LOGINAlya baru saja tiba di depan pintu apartemen milik Jonathan. Lelaki itu hanya mengantarnya sampai lobi, lalu menyerahkan kartu akses dan secarik kertas berisi nomor unit tanpa sedikit pun menatap wajahnya.
“Cari saja sendiri. Aku tidak punya waktu mengantarmu ke atas,” ucap Jonathan dingin sebelum melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Alya yang berdiri terpaku di depan lift dengan koper kecil di sampingnya. Perjalanan menuju lantai atas terasa sunyi. Hanya suara lembut dari musik instrumental lift yang menemani Alya. Jantungnya berdebar ketika ia menempelkan kartu akses ke pintu apartemen bernomor 2806 — unit milik suaminya, meski sebutan itu masih terasa asing di pikirannya. Begitu pintu terbuka, Alya tertegun. “Wow… besar dan mewah,” gumamnya tanpa sadar, matanya menelusuri setiap sudut ruangan yang tertata sempurna. Apartemen itu didominasi warna abu muda dan putih, dengan jendela besar menghadap langsung ke pemandangan kota. Cahaya matahari sore masuk menembus tirai tipis, menimbulkan pantulan lembut di lantai marmer yang mengilap. Sofa panjang di ruang tamu tampak empuk dengan bantal-bantal berwarna senada. Di sudut ruangan terdapat rak buku besar dan beberapa tanaman hijau kecil yang memberi kesan segar. Namun di balik semua keindahan itu, ada rasa asing yang menyelimuti Alya. “Cantik dan nyaman tempatnya… tapi ini bukan milikku. Ini milik mereka, keluarga Abigail yang sebenarnya,” batin Alya lirih, menatap sekeliling dengan senyum getir. Ia menurunkan kopernya perlahan, lalu berjalan menuju jendela besar. Dari sana ia bisa melihat gedung-gedung tinggi, jalanan sibuk, dan orang-orang yang bergegas mengejar aktivitas mereka. Sementara dirinya… merasa terjebak di dunia yang bukan miliknya. “Sepertinya aku harus mencari pekerjaan,” gumam Alya pelan sambil meremas ujung bajunya. Ia tahu, walau pernikahan ini diselimuti kesepakatan, ia tidak bisa terus bergantung pada belas kasihan Nenek Rosa. “Aku tidak mau terus menyusahkan Nenek Rosa. Beliau sudah terlalu baik padaku. Aku harus mulai mandiri… kalau bisa, aku ingin mencicil kembali uang yang beliau keluarkan,” batinnya mantap, meski nada suaranya terdengar lirih di dalam hati. Ia berjalan ke meja kecil di sudut ruangan, meletakkan tas tangannya, lalu menatap laptop yang diletakkan di sana — sepertinya milik Jonathan, tapi tidak terkunci. Ia menatap layar itu ragu-ragu sebelum akhirnya menarik napas panjang. “Tidak… sebaiknya aku tidak menyentuh barangnya. Aku akan gunakan laptopku sendiri saja,” gumam Alya lembut sambil mengeluarkan laptop tua dari tas. Tak lama kemudian, layar laptop itu menyala, memantulkan cahaya biru lembut di wajahnya. Jari-jarinya mulai menari di atas keyboard, mencari situs lowongan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Ia membuka beberapa blog dan forum komunitas kerja yang sering ia kunjungi dulu sebelum kehidupannya berubah drastis. “Ah… mungkin aku bisa mulai dari pekerjaan administratif atau penulis lepas,” ucapnya pelan. “Setidaknya itu pekerjaan yang bisa kulakukan tanpa harus bergantung pada siapa pun.” Namun di balik semangat kecil itu, terselip perasaan hampa. Ia sadar bahwa hidupnya kini tidak sepenuhnya milik dirinya sendiri — setiap langkah masih terikat oleh kontrak dingin yang mengikatnya dengan Jonathan. Mata Alya menatap layar laptop, tapi pikirannya melayang jauh. Ia tidak tahu akan seperti apa masa depannya, tapi satu hal yang pasti: ia tidak akan menyerah. Ia menatap bayangannya di layar yang gelap sesaat sebelum lampu kamar menyala otomatis. “Mulai hari ini, aku harus kuat,” ucapnya dengan nada pelan namun penuh tekad. ... Sementara itu, di kantor pusat perusahaan milik keluarga Abigail, suasana pagi begitu sibuk. Para staf berlalu-lalang membawa map, laporan, dan dokumen penting. Ruangan Jonathan berada di lantai paling atas — ruang kerja luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota yang ramai. Jonathan duduk tegak di balik meja besar dari kayu mahoni, menatap layar laptop dengan ekspresi serius. Di hadapannya menumpuk berkas-berkas yang belum sempat ia tandatangani sejak dua hari lalu. Jemarinya bergerak cepat di atas keyboard, matanya tajam membaca laporan keuangan yang masuk dari departemen cabang. Pintu ruangannya tiba-tiba terbuka tanpa ketukan. Seorang pria tinggi berwajah cerah masuk sambil membawa dua gelas kopi. “Pagi, bos dingin,” sapa pria itu santai, bibirnya menyungging senyum menggoda. Jonathan tidak mengangkat kepala sedikit pun. “Kau tidak tahu sopan santun, Xelio. Ketuk dulu sebelum masuk.” Xelio — sahabat Jonathan sejak kuliah — hanya terkekeh, meletakkan secangkir kopi di meja kerja Jonathan. “Tenang saja, aku datang membawa perdamaian… dan kafein.” Namun Jonathan tetap tak bergeming. Ia membuka satu berkas baru dan menandatangani dokumen tanpa menoleh. “Apa ini? Baru dua hari menikah, tapi suami-istri malah sibuk kerja di tempat masing-masing. Kau ini benar-benar manusia yang aneh,” ejek Xelio sambil duduk di kursi tamu, menyilangkan kaki santai. Tatapan Jonathan perlahan terangkat — dingin, tajam, dan penuh peringatan. “Kalau kau tidak punya pekerjaan, jangan ganggu aku.” Suaranya datar namun mengandung ancaman halus. Xelio mengangkat kedua tangan menyerah, tapi senyum di wajahnya tetap belum hilang. “Oke, oke, aku hanya mau bilang maaf karena tidak sempat datang ke pesta pernikahanmu. Ada rapat mendadak di Bali, kau tahu sendiri urusan investor itu tidak bisa ditunda.” Jonathan diam. Ia tidak menjawab apa pun, hanya kembali menatap layar laptopnya. Seakan-akan kehadiran Xelio hanyalah suara latar yang bisa diabaikan. Melihat sikap itu, Xelio menghela napas panjang dan melirik ke arah sekretaris Jonathan yang berdiri di dekat pintu, Alex — pria muda berpenampilan rapi dengan wajah tegas. “Bosmu benar-benar tidak seru, Lex,” bisiknya pelan pada Alex, membuat sekretaris itu menahan senyum. Tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen yang sedang ia baca, Jonathan tiba-tiba berucap, “Usir dia, Alex.” Sekretaris itu tertegun sesaat, bingung antara menjalankan perintah atau tertawa. Sementara Xelio menatap Jonathan tak percaya. “Hey, hey, jangan begitu. Aku cuma bercanda, bro. Oke, oke, aku pergi. Kau memang sensitif sekali hari ini,” ujarnya sambil berdiri dan menepuk bahu Alex sebelum berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, Xelio sempat menoleh dan berkata dengan nada menggoda, “Kalau nanti istrimu kabur karena kau terlalu dingin, jangan salahkan siapa-siapa.” Jonathan hanya menghela napas panjang dan melanjutkan menandatangani dokumen. “Omong kosong,” gumamnya datar, namun entah kenapa, ucapan Xelio tadi sedikit menggema di benaknya. Untuk sesaat, pikirannya teralih pada wajah Alya yang polos — tatapan matanya yang tenang, dan suaranya yang lembut ketika berbicara di meja makan bersama nenek pagi itu. Jonathan cepat-cepat menepis bayangan itu dari pikirannya. “Fokus, Jonathan. Jangan buang waktu memikirkan hal yang tidak penting,” gumamnya pelan sambil memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Namun tanpa ia sadari, sejak pagi itu, sosok Alya mulai perlahan menempati sudut kecil dalam pikirannya yang dingin dan teratur. Bersambung.....Alya sudah siap dengan pakaian rapi yang sederhana namun tetap terlihat pantas. Setelah tadi mengantar Jonathan—suami kontraknya—hingga ke depan pintu mansion, gadis itu segera kembali ke lantai atas apartemen untuk berganti pakaian. Hatinya berdebar pelan, bukan karena takut, melainkan karena gugup memikirkan pertemuannya dengan Riko siang ini. Hari ini ia akan membahas pekerjaan di kafe milik lelaki itu, pekerjaan yang bisa menjadi langkah awalnya untuk kembali mandiri. Di dalam kamar, Alya berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya sekali lagi. Ia mengenakan kaos polos berwarna lilac muda yang memberi kesan lembut dan bersih, dipadukan dengan celana jeans cargo hitam yang nyaman namun tetap terlihat rapi. Rambut panjangnya ia biarkan terurai, hanya dikuncir setengah ke belakang agar tak mengganggu wajahnya. Ia tampak sederhana, namun ada ketenangan dan keanggunan yang sulit dijelaskan dari caranya berdiri. Alya mengambil tas kecil berwarna krem yang sudah terlihat agak kusa
Xelio akhirnya mundur beberapa langkah sambil mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Ia tahu, jika terus menggoda Jonathan, suasana kantor bisa berubah dingin seperti lemari es. “Baiklah, baiklah, aku pergi dulu. Tapi jangan lupa, makan siang nanti kau traktir aku. Anggap saja hadiah karena aku tidak datang ke pesta pernikahanmu,” ucap Xelio santai sebelum melangkah keluar dari ruangan. Jonathan hanya mendengus pelan tanpa menatap sahabatnya itu. “Keluar,” katanya singkat, tanpa menoleh sedikit pun dari layar laptopnya. Begitu pintu menutup, ruangan kembali sunyi. Hanya suara ketikan cepat di keyboard yang terdengar. Wajah Jonathan datar, tetapi sorot matanya tajam — seperti ada beban yang ia simpan di balik ketenangan itu. Alex, sekretarisnya yang setia, berdiri di dekat meja kerja sambil membawa beberapa berkas tambahan. “Tuan, ini laporan keuangan untuk proyek di Singapura. Perlu saya jadwalkan meeting dengan tim keuangan sore ini?” tanya Alex hati-hati. Jonathan meng
Alya baru saja tiba di depan pintu apartemen milik Jonathan. Lelaki itu hanya mengantarnya sampai lobi, lalu menyerahkan kartu akses dan secarik kertas berisi nomor unit tanpa sedikit pun menatap wajahnya.“Cari saja sendiri. Aku tidak punya waktu mengantarmu ke atas,” ucap Jonathan dingin sebelum melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Alya yang berdiri terpaku di depan lift dengan koper kecil di sampingnya.Perjalanan menuju lantai atas terasa sunyi. Hanya suara lembut dari musik instrumental lift yang menemani Alya. Jantungnya berdebar ketika ia menempelkan kartu akses ke pintu apartemen bernomor 2806 — unit milik suaminya, meski sebutan itu masih terasa asing di pikirannya.Begitu pintu terbuka, Alya tertegun.“Wow… besar dan mewah,” gumamnya tanpa sadar, matanya menelusuri setiap sudut ruangan yang tertata sempurna.Apartemen itu didominasi warna abu muda dan putih, dengan jendela besar menghadap langsung ke pemandangan kota. Cahaya matahari sore masuk menembus tirai tipis, men
Setelah makan malam selesai, Jonathan dan Alya kembali memasuki kamar mereka.Sesuai dengan apa yang telah Jonathan katakan sebelumnya, Alya tidak diperkenankan tidur di sebelah lelaki itu. Jonathan memang tegas soal batasan. Meskipun mereka baru saja resmi menjadi suami istri di mata hukum dan agama, hubungan mereka sama sekali belum layak disebut pernikahan yang sesungguhnya.Alya memandangi sofa panjang di sudut kamar — tempat yang akan menjadi ranjang tidurnya malam itu. Ia tidak mengeluh sedikit pun. Dalam hati kecilnya, ia justru merasa bersyukur. Setidaknya malam ini ia tidur di tempat yang layak, bukan di trotoar dingin seperti beberapa minggu lalu.“Nama aslinya memang Jonathan Abigail, kan?” gumam Alya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Dahi gadis itu sedikit berkerut, mengingat sesuatu. Saat pesta pernikahan tadi, ia sempat mendengar seseorang — mungkin rekan bisnis Jonathan — memanggil lelaki itu dengan sebutan Tuan Marvendo.Alya sempat bingung. Siapa sebenarny
Sekitar lima belas menit kemudian, suara air dari kamar mandi berhenti. Pintu terbuka perlahan, dan keluarlah Jonathan dengan hanya selembar handuk putih yang melilit di pinggangnya. Butiran air masih menetes dari rambutnya yang basah, menelusuri kulit dada dan perutnya yang bidang. Namun, alih-alih terlihat menggoda, aura yang terpancar darinya tetap dingin, kaku, dan tak bersahabat.Tatapannya langsung jatuh pada sosok Alya yang masih duduk di sofa panjang di depan ranjang. Gadis itu tampak begitu kecil dan gugup di antara megahnya kamar pengantin yang bernuansa putih dan abu-abu. Kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan, matanya menunduk dalam, seolah takut hanya dengan mengangkat pandangan.“Mandi. Jangan lama,” desis Jonathan datar tanpa ekspresi. “Setelah ini ada makan malam keluarga.”Nada suaranya tajam, penuh tekanan. Alya spontan berdiri dengan tubuh kaku.“Ba… baik, Tuan,” jawabnya pelan, suaranya gemetar.Ia segera meraih gaun sederhana berwarna pastel yang tela
Alya menatap lelaki dingin di depannya — tatapan yang menusuk hingga ke relung hatinya. Lelaki itu memandangnya seolah-olah dirinya adalah makhluk paling menjijikkan di dunia ini. Aura angkuh dan dingin yang terpancar darinya membuat dada Alya terasa sesak. “Baca,” desis lelaki itu datar, suaranya penuh tekanan. Perlahan, tangan Alya yang gemetar meraih map biru yang tergeletak di atas meja. Ketika ia membuka map tersebut, matanya langsung menangkap tulisan besar di bagian atas halaman: Kontrak Pernikahan. Di bawahnya tertera beberapa poin yang tertulis rapi, tetapi setiap kalimat terasa seperti duri yang menusuk harga dirinya. Semuanya terdengar seperti perjanjian yang merendahkan — seolah dirinya tidak lebih dari sekadar alat tukar. Alya menelan ludah, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu, di hadapan lelaki bernama Jonathan Arsenio itu, kelemahan hanyalah hal yang akan semakin mempermalukannya.







