Alya menggenggam erat kemoceng yang sejak tadi tak ia gunakan. Tangannya gemetar, bukan karena kelelahan, tapi karena bayangan pesan misterius semalam yang masih mengendap dalam pikirannya. Suara detak jam dinding di pojok ruang lounge perusahaan terdengar lebih keras dari biasanya. Hening pagi itu seperti menyimpan sesuatu yang akan pecah kapan saja.
Ia mencoba fokus. Ruangan ini adalah tempat Raga biasa bersantai sebelum memulai hari. Namun, pagi itu, hanya Alya di sana, sendirian, mencoba menyeka debu di meja marmer panjang, sementara pikirannya berkelindan pada hal-hal yang sulit dijelaskan. Semalam, ia tak bisa tidur. Pesan itu, singkat, tetapi menusuk. Alya terus kepikiran soal surat itu. Dia menghela napas panjang. Kau pikir bisa menyembunyikan segalanya? Permainan ini baru dimulai. Alya tahu, pernikahannya dengan Tama bukan rahasia selamanya. Akan ada saatnya seseorang—mungkin banyak orang—mengetahui apa yang telah terjadi. Tapi, siapakah pengirim pesan itu? Apa yang mereka tahu? Dan apa maksud dari permainan yang dimaksud? Langkah kaki terdengar dari arah belakang. Suara sepatu kulit yang khas. Alya menoleh perlahan. Raga. Pria itu berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung hingga siku. Wajahnya tampak lelah, tapi ada kilatan tajam di matanya saat menatap Alya. "Pagi, Alya," sapa Raga, suaranya lembut namun terdengar tegas. Alya mengangguk kecil. "Selamat pagi, Raga." Raga berjalan perlahan, lalu berhenti di hadapan Alya. Mereka hanya berjarak satu meter, cukup dekat untuk mendengar degup jantung masing-masing. "Aku .…" Raga menghela napas. "Aku tahu aku bukan siapa-siapa buatmu. Tapi, ada sesuatu yang harus kukatakan." Alya menunduk. "Raga, aku cuma cleaning service di sini. Aku ... nggak layak didekati." Raga mengerutkan kening. "Itu bukan alasan. Dan jangan pernah merendahkan dirimu seperti itu." Ia mengangkat dagu Alya perlahan, memaksanya menatap mata itu—mata yang hangat, tetapi menyimpan luka. "Aku sudah lama memperhatikanmu, Alya. Sejak SMA, bahkan sejak hari pertama aku masuk kerja. Kamu terlihat berbeda. Kamu punya cara sendiri menghadapi dunia. Kamu selalu tersenyum meski terlihat lelah. Kamu menyimpan banyak luka, tapi tetap bisa memperlakukan orang lain dengan lembut." Raga menatap Alya dengan lembut dan tulus. Alya memalingkan wajah. Hatinya bergetar, tetapi ia tak bisa membiarkan dirinya hanyut. Dia tak bisa menatap mata Raga yang penuh ketulusan. Tidak setelah apa yang terjadi dengan Tama. Alya bisa melihat ketulusan Raga. Cinta dan kasih sayang yang tulus, tetapi Alya tak bisa membalas ketulusan itu. Alya memejamkan mata dan menarik napas dalam. Ia sungguh bingung dengan semua yang menimpanya. Alya tak tahu harus bagaimana. "Jangan, Raga. Jangan lanjutkan. Aku … aku nggak bisa membalas." Raga terdiam. Ia menarik napas panjang, lalu berkata pelan, "Aku nggak minta kamu membalas sekarang. Aku cuma ingin kamu tahu. Bahwa setiap kali kamu merasa sendiri, ada seseorang yang peduli. Aku." Hening menggantung di antara mereka. Alya menunduk lagi, berusaha menahan air mata yang menggenang. "Raga, aku sudah menikah," lirih Alya, nyaris tak terdengar. Raga menatapnya dalam-dalam. "Dengan siapa?" Alya tak menjawab. Ia hanya menggigit bibirnya, menahan luka yang ingin meledak. Ia tahu Raga pantas tahu, tapi ia tak siap mengatakan kebenaran. *** Beberapa hari setelah pengakuan itu, hubungan mereka menjadi canggung. Raga tak lagi sesering itu menyapa. Alya pun sibuk menghindar. Namun, hatinya, hatinya seperti ditarik ke dua arah yang saling berlawanan. Raga, dengan segala ketulusannya. Dan Tama, dengan segala luka yang masih basah. Di malam hari, Alya duduk sendirian di balkon kamar apartemen kecil yang disediakan oleh perusahaan. Angin malam membelai pipinya. Ia memeluk lututnya sendiri. Lalu, sebuah suara muncul dari belakang. "Kamu masih mikirin pesan itu?" Alya menoleh. Tama berdiri di ambang pintu balkon. Tanpa jas, hanya mengenakan kaus abu-abu. Sorot matanya tenang, seperti malam yang panjang. "Kau tahu tentang pesan itu?" tanya Alya, gugup. Tama mengangguk. "Aku tahu lebih banyak dari yang kau bayangkan." "Siapa yang kirim?" Tama mendekat, duduk di kursi sebelah Alya. "Seseorang yang tidak suka kita bersama. Tapi, bukan itu yang ingin kubahas malam ini." Alya menahan napas. "Aku ingin menepati janjiku," lanjut Tama. "Aku bilang, setelah enam bulan, aku akan menceraikanmu. Tapi, sekarang, aku ragu." Alya menatapnya, tak percaya. "Kau bilang ini hanya formalitas. Kau masih punya istri." "Istriku tahu. Dan dia membenciku karena ini. Tapi, yang lebih penting, aku mulai mempertanyakan segalanya. Termasuk perasaan ini." Alya bangkit. "Jangan. Jangan mulai bermain hati, Tama. Kita sudah salah dari awal. Kita … seharusnya tidak saling memiliki." Tama menatapnya dalam. "Lalu kenapa kau menangis saat kutinggal? Kenapa kau gemetar setiap kali aku datang? Jangan bohong, Alya. Kamu pun mulai merasa sama." Alya tak bisa menjawab. Ia pergi meninggalkan balkon, masuk ke kamar, dan menutup pintu dengan gemetar. Lalu, diam-diam ia menangis. Entah apa yang ia tangisi, Alya pun bingung. *** Keesokan harinya, Raga menunggu Alya di depan pantry kantor. Dengan tangan gemetar, ia menyodorkan sebuah surat. "Apa ini?" tanya Alya. "Surat pengunduran diri. Dari aku." Alya terbelalak. "Kenapa?" "Karena aku tahu kamu nggak nyaman. Karena aku nggak mau membuat segalanya lebih rumit. Karena … aku mencintaimu, Alya. Tapi, aku nggak mau jadi alasan kamu terluka." Alya menatap surat itu, hatinya seperti ditusuk ribuan jarum. Raga akan pergi. Satu-satunya sosok yang mampu melihatnya sebagai manusia, bukan sekadar istri simpanan. "Raga, tunggu. Jangan pergi. Aku—" "Kamu nggak harus balas perasaan ini. Aku cuma ingin kamu tahu. Aku ingin pergi sebelum semuanya terlambat." Raga berkata sambil tersenyum. Alya hanya bisa membeku tanpa menjawab sepatah kata pun. Raga berbalik, meninggalkan Alya yang berdiri membeku. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Alya tak bisa menahan kesedihannya, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Dan dari kejauhan, Tama menyaksikan semuanya. Wajahnya dingin. Matanya tajam. Namun, bibirnya melengkungkan senyum tipis yang aneh. Entah marah, entah kecewa. Tak ada yang tahu bagaimana perasaan Tama yang sebenarnya. *** Di malam yang sama, Alya menerima pesan baru di ponselnya. Kau pikir bisa memilih? Bahkan hatimu pun bukan milikmu sendiri. Tubuhnya menggigil. Lalu terdengar suara ketukan di pintu apartemennya. Tok. Tok. Tok. Tiga ketukan pelan. Dan suara dari balik pintu, rendah dan jelas: "Alya, aku perlu bicara." Suara itu … bukan suara Tama. Bukan pula Raga. Siapa? Alya melangkah pelan. Jantungnya berdetak keras. Ia meraih gagang pintu dengan tangan gemetar. Saat ia membuka pintu, matanya membelalak. Seseorang dari masa lalunya berdiri di sana. "Alya, aku datang untuk menagih janji kita." ***Hujan mengguyur Jakarta sejak pagi. Rintiknya jatuh seperti ritme jantung Alya yang masih belum bisa tenang, meski dua garis merah di alat tes itu sudah berhari-hari berlalu. Ia kini tahu, semua orang tahu, bahwa ia hamil. Tama sudah mengetahuinya sejak seminggu lalu. Tapi, entah kenapa, kegembiraan yang seharusnya hadir tak sepenuhnya tumbuh. Ada sesuatu di antara mereka yang tetap menggantung, seperti kabut yang tak mau sirna.Rumah kecil mereka di pinggiran Jakarta kini terasa lebih hangat, tetapi juga lebih sunyi. Dinding putih, kursi rotan di teras, dan aroma teh melati yang Alya seduh setiap pagi, semuanya tampak sama. Hanya saja, setiap kali Tama menatap perutnya yang masih datar, Alya tahu ia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu, ketakutan, mungkin. Atau penyesalan.“Mas berangkat sekarang?” tanya Alya pelan dari dapur, suaranya setenang mungkin. Ia masih berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa mereka kembali hidup bersama, setelah begitu banyak luka dan perpisaha
Suara hujan turun pelan di luar jendela, mengetuk atap rumah kecil Alya seperti suara kenangan yang enggan reda. Pagi itu, udara dingin menusuk kulitnya, tapi bukan udara yang membuatnya menggigil, melainkan ketakutan yang belum berani ia hadapi sepenuhnya.Tes kehamilan itu tergeletak di atas meja kecil, masih terbungkus plastik. Alya menatapnya lama, seolah-olah benda itu bisa berbicara dan memberi jawaban yang ia inginkan. Namun, tidak ada yang datang, hanya keheningan dan degup jantung yang terdengar terlalu keras di dada.Sudah seminggu sejak Tama tahu kabar kehamilan itu. Mereka sempat bicara, tapi percakapan itu menggantung. Tama hanya menatapnya lama malam itu, antara cemas dan tidak percaya. Alya sendiri belum bisa memberikan kepastian. Ia belum memeriksa apapun secara medis. Ia hanya merasa tubuhnya berbeda, mual, lelah, dan cepat menangis tanpa alasan.Kini, sendirian di rumah barunya, semua yang ia tunda akhirnya datang menuntut keberanian.Ia membuka bungkus plastik perla
Angin pagi menelusup lembut lewat jendela kayu yang sedikit terbuka. Cahaya mentari menembus tirai putih, menggambar garis-garis tipis di dinding ruang kecil itu. Suara burung gereja dari genteng terdengar bersahutan, dan aroma kopi hitam mengepul dari cangkir yang belum disentuh.Alya duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan kegiatan mingguan Rumah Pulih. Di pojok kanan bawah layar, jam menunjukkan pukul 07.12 pagi. Beberapa bulan telah berlalu sejak surat dari Ranti tiba. Waktu memang tak menghapus semua luka, tapi perlahan menjahitnya, satu per satu.Ia kini menempati rumah kecil di belakang kompleks Rumah Pulih, rumah hasil tabungan dan kerja kerasnya selama dua tahun terakhir. Dindingnya belum dicat sempurna, tapi wangi kayu dan udara pagi yang bebas dari kebisingan membuat tempat itu terasa seperti pelukan. Tama sering datang menginap di akhir pekan, kadang membantu memperbaiki kran, kadang hanya duduk membaca di teras sambil menyeruput teh buatan Al
Pagi itu, udara Jakarta terasa lembap setelah semalaman diguyur hujan. Langit masih kelabu, tapi di sela awan tampak secercah cahaya mentari yang malu-malu muncul. Alya membuka jendela kecil kontrakannya. Angin membawa aroma tanah basah dan sisa wangi daun kamboja dari halaman belakang Rumah Pulih. Hari itu seharusnya biasa saja, seperti pagi-pagi lain di mana ia menyiapkan teh, memeriksa daftar kegiatan relawan, dan menulis sedikit di jurnalnya sebelum berangkat.Namun, ketenangan pagi itu terusik ketika suara ketukan terdengar di pintu. Pelan, berulang, seolah-olah pengantarnya tak yakin harus mengetuk lebih keras atau tidak.“Sebentar .…” Alya berjalan menghampiri. Di depan pintu, berdiri seorang kurir perempuan muda berseragam abu-abu. Ia tersenyum sopan sambil menyerahkan sebuah amplop cokelat dengan logo jasa pengiriman di pojok kiri atas.“Untuk Ibu Alya. N.?”“Iya, saya sendiri.”“Tolong tanda tangan di sini.”Alya menandatangani lembar kecil itu tanpa curiga. Namun, begitu ku
Jakarta masih dalam suasana hujan sore yang malas. Awan menggantung rendah di langit, seolah-olah ikut menahan segala kenangan yang belum sempat reda. Rintik air menuruni kaca jendela kontrakan Alya perlahan, menciptakan irama lembut yang menenangkan, seolah-olah dunia sedang beristirahat dari kebisingannya sendiri. Beberapa minggu telah berlalu sejak kejadian di mal, pertemuan tak terduga yang hampir mengguncang ketenangan yang baru saja Alya temukan. Percakapannya dengan Raga di teras kontrakan pun masih sesekali terlintas, tapi tidak lagi menimbulkan perih. Semuanya mulai terasa seperti lembar lama yang sudah rampung dibaca, disimpan di rak ingatan tanpa keinginan untuk dibuka kembali.Kini, hari-hari Alya kembali diisi dengan rutinitas yang ia cintai. Ia kembali ke Rumah Pulih, tempat di mana ia menyalurkan tenaga dan pikirannya untuk membantu orang-orang yang ingin bangkit dari luka masa lalu. Bangunan sederhana di samping kontrakannya itu kini dikelola oleh relawan baru, tetapi
Pusat perbelanjaan sore itu ramai, tapi langkah Alya terasa ringan, dan sekaligus berat. Sudah berminggu-minggu sejak ia terakhir bertemu Tama. Ia pikir kepergian itu akan memudahkannya melupakan, tapi setiap sudut kota justru mengingatkannya pada pria itu.Ia berhenti di depan etalase toko buku, memandangi rak berisi novel-novel baru.“Lucu,” gumamnya lirih. “Dulu aku selalu ingin menulis kisah tentang orang lain … tapi sekarang malah terjebak dalam kisahku sendiri.”Tangannya gemetar kecil saat mengambil minuman di kios terdekat. Di tengah lamunannya, seseorang menabraknya pelan.“Maaf, Mbak .…” Suara perempuan paruh baya terdengar. Alya menoleh, tersenyum sopan.“Tidak apa-apa, Bu.”Perempuan itu memandangi Alya agak lama sebelum berkata, “Kamu kerja di kantor Tama, ya?”Alya menatapnya, kaget. “Ibu kenal Pak Tama?”Perempuan itu tersenyum samar. “Kenal. Aku dulu tetangga kecilnya di kampung. Anak itu keras kepala, tapi bukan karena sombong. Hidupnya berat dari kecil.”Alya diam. A