dulu," ujar Mei. "Jangan gegabah. Apa buktinya kalau Bayu yang mencuri uang tabungan?" "Kalau bukan dia, pasti fans yang dia suruh." " Ra, nanti kalau kamu main labrak, malah kena getahnya. Kamu bisa dilaporkan ke polisi karena melakukan tindakan tidak mengenakkan, juga pencemaran nama baik." "Apa yang mau dicemarkan? Lah nama dia memang tidak baik." Aira tahu Mei fans si youtuber kampret. Ucapannya demi kebaikan sang idola. Namun, jika dipikir lagi memang dia belum mempunyai bukti. Langkah mereka terpaku, melihat Bayu dan Kevin sedang bersantai di gazebo. Dengan gemas Aira beranjak menuju ke sana. Mei berusaha menarik tangannya, tapi gagal. Tenaga Aira terlampau kuat. Gadis Tionghoa itu malah terseret seperti kerbau. "Youtuber kurang kerjaan!" keluh Aira, me
Seorang gadis gelandangan menarik lengan kemeja Cecil. "Mbak, jadi tidak bagi-bagi hadiah?" "Sabar, ya." Cecil mengambil beberapa kantung plastik besar di dalam kardus, memandang sekitar. Setelah yakin di dalam mobil Avanza itu ada kamera, dia pun mendadak ramah pada gerombolan gelandangan di bawah jembatan layang. "Maaf ya, kelamaan, takut kalau ada kamera. Aku tidak mau disorot kamera ketika beramal." Setelah membagikan banyak kantung plastik berisi beras dan amplop uang pada para gelandangan, Cecil melambai ramah pada mereka. Ketika berbalik badan, dia pura-pura kaget mengelus dada, karena melihat seorang gadis wartawan menghampiri sambil membawa mic. Di belakang gadis itu, seorang kameraman dan beberapa kru mengikuti. "Kak Cecil sering melakukan hal ini? Tempat ini kan kotor? Kenapa melakukan hal ini?" "Tempat ini memang kotor, tapi lihatlah. Banyak senyum indah yang menanti. Masih banyak orang membutuhkan uluran tangan. Bagi kita barang-barang it
Rencana pernikahan tersebar luas di dunia maya. Bahkan sering muncul di TV, iklan tentang acara keluarga Bayu. Aira menjadi buah bibir di tempatnya nge-kost. "Wah, bakal jadi istri orang kaya nih, uang kontraknya dinaikkan tidak, ya?" goda induk semang, seorang wanita tua ramah berbadan gendut. "Jangan Bi," sahut Aira tertawa kecil memberi amplop berisi uang untuk Bibi. "Satu tahun lagi saya akan kembali. Ini uang sewa saya untuk dua tahun ke depan, sekalian ada uang hadiah untuk Bibi, permisi." Bibi bingung dengan tutur kata Aira, dia bengong seperti kodok melihat hujan. Beberapa hari berlalu. Hari pernikahan Aira dan Bayu tiba. Acara diadakan dalam ballroom luas hotel bintang lima di kawasan kota Surabaya. Tentu ini hari super spesial bagi Aira juga Bayu. Sekarang Mei dan Diah menemani Aira di ruang dandan. "Tidak sangka, dulu kalian saling benci," ujar Diah. "Eh, sekarang malah nikah." Mei mewakili Aira untuk menjawab, "Seng
"Pokoknya tidak sah! Pernikahan ini harus batal!" Suara itu semakin jelas terdengar hingga memaksa kerumunan tamu, perlahan membuka jalan untuk gadis itu menuju panggung ijab kobul. Aira dan Bayu berdiri sembari berbisik-bisik mengamati hal ini. Aira sedikit berjinjit supaya bibir bisa mendekati telinga Bayu. "Ini settingan, bukan?" "Maksud lo, apa?" "Ya seperti jaman OSPEK, settingan. Semua kejadian sudah diatur sama senior, tapi para junior tidak ada yang tahu." "Gue tidak merasa mengadakan settingan. Lo kali, sengaja pansos." "Be the way, nikah kita sah tidak?" "Sah lah, kan sudah ijab kobul. Anggap aja yang teriak tidak sah orang gila." Dari dalam kerumunan Cecil dikawal puluhan pria berpakaian safari hitam mulai mendaki anak tangga hingga sampai ke panggung.Bayu maju mencengkeram kedua pergelangan tangan Cecil. "Ayo turun," bisik Bayu pada Cecil "Malu dilihat banyak orang."
Bayu bertumpu satu lutut mengelus perut yang seperti ditabrak mobil. Pukulan Aira tadi benar-benar membuatnya jatuh telak. Ia berhasil berdiri menekan tembok, melangkah gontai menuju kamar. "Dasar cewek barbar, aduh ya Tuhan, semoga lambungku tidak bocor." Langkah Bayu terhenti karena pintu kamar di depannya dibuka dari dalam. "Loh, Kak, Kakak tidak apa-apa?" tanya seorang gadis yang baru keluar dari kamar bersama seorang pemuda, menghampiri Bayu. Dia dan temannya berusaha membantu Bayu. "Ada apa, Kak?" Mau menggeleng, tersenyum ramah menjaga image. "Tidak apa-apa, kok, ini tadi kebanyakan makan jadi mules." Keduanya masih membantu Bayu untuk melangkah menuju kamar. Sang Gadis mengamati dari dekat wajah Bayu, hingga ia menyadari sesuatu. "Loh, Kakak ini Bayu, kan? Youtuber itu?" Gadis itu mengambil HP, selfie bersama Bayu dan teman lelakinya. "Butuh dipanggilkan dokter, Kak?" Bayu tersenyum kecut sambil menggeleng. "Cuma
Aira berusaha mengatur napas, terlentang di kasur empuk memandang langit-langit kamar. Apa yang baru terjadi? Ternyata Bayu memiliki tenaga untuk mendorongnya. Youtuber kurang ajar itu tak terlalu lemah seperti yang dia bayangkan. Dan wajahnya tadi begitu dekat hingga terasa hangat deruh napasnya pada kulit wajah Aira. Cara Bayu memandang pun membuat dadanya berdebar kencang. Kenapa bisa seperti ini? Aira memejam, mencoba mencerna semua yang telah terjadi. "Kau apakan menantuku, hmm? Dasar anak tak berguna." Suara itu membuat Aira duduk di kasur. Dia mendapati Ibu mertua masuk ke kamar, tentu dia tergesa-gesa menghampiri beliau, menyambut dengan senyum dan salaman hangat. Ibu tak ingin hanya bersalaman. Beliau menarik menantunya masuk dalam rangkul erat nan hangat, sambil menepuk-nepuk punggung. "Menantuku yang paling cantik. Katakan, kenapa berteriak-teriak? Ibu tidak salah dengar, kan, kamu teriak diperkosa? Kenapa? Apa Bayu bertindak semena-men
Suara teriakan semakin membahana. Pesawat bergerak liar seperti roller-coaster. Beberapa tas jatuh dari dalam bagasi atas yang terbuka sendiri. Alat bantu pernapasan keluar secara otomatis dari bawah bagasi. "Aira!" teriak Kai secara insting berusaha berdiri dikala yang lain duduk berusaha memakai sabuk pengaman. Dia berhasil berdiri memegang sandaran kursi Bayu dan penumpang di depan. Tiba-tiba guncangan berhenti. Lampu yang berkedip liar menyala redup. Penumpang berterima kasih pada Tuhan dengan penuh kelegaan. Suara ping terdengar dan pemberitahuan jika tadi mereka memasuki awan badai memberi petunjuk alasan terjadi insiden tadi. Aira dan Bayu melepas pelukan mereka, saling mendorong dan mengusap badan, membuat Kai tersenyum kecil. Karena suara Kai pula Aira dan Bayu sadar jika pemuda itu berdiri di sebelah mereka. Keduanya memandang bingung, membuat situasi canggung. "Kenapa Kai?" tanya Bayu. Kai menggaruk kepala
Aira merengek, "Aku ingin melihat bintang. Katanya tengah malam bakal banyak bintang di angkasa." "Pokoknya lo tidur, istirahat. Masih banyak waktu untuk itu." "Siapa yang tahu berapa sisa waktu kita di bumi. Siapa tahu nanti mati." "Gue menyuruh lo istirahat karena gue sayang lo, ngerti?" Aira menggeleng dengan polos memandang balik tanpa dosa. Bayu menghela napas berat, satu tangan melingkar ke leher Aira. Keduanya melangkah pelan menuju kabin. Di dekat pintu kabin terdapat pohon Pine besar dengan dedaunan lebat. Tepat di bawah pohon tumbuh beberapa tanaman liar. Mata Bayu cukup tajam menangkap sesuatu di bawah pohon. Ia pergi ke sana mengambil sekuncup bunga liar kecil warna kuning nan indah. Dia menghampiri Aira, menaruh tangkai bunga ke belakang telinga, hingga mahkota bunga menghias bagian atas telinga Aira. Sontak dada Aira berdebar-debar. Dia terdiam, tertunduk memandang ujung sepatu bot hitam yang dia kenakan. Pe