Share

Flash back

Setelah resepsi pernikahan, Dion dan Nanda kembali menuju rumah Papanya Dion. Mereka menuju ke kamar Dion yang letaknya di samping teras rumah Papanya Dion.

Kamar Dion seperti paviliun terpisah dengan rumah utama milik orang tuanya. Kemudian lanjut mereka membersihkan diri untuk istirahat, Nanda tidur dikamar Dion sedangkan Dion tidur diruang kerja.

Pertama kali Nanda tidur dikamar baru walaupun sudah di ganti semua interiornya tapi aroma tubuh Dion masih tericum. Parfum yang di pakai Dion sangat melekat di hidung Nanda.

Nanda berdengus sembari berkata,” Hem.. wangi khas Dion”.

Setelah berbenah diri, Nanda pun melangkah menuju tempat tidur. Pikirannya selalu terbayang kasih sayang mendiang Ibunya, air matanya pun menetes dengan kerinduannya mendalam.

Hati Nanda hancur fakta, Ibunya pergi tanpa berpamitan dengan keluarga besarnya.

Ibunya meninggal dunia karena menderita kanker usus. Berjuang menjalani kemoterapi menjadi ingatan pahit, melihat Ibunya menahan sakit tapi tidak membuat Ibunya pantang menyerah bertahan hidup. Takdir berkata lain jika mendengar vonis dokter, Ibunya pasrah menunggu kematian seperti sudah dipastikan gilirannya tiba.

Ibunya yang memilih kawin lari dengan ayahnya pun tidak diakui oleh keluarga sampai meninggal.

Rasa cintanya dengan Ayahnya Nanda begitu besar. Mereka juga bahagia hidup dalam kesederhanaan sampai dititik Ayahnya Nanda lagi-lagi di tipu oleh temannya sendiri, dan membuat usaha showroom motornya bangkrut.

Nanda dan Ayahnya menjalani kehidupan dengan berserah diri tapi tidak dengan Leon. Dia yang biasa di manjakan dengan perhatian luar biasa oleh Ibunya, akhirnya berontak dengan keadaan ekonomi orang tuanya, bak roler coster naik turun.

Sakitnya setelah kepergian Ibunya sampai menangis pun sudah jadi rutinitas Nanda sebelum tidur. Setiap kenangan Ibunya selalu membelai rambut Nanda sangat melekat. Belaian Ibunya itu selalu dirindukan Nanda, kebiasaan Nanda yang lain sebelum tidur harus mengelus tangan Ibunya dan mencium wajah Ibunya. Malam hari seperti penyiksaan bagi Nanda yang hampir setahun sulit mengubah kebiasaan itu. Potongan demi potongan kenangan tentang Ibunya sering membayanginya.

***

Paginya, Dion mengajak Nanda bertemu dengan seseorang. Dia menyuruh Nanda bergegas merapikan diri.

“Kita mau bertemu siapa?” tanya Nanda penasaran.

“Ikut saja,” kata Dion.

“Kita gak ke rumah papa kamu dulu?” tanya Nanda.

“Tidak usah nanti saja,”

Mereka datang ke sebuah rumah type 200 meter berwarna cat putih, terawat dengan halaman depannya yang luas.

Dion membuka pintu rumah itu lalu masuk Nanda juga mengikutinya masuk ke dalam rumah itu. Mereka masuk ke dalam kamar.

Tok. Tok. Tok.

“Pak Dion,” tegur wanita umuran 50 tahunan memakai seragam suster itu membuka pintu kamar.

“Gimana keadaan Mama?” tanya Dion.

“Stabil Pak,” jawab suster bernama Ani, wanita parubaya yang bicara sama Dion.

Lantas Dion menggiring Nanda masuk ke ruang keluarga.

“Kenalkan dia Mama aku, Intan namanya.” Papar Dion sembari menarik tangan Nanda untuk memegang tangan wanita yanh disebutnya Mama.

Nanda sempat syock karena Mamanya Dion masih hidup tapi dalam keadaan tidak berdaya. Mamanya tidak bisa bicara, menghabiskan hidupnya di atas kursi roda.

“Operasi cedera otak Mama aku gagal dua kali, Papa memilih rawat jalan dirumah. Berhubung aku sudah dewasa, aku bawak kabur Mama dari rumah Papa.” Terang Dion dan dari omongan Dion membuat Nanda mengerti kenapa Dion nekat sejauh ini.

“Hai Mama sayang, aku kangen banget sama Mama. aku kali ini gak sendiri, kenalkan Ma ini menantu Mama istri aku. Namanya Ananda Larisa panggilannya Nanda,” ujar Dion bicara pada Mamanya.

“Wajah kalian juga serupa kalau lagi kesal.” Canda Dion menepuk pundak Nanda.

Wajah Nanda berubah cemberut merespon candaan Dion. Dia menoleh ke Dion dengan bola matanya yang besar. Dion terbahak lepas melihat raut wajah Nanda.

Dag. Dig. Dug.

Tersentak jantung Nanda deg-degan lagi sangat cepat. Dia menepuk wajahnya agar tidak salah tingkah ketika ia melihat Dion yang tertawa dengan bibirnya begitu manis. Dia merasakan ada sisi kehangatan dibalik sikapnya yang dingin terkadang juga tampak menakutkan.

Nanda berpikir, “ Seandainya Dion mau jujur dengan hatinya, apa yang ia rasakan pasti dia tidak merasa sendiri. Kamu berhak bahagia Dion”.

Selanjutnya, segera Nanda mendekat pada Mamanya Dion dan memperkenalkan dirinya.

“Hallo Ma, ini aku Nanda istrinya Dion. Umur aku baru masuk 19 Tahun, makanan favorit aku ayam goreng cabai hijau. Aku sebelum menikah tinggal sama Ayah dan Abang aku Ma, namanya Leon. Kapan-kapan nanti aku ajak Ayah bertemu Mama,” seru Nanda.

Nanda duduk berhadapan dengan Mamanya Dion. Terlihat sorot bahagia dari mata Mamanya Dion, dia berkedip senang menyambut Nanda.

Lantas Dion merasakan hatinya damai lagi selagi memandangi interaksi Nanda dan Mamanya.

Dion bergeming, “Entahlah denyut jantung semakin berdegup kencang, Nanda sangat menarik perhatianku”.

Wajah Dion sumringah dia masih memasati Nanda dan Mamanya.

Mengejutkan tangan Dion disenggol seseorang yang tak lain sahabatnya sendiri, Alvin namanya. Dia Dokter yang khusus diminta Dion merawat Mamanya. Ada juga Dokter Anwar, Dokter spesialis Bedah saraf merawat Mamanya Dion juga.

“Kamu vin, kirain siapa.” Tegur Dion.

Alvin menarik tangan Dion mengarah belakang supaya menjauh dari keberadaan Nandan dan Mamanya Dion untuk mengajak bicara berdua. Tergambar jelas banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan Alvin tentang pernikahan Dion dan Nanda.

“Cantik juga istri kamu tanpa make up,” gurau Alvin, sahabat Dion sekaligus dokter yang merawat Mamanya Dion.

“Kapan kira-kira operasi ulangnya bisa dilakukan?” tanya Dion mengalihkan topik.

“Kita atur lagi,” jawab Alvin

“Kelamaan itu Alvin. Dia memang stabil tapi sering muntah aku gak tega lihat Mama,” timpal Dion.

“Masa pemulihan tidak bisa instan Dion, semua butuh proses. Apalagi mengingat perawatan buruk yang Mama kamu terima di rumah Papa kamu dulu,” Terang Alvin

“Sebentar lagi Dokter Anwar kesini, kamu diskusikan saja sama dia,” ujar Alvin.

Dion menganggukkan kepala lalu dia mengajak Alvin keluar kamar rawat Mamanya.

Selesai diskusi dengan Dokter Anwar tentang operasi Mamanya, Dion menghampiri keberadaan Mamanya dan Nanda. Dion memandangi Nanda yang mencoba mengajak komunikasi dengan Mamanya.

“Semarah apapun kamu sama wanita tapi dimata kita wanita itu kasih kita ketenangan, itu namanya cinta.” Bisik Alvin mengagetkan Dion.

“Aku gak tahu perasaan cinta itu seperti apa tapi yang jelas, aku memilih Nanda karena dia bisa jadi istri pengabdi menuruti perintah aku. Simpatinya luar biasa dia tunjukkan ketika berkenalan dengan Mama. Tidak ada kepura-puraan dimatanya melihat kondisi Mama, kamu saja bisa lihat betapa konyolnya dia menghibur Mama.” Terang Dion.

Sontak keduanya tertawa melihat Nanda bermain gelembung sabun di depan Mamanya Dion dan suster Ani.

Alvin penasaran dengan keputusan Dion melakukan pernikahan kontrak dengan Nanda dan melontarkan pertanyaan Pada Dion.

“Kenapa kamu menikahi Nanda dengan kontrak? Kenapa gak menikah dengan perasaan yang alami, gak usah pakai kontrak. Toh kalian resmi menikah secara sah,” ujar Alvin.

“Tujuan aku menikah kontrak, aku ingin secepatnya menjadi pemilik perusahaan papa dan menyingkirkan Feni,” jelas Dion.

“Kamu mengawali pernikahan kontrak sama saja bohong pada kehidupan, cukup Mama kamu yang jadi korban kebohongan Papa kamu. Kamu jangan korbankan Nanda,” nasihat Alvin mengoyahkan luka hatinya.

***

Setelah mengunjungi Mamanya Dion, mereka berangkat pamitan pergi dengan Mamanya Dion, Alfin dan suster Ani sedangkan Dokter Anwar berkunjung sebentar saja karena banyak jadwal operasi.

Kemudian Dion menepikan mobilnya dan membeli dua capucino panas untuk diperjalanan pulang.

Selesai dari membeli capucino, pagar pembatas dihati Dion sedikit demi sedikit mulai terkikis karena mulai ada rasa nyaman bersama Nanda. Dia menceritakan sesuai ingatan masa lalunya kenapa Mamanya sampai harus duduk dikursi roda.

Dion berkata pada Nanda, jika dia ingat jelas semua kejadian menyakitkan waktu umurnya delapan tahun walaupun terbilang masih kecil, Dion anak yang pintar, cerdas dan punya daya ingat cukup kuat. Kepala Mamanya terluka parah waktu terlibat pertengkaran dengan Feni yang dulu menjadi simpanan Papanya.

“Mama pasti trauma sekali dengan perselingkuhan Papa,” ujar Nanda.

“Iya, operasi Mama ku gagal bahkan dia terkurung dirumah Papa dengan pengobatan seadanya. Keluarga Mama sama sekali tidak tahu kejadian sebenarnya, mereka percaya dengan Papa untuk merawat Mama. Aku benaran tidak bisa berkutik,” cerita Dion.

“Di satu sisi aku ingin sekali ungkapin kejadian Mama dan tidak ingin memaafkan Papa tapi di satu sisi aku sayang mereka berdua, aku tidak ingin Feni menang dan keluargaku hancur menderita begitu saja. “ sambung Dion.

Kemudian Dion melanjutkan ceritanya. Kala itu Amukkan Mamanya begitu dahsyat mengobrak-abrik isi rumah mereka melemparkan semua barang didepan matanya. Sebab, Mamanya Dion paling benci kebohongan dan pengkhianatan. Mamanya Dion kalang kabut melihat Papanya Dion membawa selingkuhannya masuk kedalam rumah dan menuntut pengakuan. Ditambah amarah Mamanya meledak melihat Papanya pasang badan melindungi selingkuhannya.

Tanpa berpikir panjang Mamanya Dion mengambil pecahan beling ingin menusuk Feni.

Nanda prihatin melihat Dion bicara dengan matanya bebinar membendung sesak didada.

“Kata-kata terakhir yang diucapkan Mama sebelum dirinya terluka dan tidak bisa bicara. Dia bicara sama Feni, salah satu dari kita harus ada yang pergi dari dunia ini, aku atau kamu.” kata Dion menirukan omongan terakhir Mamanya.

“Sebelum Mama berkata seperti itu, dia berjalan sambil menatap ku disela lemari ruang keluarga. Sorot Mata Mama sangat perih, hati dan batinnya terluka. Aku ketakutan dan hanya bisa sembunyi melihat semua kejadian mereka bertiga.”Tampah Dion emosinya meluap menceritakan semua yang dia pendam selama ini.

Nafas Dion terisak masih manceritakan awal luka hatinya.

Mamanya Dion berusaha mendorong Papanya Dion untuk menyingkir agar Mamanya Dion bisa menjakau Tubuh Feni.

Betapa papanya dibutakan cintanya Feni dan dimanjakan dengan tubuh Feni yang masih kencang, juga sedang hamil mudah. Papanya menampar kencang dengan ekstra tenaganya mendorong Mamanya Dion, akibatnya tubuh Mamanya terhempas mengenai siku meja ruang keluar.

“Mama”

Dion nangis menjerit melihat Mamanya berlumuran darah. Begitu juga sontak Papanya khilaf, dia menangis dengan perasaan menyesalnya. Ia bergegas ingin menyelamatkan Mamanya Dion dan membawak ke rumah sakit tapi Feni menahan tindakan Papanya Dion untuk membawa ke rumah sakit.

Dion mendengar jelas bisikkan Feni pada Papanya bikin Dion kecewa pada Papanya dan Feni

“Jangan dibawah terang-terangan ke rumah sakit nanti masuk berita kriminal, resikonya tinggi sayang. Perusahaan kamu lagi berkembang, bagaimana kalau sampai rekan kerja kamu tahu. Semua orang bisa memandang kamu sebelah mata,” Usul Feni.

Mamanya Dion juga memiliki saham diperusahaan Papanya Dion. Lekas Papanya Dion mengarang cerita Mamanya jatuh terpeleset, dia mengatur semua pengobatan Mamanya Dion dirumah sakit secara tertutup.

Dari kejadian orang tuanya, terbentuk luka dan dendam di hati Dion melihat Papanya Dion tidak jujur demi Feni. Dion juga tidak punya kekuatan untuk melawan Papanya ingin mengungkap kebenaran Mamanya terluka, Papanya selalu menahan Dion berkata jujur pada keluarga Mamanya Dion.

Akhirnya Dion berhasrat menjadi orang sukse sampai tiba beranjak dewasa, di umur 31 Tahun Dion sudah bawa kabur Mamanya dan mengambil alih tanggung jawab menyembuhkan Mamanya.

Operasi Mamanya sudah gagal beberapa kali, bertahun-tahun dirawat oleh petugas medis dibawah perintah Feni. Alhasil tidak ada kemajuan dari proses penyembuhan Mamanya.

Semua petugas medis hilang jejak setelah melakukan operasi Mamanya, Dion terus mengumpulkan bukti yang kuat menuntut kebenaran.

Kembali ke Dion meneruskan ceritanya berdua bersama Nanda.

“Semua ingatan pahit itu terus berputar dikepala aku. Pertengkaran maut antara ketiganya, terlebih Feni menghalangi niat Papa membawa Mama ke rumah sakit.” Kata Dion menyesak.

Insting Nanda bergejolak ikut merasakan kepedihan yang dirasakan Dion. Secara natural Nanda mengelus wajah Dion dengan lembut untuk membuatnya tenang.

Spontan wajah keduanya saling mencuri pandang lalu berubah merah karena tersipu malu bercampur gugup.

Apalagi Nanda gelagapan dia bingung dengan gerakannya mengelus wajah Dion. Dia menghentingkan aksinya membawa tangannya menjauh dari wajah Dion.

Batin Nanda kacau, “Nanda kamu benar-benar gila, kenapa tangan ku gerak sendiri pakai sentuh wajah Dion”.

“Ehem,” suara batuk Dion bertanda kalau Dia juga merasakan hal yang sama seperti Nanda penuh kebingungan, gugup dan malu.

Kecanggungan membuat suasana mereka diperjalanan sangat kaku dan sunyi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status