Mobil hitam berlapis kaca gelap itu berhenti tepat di depan sebuah gerbang besi tinggi yang berukir elegan. Kamera pengintai otomatis mengenali plat nomor, gerbang pun terbuka perlahan, seolah menyambut tamu yang tak diundang.
Ayla menatap keluar jendela dengan perasaan campur aduk. Di pangkuannya, Nayla—adik semata wayangnya—tertidur pulas dengan kepala bersandar di pundaknya. Tangan Ayla menggenggam tas kecil berisi pakaian seadanya, seolah itu satu-satunya pegangan hidup yang tersisa. Ia masih belum percaya dirinya kini akan tinggal di rumah seorang CEO terkenal. Bukan sebagai pembantu. Tapi... istri kontrak. “Ibu kota itu gila, ya…” gumam Nayla pelan ketika terbangun. Matanya yang masih berat berusaha fokus pada bangunan di depan. “Rumah siapa ini, Kak?” Ayla tersenyum kaku. “Tempat kerja baru Kakak.” Mobil berhenti tepat di halaman. Seorang wanita paruh baya berseragam rapi menyambut mereka dengan ramah. “Selamat datang. Saya Lani, kepala pengurus rumah ini.” Ayla buru-buru menunduk sopan. “Saya… Ayla.” “Kami sudah diberitahu. Kamar Anda sudah disiapkan. Adik Anda juga mendapat kamar di sebelah. Tapi ingat, aturan utama di rumah ini: jangan ganggu Tuan Nayaka kecuali sangat penting. Beliau sangat menjaga privasi.” Ayla mengangguk cepat. “Saya mengerti.” Malam itu, Ayla terduduk di ranjang empuk dengan seprai putih yang terasa terlalu mewah untuk disentuh. Kamar luas itu seperti pameran perabotan, bukan tempat tinggal. Dinding gading, tirai sutra, lemari kayu asli—semuanya terlalu sempurna, terlalu sunyi. Nayla melompat ke atas ranjang dengan mata berbinar. “Ini beneran tempat kita tinggal sekarang, Kak?” Ayla memaksakan senyum. “Iya, tapi cuma sementara.” Gadis kecil itu memeluk kakaknya erat dari belakang. “Kakak hebat. Makasih udah nyelamatin Nayla.” Ayla menggenggam tangan adiknya, menahan napas. Harga dari semua ini adalah harga dirinya sendiri. --- Makan malam pertama bersama Nayaka berlangsung di ruang makan luas, tapi sunyi. Meja panjang yang bisa menampung sepuluh orang hanya diisi oleh dua. Nayaka duduk di ujung meja, membaca dokumen sambil menyesap wine merah. Saat Ayla datang, ia hanya mengangkat wajah sebentar. “Duduk.” Ayla menuruti, duduk hati-hati di kursi seberang. Tak ada sapa, tak ada obrolan. Hanya suara sendok garpu yang beradu, dan detak jam yang menggantung di dinding. Beberapa menit hening, akhirnya Nayaka bicara, suaranya tenang tapi tajam. “Besok kau akan dikenalkan ke media sebagai istriku. Akan ada pesta kecil. Jangan buat masalah.” Ayla mengangguk pelan. “Baik.” “Dan satu hal lagi.” Nayaka menatapnya lurus. “Jangan membuat hubungan kita terlihat palsu. Kau harus tampil meyakinkan. Aku benci drama murahan.” Ayla menahan napas. “Saya mengerti, Tuan Nayaka.” Pria itu berdiri tanpa menoleh lagi. Langkah kakinya tenang, tapi berat—seolah membawa sesuatu yang tak pernah ia ucapkan. Hari pesta akhirnya tiba. Gaun putih sederhana membalut tubuh Ayla di depan cermin besar. Riasan wajah menutupi lelahnya, membuatnya tampak seperti pengantin bangsawan. Tapi di balik semua itu, hatinya kosong. Pesta digelar tertutup. Hanya kolega bisnis Nayaka yang hadir. Tak ada keluarga, tak ada janji suci, tak ada cinta. Hanya formalitas. Hanya kilatan kamera. “Cium pengantin wanita,” fotografer berbisik. Ayla menegang. Nayaka menoleh, menatapnya tanpa ekspresi, lalu meraih pinggangnya dan menempelkan bibir ke pipinya. Dingin. Cepat. Tanpa rasa. Flash kamera meledak. Semua tersenyum. Semua berpesta. Tapi Ayla tahu—ini bukan pernikahan. Ini hanya akting. Akting yang bisa menyeretnya ke jurang yang tak pernah ia bayangkan. Pesta usai, gaun putih itu terasa lebih seperti kostum sandiwara. Ayla menatap bayangannya di cermin ruang rias. Matanya basah. Ia ingin menangis, tapi menahan diri. Kamu memilih jalan ini, Ayla. Demi Nayla. Pintu ruang rias terbuka. Reynard—pria berkacamata bulat yang selalu berada di sisi Nayaka—masuk pelan. “Maaf jika saya mengejutkan,” katanya sopan. “Saya hanya ingin mengucapkan selamat.” Ayla tersenyum tipis. “Terima kasih.” Pria itu menatapnya lebih lama dari yang seharusnya. Ada sesuatu di sorot matanya. Ia tahu ini hanya sandiwara, tapi tak ada penilaian di sana. “Kalau butuh bantuan nanti, jangan sungkan. Saya tahu ini tidak mudah.” Ayla mengangguk pelan. “Saya juga nggak tahu ini apa, Pak Reynard. Tapi... saya akan mencoba menjalani.” Beberapa hari setelah pesta, wajah Ayla sudah tersebar di media. Tagar #NayakaArvenzaMarried menduduki trending. Komentar netizen tak berhenti berdatangan: "Siapa tuh cewek? Kok tiba-tiba nikah?” “Gila, CEO dingin itu ternyata udah laku?!” “Pasti cuma ngincer harta.” Ayla menutup ponsel dan menghela napas berat. Duduk sendirian di kursi taman belakang, ia menatap teh di tangannya yang sudah dingin. “Capek ya, pura-pura bahagia?” Suara itu membuatnya tersentak. Nayaka berdiri di balik pohon kecil, kemeja putihnya digulung ke siku. Wajahnya tetap tenang, tapi tatapannya tajam. Ia berjalan mendekat dan duduk di bangku yang sama, seakan bangku itu memang miliknya. Ayla menelan ludah. “Saya hanya… nggak terbiasa.” Nayaka menyesap kopi dari cangkirnya. “Orang akan menilai apapun yang kau lakukan. Apalagi kalau kau ada di sampingku.” Ayla menggigit bibir bawah. “Apa… itu sebabnya kamu nggak percaya cinta?” Pertanyaan itu membuat Nayaka terdiam. Pandangannya menerawang jauh. Lalu, lirih sekali, ia menjawab: “Karena cinta itu… pernah menghancurkan kakakku. Dan nyaris membunuhku juga.” Malam itu, saat berjalan melewati lorong, Ayla melihat pintu ruang kerja Nayaka terbuka sedikit. Rasa penasaran mengalahkan akal sehat. Ia mengintip. Di dalam, Nayaka berdiri di depan dinding penuh foto dan berkas. Matanya menatap satu foto—seorang wanita muda, wajahnya mirip sekali dengan Ayla. Jantung Ayla berdetak liar. Siapa dia…? Tiba-tiba Nayaka menoleh. Tatapannya menusuk. “Keluar.” Ayla terlonjak. “M-maaf… saya nggak sengaja—” Nayaka menutup pintu dengan keras. “Jangan pernah dekati ruangan ini lagi.” Ayla menunduk. “Baik.” Tapi bahkan setelah pria itu pergi, Ayla masih berdiri di depan pintu. Siapa wanita di foto itu? Kenapa wajahnya mirip dirinya? Dan apa yang sebenarnya disembunyikan Nayaka Arvenza? BERSAMBUNGSuara hujan belum juga berhenti malam itu. Seperti tidak ingin memberi jeda bagi dua hati yang sedang sama-sama berperang, tapi saling diam di balik pintu yang tertutup rapat. Ayla berdiri cukup lama di ruang tamu setelah Nayaka pergi ke kamar. Tubuhnya terasa berat, tapi bukan karena lelah—melainkan karena hatinya yang terlalu penuh. Kata-kata Nayaka tadi masih terngiang di kepalanya: “Jangan bikin aku jawab pertanyaan itu, Ayla.” Ia mengusap air matanya, menarik napas panjang, lalu melangkah ke arah dapur untuk menenangkan diri. Tapi setiap sudut apartemen itu terasa sesak. Terlalu banyak kenangan kecil yang tak sengaja ia simpan—kopi yang sering mereka minum berdua, cangkir favorit Nayaka di rak, hingga jaket kerja yang tergantung di kursi ruang tamu. Semua hal sederhana itu kini terasa menyakitkan. Di dalam kamar, Nayaka duduk di tepi ranjang. Jas kerjanya sudah terlepas, dasinya tergeletak di lantai, dan kedua tangannya menutupi wajah. Ia bukan tidak ingin menatap Ayla… ia ha
Langkah-langkah terburu-buru terdengar di koridor lantai lima puluh satu, tepat di depan ruang kerja Nayaka. Sekretaris pribadi yang biasanya ramah kini hanya menatap kaku, seakan merasakan hawa dingin yang keluar dari ruangan itu. Pintu yang tertutup rapat akhirnya terbuka, memperlihatkan Nayaka yang berdiri tegak di depan jendela besar, punggungnya menghadap ke pintu, tangan dimasukkan ke saku celana. Tatapannya tidak beralih sedikit pun dari pemandangan kota yang tertutup awan tipis sore itu. Namun begitu mendengar suara langkah ringan mendekat, ia tahu—tanpa perlu menoleh—bahwa Ayla sudah masuk. “Duduk.” Suaranya rendah, tegas, dan tidak memberi ruang untuk bantahan. Ayla menelan ludah, langkahnya agak ragu. Ia masih membawa map berisi laporan yang tadi diselesaikan, tapi ada rasa tak nyaman yang menggelayuti dadanya. Nayaka jarang memanggilnya di jam seperti ini, apalagi dengan nada suara yang sedingin tadi. “Ada yang ingin saya jelaskan terkait proyek di—” “Kamu pikir aku m
Hujan tipis membasahi kaca mobil hitam yang melaju mulus di jalanan kota. Lampu-lampu jalan memantul di aspal basah, menciptakan pemandangan yang tenang namun memikat. Di dalam kabin mobil, suasana terasa nyaman, jauh dari kebisingan luar. Ayla duduk di kursi penumpang, sesekali melirik ke arah pria di kursi kemudi. Meski baru saja pulang dari kantor setelah seharian penuh bekerja, pria itu tetap terlihat rapi dan tenang, seolah lelah tidak pernah mampu menembus ketegasannya. “Aku masih nggak habis pikir… kamu kerja dari pagi sampai malam, tapi tetap terlihat segar,” ucap Ayla pelan, mencoba memecah hening. Pria itu tersenyum tipis tanpa menoleh. “Kalau untuk seseorang, lelah itu bukan alasan,” jawabnya singkat, tapi cukup untuk membuat detak jantung Ayla meningkat. Lampu merah membuat mobil terhenti. Kali ini, tatapan pria itu beralih kepada Ayla, tenang dan tidak terburu-buru. “Besok… jangan terlalu larut di kantor. Aku nggak mau kamu jatuh sakit,” katanya dengan nada lebih
Ayla berdiri terpaku di depan coretan merah di dinding apartemennya. Napasnya berat, tangan gemetar, tetapi matanya tidak lagi sama seperti semalam. Ada kilat tekad di sana—takutnya masih ada, namun kini bercampur dengan sesuatu yang lebih kuat: kemarahan. Dia mundur, menarik ponselnya, dan memotret setiap sudut ruangan. Sofa yang terguling, lemari terbuka, kaca meja yang retak, bahkan foto-foto yang dicabik. Semua ia dokumentasikan. Bukan untuk polisi—ia tahu laporan itu hanya akan bocor ke orang-orang Kenan—tetapi untuk dirinya sendiri. Bukti. Suara langkah kaki terdengar di lorong. Ayla refleks berbalik. Seorang pria dengan topi hitam dan hoodie berjalan cepat, menuruni tangga darurat. Dia tak melihat wajahnya, tapi Ayla merasakan sesuatu—orang itu ada hubungannya dengan penggerebekan ini. Tanpa pikir panjang, Ayla meraih tasnya dan mengejar. Tangga darurat terasa sempit dan bau besi berkarat, tapi langkahnya mantap. Pria itu menoleh sekali, dan Ayla bisa menangkap sekilas ta
Malam itu turun perlahan seperti tirai gelap yang menutupi panggung kehidupan Ayla. Ia berdiri di depan cermin besar di kamar apartemennya, menatap bayangan dirinya yang terlihat asing. Mata itu—mata yang dulu penuh harapan dan semangat—kini hanya menyisakan bekas luka tak terlihat. Lelah, takut, dan terpojok.Suara notifikasi dari ponsel memecah keheningan. Sebuah pesan tanpa nama pengirim muncul:“Kau pikir mereka akan membiarkanmu pergi begitu saja? Waktumu tidak banyak, Ayla.”Tangannya gemetar. Ia sudah cukup lelah dengan semua ancaman anonim, tetapi entah kenapa pesan itu terasa berbeda. Lebih dekat. Lebih nyata.“Kenan… ini kamu, ya?” bisiknya pelan, meski tak ada siapa pun di sekitarnya.Ia mencoba menghubungi nomor itu, tapi langsung tidak aktif. Wajahnya pucat saat ia menyadari—bahkan keberadaan dirinya kini diawasi tanpa henti. Kamera? Penyadap? Dia melirik ke sekeliling ruangan. Paranoia mulai menggerogoti pikirannya.Tak bisa terus seperti ini, batinnya. Dia butuh seseora
Langit sore tampak kelabu. Di balik jendela kaca lantai lima gedung kantor pusat Han Corporation, Ayla duduk mematung di kursinya. Tangan kirinya menggenggam sebuah USB kecil dengan erat, seolah benda itu adalah sisa napas terakhirnya. Matanya kosong menatap ke luar, tapi pikirannya berkelana jauh ke banyak tempat, ke banyak kemungkinan yang tidak pernah ia inginkan.Setiap langkah Meira semakin menyeretnya ke jurang. Setiap pesan misterius yang datang, semakin memperjelas: ia sedang diawasi. Bahkan saat ia tidur malam pun, ia merasa seperti ada yang menatap dari balik tirai. Mungkin hanya bayangan. Mungkin hanya paranoia. Tapi mungkin juga kenyataan."Kalau kamu pikir bisa sembunyi, kamu salah."Isi pesan itu masih melekat di ingatannya.Dan hari ini, untuk pertama kalinya, Ayla merasa bukan hanya hidupnya yang terancam. Tapi masa depan semua orang yang terlibat—terutama dirinya sendiri dan…"Kenan," gumamnya lirih.Namanya masih asing di hatinya, tapi anehnya justru jadi tempat tera