Pagi itu, Alya bangun lebih lambat dari biasanya. Matanya masih sembap karena semalaman hampir tidak tidur. Email dari Tama masih menunggu di kotak masuknya, tak beranjak, seperti sebuah batu besar yang menghalangi langkahnya untuk maju.Ia menatap layar laptop yang masih terbuka di meja. Nama itu tetap ada, Tama Wiratama. Alya buru-buru menutup laptopnya, seolah-olah dengan begitu ia bisa menyingkirkan bayangan yang memburu pikirannya. Namun, dada yang sesak tidak ikut tertutup.Di meja dapur mungilnya, ia menyeduh teh hangat dan membuka catatan agenda kecil. Sejak tinggal di kota asing ini, Alya terbiasa menuliskan jadwal harian untuk memastikan hidupnya tetap teratur. Ada kuliah, ada kerja paruh waktu di kafe, ada jadwal pengiriman barang untuk toko onlinenya.Hari itu, agenda mencatat, kirim paket dagangan ke terminal kargo bandara jam 11.00.***Menjelang siang, Alya berangkat dengan dua kotak besar berisi pesanan. Paket itu adalah hasil usahanya menjual kerajinan tangan dan akse
Malam itu, kota asing tampak seperti lukisan yang penuh cahaya. Lampu-lampu jalan berpendar indah, trotoar dipenuhi orang yang berjalan dengan mantel tebal, suara musik dari kafe menyelinap ke udara dingin. Dari jendela apartemen mungilnya di lantai tiga, Alya menatap semua itu dalam diam. Seolah-olah dunia di luar sana begitu hidup, sementara dirinya tetap terjebak di ruang hampa.Hari itu ia baru saja pulang dari kafe tempatnya bekerja paruh waktu. Kakinya pegal, tangannya dingin, dan pikirannya masih berat. Ia meletakkan tas di kursi, menyalakan lampu meja, lalu duduk dengan cangkir teh hangat di tangan. Laptop yang sudah terbuka di meja berkedip memberi tanda, ada pesan baru.Alya tidak segera menghiraukannya. Sudah biasa inbox-nya penuh dengan email promosi, pengingat pembayaran, atau pesan dari dosen. Ia menyeruput teh pelan, mencoba menghangatkan tubuhnya. Namun, tatapannya akhirnya jatuh juga ke layar.Seketika tubuhnya kaku.Di layar, tertera satu nama yang tidak pernah lagi
Di tengah gemerlap kota asing, Alya merasa hampa.Kota itu indah, lampu-lampunya selalu menyala, trotoarnya bersih, udara malamnya penuh percakapan dalam bahasa yang dulu terasa asing, tapi kini mulai akrab di telinganya. Namun, justru di sanalah ia merasa kosong. Di negeri orang, ia bukan siapa-siapa, bukan istri, bukan kekasih, bukan bagian dari sebuah keluarga. Ia hanya Alya, mahasiswi asing dengan beasiswa parsial yang berusaha bertahan hidup.Hari-hari Alya penuh dengan rutinitas yang padat. Pagi kuliah, siang bekerja di kafe, malam belajar di kamar kecilnya. Sesekali, ia mengurus toko onlinenya, memastikan pelanggan di tanah air tetap terlayani. Dari luar, hidupnya tampak penuh, seolah-olah ia berhasil. Namun, di dalam, ada kekosongan yang tak pernah bisa ia isi.Kosong, karena di balik layar laptop dan buku catatan, selalu ada dua nama yang menghantuinya, Tama dan Raga, meskipun Alya tahu Raga sudah menikah, dan pastinya sudah hidup bahagia dengan istrinya. Namun, entah kenapa
Alya menatap layar laptop itu begitu lama, hingga cahayanya mulai menyilaukan matanya. Jantungnya berdebar kencang, tangannya gemetar saat kursor mengarah ke kotak masuk email.Nama belakang itu … membuatnya seolah-olah kembali ditarik ke masa lalu. Masa lalu yang ia pikir sudah dikubur dalam-dalam bersama luka, bersama tangis, bersama malam-malam panjang di apartemen yang dulu menjadi saksi hidupnya bersama Tama.Ia menggigit bibir bawahnya, menahan napas. Email itu hanya satu baris singkat.[Alya, aku ingin bicara. Tolong jangan abaikan pesanku.]Tidak ada kalimat manis, tidak ada penjelasan panjang. Hanya sebuah kalimat pendek, tapi cukup untuk membuat pertahanan Alya runtuh.Matanya panas, air bening menggenang begitu cepat. Ia buru-buru menutup layar laptop, seolah-olah dengan begitu, email itu akan hilang, lenyap, tak pernah datang. Akan tetapi, hatinya tahu, itu tak mungkin. Sekali nama itu muncul, sekali suara masa lalu mengetuk pintu, tak ada jalan kembali.***Hari-hari beri
Pagi itu, udara di apartemen masih sama, sejuk dari pendingin ruangan, tenang dengan tirai yang setengah tertutup, dan aroma kopi yang baru saja diseduh Tama di dapur. Alya membuka matanya pelan. Buku berbalut kulit cokelat tua itu masih ada di pelukannya, dengan pita kain yang kusut karena semalaman ia genggam terlalu erat.Ia menatap sampulnya dengan mata berkaca-kaca. Hatinya masih dipenuhi rasa hangat dari catatan-catatan Tama yang jujur, tapi di sisi lain, ada rasa sesak yang tak bisa ia abaikan. Status. Kata itu menghantamnya lagi pagi ini, sama seperti malam-malam sebelumnya.Ia menoleh ke sisi ranjang yang sudah kosong. Tama sudah bangun lebih dulu. Di meja, ada secangkir teh hangat, kebiasaan baru Tama yang selalu menyiapkannya untuk Alya sejak ia sakit. Alya mengusap pipinya sendiri, berusaha menghapus sisa air mata yang menempel.Seberapa besar pun cintanya pada Tama, ia sadar satu hal: dirinya masihlah istri tanpa status. Tidak ada nama di kartu keluarga, tidak ada restu k
Pagi itu, langit di luar jendela apartemen masih muram. Awan kelabu menutup sebagian besar cahaya matahari. Alya duduk di ranjang, punggungnya bersandar pada tumpukan bantal, selimut masih menutupi kakinya. Malam sebelumnya, ia hanya tidur sebentar. Pikiran tentang operasi, tentang undangan Raga, dan tentang kata-kata Tama di balkon terus berputar tanpa henti.Di samping ranjang, ia melihat sebuah kotak kecil berwarna cokelat, diletakkan rapi di atas nakas. Kotak itu belum ada ketika ia tertidur semalam. Alya menatapnya dengan dahi berkerut, lalu meraih perlahan. Di atasnya, ada secarik kertas dengan tulisan tangan yang sangat ia kenal.“Untuk Alya. Bacalah ketika kamu merasa takut. –T”Jantung Alya berdetak lebih cepat. Tangannya sedikit gemetar saat membuka kotak itu. Di dalamnya, ada sebuah buku harian berbalut kulit cokelat tua, sederhana, dengan pita kain yang dijadikan pengikat. Aroma kertas tua bercampur dengan wangi samar parfum maskulin menyeruak begitu ia membukanya.Alya me