Bayu duduk bersama Kevin menunggu di lobby gedung Genrecorps. Bayu mengenang masa lalu tentang bagaimana pertama kali dia mengenal Cecil.
Mereka bertemu di sebuah pesta kala masih SMA. Mereka masih bocah biasa, belum terkenal. Kevin yang memperkenalkan mereka karena Kevin mengenal lebih lama Cecil. Gadis itu langsung tertarik pada Bayu ketika melihat Bayu dijemput dua mobil Pajero. Setelah kejadian itu mereka jadian. Sekarang ketika ada masalah besar, Bayu menjadikan Kevin sebagai kambing hitam.
"Kalau lo tidak mengenalkan gue ke Cecil, semua ini tidak mungkin terjadi. Gue tidak perlu mengeluarkan banyak duit, tidak perlu ribut sama Ibu, dan sekarang tidak perlu repot-repot datang kemari hanya untuk bertanya tentang kontrak."
"Lah enak banget ya kalau ngomong!" keluh Kevin. "Eh Bro. Kamu sendiri yang naksir. Ingat tidak?"
Bayu mengangguk, "Ok gue yang minta, tapi kan lo sebagai sahabat, harusnya memberi tahu dong kalau cewek itu cewek tidak benar. Sekarang mau nikah, baru kelihatan belangnya."
"Eh, beberapa tahun pacaran sama Cecil, kamu bahagia kan?"
Benar kata Kevin. Selama pacaran dia memang bagai hidup di surga dunia bersama seorang bidadari pemuas syahwat.
Kevin lanjut bicara, "Sekarang pikir kontrak saja. Bisa batal, diundur atau kamu harus nikah--"
"Gue tidak mau punya anak yang bukan darah daging gue. Lo aja yang nikah sama doi."
"Dih, dikira tong sampah, menampung begituan."
Bayu menghela napas berat, bersandar sofa dengan kedua tangan berada di atas sandaran. Ia mendongak. Andai tidak menggeledah tas lengan milik pacarnya, mungkin kelak dia akan punya anak berwajah mirip pria lain.
Mirip Kevin misalnya. Ia memandang sahabatnya dengan geram. Bisa jadi Kevin yang menghamili Cecil karena memang mereka sering bertemu di belakang layar. Bayu bersumpah dalam hati, kelak jika punya istri, tidak akan membiarkan istrinya keluar dengan sahabat-sahabat cowok.
"Kak, silakan masuk ke ruang Pak Direktur. Dia sudah selesai rapat," tegur sekretaris.
Kevin dan Bayu naik lift menuju lantai teratas, tempat Raul berada. Baru saja hendak mengetuk pintu, pintu dibuka dari dalam.
Kedua gadis bermandi peluh dengan rambut acak-acakan keluar dari sana. Bau sisa senggama menusuk hidung Bayu dan Kevin.
Bayu dan Kevin bertukar pandang. Pikiran mereka ke mana-mana. Rapat apa sampai tiga jam dengan dua gadis dalam ruang? Keduanya menaik-turunkan pundak, melangkah masuk ke ruang CEO mendapati Raul sibuk mengancing kemeja.
"Oh, kalian, maaf menunggu lama," ujar Raul. "Duduk, ayo duduk dulu di sana."
Kevin enggan duduk di sofa, terlebih melihat kondom berisi cairan di sana, tapi duduk juga ketika ditarik paksa oleh sahabatnya yang sudah duduk dari tadi. Sialnya benda dia menduduki benda tadi.
"Sialan," keluh Kevin, melempar benda itu ke muka Bayu.
"Jambret!" Kesal Bayu melempar benda itu ke sudut ruangan.
"Ada perlu apa?" tanya Raul, duduk di sofa lain.
"Begini Pak," sahut Bayu. "Masalah kontrak--"
"Tidak ada perubahan tanggal pernikahan, kan?" tanya Raul, mendapati raut wajah Bayu dan Kevin masih saja aneh. "Ada apa? Apa ada masalah?"
"Apa bisa pernikahan dibatalkan?" tanya Bayu.
"Bisa kok, bisa."
Jawaban itu membuat dada Bayu terasa plong. Dia mendorong badan ke belakang dengan penuh kelegaan. Dia bahkan bersalaman dengan Raul.
"Sesuai perjanjian, denda dua Milyar," lanjut Raul.
Sontak Bayu melotot memandang Raul sambil meremas paha Kevin. "D-dua Milyar? Kok denda dua kali lipat dari kontrak sih, Pak?"
"B-Bro, sakit, pahaku, Bro, lepas," keluh Kevin, meringis, tapi tidak ada yang peduli padanya.
"Iya dua Milyar. Sebentar ya." Raul bangkit melongo keluar ruang. "Sayang--Novi maksudku, ambil kopian kontrak dengan pihak Bayu, ya. Tentang Konten Marriage."
Ia kembali duduk kembali, tersenyum sejuk kepada Kevin dan Bayu. "Sabar ya, sedang diambil."
"Bagaimana kalau diundur?" tanya Kevin.
"Tidak bisa diundur. Karena kami sudah mempersiapkan semua. Kalau diundur tanpa alasan jelas, kami yang malu. Nanti dikira kami belum siap. Kalau dibatalkan, itu pihak kalian yang menanggung malu, bukan kami. Karena alasan pembatalan hanya bisa berasal dari kalian."
"Bilang saja karena duit," celetuk Kevin.
Raul bertepuk satu kali sambil tertawa lepas. "Pintar!"
Gadis sekretaris datang menaruh kertas ke meja kaca. Dai sempat memandang genit pada Raul sebelum pergi.
Kevin dan Bayu membaca ulang setiap pasal di sana dan memang dikatakan jika ada pihak yang membatalkan kontrak, kena denda dua Milyar. Bayu memang kaya, tapi semua itu uang orang tua. Sementara dirinya hanya punya beberapa ratus juta.
"Kalau misalnya mau ganti pasangan bisa?" tanya Kevin.
Direktur mengangguk. "Yang penting ada Bayu."
Bayu dan Kevin membisu pamit, keluar dari sana dengan lemas. Melangkah lunglai menuju mobil seperti belum makan selama lima hari.
"Gimana nih. Dua milyar tidak dikit, bro," keluh Bayu.
"Iya paham. Kamu sih, harusnya sebelum menandatangani sesuatu baca dulu, jangan asal. Begini kan, jadinya."
"Ya kan dibayar satu Milyar. Duit segitu banyak, bisa beli rumah, mobil, keliling dunia, masih sisa beratus juta," ujar Bayu, lalu dia lemas. "Sekarang denda dua Milyar. Duit dari mana coba?"
"Sebenarnya ini bukan masalahku. Kan kamu yang tandatangan, jadi kamu dong yang bayar."
"Bukan masalah lo gimana?" Bayu duduk di kursi mobil, menanti Kevin duduk di kursi kemudi lalu lanjut bicara.
"Kalau gue kena, gue pastikan lo, Lukman, sama Kai, ikut jatuh, ngerti? Gue yang membesarkan kanal youtube. Gue! Tanpa gue, lo semua bukan siapa-siapa, ingat itu!" Suaranya meninggi sambil menepuk dada sendiri.
"Iya, gitu saja mengamuk."
Kevin memacu mobil pergi dari sana. Mereka terjebak kemacetan di jalan raya. Sesekali mobil bergerak lambat seperti siput. Kemacetan memberi kesempatan bagi keduanya untuk memutar otak mencari jalan keluar dari masalah.
"Menurut aku, kamu tetap nikah."
"Gue udah bilang berapa kali, ogah!"
"Ya tidak usah teriak juga kali. Maksudku nikah sama cewek lain."
Bayu mulai tertarik dengan ide itu. "Maksud lo?"
"Ya kamu kan seorang Bayu yang terkenal. Tinggal tunjuk cewek saja, pasti pada mau nikah sama kamu, Bro."
Bayu terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Cinta tuh tidak bisa dibuat dalam semalam. Lagipula lo pikir kedua orang tua gue bakal setuju?"
"Ya mau gimana lagi?" Kevin mengendarai mobil dengan lambat, hingga kembali berhenti. "Jadi maumu bagaimana?"
"Ya oke lah nikah, tapi nikah yang tidak nikah beneran."
Kali ini Kevin bingung dengan jawaban itu. "Maksudmu?"
"Ya nikah, sesuai kontrak, buat konten tentang rumah tangga. Cuma nikah yang palsu, bisa gue cerai setelah kontrak selesai."
"Kawin kontrak?" sahut Kevin, sesekali menoleh ke arah Bayu dengan raut wajah bingung.
Bayu mengangguk. "Tapi siapa yang bisa gue kontrak?"
"Banyak. Cewek fans--"
"Ogah," sela Bayu. "Gue tidak mau nikah sama mereka. Pasti mereka ogah dicerai. Tidak mungkin juga kelak gue buka-bukaan tentang kawin kontrak ke publik, kan? Maksud gue tuh, kawin sama cewek yang bisa dicerai tanpa berharap lebih seperti minta harta gono-gini dan kalau bisa tuh cewek tidak bakal jatuh cinta ama gue. Kalau bisa yang manis, yang cantik, yang bisa diajak buat konten."
Kevin terkekeh. "Susah bro, kamu kan idolanya banyak wanita, mereka setelah nikah pasti ingin stay in power. Mana mau dicerai. Tunggu dulu. Aku rasa ada deh, cewek yang cocok buat kamu."
Sontak Bayu bersemangat. "Siapa?"
"Kamu kenal kok, siapa dia. Yang jelas dia tidak mungkin suka sama kamu, dia cantik, manis, periang, dan pasti bisa buat diajak bikin konten menarik."
"Siapa siapa? Cewek yang gue kenal banyak."
Kevin menampar pipi Bayu dengan pelan.
"Heh!" sentak Bayu. "Lo gila, ya? Ngapain menampar gue!"
Kevin menampar lagi lebih keras. "Masak tidak kenal siapa yang kumaksud?"
Bayu terdiam sejenak, lalu terkekeh kecil sambil menggeleng. "Tidak. Lo tidak mungkin menyarankan hal gila itu."
"Kenapa tidak? Semua kriteria masuk ke dia, hanya mau tidak dia dikontrak nikah?"
Banyak orang berkumpul di taman kompleks mengerumuni para idola. Mereka rerata ibu-ibu muda dan para gadis meminta tanda tangan, foto bersama, atau sekedar berjabat tangan. Situasi seperti di pasar malam ini terjadi karena kehadiran Bayu, Kai, Kevin, Aira, dan Lukman. Pamor mereka tidak meredup sedikit pun walau sekarang sudah berkeluarga. Di tengah mereka hadir tiga bocah kecil yang aktif membuat gaduh suasana. Vega anak Bayu dan Aira. Altair anak Kai dan Ana, Deneb putra dari Kevin dan Mei. Ketiganya bermain bersama anak-anak di taman dengan penuh keceriaan tanpa kenal penderitaan dunia. "Vega, ngapain?" tanya Altair sambil melihat Vega yang sedang menyodok-nyodok sesuatu di bawah pohon. Melihat benda apa yang menjadi mainan membuat dia melangkah mundur. "Ih, itu kan eek kucing! Jorok!" "Iya tahu." Dengan piawainya Vega mengangkat eek itu memakai kayu lalu menjejalkan pada Altair. "Alta, ini bagus buat lulur mukamu. Sini, jangan kabur!" "Mama!" Alta
Aira buru-buru membuka pintu. Dia tidak sempat mengintip dari gorden karena mendengar suara yang sering dia dengar sebelumnya. "Sebentar, ini sedang buka kunci." Pintu dibuka. Aira tersentak melihat Ibu duduk di kursi teras bergelimang air mata. Asep yang sembari tadi menggedor pintu, langsung membungkuk menyambut Aira. Bukan hanya mereka, di Kai, Ana, Shion, Kevin, Mei, Lukman, dan Sasa, turut serta. "Kamu yang sabar, Aira," ucap Kai, memeluk Aira dengan erat. "Bayu--" "Ada apa sih?" tanya Aira. "Apa ada yang ulang tahun? Kok pada kumpul di sini?" Semua bertukar pandang heran. Mereka saja bingung, apalagi Aira? Dia benar-benar tidak tahu menahu tentang isi kepala para tamu. "Mana Bayu, Nak?" tanya Ibu, dengan kaki sempoyongan berdiri memeluk Aira. Wajah beliau seperti pakaian yang baru dicuci belum kering. "Bayu? Di dalam Bu--" Belum selesai Aira bicara, Ibu merangsak maju hingga nyaris jatuh. D
Dahulu sebelum menikahi Bayu, Aira 'hobi' bersih-bersih. Dari kecil dia terbiasa menyapu dan mencuci piring. Akan tetapi beberapa bulan terakhir dia hidup dalam mimpi yang menjadi kenyataan. Dia tidak perlu melakukan itu semua, cukup duduk santai dan bersenang-senang. Sekarang ketika menyapu, punggungnya sakit dan capek. Seminggu berlalu tapi dia belum menemukan kembali apa yang menjadi 'hobi'-nya dulu. "Waduh, Bu Angga, rajin sekali," tegur seorang ibu tetangga sebelah, baru pulang dari mengajar. Dia guru di SMP sekitar. "Ini Bu, ada sedikit jajan, tadi anak-anak sedang praktek tata-boga." Aira tentu berterima kasih atas perhatian itu. Dengan senyum mereka alami ia menerima kantung plastik putih berisi bungkusan sop sayur. Tetangga berlaku baik karena aura positif dari Bayu dan Aira. Mungkin juga faktor face dan rumor yang Aira sebar berpengaruh pada mereka. Kisah tentang pernikahan dini, di mana Bayu si miskin nekat menikahi Aira tanpa persetu
"Pijat yang benar." Ibu menepuk-nepuk pundaknya, sembari duduk di atas bantal. "Iya Nek--" "Nek?" Ibu menoleh menangkap senyum mal-malu Ana. "Kamu ini, panggil Ibu, mengerti?" Ana mengangguk ketika Ibu kembali fokus ke TV. Gadis itu tersenyum lembut pada Kai yang duduk bersila kaki di sebelah Ibu. Siang ini Kai memperkenalkan Ana kepada Ibu asuhnya itu sebagai calon istri. Ketiganya duduk santai di paviliun belakang rumah. Selain itu dia punya tujuan lain hadir di sini. "Sekarang nyaris seminggu Bibi menghukum Bayu dan Aira," ujar Kai. "Mereka menderita Bi, tinggal di rumah bedeng macam itu. Apa Bibi tega membiarkan Bayu dan Aira hidup susah?" Dua hari sekali Kai datang dan memohon hal yang sama. Namun, Ibu tetap santai menikmati pijatan Ana. Sesekali beliau bersendawa tanda jika merasa nyaman. Beliau juga dilanda dilema. Walau diam, tapi diam-diam Ibu juga khawatir kepada Bayu dan Aira. Bagaimana pun Bayu anak kesayanganny
Seperti semut mengerumuni gula, empat preman mengerumuni motor Riko. Mereka tidak memberi kesempatan Riko untuk memacu motor."Minggir, aku sibuk mau menjemput pelanggan," ujar Riko."Sombong!" bentak seorang preman gendut. "Lagak kamu sudah seperti orang penting.""Penting dia bro," sahut preman kedua. "Habis bebas dari penjara dengan bersyarat dan jaminan, kan sekarang wajib lapor atau saudaranya bakal membayar uang kompensasi."Suara tawa mereka membahana seperti supporter di stadion bola. Salah satu dari mereka mendorong kepala Riko. Satu lagi mengambil kunci motornya. Mereka sengaja ingin memancing supaya Riko marah dan menghajar mereka."Aduh, kasihan Mas Riko." Darmi hanya bisa memandang. Bisa apa dia, sendirinya berdagang di sini dan wilayah ini kekuasaan mereka."Kok Mas Riko tidak melawan?" tanya Bayu, mengamati lelaki tangguh di atas motor."Kalau melawan, nanti bakalan langsung dipenjara. Mas Riko bebas bersyarat. Sa
Sebagai kepala keluarga tentu Bayu yang membuka pintu. Empat ibu-ibu berwajah judes menanti. Melihat wajah tampan yang keluar, Judes mereka mereda dan sekarang senyum-senyum sendiri. "Maaf, ada apa ya, Bu?" tanya Bayu dengan ramah. Aira yang kebelet kepo pun nongol dari belakang Bayu. Senyumnya muncul, menggeser Bayu hingga mereka berdiri bersebelahan di pintu yang sempit. "Maaf Nak, ini sudah malam," ucap Ibu gendut dengan ramah. "Benar, sudah jam sebelas malam. Mohon suaranya dikecilkan, ya. Besok anak-anak sekolah, bising enggak bisa tidur," timpa Ibu kurus. "Kami tahu kok, pengantin baru, kan?" Ibu berbadan pendek menyambung. Tentu Bayu dan Aira menjadi sungkan. Mereka saling senggol, tertunduk dengan cengiran mereka yang khas, kecil, dibuat-buat. "Ingat, kita tinggal bersebelahan." Ibu yang lumayan muda menunjuk ke kiri dan kanan. Rumah mereka memang hanya terpisah tembok, bisa dikatakan suara kentut pun pasti bisa tetangg
Pindahan Bayu dan Aira cukup simpel. Mereka hanya membawa pakaian, peralatan kuliah, laptop, dan uang saku dari Ibu. Pagi hari mereka tiba di kontrakan yang dimaksud. Rumah petak sederhana. Lantai hanya dioles semen. Dinding bata tiada diberi cat. Langit-langit pun tak ada. Dari dalam bisa melihat pondasi atap. Dan aroma di sini lumayan pengap, berdebu. Hanya ada satu kamar tidur, kamar mandi pun nyaris menyatu dengan dapur. Perabotan yang ada hanya satu kasur dan satu lemari dengan TV tabung tua berdiri gagah di dekat kipas putar kecil. "Bagaimana? Rumah ini masih lebih bagus dari tempatku dulu tinggal. Kalian harus membayar uang listrik sendiri, uang air, dan mulai bulan depan membayar uang sewa. Jadi usahakan hemat." ucap Asep, menaruh kunci ke telapak tangan Aira. "Motor Vespa milikmu. Selamat tinggal." Dia berbalik hendak pergi. Akan tetapi Bayu menarik lengan Asep. "Sampai kapan kami harus tinggal di sini?" "Sampai Ibumu puas." Asep
Suara jangkrik menjadi musik merdu menemani mereka saat ini, tiada suara lain. Aira dan Bayu duduk bersila kaki di atas bantal. Mereka menanti Ibu di paviliun belakang rumah yang dikelilingi taman. Bayu menggenggam telapak tangan Aira. "Apapun yang terjadi aku tidak akan pernah menandatangani surat itu. Semoga kamu juga demikian." Aira mengangguk kecil. Dia menggenggam telapak tangan Bayu. "Asal kamu nanti berani bersumpah tidak akan menemui Cecil dan wanita lain, aku siap Mas." Bayu tersenyum lembut. "Mas? Oh Tuhan, panggilan mesranya Mas? Darling kek, hooney gitu, Mas, terdengar ndeso." "Ah, sudah lah." Dengan kasar Aira menarik tanggannya. "Youtuber sial, hobi banget sih merusak suasana." Bayu terkekeh melihat reaksi cemberut Aira. Dia hanya bercanda tadi. "Aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Tahu tidak, alasan kenapa kamu aku pilih untuk menikah kontrak?" "Aku cantik, manis--" "Karena aku yakin tidak
Cahaya matahari masuk melalui kaca jendela besar di dinding sisi kiri menerpa ibu yang duduk di kursi kerja. Beliau sibuk mengetik sesuatu di komputer. Suara ketukan di pintu membuat dia berhenti sejenak. "Siapa?" "Ini saya Nyonya, Asep." "Masuk Sep." Pria berjas hitam masuk ke ruang kerja, berdiri dalam posisi instirahat di tempat. Setelah diberi kode gerak tangan Ibu, dia duduk di kursi berlengan. "Bagaimana, ada hasil?" tanya Ibu. Asep menaruh beberapa stopmap ke meja kerja. "Menurut para detektif yang saya kerahkan, terjadi perselingkuhan antara orang tua Nona Aira dan Tuan Kai. Menurut para detektif, kematian Ibu Nona Aira karena kebakaran di tempatnya bekerja ada hubungan dengan--" "Cukup, lewati bagian itu," ujar Ibu. Asep berdeham. "Setelah kejadian itu Kai memang sangat terpukul dan merasa bertanggung jawab untuk merawat Aira. Walau umur mereka hanya terpaut beberapa tahun, tapi dia berhasil melakukannya de