"Ouh, My Ruby .... Apa kau tidak bisa diam satu hari saja? Kau membuatku gila!" Pria melambai dengan lipstik merah menyala itu bergerak gelisah, mondar-mandir di dalam lift setelah beberapa jam lalu mendapat pesan dari atasannya.
Joana diminta menghadap lagi, tetapi kali ini bersamanya. "Aku tidak melakukan apa pun!" protes perempuan itu. Jantungnya juga berdegup kencang, tidak jauh berbeda dengan yang dirasakan managernya. "Lalu apa lagi ini?" Pria melambai itu mendesah dramatis. "Aku juga tidak tau. Tapi, sepertinya bukan hal yang buruk." Pintu lift terbuka, lalu ia melangkah terlebih dahulu. "My Ruby, aku takut." Joana memutar bola matanya ketika managernya itu mengapit lengannya erat. "Bams, Jangan berlebihan. Mereka akan menindas kita kalau kau bersikap seperti ini. Hans brengsek itu akan dengan mudah menekan kita. Jadi, berhentilah merengek!" "Aku tidak sanggup melihatnya marah. Lebih baik kau pergi sendiri saja!" Bobby Bams, pria melambai itu menghentikan langkahnya ketika ruangangan Alexander Hans sudah berada di depan mata. Langkah Joana ikut terhenti. Ia memutar kepalanya ke arah Bams, menatap malas pria itu. "Dia akan semakin marah kalau sikapmu seperti ini!" sentaknya. "Aku akan mengundurkan diri saja!" Bams menghentakkan kakinya, lalu melipat tangannya di depan dada, bibirnya cemberut. "Segala tekanan ini bisa membuatku gila, My Ruby," lanjutnya merengek. "Ya sudah, tunggu di sini saja. Kalau aku tidak kembali dalam waktu satu jam, tolong panggil polisi." "Untuk apa? Kau berniat membunuhnya?" Joana menggeleng. "Aku yang akan dibunuh oleh mereka," jawabnya datar. Bams membekap mulutnya dramatis. Waktu itu saja ia disembur menggunakan rentetan kata-kata kasar yang sangat menyakitkan. Tidak menutup kemungkinan kali ini Alexander Hans akan menyembur Joana menggunakan belati, samurai atau benda-benda tajam yang ada di ruangan itu. "My Ruby, sebaiknya kita pulang saja." Ia mencoba menarik lengan Joana kembali ke arah lift. "Bams! Apa-apaan kau ini! Aku hanya bercanda, Hans sialan itu tidak akan menyakitiku." Dengan gerakan perlahan Bams melepaskan tangan Joana tidak rela. "Tunggu di sini," perintah perempuan itu, lalu membuka ruangan berpintu kaca berwarna gelap itu tanpa mengetuk. Seperti biasa, di dalam hanya ada Zoya Madison sedang berdiri di samping Alexander Hans yang duduk di singgasananya. "Apa kau tidak tau caranya mengetuk pintu!" sembur Alex. "Sorry, Mr. Hans. Aku baru saja memasang nail extension sulit sekali untuk melipat jari." Joana berhenti seketika, ketika melihat Zoya membenarkan lipstiknya dan Alex terlihat salah tingkah menampakkan wajah marah. "Oops ... apa aku menganggu?" "Perempuan sialan!" umpat pria itu. Ehkm .... Zoya berdeham sembari merapikan kerah kemejanya. ia sedikit menggeser tubuhnya memberi jarak pada kursi Alex. "Silakan duduk, Joana," ucapnya, suaranya sedikit serak. Joana menatap horor dua orang di hadapannya. Tingkahnya mencurigakan sekali. Ia tidak menyangka Zoya Madison bisa berciuman dengan atasannya sendiri yang bahkan rumornya seorang penyuka sesama jenis. Ah, positif thinking saja, mungkin mereka tidak melakukan hal yang ada di kepala Joana. "Ada apa kau memanggil? Harusnya hari ini aku berangkat ke Miami bersama San Jefri untuk berlibur. Rencanaku gagal gara-gara kalian," keluhnya setelah mendudukkan diri di kursi. "San Jefri Martin?" Satu allis Alex terangkat. "Ya, San Jefri Martin," jawab Joana penuh penekanan. "Memangnya ada San Jefri lain di dunia ini?!" Alex terkekeh, tidak menyangka. San Jefri merupakan aktor yang sedang memulai karirnya sebagai sutradara. Dia yang mengerjakan debut film Joana. Ia tidak terlalu mengenal San Jefri, tetapi sutradara muda itu banyak diperbincangkan karena film pertamanya booming pertengahan tahun lalu. "Aku tidak mengijinkannya. Skandal yang kau buat saja masih menjadi perbincangan, lalu sudah mau membuat skandal baru? Kau benar-benar ingin membuat Hans Entertainment gulung tikar, eh?" "Memangnya kau siapa hingga aku harus memerlukan ijin darimu?" tanya Joana sengit. Ia melipat tangannya di depan dada, memberikan tatapan sinis kepada Alex. "Kau merasa memilikiku, ya? Sudah menyadari kalau kau bukan apa-apa tanpa seorang Joana Ruby?" Joana tertawa, sangat percaya diri sekali. "Cih!" Alex tertawa sumbang. Ia melirik Zoya sekilas. "Lihatlah perempuan ini. Kau yakin ingin menjalankan rencana itu bersamanya?" Alex menunjuk-nunjuk Joana menggunakan jari telunjuknya. "Batalkan saja. Aku tidak sudi!" sambungnya dengan nada jijik. Bahkan ia sampai bergidik, menatap Joana seolah seperti kotoran. "Kau ...!" desis Joana menatap Alex tajam. "Apapun rencanamu itu, aku juga tidak sudi melakukannya, Bren*sek!" teriaknya menggebu. Ia menyesal membatalkan agenda berlibur ke Miami bersama San Jefri, padahal ia sangat menunggu moment itu. Kapan lagi bisa berlibur berdua bersama aktor tampan yang banyak digilai perempuan. Para penggemar San Jefri pasti iri kalau mengetahui mereka hanya berdua saja. "Jangan terpancing, Joana." Zoya memperingati perempuan itu, lalu pandangannya kini beralih pada Alex. "Kita sudah membicarakan rencana ini matang-matang. Kalau kau membatalkannya, sama saja dengan membiarkan perusahaan ini hancur secara perlahan." Alex mendengarkan. Akan tetapi, pandangannya mengarah pada Joana, menatapnya tidak suka sambil memikirkan kembali keputusannya. "Ini hanya pernikahan pura-pura, untuk menyelamatkan perusahaan, tidak lebih," lanjut Zoya, karena Alex tidak kunjung membuka suara. "Well, demi perusahaan. Beritahu rencana kita padanya!" Joanna mengedip, bingung. Kenapa mereka membahas pernikahan. Zoya menghela nafas lega. Setelahnya ia tersenyum kepada Joana. "Sebagai bentuk penyelamatan perusahaan, di mana kau penyebab perusahaan ini mengalami banyak kerugian. Kami sebagai atasan—maksudku Mr. Hans, sebagai pemilik perusahaan sudah memutuskan rencana terbaiknya untuk menyelamatkan perusahaan–” "Langsung saja bisa tidak!" bentak Joana yang sudah tidak sabar. "Kalian sama saja menyebalkannya!" Zoya membuang nafas kasar, lalu menegakkan dagunya. "Mereka mirip sekali," gumamnya kesal. "Zoya!" Mendengar teriakan itu Zoya berdeham, lalu kembali fokus pada yang akan ia sampaikan. "Untuk menutupi skandal yang kau buat. Kita tidak akan melakukan klarifikasi, tetapi memvalidasi rumor yang ada." "Apa maksudmu?" sergah Joana. "Kau diberitakan menjalin hubungan dengan Mr. Hans. Maka kita akan memvalidasi rumor itu dengan membuat rumor yang lebih besar, yaitu menyebar foto pernikahan kalian. Percayalah, ini memiliki dampak yang lebih baik." "Kalau bicara yang jelas! Aku tidak paham maksudmu!" decak Joana. Zoya terlalu berbelit-belit, otak kecilnya itu sulit mencerna ucapannya. "Bodoh!" Joana menatap tajam sosok Alex yang baru saja menghinanya. "Asistenmu itu yang bodoh!" balasnya sengit. "Begini, kalian akan pura-pura menikah agar mereka melupakan berbagai skandal yang kau buat. Media akan fokus pada pernikahan kalian. Jadi, perlahan kita bisa memperbaiki nilai saham perusahaan. Dengan begitu kita juga bisa mengawasimu agar tidak semakin memperburuk keadaan," papar Zoya. "Kenapa harus pura-pura menikah?" Joana tampak tidak terima. Pernikahan tidak untuk dipermainkan, itu yang tertanam di otaknya. "Hanya ini yang dapat kita lakukan. Kalau kau tidak mau, maka dengan berat hati harus meninggalkan agensi," jawab Zoya. Mereka sudah memikirkan keputusan ini sebelumnya, para petinggi agensi juga meminta untuk mendepak Joana secepatnya. Jadi, seandainya perempuan itu menolak, mereka tidak keberatan jika harus kehilangan Joana. "Maksudku, kenapa tidak menikah sungguhan saja?" Zoya membulatkan matanya dengan bibir sedikit terbuka. Begitu pula dengan Alex yang bahkan nafasnya sudah memburu dengan jantung berdebar kencang. "Zoya! Batalkan rencana kita dan segera keluarkan dia dari agensi. Aku tidak sudi berpura-pura menikah dengan perempuan sialan ini!" "Tapi, Alex ...." "Apa kau bilang? Perempuan sialan?!" sergah Joana hampir bersamaan dengan ucapan Zoya. "Iya. Kau, perempuan sialan!" Alex menunjuk wajah Joana menggunakan jari telunjuknya. "Dasar pria tidak tau diri! Kau pikir perusahaan ini bisa sebesar ini karena siapa? Bahkan Noah Hansen saja tidak bisa memperbaiki saat perusahaan ini berada dalam ambang kehancuran. Bren*sek!" Brak .... Semua orang menoleh ke arah pintu yang didobrak kasar, menimbulkan suara getaran keras karena bermaterial kaca. "Ba-ms? Apa yang kau lakukan?!" Joana sudah berdiri dan memapah managernya yang tersengal seperti habis berlari ribuan kilometer. Bams tidak menjawab, ia menoleh ke arah belakangnya. "Polisi?" Kening Joana mengerut. "Aku pikir, kau sudah lebih dari satu jam berada di dalam."Di atas sofa, meringkuk seperti bayi, Joana menggeliat merasakan tubuhnya kaku. Nyeri di punggungnya semakin terasa ketika ia berusaha menegakkan badan. Ia melenguh seraya mengamati sekelilingnya. Decakan terdengar begitu menyadari dirinya masih berada di ruang tamu.“Auh, sial!” Lalu ia membawa tubuhnya untuk duduk. Ia terpaku beberapa saat melihat makanan yang tersaji di atas meja. “Jam berapa ini?” paniknya, dan dengan tergesa mencari ponsel di dalam tas yang tergeletak di meja.“Demi tuhan!” pekiknya mendapati ponselnya dalam keadaan mati. Begitu layar ponsel itu menyala, sontak matanya melotot. “Jam sebelas!” “Bagaimana bisa aku tidur selama dua jam setelah bangun tidur?” Tubuhnya mendadak lemas. Dua puluh satu panggilan tak terjawab dari San Jefri serta pesan panjang berisi untaian kemarahan. Ia mendesah Frustasi begitu menyadari mulai jatuh dalam pesona Alexander Hans seperti yang selama ini ia teriakan di depan publik. “Tidak, Joana, kau harus ingat tujuanmu.” Ia menggel
Joana mengerang kesakitan karena bersikeras melepas korset yang melingkar di perutnya. Semalam ia tidak bisa tidur karena terlalu memikirkan Alex yang mungkin saja menganggapnya murahan seperti para pembencinya. Sekarang tubuhnya tidak nyaman dan membutuhkan air hangat untuk menetralkan gejolak di dadanya. Setelah lebih dari satu jam berendam ia keluar dengan mengenakan baju yang ada di lemari—dress rumahan bertali spaghetti panjang diatas lutut serta hot pants. Penampilannya jauh lebih segar dari sebelumnya, ia juga sudah melepaskan perban yang melingkar di kepala karena luka di belakang kepalanya sudah kering. Sebelum mandi tadi ia sudah menyiapkan mini bag dan kacamata hitam. Rencananya ia akan pergi ke suatu tempat, menjalankan rencana yang sempat tertunda. "Berikan aku kunci tempat ini," pintanya pada Alex yang sedang berkutat di dapur. Alex menghentikan kegiatannya mengiris dada ayam. Memindai penampilan wanita itu. "Mau ke mana dengan pakaian seperti itu?" tanyanya d
Joana mendongak menatap gedung di hadapannya, bibirnya sedikit terbuka sedangkan matanya berkedip-kedip memastikan penglihatannya tidak salah. Semilir angin menerpa wajahnya, membuat rambutnya menari liar di udara. Ia terkekeh disertai geraman kesal ketika angin itu menerbangkan kertas selebaran dan tersangkut di kakinya. “Apa kau bercanda?” tanyanya pada Alex yang berdiri di sampingnya, tetapi yang terdengar hanya embusan napas panjang. “Lebih baik aku tinggal di rumahku. Lebih nyaman dan layak ditempati!” kesalnya seraya menyingkirkan kertas itu dari kakinya. Ia tidak menyangka Alex akan membawanya ke apartemen tidak berbintang yang menurutnya tidak layak ditempati. Tembok berjamur, retakan di mana-mana dan tetesan air AC yang mengalir tenang di tembok hingga membasahi tanah. “Tempat ini tidak bisa disebut sebagai apartemen, tapi rumah susun!” ocehnya lagi. Tanpa Joana tahu, itu tempat persembunyian yang sempurna. Tidak seorang pun akan menduga bahwa Alexander Hans berdiam d
Joana tidak bisa menahan mulutnya yang berkali-kali terbuka lebar karena menguap. Ia muak, telinganya berdenging, bosan mendengar ocehan Bibi Oda tentang Alex yang tidak ada hentinya. Tidak ada informasi yang benar-benar penting, tetapi ia harus pura-pura memasang telinga dengan baik.Menyebalkan!Mereka masih berada di taman belakang, Bibi Oda duduk di kursi santai, Joana masih setia dengan kursi rodanya, sedangkan Alex entah pergi ke mana. Sebelum pergi, ia menyuruh dua perempuan berbeda usia itu untuk mengobrol hal penting yang perlu Joana ketahui. Dengan harapan istri barunya itu tidak akan merepotkan ke depannya.“Dia tidak bisa makan makanan laut, tapi suka salad tuna salmon.”Joana hanya mengangguk.“Pengelolaan emosinya sangat buruk dan dia sangat menyebalkan. Jadi, jangan sekali-kali membuatnya marah. Kita tidak tahu apa yang bisa dia lakukan, kelakuannya sering di luar nalar.”“Ya, ya, aku tahu itu. Dia memang sangat menyebalkan, suka marah-marah dan brengsek!” Sangat breng
Perban masih melingkar di kepala Joana, begitu pula dengan korset khusus yang terpasang di pinggangnya. Dokter memasang benda itu sebelum ia benar-benar diperbolehkan untuk pulang. Walau kesulitan bernapas, korset itu membantunya bergerak tanpa harus menekuk tubuh dengan berlebihan. Wanita dengan setelan baju tidur panjang itu meringkuk di dalam mobil, memeluk lutut memunggungi Alex yang sedang menyetir. Ia tidak tahu ke mana pria itu akan membawanya, tidak mau bertanya, dan tidak mau berbicara. “Sebelum kita ke rumahku, aku akan mengenalkanmu pada Bibi Oda. Dia akan membantumu banyak hal.” Mendengar nama itu, Joana membuka mata. “Dia siapa?” tanyanya tanpa mengubah posisi. Alex tidak langsung menjawab. Cukup lama Joana menunggu pria itu membuka mulut, hingga akhirnya embusan napas panjang terdengar dan ia menjawab, “Pengasuhku.” Singkat, padat, dan cukup membuat Joana kesal. Untuk apa ia harus berkenalan dengan seorang pengasuh? Alex tidak berniat menjadikannya pelayan,
Berawal dari kalimat "kita menikah besok", di sinilah Joana sekarang. Sebenarnya masih tergeletak di ranjang rumah sakit, tetapi dikelilingi orang-orang yang sangat ia kenal. Kata Alex, "Mereka akan menjadi saksi pernikahan kita."Joana masih membeku di tempatnya ketika kakak angkatnya—Brian—mengantarkan seorang pendeta keluar dari ruang inap. Di sampingnya, Alex tidak berhenti tersenyum jumawa ketika semua orang—sebenarnya hanya ada Brian, Zoya dan Bams—mengucapkan selamat atas janji pernikahan yang baru saja digelar.Pernikahan yang sangat sederhana. Hanya ada wali, tanpa orang tua Joana dan tanpa orang tua Alex. Acara hanya mengucapkan janji suci, menyematkan cincin, memberi selamat dan selesai. Tidak ada acara makan-makan atau apa pun itu, tetapi kalau mau, para tamu bisa makan buah-buahan yang mereka bawa sendiri karena Joana tidak terlalu menyukainya."My Ruby, aku tahu kau sedang tidak baik-baik saja, tapi setidaknya tersenyumlah untuk satu hari saja." Bams berbisik di telinga