Sudah seminggu sejak Nayaka resmi meninggalkan Arvenza Corp.Pagi-pagi, suara burung dan matahari lembut menggantikan bunyi notifikasi dan rapat daring yang dulu jadi latar hidup mereka.Rumah terasa asing, tapi dalam arti yang menenangkan seperti ruang kosong yang perlahan belajar diisi ulang oleh dua orang yang sama-sama sedang mencari makna baru.Ayla duduk di meja makan, menatap halaman yang mulai ditumbuhi bunga liar. Ia tak ingat kapan terakhir kali punya waktu untuk memperhatikan hal sesederhana itu. Di depannya, Nayaka muncul dengan rambut sedikit acak dan kaus polos abu-abu bukan jas mahal atau kemeja kerja seperti dulu. Ada keanehan kecil yang justru membuat Ayla tersenyum.“Teh atau kopi?” tanya Nayaka sambil menuangkan air panas.“Teh. Aku butuh sesuatu yang bikin tenang.”“Lucu, dulu kamu nggak suka teh.”“Dulu aku juga nggak suka kamu,” jawab Ayla santai, membuat Nayaka tertawa.Suasana pagi itu terasa ringan, tapi ada sesuatu yang tak bisa mereka abaikan semacam jeda di
Sudah hampir dua bulan sejak semuanya berakhir.Sejak sistem Pulse dihentikan total, sejak Meira menghilang tanpa jejak, sejak dunia yang dulu penuh intrik digital itu perlahan kehilangan gaungnya. Kini, kehidupan berjalan seperti lembar baru seolah badai besar telah berlalu, menyisakan langit yang masih berawan tapi tidak lagi mengancam.Ayla menatap jendela rumah mereka pagi itu. Udara lembab, aroma tanah basah tercium samar dari taman belakang.Ia masih bisa mendengar suara mesin kopi di dapur, bunyi yang dulu terasa asing kini menjadi rutinitas kecil yang menenangkan. Nayaka sudah bangun lebih dulu kebiasaan lama yang ternyata sulit hilang. Hanya saja, kali ini alasannya berbeda: bukan karena rapat atau laporan, tapi karena ingin menyiapkan sarapan untuk istrinya sendiri.“Telur setengah matang atau omelet?” teriak Nayaka dari dapur.Ayla menahan senyum. “Apa pun yang nggak gosong.”“Tantangan berat,” balas Nayaka, membuatnya tertawa.Ia berjalan ke dapur, menemukan Nayaka dengan
Pagi di vila tepi kota itu sunyi.Burung gereja bersuara pelan dari pohon mangga di halaman, dan embun masih menempel di kaca jendela kamar mereka. Ayla bangun lebih dulu, membiarkan sinar matahari menembus tirai tipis, lalu menatap Nayaka yang masih tertidur di sisi ranjang. Wajahnya damai, tak lagi menyimpan tekanan atau rasa bersalah seperti dulu.Ia tak ingat kapan terakhir kali melihat Nayaka benar-benar tertidur seperti itu tanpa beban, tanpa skema di pikirannya.Ayla menarik napas panjang. “Akhirnya kita… bisa tenang,” gumamnya.Ia turun ke dapur, menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang, kopi hitam, dan sedikit selai stroberi yang dulu selalu ia hindari karena terlalu manis. Tapi pagi ini berbeda. Mungkin karena setelah sekian lama hidup di bawah bayang Pulse, rasa manis sederhana seperti itu terasa seperti anugerah.Saat aroma kopi mulai memenuhi ruangan, langkah berat terdengar di belakangnya.“Pagi,” suara Nayaka serak.Ayla menoleh, tersenyum kecil. “Pagi. Kamu akhirnya
Suara hujan tinggal sisa. Di luar, langit Arvenza tampak berdebu, kelabu seperti kehilangan cahayanya sendiri.Di dalam laboratorium yang kini hening, dua tubuh masih terbaring di atas lantai logam yang dingin Ayla dan Nayaka.Reynard duduk di sudut ruangan, kelelahan. Sudah hampir tiga jam sejak sistem Pulse benar-benar mati. Dan di layar utama, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, tidak ada satu pun gelombang data yang bergerak.“Semua sinyal berhenti,” bisiknya pelan, seolah tak berani percaya. “Tak ada lagi jaringan, tak ada lagi kesadaran digital... semuanya hilang.”Tapi sesuatu dalam dirinya tahu, ini bukan sekadar akhir sebuah sistem. Ini pemutusan sebuah ikatan yang lebih dalam dari sekadar teknologi.Ayla membuka matanya perlahan. Cahaya lampu redup menusuk pupilnya, membuat napasnya tersengal. Tubuhnya terasa ringan terlalu ringan. Seolah separuh dirinya masih tertinggal di tempat lain.“Nayaka…” suaranya parau.Pria itu menoleh cepat, menggenggam tangan Ayla dengan lega
Hening.Hanya desis halus listrik statis yang mengisi udara setelah ledakan cahaya di laboratorium. Asap belum sepenuhnya sirna, tapi dari tengah kepulan itu, dua siluet muncul perlahan Nayaka dan Ayla.Namun sesuatu telah berubah.Bukan hanya di tubuh mereka, tapi di udara di sekitar. Pulse masih hidup, tapi kini mengalir seperti aliran darah kedua, seolah mereka berdua telah menjadi jantungnya.Reynard berlari mendekat, menahan batuk. “Nayaka! Ayla! Kau dengar aku?”Nayaka menatapnya dengan mata yang bersinar samar. Ada manusia di sana, tapi juga sesuatu yang lain lebih dalam, lebih asing.“Aku mendengarmu,” katanya pelan. “Tapi semuanya… terdengar terlalu jelas.”Reynard menatap ngeri. “Kau kau bukan cuma sinkron. Kau menyatu.”Ayla melangkah maju, menatap tangannya sendiri. Setiap kali ia bergerak, cahaya biru samar mengikuti garis nadinya.“Pulse tidak lagi sistem,” katanya dengan suara berlapis, seperti dua nada bersamaan. “Ini simbiosis.”Nayaka memegang kepalanya, terhuyung. “
Hujan belum berhenti sejak malam itu. Langit di atas Arvenza kelabu, bergemuruh seolah menahan sesuatu yang lebih dari sekadar badai.Nayaka duduk di depan meja laboratoriumnya, matanya nyalang menatap layar holografik yang menampilkan ribuan garis data Pulse. Di pergelangan tangannya, gelang retak yang dulunya menjadi simbol sinkronisasi dengan Ayla kini hanya berkedip samar seperti detak jantung yang menolak mati.Di sisi lain ruangan, Reynard berdiri dengan wajah tegang. “Kau yakin mau lakukan ini? Sistem Pulse belum stabil. Kalau kau paksakan untuk dibalik…”“Dia akan mati,” potong Nayaka datar. “Kalau aku diam saja, dia tetap mati. Jadi tidak ada bedanya.”Reynard memijit pelipis. “Kau bukan cuma main dengan teknologi, Nay. Kau main dengan sesuatu yang bahkan Sofira sendiri sembunyikan.”Nayaka berhenti mengetik, matanya menatap kosong. “Justru karena itu. Sofira menyembunyikan sesuatu yang bahkan Meira nggak paham. Tapi aku tahu dia meninggalkan kunci.”Ia menggeser layar, menam