Beranda / Romansa / Kontrak Hati Sang CEO / Bab 5 – Batas yang Mulai Kabur

Share

Bab 5 – Batas yang Mulai Kabur

Penulis: Yuna lys
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-06 17:43:07

Pagi itu, Ayla bangun lebih awal dari biasanya. Biasanya alarm-lah yang memaksanya membuka mata, tapi kali ini, pikirannya sendiri yang tidak membiarkannya tidur tenang. Ia masih memikirkan percakapan semalam dengan Arka.

“Kalau kamu mau pergi, Ayla, aku nggak akan tahan kamu.”

“Aku belum selesai.”

Itu bukan percakapan suami istri biasa. Tapi entah bagaimana, rasanya sangat... jujur.

Ayla melangkah ke dapur, membuat kopi untuk dirinya sendiri. Namun saat membalikkan badan, ia mendapati Arka sudah berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan kemeja biru tua dan celana panjang abu gelap. Dasi belum terikat, rambutnya masih agak basah ia baru keluar dari kamar mandi.

Mata mereka bertemu sesaat, canggung.

“Pagi,” ucap Arka singkat.

“Pagi,” jawab Ayla, mencoba tenang meski jantungnya seperti ditampar kenyataan bahwa mereka tinggal serumah.

Arka berjalan ke arah mesin kopi. “Kamu tidur cukup?”

Ayla mengangkat bahu. “Lumayan.”

“Kalau kamu lelah, kamu bisa izin hari ini.”

Ayla menatap pria itu dalam. “Kenapa kamu jadi perhatian?” tanyanya, nada suaranya jujur.

Arka diam sejenak. Lalu ia menjawab sambil menuang kopi ke cangkir, “Nggak ada alasan tertentu.”

Ayla tahu itu bohong. Tapi ia juga tahu Arka bukan tipe pria yang mudah mengakui perubahan dalam dirinya.

Mereka berangkat ke kantor bersama, tapi dengan mobil terpisah. Ayla tetap naik kendaraan kantor seperti biasa, sedangkan Arka dengan mobil dinasnya. Sesuai kesepakatan, di tempat kerja mereka tak menunjukkan kedekatan pribadi.

Namun sepanjang hari itu, Ayla merasa ada yang berbeda.

Tatapan Arka padanya saat rapat. Cara ia bertanya soal detail laporan. Bahkan nada bicaranya saat memberi instruksi semuanya lebih lembut, lebih... personal.

Dan tentu saja, Dini memperhatikan itu.

“Lo berani taruhan nggak? Pak Arka mulai naksir lo,” bisiknya saat jam makan siang.

Ayla menoleh cepat. “Din, jangan ngawur.”

“Gue nggak ngawur. Itu jelas banget, sumpah. Tatapan dia ke lo itu beda. Dan lo juga mulai senyum-senyum sendiri.”

“Gue cuma profesional.”

Dini berdecak pelan. “Profesional kok bikin cowok jutek berubah jadi lembut.”

Ayla tidak membalas. Ia hanya memutar sendok di gelas tehnya, mencoba mengabaikan degup jantungnya yang tidak biasa.

Sore harinya, sebelum pulang, Ayla mendapat pesan dari Arka. “Tunggu aku di lobby. Kita pulang bareng.”

Ia sempat ragu, tapi akhirnya menurut. Di dalam mobil, suasana hening. Tapi kali ini bukan karena canggung, melainkan nyaman.

Setelah beberapa menit, Arka berkata tanpa menoleh, “Besok aku ada acara keluarga. Aku harus hadir.”

Ayla menoleh. “Oke. Terus?”

“Dan kamu harus ikut.”

Ayla menegakkan duduk. “Arka... kita sepakat nggak akan bawa hubungan ini ke keluarga.”

“Ini bukan pilihan. Mereka mulai curiga. Dan pamanku akan segera meninjau soal warisan.”

Ayla menelan ludah. Ini bagian dari kontrak. Ia tahu. Tapi tetap saja... ketemu keluarga Arka berarti memasuki dunia yang lebih luas, lebih rumit.

“Aku... harus gimana?”

Arka melirik sekilas. “Tenang aja. Aku yang atur semuanya. Kamu cuma perlu jadi istri yang kelihatan bahagia.”

Ayla hampir tertawa. “Bahagia,” katanya dalam hati. Kata itu terasa begitu mewah sekarang.

Malam itu, Ayla berdiri di depan lemari, menatap sederet pakaian kerja yang semuanya terlalu formal untuk acara keluarga.

Ia tak menyadari bahwa Arka berdiri di ambang pintu kamarnya sampai pria itu berbicara. “Kalau kamu mau, aku bisa minta stylist kantor bantu pilihkan sesuatu.”

Ayla menoleh cepat. “Kamu ngintip aku?”

Arka mengangkat alis. “Ini rumahku juga.”

Ayla mendesah, lalu akhirnya tertawa kecil. “Nggak perlu stylist. Aku bisa pilih sendiri. Asal kamu nggak suruh aku pakai kebaya pesta.”

Arka menyeringai kecil, senyum yang sangat langka muncul di wajahnya. “Nggak. Tapi mungkin... dress warna lembut akan cocok.”

Ayla mengernyit. “Kamu tahu soal warna juga?”

“Sedikit. Aku belajar banyak sejak kamu datang.”

Kata-kata itu menempel di hati Ayla lebih lama daripada seharusnya. Ia pura-pura tidak peduli, tapi hatinya... pelan-pelan melemah.

Keesokan harinya, mereka tiba di rumah keluarga besar Arka di kawasan elit Jakarta Selatan. Rumah besar, halaman luas, dan mobil-mobil mewah memenuhi pelataran.

Ayla turun dari mobil dengan dress pastel dan rambut disanggul simpel. Ia merasa seperti masuk ke dunia yang tak pernah ia kenal.

Arka meraih tangannya. “Ingat. Senyum. Pegang tanganku kalau kamu bingung.”

Ayla menoleh. “Kamu yakin ini perlu?”

Arka tidak menjawab. Tapi genggamannya cukup erat untuk memberi jawaban.

Ayla mengikuti langkah Arka masuk ke dalam rumah besar itu. Langit-langit tinggi, lampu gantung kristal, dan aroma parfum mahal bercampur dengan wangi masakan khas rumahan menyambutnya.

Senyum Ayla terpaksa, tapi ia berusaha terlihat alami. Tangannya tetap dalam genggaman Arka, erat bukan hanya demi tampil sebagai pasangan yang solid, tapi juga karena ia benar-benar gugup.

“Arka!”

Suara seorang wanita paruh baya memecah keramaian. Oma Ratna Dirgantara. Seorang oma elegan dengan balutan kebaya modern dan perhiasan mencolok mendekati mereka.

“Oma,” sapa Arka, mencium tangan wanita itu.

Ayla menunduk sopan. Arka segera memperkenalkan. “Ini istriku. Ayla.”

Oma itu memandang Ayla dari atas sampai bawah. Ada jeda yang cukup panjang, lalu ia tersenyum senyum formal yang sulit dibaca. “Cantik. Tapi kamu nggak bilang kalau kamu menikah diam-diam, Ka.”

Arka hanya tersenyum tipis. “Aku tahu oma akan marah kalau aku kasih tahu sebelum waktunya.”

“Dan kamu pikir sekarang waktunya?”

Ayla merasa ingin menghilang. Tapi ia menahan diri, tetap tersenyum.

“Ayla kerja di kantor juga?” tanya Oma Ratna.

“Ya, oma. Aku kerja di divisi administrasi,” jawab Ayla cepat.

“Iya, bagus. Biar tahu dunia kerja itu kayak apa.”

Nada itu terdengar manis, tapi Ayla bisa menangkap nada meremehkan di baliknya. Ia hanya mengangguk.

Kemudian, paman Arka muncul. Seorang pria berwibawa dengan jas tenun modifikasi dan jam tangan mahal. Tatapannya tajam, tapi tak bisa menyembunyikan kekaguman samar saat melihat Ayla.

“Kamu Arka?” katanya. “Dan ini istrimu?”

Arka mengangguk hormat. “Iya, Paman.”

Paman itu mengangguk pelan. “Kalian kelihatan cocok. Tapi kamu tahu kan, Ka, warisan keluarga ini nggak sekadar formalitas. Kami ingin kamu menikah bukan cuma di atas kertas.”

Ayla membeku. Kalimat itu seperti tamparan. Tapi Arka, tetap tenang.

“Aku serius, Paman. Ayla dan aku... bukan cuma kontrak.”

Ayla menoleh cepat pada Arka. Itu bukan bagian dari naskah. Kata-kata itu... terdengar sangat nyata.

“Baiklah.” Paman Arka menyipitkan mata. “Kita lihat nanti.”

Selama makan malam, Ayla duduk di samping Arka di meja besar yang penuh lauk. Semua orang tampak sibuk berbasa-basi, tapi Ayla bisa merasakan tatapan-tatapan tajam dari beberapa anggota keluarga.

Mereka menilai. Mereka mencurigai.

Ayla merasa terjebak di tengah permainan sosial yang rumit.

Tapi Arka entah bagaimana membuatnya merasa aman. Ia mengajak Ayla bicara pelan, mengisi piringnya, bahkan menyela percakapan saat seseorang mulai bertanya terlalu jauh tentang asal-usul Ayla.

Dan saat Ayla mulai gelisah karena ada sepupu Arka yang terang-terangan menatap sinis sambil berbisik ke temannya, Arka tiba-tiba meraih tangan Ayla di bawah meja.

Ayla menoleh. “Apa?” bisiknya.

“Tenang. Kamu nggak sendiri.”

Hanya dua kata itu dan entah bagaimana, Ayla merasa cukup kuat untuk duduk lebih tegak.

Acara malam itu diakhiri dengan sesi foto keluarga. Ayla berdiri di samping Arka, tangannya melingkar di lengan suaminya. Wajah mereka menghadap kamera, tapi pikiran Ayla berkelana.

Semua ini... terasa terlalu nyata.

Dan ia takut.

Takut dirinya mulai terbiasa dengan perhatian Arka.

Takut Arka mungkin benar-benar berubah.

Atau lebih buruk nya takut bahwa perasaannya sendiri mulai tumbuh.

Malam harinya, saat mereka kembali ke rumah, suasana di mobil hening cukup lama. Sampai akhirnya Ayla bicara.

“Tadi, waktu kamu bilang ke Pamanmu kalau ini bukan cuma kontrak... kamu serius?”

Arka tidak langsung menjawab. Ia memarkir mobil, lalu menoleh padanya.

“Aku bilang itu... karena aku nggak suka mereka meremehkan kamu.”

Ayla menatapnya lekat. “Tapi itu bohong, kan?”

Arka menahan napas sejenak, lalu berkata pelan, “Nggak semua hal bisa dijawab dengan ya atau tidak.”

Ayla tidak tahu harus membalas apa. Tapi saat mereka masuk ke rumah, dan Arka membuka pintu kamar untuknya, pria itu berkata sebelum berbalik,

“Aku nggak pernah berencana bikin ini jadi rumit. Tapi... kamu bukan perempuan biasa, Ayla.”

Dan malam itu, Ayla duduk lama di tepi ranjang. Kata-kata Arka berputar-putar di kepalanya.

Untuk pertama kalinya, ia mulai takut bukan pada pernikahan ini melainkan pada akhir dari semuanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 38 – Serangan Balik

    Pagi berikutnya, Arka memasuki ruang rapat utama Dirgantara Group dengan langkah mantap. Rautnya tegas, tapi di matanya ada sedikit kelelahan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu, agenda rapat kali ini akan menguras energi pembahasan lanjutan pasca-merger, sekaligus menanggapi rumor yang sedang beredar.Begitu ia duduk di kursi ujung meja, beberapa direksi langsung saling bertukar pandang. Ada yang menatapnya penuh harap, ada juga yang ragu-ragu. Arka bisa merasakan suhu ruangan yang lebih dingin dari biasanya bukan karena AC, tapi karena ketidakpercayaan yang diam-diam menular.“Baik, kita mulai,” ucap Arka singkat. Suaranya jernih, tak memberi ruang untuk spekulasi.Sementara itu, di rumah, Ayla kembali menatap deretan email yang masuk. Beberapa dari mereka berisi permintaan konfirmasi dari media, tapi ada satu yang membuat napasnya tercekat undangan talkshow nasional dengan tema ‘Wanita di Balik Sukses Seorang CEO’.Ia membaca ulang pesan itu. Kata-katanya manis, menawarkan panggu

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 37 – Bisik-Bisik di Balik Layar

    Pagi itu, ruang pantry kantor Dirgantara Group ramai seperti biasa. Tapi kali ini bukan karena kopi pagi atau sarapan roti dari vendor langganan. Suasana justru dipenuhi dengan bisik-bisik pelan, tatapan sinis, dan tawa setengah teredam saat Ayla lewat membawa map di tangannya."Katanya sih gara-gara dekat sama CEO, bisa langsung naik jabatan," bisik salah satu karyawan perempuan yang berdiri dekat dispenser air."Ya gimana enggak? Lihat aja, cantik, lembut, gampang dikendalikan CEO pasti seneng yang kayak gitu," timpal yang lain dengan senyum penuh sindiran.Ayla mendengar semuanya, tapi langkahnya tetap tenang. Ia hanya menunduk sedikit, menghela napas dalam, lalu terus berjalan tanpa menoleh. Tapi jauh di dalam, hatinya mulai terasa sesak.Rasanya seperti kembali ke masa SMA ketika kabar tentang keluarganya mulai tersebar dan ia jadi bahan gosip. Tapi sekarang jauh lebih rumit, karena bukan hanya harga dirinya yang dipertaruhkan… melainkan karier dan masa depannya juga.Sesampainya

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 36 – Strategi yang Terungkap

    Keesokan paginya, suasana kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Sejak pagi, semua mata seolah menatap Ayla dengan bisik-bisik tak kasat mata. Ia tahu, efek dari berita kemarin masih bergema.Ayla melangkah ke mejanya dengan kepala tegak. Ia menyalakan laptop, membuka agenda kerja, dan berusaha bersikap seperti biasa. Tapi tangan dinginnya tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang menyelimuti hatinya.“Besty…” Cynthia muncul dengan dua gelas kopi.“Darurat double shot espresso?” Ayla menyambut cangkir itu dengan senyum tipis.Cynthia duduk di kursi sebelahnya. “Aku barusan denger, beberapa orang dari tim merger mulai raguin posisi kamu.”Ayla menoleh cepat. “Siapa?”“Dwi, si analis keuangan, dan satu orang dari legal tim Naira. Mereka ngomongin kamu di pantry tadi. Kayak... mempertanyakan kenapa kamu masih ikut koordinasi merger, padahal posisimu ‘hanya staf’.”Ayla menatap kosong ke depan. Rasanya tak adil, setelah kerja kerasnya, semua diruntuhkan hanya karena satu gosip dan masa

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 35 – Taktik dalam Diam

    Ayla menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi kantor. Matanya sedikit sembap, tapi ia memaksa bibirnya tersenyum. Tak ada waktu untuk terlihat rapuh. Terutama setelah semalam Arka menunjukkan bahwa masa lalu betapapun pahitnya selalu punya cara datang kembali.Pagi itu, suasana kantor Dirgantara Group terasa berbeda. Bisik-bisik kecil menyebar cepat, seperti embusan angin yang membawa kabar Investor baru yang cantik itu punya hubungan masa lalu dengan CEO.Ayla melangkah cepat melewati lorong, menolak menanggapi tatapan penasaran dari beberapa karyawan yang dengan sengaja menoleh dua kali saat ia lewat. Ia tidak buta. Ia tahu bagaimana dunia kerja sering kali kejam pada wanita, terutama yang dianggap ‘naik pangkat’ karena koneksi pribadi.Sampai akhirnya suara familiar menghentikannya.“Ayla, sebentar,” ujar Cynthia sambil berjalan menghampiri dengan berkas di tangan.Ayla menoleh. “Ada yang perlu saya tandatangani?”Cynth

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 34 – Bayangan Lama, Luka Baru

    Udara Jakarta terasa lebih lembap dari biasanya. Di dalam ruang rapat utama Dirgantara Group, para eksekutif dan staf sudah menempati tempat masing-masing untuk membahas presentasi proyek terbaru proyek yang akan menentukan arah merger strategis ke depan.Ayla duduk di barisan kedua, mencatat sambil sesekali mencuri pandang ke arah Arka yang tengah memimpin rapat. Sikap Arka tetap tenang dan profesional, seolah tidak tergoyahkan oleh berita yang sedang ramai di luar sana tentang kembalinya Naira Maheswari.Namun semua berubah saat pintu ruang rapat terbuka.“Maaf, saya terlambat. Ada sedikit kendala lalu lintas,” ucap suara lembut namun tegas dari arah pintu.Semua mata menoleh.Ayla membeku.Wanita itu melangkah masuk dengan anggun, mengenakan blazer krem dipadukan celana panjang putih dan rambut panjang yang disisir rapi ke belakang. Senyumnya ramah, tapi dingin. Sorot matanya menyapu ruangan, lalu berhenti pada Arka.

  • Kontrak Hati Sang CEO    Bab 33 – Luka yang Tersimpan

    Malam itu, apartemen Arka terasa lebih hening dari biasanya. Tak ada suara televisi, tak ada denting gelas dari dapur, hanya detak jam di dinding yang terdengar samar. Ayla duduk di sofa ruang tamu, mengenakan sweater hangat dan rambut digulung seadanya. Matanya sesekali menoleh ke arah pintu, menunggu Arka yang berjanji akan bicara jujur malam ini.Dan ketika suara pintu terbuka, Ayla menegakkan tubuhnya. Arka masuk dengan langkah berat. Wajahnya tampak lelah, tapi lebih dari itu ada semacam tekanan emosional yang tak bisa ia sembunyikan.Tanpa banyak basa-basi, ia meletakkan map kerja di meja dan duduk di seberangnya.“Aku pernah bertunangan,” Arka memulai.Ayla hanya diam, menunggu kelanjutannya.“Namanya Naira Maheswari. Anak tunggal dari salah satu pengusaha properti besar di Jakarta. Kami dijodohkan bukan karena cinta, tapi karena aliansi bisnis antara keluarga Dirgantara dan Maheswari.”Ayla tak kaget, tapi tetap tersentak. Ia menyimak, mencoba tetap netral.“Awalnya aku pikir,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status