Share

Pengakuan Raga

last update Huling Na-update: 2025-07-20 15:02:21

Alya menggenggam erat kemoceng yang sejak tadi tak ia gunakan. Tangannya gemetar, bukan karena kelelahan, tapi karena bayangan pesan misterius semalam yang masih mengendap dalam pikirannya. Suara detak jam dinding di pojok ruang lounge perusahaan terdengar lebih keras dari biasanya. Hening pagi itu seperti menyimpan sesuatu yang akan pecah kapan saja.

Ia mencoba fokus. Ruangan ini adalah tempat Raga biasa bersantai sebelum memulai hari. Namun, pagi itu, hanya Alya di sana, sendirian, mencoba menyeka debu di meja marmer panjang, sementara pikirannya berkelindan pada hal-hal yang sulit dijelaskan.

Semalam, ia tak bisa tidur. Pesan itu, singkat, tetapi menusuk. Alya terus kepikiran soal surat itu. Dia menghela napas panjang.

Kau pikir bisa menyembunyikan segalanya? Permainan ini baru dimulai.

Alya tahu, pernikahannya dengan Tama bukan rahasia selamanya. Akan ada saatnya seseorang—mungkin banyak orang—mengetahui apa yang telah terjadi. Tapi, siapakah pengirim pesan itu? Apa yang mereka tahu? Dan apa maksud dari permainan yang dimaksud?

Langkah kaki terdengar dari arah belakang. Suara sepatu kulit yang khas. Alya menoleh perlahan. Raga.

Pria itu berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung hingga siku. Wajahnya tampak lelah, tapi ada kilatan tajam di matanya saat menatap Alya.

"Pagi, Alya," sapa Raga, suaranya lembut namun terdengar tegas.

Alya mengangguk kecil. "Selamat pagi, Raga."

Raga berjalan perlahan, lalu berhenti di hadapan Alya. Mereka hanya berjarak satu meter, cukup dekat untuk mendengar degup jantung masing-masing.

"Aku .…" Raga menghela napas. "Aku tahu aku bukan siapa-siapa buatmu. Tapi, ada sesuatu yang harus kukatakan."

Alya menunduk. "Raga, aku cuma cleaning service di sini. Aku ... nggak layak didekati."

Raga mengerutkan kening. "Itu bukan alasan. Dan jangan pernah merendahkan dirimu seperti itu."

Ia mengangkat dagu Alya perlahan, memaksanya menatap mata itu—mata yang hangat, tetapi menyimpan luka.

"Aku sudah lama memperhatikanmu, Alya. Sejak SMA, bahkan sejak hari pertama aku masuk kerja. Kamu terlihat berbeda. Kamu punya cara sendiri menghadapi dunia. Kamu selalu tersenyum meski terlihat lelah. Kamu menyimpan banyak luka, tapi tetap bisa memperlakukan orang lain dengan lembut." Raga menatap Alya dengan lembut dan tulus.

Alya memalingkan wajah. Hatinya bergetar, tetapi ia tak bisa membiarkan dirinya hanyut. Dia tak bisa menatap mata Raga yang penuh ketulusan. Tidak setelah apa yang terjadi dengan Tama.

Alya bisa melihat ketulusan Raga. Cinta dan kasih sayang yang tulus, tetapi Alya tak bisa membalas ketulusan itu. Alya memejamkan mata dan menarik napas dalam. Ia sungguh bingung dengan semua yang menimpanya. Alya tak tahu harus bagaimana.

"Jangan, Raga. Jangan lanjutkan. Aku … aku nggak bisa membalas."

Raga terdiam. Ia menarik napas panjang, lalu berkata pelan, "Aku nggak minta kamu membalas sekarang. Aku cuma ingin kamu tahu. Bahwa setiap kali kamu merasa sendiri, ada seseorang yang peduli. Aku."

Hening menggantung di antara mereka. Alya menunduk lagi, berusaha menahan air mata yang menggenang.

"Raga, aku sudah menikah," lirih Alya, nyaris tak terdengar.

Raga menatapnya dalam-dalam. "Dengan siapa?"

Alya tak menjawab. Ia hanya menggigit bibirnya, menahan luka yang ingin meledak. Ia tahu Raga pantas tahu, tapi ia tak siap mengatakan kebenaran.

***

Beberapa hari setelah pengakuan itu, hubungan mereka menjadi canggung. Raga tak lagi sesering itu menyapa. Alya pun sibuk menghindar. Namun, hatinya, hatinya seperti ditarik ke dua arah yang saling berlawanan. Raga, dengan segala ketulusannya. Dan Tama, dengan segala luka yang masih basah.

Di malam hari, Alya duduk sendirian di balkon kamar apartemen kecil yang disediakan oleh perusahaan. Angin malam membelai pipinya. Ia memeluk lututnya sendiri. Lalu, sebuah suara muncul dari belakang.

"Kamu masih mikirin pesan itu?"

Alya menoleh. Tama berdiri di ambang pintu balkon. Tanpa jas, hanya mengenakan kaus abu-abu. Sorot matanya tenang, seperti malam yang panjang.

"Kau tahu tentang pesan itu?" tanya Alya, gugup.

Tama mengangguk. "Aku tahu lebih banyak dari yang kau bayangkan."

"Siapa yang kirim?"

Tama mendekat, duduk di kursi sebelah Alya. "Seseorang yang tidak suka kita bersama. Tapi, bukan itu yang ingin kubahas malam ini."

Alya menahan napas.

"Aku ingin menepati janjiku," lanjut Tama. "Aku bilang, setelah enam bulan, aku akan menceraikanmu. Tapi, sekarang, aku ragu."

Alya menatapnya, tak percaya.

"Kau bilang ini hanya formalitas. Kau masih punya istri."

"Istriku tahu. Dan dia membenciku karena ini. Tapi, yang lebih penting, aku mulai mempertanyakan segalanya. Termasuk perasaan ini."

Alya bangkit. "Jangan. Jangan mulai bermain hati, Tama. Kita sudah salah dari awal. Kita … seharusnya tidak saling memiliki."

Tama menatapnya dalam. "Lalu kenapa kau menangis saat kutinggal? Kenapa kau gemetar setiap kali aku datang? Jangan bohong, Alya. Kamu pun mulai merasa sama."

Alya tak bisa menjawab. Ia pergi meninggalkan balkon, masuk ke kamar, dan menutup pintu dengan gemetar. Lalu, diam-diam ia menangis. Entah apa yang ia tangisi, Alya pun bingung.

***

Keesokan harinya, Raga menunggu Alya di depan pantry kantor. Dengan tangan gemetar, ia menyodorkan sebuah surat.

"Apa ini?" tanya Alya.

"Surat pengunduran diri. Dari aku."

Alya terbelalak. "Kenapa?"

"Karena aku tahu kamu nggak nyaman. Karena aku nggak mau membuat segalanya lebih rumit. Karena … aku mencintaimu, Alya. Tapi, aku nggak mau jadi alasan kamu terluka."

Alya menatap surat itu, hatinya seperti ditusuk ribuan jarum. Raga akan pergi. Satu-satunya sosok yang mampu melihatnya sebagai manusia, bukan sekadar istri simpanan.

"Raga, tunggu. Jangan pergi. Aku—"

"Kamu nggak harus balas perasaan ini. Aku cuma ingin kamu tahu. Aku ingin pergi sebelum semuanya terlambat." Raga berkata sambil tersenyum. Alya hanya bisa membeku tanpa menjawab sepatah kata pun.

Raga berbalik, meninggalkan Alya yang berdiri membeku. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Alya tak bisa menahan kesedihannya, tetapi tak bisa berbuat apa-apa.

Dan dari kejauhan, Tama menyaksikan semuanya. Wajahnya dingin. Matanya tajam. Namun, bibirnya melengkungkan senyum tipis yang aneh. Entah marah, entah kecewa. Tak ada yang tahu bagaimana perasaan Tama yang sebenarnya.

***

Di malam yang sama, Alya menerima pesan baru di ponselnya.

Kau pikir bisa memilih? Bahkan hatimu pun bukan milikmu sendiri.

Tubuhnya menggigil.

Lalu terdengar suara ketukan di pintu apartemennya.

Tok. Tok. Tok.

Tiga ketukan pelan.

Dan suara dari balik pintu, rendah dan jelas: "Alya, aku perlu bicara."

Suara itu … bukan suara Tama. Bukan pula Raga.

Siapa?

Alya melangkah pelan. Jantungnya berdetak keras. Ia meraih gagang pintu dengan tangan gemetar.

Saat ia membuka pintu, matanya membelalak.

Seseorang dari masa lalunya berdiri di sana.

"Alya, aku datang untuk menagih janji kita."

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 86. Alya Mengambil Alih Toko

    Rumah itu gelap total.Hujan masih deras, menampar genting dan jendela, sementara angin meniup gorden tipis di ruang tamu.Alya berdiri terpaku di tengah ruangan, menggenggam amplop putih yang isinya masih bergetar di tangannya.Tulisan di belakang foto itu, “Berhenti mencari. Atau kamu akan menyusulnya.” Masih terpatri jelas di matanya.Ia menatap pintu depan yang tertutup rapat. Tak ada tanda siapa pun yang datang. Namun, entah kenapa, hawa dingin yang menyelinap lewat celah pintu terasa bukan cuma dari hujan, tapi seperti napas seseorang yang bersembunyi di luar sana.Perlahan, Alya memungut ponselnya yang jatuh di lantai. Layarnya retak sedikit di pojok, tapi masih menyala. Tak ada sinyal.Listrik padam, lampu mati, dan suara detak jam dinding jadi satu-satunya yang hidup di ruangan itu.Ia menarik napas panjang, lalu memegang perutnya.“Tenang ya … Mama nggak apa-apa,” bisiknya pelan, lebih seperti menenangkan diri sendiri daripada janin di dalam kandungannya.Hujan tak kunjung r

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 85. Tama Menghilang

    Jakarta kembali diselimuti mendung. Hujan turun pelan, seperti menangisi sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Di layar ponsel Alya, notifikasi masih berdentum tanpa henti, tagar #AlyaWiratama dan #SkandalRumahPulih belum turun dari trending sejak dua hari terakhir.Namun, pagi itu ada satu hal yang jauh lebih menakutkan dari ribuan komentar kebencian,Tama menghilang.Nomor ponselnya tidak aktif.Kantor lamanya, tempat ia mengelola proyek sosial kecil setelah keluar dari perusahaan sebelumnya, terkunci rapat.Akun media sosialnya tidak lagi bisa diakses; semua hilang, seolahi disapu bersih oleh tangan tak terlihat.Awalnya, Alya mengira Tama hanya butuh waktu menenangkan diri setelah ledakan skandal itu.Namun, ketika malam datang dan tak ada kabar apa pun, ketenangan itu berubah jadi ketakutan.Ia mencoba menghubungi semua orang yang mungkin tahu keberadaan Tama, Rehan, rekan lamanya, bahkan beberapa staf yang dulu sempat bekerja bersamanya.Jawabannya sama.[Maaf, Bu

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 84. Alya Diserang di Media Sosial

    Pagi itu Jakarta tampak biasa-biasa saja. Langit kelabu, hujan gerimis, dan aroma tanah basah yang masih tertinggal sejak malam sebelumnya. Tapi, bagi Alya, dunia baru saja berubah menjadi ruang yang sempit dan mencekik.Ia baru saja duduk di ruang kerja Rumah Pulih, mengenakan cardigan abu-abu dan memandangi layar laptopnya yang terbuka di atas meja kayu. Laman media sosialnya terbuka otomatis karena pengaturan otomatis browser. Namun, yang terpampang bukan notifikasi biasa dari pasien yang berterima kasih atau rekan sejawat yang membagikan artikel tentang kesehatan mental.Matanya membeku menatap tulisan di layar.“Katanya pendiri Rumah Pulih hamil tanpa suami resmi.Anak siapa? Tama Wiratama? Atau dokter Zaki?”— akun anonim @InsideJakarta_TruthsUnggahan itu disertai foto dirinya, candid dari belakang, saat keluar dari Rumah Pulih dengan perut yang mulai tampak membulat. Di bawahnya, ratusan komentar sudah mengalir deras.“Astaghfirullah, panutanku ternyata munafik.”“Katanya bant

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 83. Zaki Tahu Segalanya

    Hujan belum juga reda ketika Zaki menutup pintu mobilnya di halaman Rumah Pulih. Lampu teras menyala redup, menembus kabut tipis yang menggantung di udara malam. Ia baru kembali dari rumah sakit, kunjungan yang seharusnya rutin, mengecek berkas untuk program kesehatan ibu dan anak yang sedang digarapnya bersama tim. Namun, malam ini, berkas yang ia bawa pulang bukan sekadar data medis biasa.Di tangannya, map putih bertuliskan nama yang terlalu familiar, Alya. N. Wiratama.Zaki menatap tulisan itu lama. Huruf demi huruf seperti meninju dadanya, membuat napasnya sesak. Ia tahu, seharusnya ia tidak boleh membuka data pribadi pasien tanpa izin. Namun, nama itu, nama yang dulu begitu dekat dengannya, yang masih bergema di kepalanya setiap kali malam datang, membuat rasa penasaran menembus batas profesionalisme.Tangannya gemetar saat membuka map itu. Di dalamnya ada beberapa lembar hasil tes laboratorium, termasuk hasil tes kehamilan yang dicetak dua minggu lalu. Positif.Zaki terdiam. De

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 82. Bayangan di Balik Kabar Baru

    Hujan mengguyur Jakarta sejak pagi. Rintiknya jatuh seperti ritme jantung Alya yang masih belum bisa tenang, meski dua garis merah di alat tes itu sudah berhari-hari berlalu. Ia kini tahu, semua orang tahu, bahwa ia hamil. Tama sudah mengetahuinya sejak seminggu lalu. Tapi, entah kenapa, kegembiraan yang seharusnya hadir tak sepenuhnya tumbuh. Ada sesuatu di antara mereka yang tetap menggantung, seperti kabut yang tak mau sirna.Rumah kecil mereka di pinggiran Jakarta kini terasa lebih hangat, tetapi juga lebih sunyi. Dinding putih, kursi rotan di teras, dan aroma teh melati yang Alya seduh setiap pagi, semuanya tampak sama. Hanya saja, setiap kali Tama menatap perutnya yang masih datar, Alya tahu ia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu, ketakutan, mungkin. Atau penyesalan.“Mas berangkat sekarang?” tanya Alya pelan dari dapur, suaranya setenang mungkin. Ia masih berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa mereka kembali hidup bersama, setelah begitu banyak luka dan perpisaha

  • Kontrak Cinta, Luka Nyata   Bab 81. Tes Kehamilan dan Luka yang Nyata

    Suara hujan turun pelan di luar jendela, mengetuk atap rumah kecil Alya seperti suara kenangan yang enggan reda. Pagi itu, udara dingin menusuk kulitnya, tapi bukan udara yang membuatnya menggigil, melainkan ketakutan yang belum berani ia hadapi sepenuhnya.Tes kehamilan itu tergeletak di atas meja kecil, masih terbungkus plastik. Alya menatapnya lama, seolah-olah benda itu bisa berbicara dan memberi jawaban yang ia inginkan. Namun, tidak ada yang datang, hanya keheningan dan degup jantung yang terdengar terlalu keras di dada.Sudah seminggu sejak Tama tahu kabar kehamilan itu. Mereka sempat bicara, tapi percakapan itu menggantung. Tama hanya menatapnya lama malam itu, antara cemas dan tidak percaya. Alya sendiri belum bisa memberikan kepastian. Ia belum memeriksa apapun secara medis. Ia hanya merasa tubuhnya berbeda, mual, lelah, dan cepat menangis tanpa alasan.Kini, sendirian di rumah barunya, semua yang ia tunda akhirnya datang menuntut keberanian.Ia membuka bungkus plastik perla

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status