Pagi itu, udara terasa berat meski matahari bersinar cerah. Alinea menatap langit-langit kamar dengan mata yang tak benar-benar tidur semalaman. Di sampingnya, Leon masih terlelap, meskipun raut wajahnya menunjukkan kegelisahan yang dalam. Wajah itu... tak lagi sekaku dulu. Ia mulai bisa membaca emosi di balik sorot matanya.Perlahan, Alinea bangkit dari ranjang, mengambil ponsel dari meja dan membuka pesan misterius kemarin. Nomor itu masih ada, belum diblokir. Entah kenapa, ia merasa butuh menjaganya tetap ada. Mungkin... itu bisa menjadi petunjuk.Ia berjalan ke dapur dan menyalakan mesin kopi. Detik-detik hening berlalu hingga suara langkah kaki Leon terdengar mendekat. Ia hanya mengenakan kaus hitam polos dan celana santai, namun tetap terlihat seperti CEO yang membawa aura dingin dan berwibawa."Kamu nggak tidur?" tanya Leon sambil mengambil cangkir kopi yang disodorkan Alinea."Tidur, tapi nggak nyenyak. Aku kepikiran soal mobil ayahmu
Alinea berdiri mematung di balkon lantai atas vila Rayendra, memandang langit malam yang mulai mendung. Angin lembut menerpa wajahnya, membuat helaian rambut panjangnya berayun pelan. Di dalam hatinya, badai justru sedang berkecamuk. Kata-kata ancaman yang ia baca dari pesan misterius siang tadi masih terngiang jelas.“Jangan terlalu nyaman. Kau bukan istri sebenarnya. Dan kau akan tahu akibatnya.”Suara langkah kaki mendekat membuat Alinea menoleh. Leon berdiri di ambang pintu balkon, wajahnya serius namun tidak segelap biasanya. Ia membawa dua cangkir teh hangat.“Kau belum tidur,” ucap Leon sambil menyerahkan salah satu cangkir padanya.Alinea menerima cangkir itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Aku tak bisa tidur.”Leon menatapnya dalam diam, lalu berdiri di sampingnya, memandangi langit yang sama.“Karena pesan itu?” tanyanya pelan, namun tajam.Alinea terdiam sesaat. “Kau tahu?”Leon mengangguk.
Hening. Itulah yang Alinea rasakan sepanjang perjalanan pulang ke kediaman keluarga Rayendra.Ia duduk di dalam mobil, menatap keluar jendela, menyaksikan deretan lampu kota yang samar-samar memantul di kaca. Tapi pikirannya tak tenang. Bukan hanya karena foto-foto itu… tetapi karena kini, ia merasa tidak hanya dijadikan korban—melainkan pion.Leon duduk di kursi kemudi dengan rahang mengeras. Kedua tangannya menggenggam setir erat, seolah sedang menahan sesuatu yang hampir meledak. Sejak perdebatan tadi, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya."Aku harus tahu satu hal." Suara Alinea akhirnya pecah.Leon menoleh sedikit. "Apa?""Apa kamu yakin Claudia bukan hanya tumbal?"Leon menghela napas dalam-dalam. "Ya… Claudia memang berambisi. Tapi dia bukan dalangnya. Paman Dirga… dia lebih dari sekadar paman. Dia yang membesarkan ayahku saat kakek meninggal. Dia memiliki banyak pengaruh. Bahkan, sebelum ayahku wafat,
Malam kembali turun dengan sunyi yang mencengkeram. Di kamar utama, Leon berdiri di depan jendela besar, menatap jauh ke gelapnya langit malam. Bayangan Alinea yang tertidur di ranjang hanya tampak samar oleh cahaya lampu tidur. Ia belum juga terlelap sejak menerima foto ancaman itu.Sementara itu, di ruang kerja rahasia bawah tanah yang hanya diketahui oleh Leon dan beberapa orang kepercayaannya, layar monitor memperlihatkan foto-foto pengawasan, data penyelidikan, dan satu gambar besar yang belum pernah Alinea lihat sebelumnya: foto seorang wanita muda yang hampir identik dengan Alinea. Nama di bawahnya: "Anastasia Rayendra"."Kau benar-benar kembali dalam bentuk yang lain…" gumam Leon lirih.Ia menutup map yang terbuka di hadapannya, bertuliskan: Kasus Penembakan 9 Tahun Lalu - Kematian Anastasia.Pagi HariAlinea berjalan ke ruang kerja Leon dengan secangkir kopi. Ia melihat suaminya yang tampak lelah dan tidak tidur semalaman. “
Luka yang Tidak Pernah SembuhHujan turun deras malam itu, menghantam kaca jendela rumah Leon dengan irama yang menggambarkan kegelisahan di hati Alinea. Di dalam kamar yang luas dan sepi, Alinea duduk di sisi tempat tidur sambil memegang surat ancaman terbaru yang ia temukan di dalam laci lemari kerjanya. Surat itu tidak lagi ditulis dengan kalimat samar. Kata-katanya jelas, tajam, dan penuh kebencian.> "Kamu pikir dia mencintaimu? Kamu hanya mainan. Waktumu hampir habis, Alinea."Tangannya gemetar saat membaca ulang isi surat itu. Ancaman ini terasa sangat pribadi, seolah seseorang yang sangat mengenalnya dan menyimpan dendam mendalam sedang mengawasinya setiap saat. Rasa takut yang sudah lama ia tekan perlahan merayap lagi, mencengkram jiwanya seperti belenggu tak terlihat.Pintu kamar terbuka pelan. Leon masuk dengan wajah letih, rambutnya basah, dan dasi yang sudah longgar. Saat matanya tertuju pada Alinea yang pucat sambil memegang surat it
Pagi itu, mentari nyaris enggan muncul dari balik kabut. Udara terasa dingin, bukan hanya karena cuaca, melainkan juga karena suasana yang menggantung tegang di dalam rumah keluarga Rayendra.Leon berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, memandangi taman yang basah oleh sisa hujan semalam. Namun pikirannya tidak berada di sana. Ia masih memikirkan mimpi buruk yang diceritakan Alinea, dan langkah kaki misterius di koridor. Semua terasa makin nyata, makin mengarah ke satu kesimpulan: ini bukan ancaman biasa.Bukan dari luar.Tapi dari dalam.Leon mengepalkan tangan. Ia sudah mencurigai ada yang tidak beres sejak Alinea menerima pesan misterius dengan nada mengancam. Namun kini, setelah suara langkah di malam hari dan jejak sepatu basah yang menuju koridor timur—bagian rumah yang jarang dilewati siapa pun kecuali beberapa anggota keluarga—kecurigaannya makin menguat.Pintu ruangannya diketuk.“Masuk.”Claudia melangka