Beranda / Romansa / Kontrak Cinta Sang CEO / Rumah tanpa kehangatan

Share

Rumah tanpa kehangatan

Penulis: Reju
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-03 22:38:00

Mobil hitam berlapis kaca gelap itu berhenti tepat di depan sebuah gerbang besi tinggi yang berukir elegan. Kamera pengintai otomatis mengenali plat nomor, gerbang pun terbuka perlahan, seolah menyambut tamu yang tak diundang.

Ayla menatap keluar jendela dengan perasaan campur aduk. Di pangkuannya, Nayla—adik semata wayangnya—tertidur pulas dengan kepala bersandar di pundaknya. Tangan Ayla menggenggam tas kecil berisi pakaian seadanya, seolah itu satu-satunya pegangan hidup yang tersisa.

Ia masih belum percaya dirinya kini akan tinggal di rumah seorang CEO terkenal. Bukan sebagai pembantu. Tapi... istri kontrak.

“Ibu kota itu gila, ya…” gumam Nayla pelan ketika terbangun. Matanya yang masih berat berusaha fokus pada bangunan di depan. “Rumah siapa ini, Kak?”

Ayla tersenyum kaku. “Tempat kerja baru Kakak.”

Mobil berhenti tepat di halaman. Seorang wanita paruh baya berseragam rapi menyambut mereka dengan ramah. “Selamat datang. Saya Lani, kepala pengurus rumah ini.”

Ayla buru-buru menunduk sopan. “Saya… Ayla.”

“Kami sudah diberitahu. Kamar Anda sudah disiapkan. Adik Anda juga mendapat kamar di sebelah. Tapi ingat, aturan utama di rumah ini: jangan ganggu Tuan Nayaka kecuali sangat penting. Beliau sangat menjaga privasi.”

Ayla mengangguk cepat. “Saya mengerti.”

Malam itu, Ayla terduduk di ranjang empuk dengan seprai putih yang terasa terlalu mewah untuk disentuh. Kamar luas itu seperti pameran perabotan, bukan tempat tinggal. Dinding gading, tirai sutra, lemari kayu asli—semuanya terlalu sempurna, terlalu sunyi.

Nayla melompat ke atas ranjang dengan mata berbinar. “Ini beneran tempat kita tinggal sekarang, Kak?”

Ayla memaksakan senyum. “Iya, tapi cuma sementara.”

Gadis kecil itu memeluk kakaknya erat dari belakang. “Kakak hebat. Makasih udah nyelamatin Nayla.”

Ayla menggenggam tangan adiknya, menahan napas. Harga dari semua ini adalah harga dirinya sendiri.

---

Makan malam pertama bersama Nayaka berlangsung di ruang makan luas, tapi sunyi. Meja panjang yang bisa menampung sepuluh orang hanya diisi oleh dua.

Nayaka duduk di ujung meja, membaca dokumen sambil menyesap wine merah. Saat Ayla datang, ia hanya mengangkat wajah sebentar.

“Duduk.”

Ayla menuruti, duduk hati-hati di kursi seberang. Tak ada sapa, tak ada obrolan. Hanya suara sendok garpu yang beradu, dan detak jam yang menggantung di dinding.

Beberapa menit hening, akhirnya Nayaka bicara, suaranya tenang tapi tajam. “Besok kau akan dikenalkan ke media sebagai istriku. Akan ada pesta kecil. Jangan buat masalah.”

Ayla mengangguk pelan. “Baik.”

“Dan satu hal lagi.” Nayaka menatapnya lurus. “Jangan membuat hubungan kita terlihat palsu. Kau harus tampil meyakinkan. Aku benci drama murahan.”

Ayla menahan napas. “Saya mengerti, Tuan Nayaka.”

Pria itu berdiri tanpa menoleh lagi. Langkah kakinya tenang, tapi berat—seolah membawa sesuatu yang tak pernah ia ucapkan.

Hari pesta akhirnya tiba.

Gaun putih sederhana membalut tubuh Ayla di depan cermin besar. Riasan wajah menutupi lelahnya, membuatnya tampak seperti pengantin bangsawan. Tapi di balik semua itu, hatinya kosong.

Pesta digelar tertutup. Hanya kolega bisnis Nayaka yang hadir. Tak ada keluarga, tak ada janji suci, tak ada cinta. Hanya formalitas. Hanya kilatan kamera.

“Cium pengantin wanita,” fotografer berbisik.

Ayla menegang. Nayaka menoleh, menatapnya tanpa ekspresi, lalu meraih pinggangnya dan menempelkan bibir ke pipinya. Dingin. Cepat. Tanpa rasa.

Flash kamera meledak. Semua tersenyum. Semua berpesta.

Tapi Ayla tahu—ini bukan pernikahan. Ini hanya akting. Akting yang bisa menyeretnya ke jurang yang tak pernah ia bayangkan.

Pesta usai, gaun putih itu terasa lebih seperti kostum sandiwara. Ayla menatap bayangannya di cermin ruang rias. Matanya basah. Ia ingin menangis, tapi menahan diri.

Kamu memilih jalan ini, Ayla. Demi Nayla.

Pintu ruang rias terbuka. Reynard—pria berkacamata bulat yang selalu berada di sisi Nayaka—masuk pelan.

“Maaf jika saya mengejutkan,” katanya sopan. “Saya hanya ingin mengucapkan selamat.”

Ayla tersenyum tipis. “Terima kasih.”

Pria itu menatapnya lebih lama dari yang seharusnya. Ada sesuatu di sorot matanya. Ia tahu ini hanya sandiwara, tapi tak ada penilaian di sana.

“Kalau butuh bantuan nanti, jangan sungkan. Saya tahu ini tidak mudah.”

Ayla mengangguk pelan. “Saya juga nggak tahu ini apa, Pak Reynard. Tapi... saya akan mencoba menjalani.”

Beberapa hari setelah pesta, wajah Ayla sudah tersebar di media. Tagar #NayakaArvenzaMarried menduduki trending.

Komentar netizen tak berhenti berdatangan:

"Siapa tuh cewek? Kok tiba-tiba nikah?”

“Gila, CEO dingin itu ternyata udah laku?!”

“Pasti cuma ngincer harta.”

Ayla menutup ponsel dan menghela napas berat. Duduk sendirian di kursi taman belakang, ia menatap teh di tangannya yang sudah dingin.

“Capek ya, pura-pura bahagia?”

Suara itu membuatnya tersentak.

Nayaka berdiri di balik pohon kecil, kemeja putihnya digulung ke siku. Wajahnya tetap tenang, tapi tatapannya tajam. Ia berjalan mendekat dan duduk di bangku yang sama, seakan bangku itu memang miliknya.

Ayla menelan ludah. “Saya hanya… nggak terbiasa.”

Nayaka menyesap kopi dari cangkirnya. “Orang akan menilai apapun yang kau lakukan. Apalagi kalau kau ada di sampingku.”

Ayla menggigit bibir bawah. “Apa… itu sebabnya kamu nggak percaya cinta?”

Pertanyaan itu membuat Nayaka terdiam. Pandangannya menerawang jauh. Lalu, lirih sekali, ia menjawab:

“Karena cinta itu… pernah menghancurkan kakakku. Dan nyaris membunuhku juga.”

Malam itu, saat berjalan melewati lorong, Ayla melihat pintu ruang kerja Nayaka terbuka sedikit. Rasa penasaran mengalahkan akal sehat.

Ia mengintip.

Di dalam, Nayaka berdiri di depan dinding penuh foto dan berkas. Matanya menatap satu foto—seorang wanita muda, wajahnya mirip sekali dengan Ayla.

Jantung Ayla berdetak liar. Siapa dia…?

Tiba-tiba Nayaka menoleh. Tatapannya menusuk. “Keluar.”

Ayla terlonjak. “M-maaf… saya nggak sengaja—”

Nayaka menutup pintu dengan keras. “Jangan pernah dekati ruangan ini lagi.”

Ayla menunduk. “Baik.”

Tapi bahkan setelah pria itu pergi, Ayla masih berdiri di depan pintu.

Siapa wanita di foto itu?

Kenapa wajahnya mirip dirinya?

Dan apa yang sebenarnya disembunyikan Nayaka Arvenza?

BERSAMBUNG

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Epilog

    Tiga bulan berlalu sejak Alea lahir, dan rumah kecil itu berubah menjadi dunia baru yang penuh tawa kecil, tangis lucu, dan aroma bedak bayi yang selalu memenuhi udara. Tidak ada hari yang benar-benar sepi sekarang. Bahkan malam-malam begadang terasa seperti bagian dari petualangan baru yang Ayla dan Nayaka hadapi bersama.Pagi itu, matahari masuk melalui jendela dengan lembut, memantulkan cahaya hangat ke dinding kamar. Ayla sedang duduk di sofa sambil menggendong Alea yang baru saja selesai menyusu. Bayi kecil itu kini lebih sering membuka mata, menatap dunia dengan pandangan polos penuh rasa ingin tahu.Ayla menatap wajah anaknya dengan mata yang berbinar. “Kamu tau nggak, Alea? Kamu itu hadiah paling indah yang pernah ibu punya.”Alea hanya mengedip beberapa kali sebelum tangannya bergerak pelan, seolah meraih udara.Ayla tersenyum, lalu mencium dahinya.“Cantik banget…”Di sudut ruangan, Nayaka muncul dengan rambut sedikit acak-acakan—tanda khas ayah baru yang kurang tidur tapi b

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Menyempurnakan Segalanya

    Malam turun perlahan di atas rumah kecil itu, membawa keheningan yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Tidak ada rasa cemas, tidak ada bayang-bayang menakutkan, tidak ada ancaman yang mengintai di balik pintu. Yang tersisa hanyalah suara lembut angin malam yang menyelusup lewat celah jendela, dan aroma wangi kayu manis dari lilin kecil yang Ayla nyalakan sore tadi.Hari ini adalah hari pertama Alea berada di rumah. Hari pertama yang melelahkan, tapi juga hari yang membawa kebahagiaan paling murni yang pernah mereka rasakan.Ayla duduk di pinggir ranjang sambil menyandarkan tubuh ke dinding, menatap bayi kecilnya yang tertidur di dada Nayaka. Wajah Nayaka tampak lelah, tapi senyumnya tidak pernah hilang. Ia mengusap punggung Alea pelan, seolah mengelus dunia yang kini ada di pelukannya.“Kamu nggak capek gendong dia terus?” tanya Ayla pelan.Nayaka menggeleng. “Capek dikit, tapi hatiku seneng banget. Jadi nggak kerasa.”Ayla tersenyum lembut. “Dari tadi kamu mandang dia terus.”“Ya

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Menjadi Orang Tua

    Pagi itu langit cerah, seperti ikut merayakan hari kepulangan Alea ke rumah. Matahari tidak terlalu terik, hanya menyinari halaman depan rumah sakit dengan hangat lembut. Burung-burung kecil berkicau di pepohonan, seolah menyambut kelahiran seseorang yang membawa cahaya baru dalam hidup dua orang manusia.Ayla sudah bangun sejak pukul enam. Meski tubuhnya masih lemah, wajahnya memancarkan kebahagiaan yang nyaris tak bisa ia sembunyikan. Rambutnya yang diikat rapi memberi kesan lembut dan sederhana, namun senyum kecil di bibirnya adalah titik paling indah pagi itu.Di pangkuannya, Alea tertidur lagi setelah selesai menyusu. Napas kecil itu bergerak naik turun, teratur, damai… seperti malaikat yang tanpa sengaja tersesat ke dunia manusia.Nayaka masuk membawa kantong berisi perlengkapan bayi sambil tersenyum penuh kemenangan.“Semua sudah siap. Baju, selimut, diapers, tisu, pompa, dan—”“Aku cuma mau pulang, Nay, bukan pindahan rumah,” potong Ayla sambil tertawa.“Aku cuma jaga-jaga,” N

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Malam Pertama Bersama Putri Kecil

    Hujan di luar sudah berubah menjadi gerimis halus ketika malam tiba. Lampu-lampu di lorong rumah sakit meredup, suara langkah para perawat terdengar jauh, dan sunyi lembut menyelimuti ruangan bersalin.Ayla terbaring di tempat tidur pasien dengan tubuh letih, namun wajahnya memancarkan kebahagiaan yang sulit disembunyikan. Rambutnya yang sedikit berantakan, pipinya yang lembut, mata yang sembab karena menangis—semuanya justru membuatnya terlihat semakin lembut dan bersinar seperti seorang ibu baru.Di lengannya, tidur mungil seorang bayi yang baru beberapa jam hadir di dunia.Alea Nayara.Hadiah kecil itu kini bernafas pelan, hangat, tenang, dan damai di dada Ayla.Nayaka duduk di kursi tepat di sisi tempat tidur, wajahnya tak lepas dari Alea. Bukan sejak tadi, bukan hanya beberapa jam—pria itu benar-benar tidak memalingkan pandangan barang sedetik pun. Bahkan perawat sempat tertawa pelan melihatnya.“Pak, istirahat dulu, nanti sakit punggung loh,” kata perawat.Tapi Nayaka hanya meng

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Hadiah Kecil Dari Langit

    Hujan baru saja reda ketika Ayla terbangun oleh sensasi nyeri tumpul di bagian perut bawahnya. Bukan seperti kram biasa, bukan juga seperti gerakan mungil yang akhir-akhir ini sering membuatnya tersenyum. Ini berbeda—lebih berat, lebih dalam—sebuah tarikan yang terasa seperti gelombang.Ia menarik napas panjang, mencoba duduk, tapi rasa nyeri itu datang lagi. Lebih kuat.Ayla memejamkan mata. Ini waktunya?Di sebelahnya, Nayaka masih tertidur dengan posisi miring, satu tangan melingkar lembut di perut Ayla seperti malam-malam sebelumnya ketika ia selalu memeluk dua cinta hidupnya sekaligus. Ayla menatap wajah suaminya sebentar—lelah, tapi damai.Gelombang berikutnya datang. Ayla menggigit bibir.“Aduh… Ka…” bisiknya pelan.Nayaka mengerutkan alis bahkan sebelum bangun. Seolah tubuhnya punya sensor khusus terhadap Ayla. Ia langsung membuka mata.“Ayl?” suaranya serak dan panik. “Kenapa? Kamu sakit?”Ayla mengangguk kecil. “Kayanya… kontraksi.”Sekejap saja, ketenangan Nayaka hilang. Ia

  • Kontrak Cinta Sang CEO   Saat Dunia Menjadi Satu

    Waktu bergerak lebih cepat dari yang Ayla sadari. Tanpa terasa, perutnya yang dulu hanya selebar telapak tangan kini membulat penuh, mengisi setiap sudut hidupnya dengan debar yang berubah menjadi rutinitas: tendangan kecil, cegukan halus, rasa berat saat bangun, dan panggilan lembut Nayaka setiap malam sebelum mereka tidur.Tiga puluh delapan minggu berjalan.Pagi itu, Ayla terbangun dengan rasa kencang yang berbeda dari biasanya. Bukan sekadar pegal. Ada tekanan dari bawah, seperti tubuhnya sedang menyiapkan sesuatu yang besar.Ia duduk dengan hati-hati, memegangi perutnya.“Nay…” panggilnya lirih.Nayaka, yang sedang merapikan meja kerja di sudut kamar, langsung menoleh. “Kenapa? Sakit?” Ia buru-buru menghampiri.Ayla menggeleng pelan. “Kayaknya… mulai.”Nayaka terdiam sesaat, memandang wajah istrinya, lalu ke perutnya. “Kontraksi?”“Mungkin.” Ayla mengatur napas, mencoba membaca rasa yang muncul. “Belum terlalu sakit. Tapi beda.”Tidak butuh waktu lama sampai kontraksi kedua datan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status