Ayla kembali bekerja di kantor seperti biasa. Ia duduk di bagian administrasi, memandangi hiruk-pikuk Jakarta dari balik jendela, mencoba menenangkan pikirannya yang masih kacau. Tapi yang justru membuat segalanya makin rumit... adalah Arka.
Sejak malam mereka makan sup bersama, sikap pria itu sedikit berubah. Ia mulai menyapa lebih dulu, sesekali bertanya apakah Ayla sudah makan, bahkan pagi ini... mengantar Ayla ke kantor dengan mobil pribadinya. Alasannya sederhana, “Kebetulan searah.” "Dia memang pria aneh," gumam Ayla pelan. Dini, rekan kerjanya, menoleh penasaran. “Ngomongin siapa tuh?” Ayla hanya tersenyum. “Enggak, cuma laporan pengeluaran.” “Ngaku aja, pasti Pak Arka, kan?” Ayla hanya menggeleng. Tapi dalam hati, ia tahu Dini tidak sepenuhnya salah. Sementara itu, di lantai atas, Arka menatap laporan mingguan yang tak benar-benar ia baca. Pikirannya masih tertuju pada satu nama Ayla. Sejak menikahi perempuan itu, banyak hal berubah terutama dalam dirinya. Ia terbiasa mengendalikan segalanya. Tapi Ayla? Perempuan itu menolak untuk dikendalikan, dan justru karena itulah, ia semakin menarik perhatian Arka. “Lo lagi mikirin Ayla, ya?” celetuk Rafa tiba-tiba, sahabat sekaligus kepala divisi keuangan. Arka hanya menatapnya sekilas. “Gue tahu lo nikah karena syarat warisan. Tapi sekarang, kayaknya bukan cuma itu alasannya, ya?” Arka diam sesaat sebelum menjawab pelan, “Dia beda, Ra. Ayla bikin gue mikir.” Sore harinya, Bu Dina datang membawa undangan rapat. “Besok kamu ikut presentasi proyek ke Bandung, Ayla. Kamu yang pegang data lapangan, kan?” Ayla mengangguk. Malamnya, saat pulang ke apartemen, ia mendapati secarik catatan tangan Arka di meja makan. Ayla, Besok aku juga ada meeting di Bandung. Kita berangkat bareng saja. Jam 6 pagi, aku tunggu di lobby. —Arka Ayla menatap kertas itu lama. Semuanya masih terasa seperti kesepakatan bisnis. Tapi perhatian kecil semacam ini... mulai terasa terlalu personal. Keesokan paginya, mereka berangkat bersama. Di tengah perjalanan, Arka berkata, “Ibu kamu baik.” Ayla menoleh, terkejut. “Kamu pernah ketemu Ibu?” “Pernah. Saat diskusi soal perjanjian.” Ayla menghela napas. “Kadang orang tua melakukan hal salah.,” balas Arka pelan. "Mereka juga manusia pertama jadi orang tua," Ayla hanya menatap jendela. Kata-kata Arka masuk terlalu dalam. Di Bandung, mereka terlihat seperti atasan dan bawahan biasa. Tapi Ayla beberapa kali merasa sorot mata Arka jatuh padanya lebih lama dari seharusnya. Saat makan malam, Arka duduk di seberang dan berbisik, “Baju kamu malam ini cocok banget.” Ayla tak menjawab. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa Arka melihatnya bukan sekadar sebagai bagian dari kontrak. Dalam perjalanan pulang, suasana hening. Ayla duduk diam, sementara Arka tampak membuka laptop, meski tak benar-benar bekerja. “Kalau kamu mau tidur, silakan,” ujar Arka. “Belum ngantuk. Pikiranku penuh.” “Penuh sama apa?” “Keluarga. Andra. Semuanya.” Arka menoleh. “Aku belum menindak lanjuti tuntutan ke Andra.” Ayla langsung menatapnya. “Kenapa?” “Mungkin karena kamu.” “Aku bukan penjamin kakakku,” tegas Ayla. “Tapi kamu istriku.” “Secara hukum.” “Dan itu cukup untuk membuatku mempertimbangkan ulang. Tapi jangan anggap ini pengampunan.” “Lalu ini apa?” “Permulaan.” Diam menyelimuti mereka. Tapi bukan diam yang canggung. Justru... terasa lebih hangat dari biasanya. Esoknya, Ayla menerima telepon dari Andra. “Dek, aku mau ketemu.” Mereka bertemu di taman belakang rumah. Wajah Andra terlihat lelah dan penuh penyesalan. “Aku tahu aku salah,” ucapnya lirih. “Kamu pakai dana perusahaan tanpa izin, Mas. Itu bukan cuma kesalahan kecil.” “Aku hanya ingin lunasi utang. Tapi semuanya malah berantakan. Dan... aku minta maaf karena melibatkan kamu.” Ayla menatap kakaknya. “Aku bukan barang tukar.” “Aku tahu. Tapi aku juga tahu kamu kuat. Dan Arka... dia bisa lindungi kamu.” Ayla tertawa sinis. “Kami menikah, iya. Tapi ini kontrak. Aku nggak tahu bisa tahan berapa lama.” “Kalau kamu mau keluar, aku siap hadapi semuanya sendiri.” Ayla menggeleng. “Masalah ini bukan cuma tentang kamu. Aku juga bagian dari semuanya. Aku akan bertahan. Bukan karena aku ingin... tapi karena aku harus.” Andra menunduk. “Maaf, Dek.” Malam itu, Ayla pulang dan menemukan Arka masih di ruang kerja. “Kamu ketemu Andra?” tanyanya. Ayla mengangguk. “Dia minta maaf.” “Kamu percaya?” “Ya.” Arka mendekat. “Dan kamu?” Ayla terdiam sejenak. “Masih bingung.” “Kalau kamu mau pergi, Ayla, aku nggak akan tahan kamu.” Ayla menatapnya dalam. “Aku belum selesai.” Arka menatap balik, lebih dalam. Untuk pertama kalinya, mereka berdiri bukan sebagai dua orang asing yang terikat kontrak... tapi sebagai dua manusia yang mulai saling memahami, meski belum sepenuhnya berani mengakui arah perasaan yang tumbuh perlahan.Gedung Grand Seraya Ballroom berdiri megah di tengah pusat kota, seluruh fasadnya disinari lampu-lampu putih keemasan yang membuatnya tampak seperti istana dari cerita lama. Malam itu, parkirannya dipenuhi mobil-mobil mewah, dan karpet merah terbentang dari pintu masuk sampai lobi utama.Ayla berdiri di depan cermin apartemen, mengenakan gaun navy pilihan Oma Ratna. Rambutnya disanggul rapi, hanya beberapa helai dibiarkan jatuh lembut di sisi wajah. Riasannya tipis, elegan. Stylist yang dikirim Arka bekerja cepat dan profesional tapi tak ada yang bisa menenangkan gemuruh di dadanya.Ia menarik napas dalam-dalam, lalu keluar dari kamar.Arka sudah menunggunya di ruang tengah. Pria itu mengenakan setelan jas hitam dengan dasi berwarna senada dengan gaun Ayla. Saat melihat Ayla berjalan pelan ke arahnya, langkahnya terhenti.Mata mereka bertemu."Kamu… cocok banget sama warna itu," ucap Arka, singkat tapi tulus.Ayla tersenyum kecil
Pagi itu, suasana di Dirgantara Group terlihat seperti biasa. Tapi di lantai 15, beberapa staf terlihat bergerak lebih cepat dari biasanya, membisikkan sesuatu sambil saling menunjukkan layar ponsel mereka. Ayla, yang baru saja turun dari lift, langsung menyadari perbedaan itu.Langkahnya terhenti sejenak saat melihat Cynthia berbicara dengan dua staf dari divisi lain wajah mereka serius, suara mereka tertahan. Begitu melihat Ayla mendekat, mereka langsung diam dan berpura-pura sibuk.Ayla tidak bereaksi. Ia melanjutkan langkahnya menuju ruang kerjanya. Namun sebelum sempat masuk, Cynthia memanggilnya."Ayla, Pak Arka minta kamu ke ruangannya sekarang."Nada suaranya seperti biasa, datar dan formal. Tapi mata Cynthia menatap dengan sorot berbeda lebih tajam dari biasanya.Ayla mengangguk pelan dan menuju ruang CEO. Saat ia membuka pintu, Arka sudah berdiri di depan layar besar yang menampilkan tangkapan layar dari beberapa situs berita da
Keesokan harinya, kantor Dirgantara Corp lebih ramai dari biasanya. Ruang rapat dipenuhi agenda, dan lantai eksekutif dipenuhi lalu lalang staf senior. Suasana tegang tak terhindarkan, terutama setelah berita mengenai latar belakang Ayla beredar dan menjadi bahan gosip di berbagai kalangan internal.Namun, Ayla tetap datang tepat waktu. Mengenakan setelan sederhana berwarna abu lembut dan membawa map berisi pembaruan dokumen merger. Tatapannya lurus, langkahnya mantap, meski hatinya tetap waspada.Di meja pantry, beberapa staf hanya melirik lalu pura-pura sibuk. Tidak ada yang menyapa. Tidak ada yang terang-terangan mencibir. Tapi keheningan itu sudah cukup tajam untuk membuat napas terasa berat.Ayla memilih fokus. Ia masuk ke ruangannya dan langsung bekerja.Tak lama berselang, Cynthia masuk tanpa mengetuk. Wajahnya serius.“Ada rapat mendadak dengan PT Lathansa jam sebelas. Di ruang video conference lantai atas. Pak Arka minta kamu iku
Pagi itu, Ayla berjalan memasuki kantor dengan kepala tegak, meski langkahnya terasa berat. Sejak berita tentang masa lalu kakaknya tersebar, tatapan orang-orang di sekitarnya berubah. Tak ada lagi bisik-bisik mereka terang-terangan, tapi atmosfer itu terasa seperti kabut tipis yang menyelimuti setiap sudut ruangan. Dingin. Sunyi. Menghakimi.Namun ia tak berpaling. Ia datang bukan untuk mencari pengakuan, tapi untuk membuktikan bahwa ia masih bisa berdiri.Ketika lift terbuka di lantai tujuh, beberapa staf yang sedang menunggu langsung berpura-pura sibuk dengan ponsel mereka. Ayla menahan napas, menyapa mereka dengan senyum tipis yang tak mendapat balasan.Di ruang kerjanya, ia langsung tenggelam dalam tumpukan dokumen merger yang semakin kompleks. Arka belum tampak sejak pagi. Biasanya pria itu akan menyempatkan muncul untuk menanyakan laporan atau sekadar memberi arahan. Tapi hari ini, tidak ada kabar.Saat waktu menunjukkan pukul 10.15, sebuah
Pagi itu langit Jakarta mendung, seolah mencerminkan isi hati Ayla yang berat. Sudah dua hari sejak pemberitaan itu mencuat, dan meski kantor terlihat seperti biasa, Ayla tahu ombak tidak selalu datang dengan suara besar. Kadang hanya lewat tatapan dan gumaman halus yang memotong seperti pisau. Saat Ayla menyalakan komputer, notifikasi email masuk beruntun. Salah satunya dari tim PR internal. Kepada: Ayla Ramadhani Kami mendapat pertanyaan dari mitra kerja PT Lathansa terkait pemberitaan yang beredar. Kami akan segera mengatur klarifikasi tertulis. Mohon kerja samanya untuk tetap tenang dan tidak membuat pernyataan ke media tanpa seizin tim PR. Ayla membaca ulang pesan itu, lalu menarik napas panjang. Bukan karena isi emailnya tapi karena ia tahu, ini baru awal. Berita itu mulai menyentuh luar tembok kantor. Dan sekali nama seseorang dikaitkan dengan skandal, stempel itu sulit terhapus. Pukul 10.00 pagi, Cynthia datang menghampirinya di ruang kerja bersama. “Kamu dipanggil Pak A
Pagi itu kantor seperti sarang lebah. Semua terlihat sibuk, tapi jelas bukan karena pekerjaan saja. Ada kegelisahan samar yang beredar di udara bisik-bisik yang ditahan, pandangan yang terlalu cepat dialihkan saat Ayla lewat.Ayla melangkah masuk ke lantai 7, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana bahan hitam. Wajahnya tenang, tapi kedua tangannya mengepal di balik tas.Ia tahu hari ini akan berat.Begitu sampai di ruangannya, ia langsung menyalakan laptop dan menatap layar kosong. Tapi fokusnya sulit dikumpulkan. Beberapa menit kemudian, suara langkah tergesa menghampiri.“Ayla.” Cynthia muncul di ambang pintu, kali ini dengan wajah serius, bukan sinis seperti biasanya. “Pak Arka mau bicara sekarang. Di ruangannya.”Ayla berdiri. Napasnya dalam. Jantungnya berdetak lebih cepat saat menapaki lift menuju lantai 20, ruangan CEO. Ia belum tahu akan dihadapkan pada strategi... atau keputusan.Begitu pintu lift terbuka, Arka sud