Pagi itu, udara Jakarta masih dipenuhi sisa embun. Matahari baru saja naik, cahayanya menembus tirai tipis di kontrakan kecil Alya. Ia duduk termenung di meja kayu yang mulai kusam, dengan secangkir teh hangat yang sudah dingin. Wajahnya tampak letih. Malam-malam panjang yang penuh tangis dan kecemasan masih jelas meninggalkan jejak di matanya.Namun, pagi itu berbeda. Ada sebuah amplop cokelat yang diletakkan rapi di atas meja. Alya sempat terkejut ketika menerima amplop itu dari seorang kerabat jauh yang datang menemuinya kemarin sore. Katanya, amplop ini adalah titipan lama dari ibunya, sebuah surat wasiat yang baru diberikan setelah semua urusan keluarga di kampung selesai.Alya menatap amplop itu lama sekali. Tangannya enggan merobeknya, seakan-akan dengan membuka, ia akan kembali mengingat luka lama. Namun, sekaligus ada dorongan halus dari hatinya, suara lirih yang berkata, “Bacalah, Nak. Itu pesan terakhir ibumu.”Dengan napas gemetar, Alya akhirnya membuka perlahan. Kertas li
Suasana kontrakan sederhana itu masih menyisakan dingin dari malam panjang yang baru saja dilewati Alya. Udara pagi menelusup lewat celah jendela, membawa aroma tanah basah sisa hujan dini hari. Matahari menyorot malu-malu, seakan-akan tak sanggup menyingkirkan bayangan yang terus membekap batin Alya.Ia duduk di tepi ranjang dengan selimut masih melingkari tubuhnya. Wajahnya pucat, mata bengkak karena tangis yang tak kunjung reda semalam. Meski tubuhnya sudah bebas dari ikatan, hatinya masih terbelenggu oleh trauma. Bayangan pria-pria bertopeng itu, ancaman yang mereka lontarkan, dan perasaan nyaris kehilangan hidupnya, semuanya membekas begitu dalam.Raga duduk tak jauh darinya. Lelaki itu berusaha tampak tenang, meski sorot matanya menyimpan kelelahan. Semalaman ia tidak tidur, hanya duduk di kursi, menjaga agar Alya merasa aman. Ketika Alya terbangun, Raga tersenyum tipis, mencoba memberi rasa nyaman.“Alya, kau mau sarapan sedikit? Aku bisa belikan bubur di depan,” ucap Raga lemb
Alya duduk meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya gemetar. Bau lembap menyesakkan dada, lampu redup bergoyang pelan seakan-akan mengejek ketakutannya. Pikirannya berputar, tentang wawancara kerja yang gagal, tentang keluarganya di kampung yang pasti cemas, tentang dirinya yang selalu terjebak dalam pusaran masa lalu.“Kenapa aku harus terus-terusan dihukum karena nama itu? Tama Wiratama?”Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Air mata mengalir tanpa henti. Suara pintu berdecit masih membekas di telinga, begitu pula ancaman dingin pria-pria bertopeng tadi.Di tengah kepasrahan itu, langkah-langkah berat terdengar di luar. Alya menegang. Pintu berderit lagi, dan kali ini seseorang masuk, bukan pria bertopeng, bukan juga wajah asing.“Alya!” Suara itu pecah penuh emosi.Alya mendongak, matanya melebar. “R … Raga?”Ya, sosok itu berdiri di ambang pintu. Raga, dengan wajah pucat dan napas memburu, seolah-olah berlari menembus badai untuk sampai ke sana.Alya nyaris tak percaya. “Bagaimana
Langit Jakarta pagi itu berwarna pucat, seakan-akan menyimpan rahasia yang tak terucap. Alya bangun lebih awal dari biasanya. Sejak beberapa hari terakhir, ia menyiapkan diri untuk wawancara kerja di sebuah perusahaan media ternama. Pagi ini adalah hari yang menentukan, sebuah kesempatan untuk memulai hidup baru, menata masa depan setelah semua kegelisahan yang sempat mencekiknya.Ia menatap pantulan dirinya di cermin kecil di kamar kontrakan sederhana yang ia tinggali. Rambutnya ia ikat rapi, wajahnya hanya dihiasi bedak tipis. Tak ada kemewahan, hanya kesederhanaan yang berusaha ia pertahankan. Namun, di balik itu, ada semangat yang membara."Bismillah," bisiknya lirih.Ia meraih tas kerjanya, memasukkan berkas-berkas penting, lalu melangkah keluar. Jakarta masih ramai, meski matahari belum terlalu tinggi. Hiruk pikuk kendaraan, suara klakson, dan pedagang kaki lima menjadi latar perjalanan Alya menuju halte bus.Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika sebuah mobil hitam berhent
Langit Jakarta sore itu berwarna abu-abu, seolah-olah menahan hujan yang tak kunjung turun. Lalu lintas di sekitar gedung kementerian tempat Tama bekerja semakin padat, puluhan kamera sudah menunggu di depan pintu lobi. Suara berisik wartawan bercampur dengan kilatan lampu kamera menciptakan suasana yang tegang.Tama menarik napas panjang sebelum melangkah keluar dari mobil dinasnya. Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini terlihat tegang. Ia sudah tahu apa yang akan menantinya. Bukan tentang program kerja, bukan pula tentang kebijakan yang baru saja ia luncurkan. Hari ini, ia akan “diadili” oleh media mengenai sesuatu yang paling ingin ia sembunyikan, rumah tangganya.“Pak Tama! Bagaimana tanggapan Anda soal isu rumah tangga dengan Ibu Ranti?”“Benarkah Anda pernah berselingkuh di masa lalu?”“Nama Alya disebut-sebut, siapa sebenarnya dia bagi Anda?”Pertanyaan-pertanyaan itu menghantam telinganya bagai peluru. Tama terdiam, menahan diri untuk tidak bereaksi berlebihan. Ia tah
Langit Jakarta siang itu biru pucat, dihiasi gumpalan awan putih yang bergerak pelan. Alya baru saja keluar dari rumah tua peninggalan ibunya untuk membeli kebutuhan dapur di minimarket dekat ujung gang. Sejak Bibi Sulastri sering datang membawakannya makanan, ia mulai sadar tak bisa terus-menerus bergantung. Ia harus belajar merawat dirinya sendiri, setidaknya mulai dari hal kecil seperti memasak.Dengan langkah pelan, ia menyusuri jalan setapak yang dipenuhi pohon ketapang. Bayangan pepohonan itu membuat jalan terasa teduh. Di telinganya, earphone menggantung tanpa suara, ia lebih memilih mendengar riuh kehidupan sekitar daripada musik. Anak-anak kecil bermain karet lompat, ibu-ibu bercakap di warung sayur, motor lalu-lalang. Kehidupan yang ramai itu terasa kontras dengan hati Alya yang masih penuh luka setelah pengakuan Bibi Sulastri tentang ayahnya.Di dalam minimarket, Alya berdiri di depan rak beras, menimbang ukuran kemasan yang cocok. Saat itulah ia mendengar suara seorang per