Joana meraup wajahnya frustasi. Saat ini dirinya dan Bams berada di dalam mobil, sedang dalam perjalanan menuju apartemennya setelah sebelumnya diseret oleh scurity seperti seekor binatang. Pergelangan tangannya sakit, kepalanya juga ikut sakit karena tidak berhenti mengumpat dari tadi.
"Mereka pikir, mereka bisa apa tanpa perempuan sialan ini!" oceh Joana, menirukan gaya bicara Alex. Ia tidak terima dikatai 'perempuan sialan' oleh pria itu. Sambil fokus menyetir, Bams mengipasi wajah Joana menggunakan sebelah tangannya. "Sudahlah, tidak perlu marah-marah. Mereka memang selalu seperti itu," ucapnya dengan nada kemayu, berusaha menenangkan Joana sekaligus membenarkan kalau Alex memang sangat menyebalkan. Tidak sekali saja ia merasakan perlakuan Alex yang terkesan seenaknya, tetapi sudah berkali-kali. Dan ia merasa baik-baik saja, walau ada dendam membara di dalam hatinya. Berbeda dengan dirinya, Joana tampaknya lebih terguncang. Bams bisa memaklumi itu. "Bagaimana aku tidak marah! Hans Entertainment bisa berdiri seperti sekarang karena kerja kerasku!" Agensi itu hampir tutup sebelum Joana datang dan merubah segalanya. "Seharusnya kau mengancamnya dengan kalimat itu agar mereka tidak seenaknya!" Joana menggeram kesal seraya memukul pintu mobilnya. "Seandainya aku bisa melakukannya!" kesalnya, lalu menyandarkan kepala di kaca jendela mobil untuk meredakan amarah. Pandangannya fokus pada pemandangan di luar. Tangan kanannya mengusap pergelangan tangan kirinya yang terasa lebih sakit daripada yang sebelah kanan. Akan tetapi, yang ia pikirkan sekarang bukan rasa sakit itu. Melainkan, pernikahan pura-pura yang Alex tawarkan. "Menurutmu aku harus menerima tawarannya atau tidak?" gumamnya bertanya pada Bams. "Tawaran apa? Kau disuruh mengundurkan diri setelah diberi banyak uang?!" Bams histeris, ia pernah melihat cerita seperti itu di film-film. "Kau pikir aku ini wanita panggilan! Dipakai, dibungkam menggunakan uang, lalu disuruh pergi. Begitu?" sergah Joana tidak terima. "Kau sendiri yang menyimpulkan seperti itu!" Bams mengerucutkan bibirnya. "Memangnya tawaran seperti apa yang kau maksud?" tanyanya dengan nada jengkel. Menarik nafas panjang lalu menghembuskan perlahan. Joana memutar badan menghadap ke arah Bams sepenuhnya. "Dia memintaku untuk menikah dengannya." "Apa?!" Bams menginjak rem secara tiba-tiba, lalu menepikan mobilnya. " Jadi, sebenarnya selama ini Hans sialan itu menyukaimu, My Ruby?!" histerisnya. "Tidak. Seperti yang kita lihat tadi, dia teramat membenciku." "Lalu?" Satu alis Bams terangkat. "Hanya pernikahan pura-pura dengan tujuan menyelamatkan perusahaan," jawab Joana dengan nada datar, tepat seperti kata Alex tadi. "Demi perusahaan." Bibir Bams terbuka sedikit, lalu ia tertawa. "Mr. Hans pasti sudah gila. Dia menjadikanmu sebagai tameng. Bagus juga, kau bisa lebih dekat dengannya tanpa harus berbuat ini itu yang merugikan! Dia benar-benar gila karena bodoh!" ucapnya menggebu, lalu tertawa lagi seperti penyihir yang baru saja mengunyah mangsanya. "Tapi aku menolak." Tawa Bams seketika terhenti. Ia menoleh ke arah Joana dengan alis menukik tajam. "Kenapa?!" Bukankah selama ini artisnya itu mencari sensasi agar lebih dekat dengan pemilik agensi muda itu? "Kenapa, kenapa?!" Joana menirukan kata-kata Bams tadi dengan nada tidak terima. "Katakanlah aku memang kolot karena hanya ingin menikah satu kali seumur hidup, dan tentu saja bukan bersama Hans sialan itu. Asal kau tahu, dia mengataiku perempuan sialan!" Dada Joana bergerak naik turun seiring nafasnya yang berembus tidak terkendali. Awalnya ia tidak keberatan kalau harus menikah sungguhan, dan setelah melihat perlakuan Alex tadi, ia berubah pikiran. Pria itu membutuhkan bantuannya, tetapi tidak memperlakukannya dengan baik. Pria seperti itu tidak pantas menjadi suaminya. Bams mendengus menyayangkan keputusan Joana. "Padahal itu hanya pernikahan pura-pura," gerutunya. "Aku tidak bisa membayangkan menjalani pernikahan dengan orang sepertinya, meskipun hanya pura-pura. Kau bisa melihat sendiri wajahnya, seperti singa kelaparan," balas Joana seraya memutar bola matanya. Ia tidak sanggup melihat wajah pria itu setiap hari, apalagi dengan tingkahnya yang selalu marah-marah. Bisa-bisa ia menua sebelum waktunya. "Aku juga tidak akan mau menikah dengannya." "Kau seorang laki-laki, Bams!" "Seandainya aku seorang perempuan, My Ruby." Joana menghela nafas panjang, melemaskan otot-ototnya yang tegang. Kepalanya mendadak berdenyut, pening. Tujuannya masuk agensi Hans Entertainment hanya untuk mendekati pemiliknya. Setelah tujuannya hampir tercapai, kenapa ia merasa seperti akan menyerah? Ragu, takut bumerang itu akan kembali padanya. *** Kalau Joana terjebak dalam rasa bimbang, berbeda dengan Alex yang semakin yakin untuk membatalkan rencana pernikahan pura-puranya. "Lihat tingkahnya, kau masih ingin aku menikah dengannya?" Alex tertawa sumbang disertai gelengan kepala. Merasa bodoh karena sempat menyetujui rencana konyol itu. "Hanya pura-pura," ralat Zoya, memutar bola mata jengah. "Walau hanya pura-pura, kau pikir aku sudi?" Alex mengembuskan nafas kasar, lalu membuang wajah menatap luar jendela ruang kerjanya. Menikah tidak ada dalam kamus hidupnya. Ia sudah bersumpah pada dirinya sendiri untuk menghabiskan masa hidupnya seorang diri. Benar-benar sendiri, tanpa istri dan anak karena ia menganggap hidup berkeluarga hanya akan mempersulit hidupnya. Ia tidak mau bernasib sama seperti orang tuanya. Menjadi orang tua yang gagal karena tidak bisa menjadi orang tua yang baik. Ia tidak mau anaknya bernasib sama seperti dirinya. Apalagi pasangannya seperti perempuan sialan itu, Alm ex benar-benar tidak sudi. "Terkait itu pernikahan pura-pura atau bukan, kau harus tetap memikirkan pernikahan dengan serius, dan keluar dari masa lalu. Apa kau tidak iri melihat teman-temanmu sudah menggendong anak?" "Iri? Tidak. Lagipula teman mana yang kau maksud? Aku tidak memiliki teman!" dengus Alex. Bukannya tidak memiliki teman, ia tidak pernah menganggap teman-temannya ada, hidupnya hanya untuk dirinya sendiri. "Terserah padamu." Zoya menyerah. Kepalanya pening jika harus berdebat dengan atasannya yang keras kepala itu. Ia bangkit dari kursi yang ia duduki, lalu melenggang pergi ruangan itu. "Zoya!" seru Alex sebelum perempuan itu benar-benar pergi. "Apa?" Zoya berbalik. Satu alisnya terangkat. Alex mengusap bibir bawahnya dengan pandangan terpusat pada bibir perempuan itu. Kening Zoya mengkerut, matanya menyipit. "Apa?" tanyanya lagi. Alex menjilat bibir bawahnya tanpa mengalihkan pandangan. "Bagaimana kalau melanjutkan yang tadi saja?" "Enyahlah ke neraka, Brengsek!"Di atas sofa, meringkuk seperti bayi, Joana menggeliat merasakan tubuhnya kaku. Nyeri di punggungnya semakin terasa ketika ia berusaha menegakkan badan. Ia melenguh seraya mengamati sekelilingnya. Decakan terdengar begitu menyadari dirinya masih berada di ruang tamu.“Auh, sial!” Lalu ia membawa tubuhnya untuk duduk. Ia terpaku beberapa saat melihat makanan yang tersaji di atas meja. “Jam berapa ini?” paniknya, dan dengan tergesa mencari ponsel di dalam tas yang tergeletak di meja.“Demi tuhan!” pekiknya mendapati ponselnya dalam keadaan mati. Begitu layar ponsel itu menyala, sontak matanya melotot. “Jam sebelas!” “Bagaimana bisa aku tidur selama dua jam setelah bangun tidur?” Tubuhnya mendadak lemas. Dua puluh satu panggilan tak terjawab dari San Jefri serta pesan panjang berisi untaian kemarahan. Ia mendesah Frustasi begitu menyadari mulai jatuh dalam pesona Alexander Hans seperti yang selama ini ia teriakan di depan publik. “Tidak, Joana, kau harus ingat tujuanmu.” Ia menggel
Joana mengerang kesakitan karena bersikeras melepas korset yang melingkar di perutnya. Semalam ia tidak bisa tidur karena terlalu memikirkan Alex yang mungkin saja menganggapnya murahan seperti para pembencinya. Sekarang tubuhnya tidak nyaman dan membutuhkan air hangat untuk menetralkan gejolak di dadanya. Setelah lebih dari satu jam berendam ia keluar dengan mengenakan baju yang ada di lemari—dress rumahan bertali spaghetti panjang diatas lutut serta hot pants. Penampilannya jauh lebih segar dari sebelumnya, ia juga sudah melepaskan perban yang melingkar di kepala karena luka di belakang kepalanya sudah kering. Sebelum mandi tadi ia sudah menyiapkan mini bag dan kacamata hitam. Rencananya ia akan pergi ke suatu tempat, menjalankan rencana yang sempat tertunda. "Berikan aku kunci tempat ini," pintanya pada Alex yang sedang berkutat di dapur. Alex menghentikan kegiatannya mengiris dada ayam. Memindai penampilan wanita itu. "Mau ke mana dengan pakaian seperti itu?" tanyanya d
Joana mendongak menatap gedung di hadapannya, bibirnya sedikit terbuka sedangkan matanya berkedip-kedip memastikan penglihatannya tidak salah. Semilir angin menerpa wajahnya, membuat rambutnya menari liar di udara. Ia terkekeh disertai geraman kesal ketika angin itu menerbangkan kertas selebaran dan tersangkut di kakinya. “Apa kau bercanda?” tanyanya pada Alex yang berdiri di sampingnya, tetapi yang terdengar hanya embusan napas panjang. “Lebih baik aku tinggal di rumahku. Lebih nyaman dan layak ditempati!” kesalnya seraya menyingkirkan kertas itu dari kakinya. Ia tidak menyangka Alex akan membawanya ke apartemen tidak berbintang yang menurutnya tidak layak ditempati. Tembok berjamur, retakan di mana-mana dan tetesan air AC yang mengalir tenang di tembok hingga membasahi tanah. “Tempat ini tidak bisa disebut sebagai apartemen, tapi rumah susun!” ocehnya lagi. Tanpa Joana tahu, itu tempat persembunyian yang sempurna. Tidak seorang pun akan menduga bahwa Alexander Hans berdiam d
Joana tidak bisa menahan mulutnya yang berkali-kali terbuka lebar karena menguap. Ia muak, telinganya berdenging, bosan mendengar ocehan Bibi Oda tentang Alex yang tidak ada hentinya. Tidak ada informasi yang benar-benar penting, tetapi ia harus pura-pura memasang telinga dengan baik.Menyebalkan!Mereka masih berada di taman belakang, Bibi Oda duduk di kursi santai, Joana masih setia dengan kursi rodanya, sedangkan Alex entah pergi ke mana. Sebelum pergi, ia menyuruh dua perempuan berbeda usia itu untuk mengobrol hal penting yang perlu Joana ketahui. Dengan harapan istri barunya itu tidak akan merepotkan ke depannya.“Dia tidak bisa makan makanan laut, tapi suka salad tuna salmon.”Joana hanya mengangguk.“Pengelolaan emosinya sangat buruk dan dia sangat menyebalkan. Jadi, jangan sekali-kali membuatnya marah. Kita tidak tahu apa yang bisa dia lakukan, kelakuannya sering di luar nalar.”“Ya, ya, aku tahu itu. Dia memang sangat menyebalkan, suka marah-marah dan brengsek!” Sangat breng
Perban masih melingkar di kepala Joana, begitu pula dengan korset khusus yang terpasang di pinggangnya. Dokter memasang benda itu sebelum ia benar-benar diperbolehkan untuk pulang. Walau kesulitan bernapas, korset itu membantunya bergerak tanpa harus menekuk tubuh dengan berlebihan. Wanita dengan setelan baju tidur panjang itu meringkuk di dalam mobil, memeluk lutut memunggungi Alex yang sedang menyetir. Ia tidak tahu ke mana pria itu akan membawanya, tidak mau bertanya, dan tidak mau berbicara. “Sebelum kita ke rumahku, aku akan mengenalkanmu pada Bibi Oda. Dia akan membantumu banyak hal.” Mendengar nama itu, Joana membuka mata. “Dia siapa?” tanyanya tanpa mengubah posisi. Alex tidak langsung menjawab. Cukup lama Joana menunggu pria itu membuka mulut, hingga akhirnya embusan napas panjang terdengar dan ia menjawab, “Pengasuhku.” Singkat, padat, dan cukup membuat Joana kesal. Untuk apa ia harus berkenalan dengan seorang pengasuh? Alex tidak berniat menjadikannya pelayan,
Berawal dari kalimat "kita menikah besok", di sinilah Joana sekarang. Sebenarnya masih tergeletak di ranjang rumah sakit, tetapi dikelilingi orang-orang yang sangat ia kenal. Kata Alex, "Mereka akan menjadi saksi pernikahan kita."Joana masih membeku di tempatnya ketika kakak angkatnya—Brian—mengantarkan seorang pendeta keluar dari ruang inap. Di sampingnya, Alex tidak berhenti tersenyum jumawa ketika semua orang—sebenarnya hanya ada Brian, Zoya dan Bams—mengucapkan selamat atas janji pernikahan yang baru saja digelar.Pernikahan yang sangat sederhana. Hanya ada wali, tanpa orang tua Joana dan tanpa orang tua Alex. Acara hanya mengucapkan janji suci, menyematkan cincin, memberi selamat dan selesai. Tidak ada acara makan-makan atau apa pun itu, tetapi kalau mau, para tamu bisa makan buah-buahan yang mereka bawa sendiri karena Joana tidak terlalu menyukainya."My Ruby, aku tahu kau sedang tidak baik-baik saja, tapi setidaknya tersenyumlah untuk satu hari saja." Bams berbisik di telinga