Home / Romansa / Kontrak Tanpa Cinta / Bab 1 : Kontrak tanpa Cinta

Share

Kontrak Tanpa Cinta
Kontrak Tanpa Cinta
Author: Gywnee

Bab 1 : Kontrak tanpa Cinta

Author: Gywnee
last update Last Updated: 2025-06-16 18:59:08

“Aku bukan suamimu. Aku hanya pria yang menandatangani kontrak dengan keluargamu.”

---

Hujan turun tanpa jeda, mengguyur tubuh Alinea Putri yang berdiri kaku di depan gerbang besar bercat hitam. Tangan kecilnya menggenggam koper tua yang sudah basah, sementara rambut panjangnya menempel di pipi karena air hujan. Suaranya tercekat. Tak ada payung. Tak ada sambutan. Hanya dingin—dan perasaan asing yang mencekik.

Ia menatap papan nama di depan rumah mewah itu.

Rayendra Mansion.

Rumah suaminya. Atau… pria yang dipaksa menikahinya demi menyelamatkan perusahaan keluarganya yang bangkrut.

Dengan napas berat, Alinea mengangkat tangannya dan menekan bel.

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Seorang pria tinggi menjulang berdiri di ambang. Setelan jas hitam mahal melekat sempurna di tubuhnya, wajahnya tajam seperti dipahat. Dingin. Mata itu… bukan mata yang ingin ia lihat di malam pertamanya sebagai seorang istri.

Leonhart Rayendra.

“Masuk,” ucapnya tanpa emosi.

Alinea ragu sejenak, tapi melangkah masuk. Sepatu basahnya menyentuh lantai marmer putih yang mengilap, meninggalkan jejak air. Rumah itu megah, luas, tapi terasa lebih dingin dari hujan di luar sana.

“Ruanganmu di lantai dua. Kamar paling ujung,” ucap Leon tanpa menatapnya. “Atur barangmu sendiri. Dan satu hal—aku tidak suka wanita cerewet. Jangan ganggu hidupku.”

Alinea menunduk, jantungnya berdebar.

“Baik, Tuan...”

“Jangan panggil aku ‘Tuan’. Panggil aku Leon. Tapi jangan pernah berpikir kita akan hidup seperti pasangan sungguhan.”

Ada jeda. Suara detak jam dinding terdengar begitu nyaring di tengah keheningan.

“Pernikahan ini hanya kontrak. Setelah satu tahun, kau bebas pergi.”

Satu tahun. Waktu yang ditentukan ayahnya dalam perjanjian.

Satu tahun menjadi istri pura-pura.

Satu tahun tinggal bersama pria yang bahkan tak ingin menatap matanya.

Alinea mengangguk perlahan. “Aku mengerti.”

---

Malam itu, ia tidur di kamar asing, sendirian, dengan gaun pengantin yang belum sempat diganti. Tanpa ciuman pernikahan. Tanpa pelukan. Tanpa ucapan “selamat malam”.

Hanya satu kalimat yang terus terngiang di kepalanya:

"Aku bukan suamimu. Aku hanya pria yang menandatangani kontrak dengan keluargamu."

...

Alinea duduk di tepi ranjang empuk, matanya menatap kosong ke arah jendela yang masih basah oleh hujan. Gaun putih itu sudah kusut, rambutnya acak-acakan, dan kakinya dingin karena belum sempat berganti pakaian. Tapi tubuhnya terasa terlalu berat untuk bergerak.

Perlahan, ia meraih bingkai foto kecil dari dalam kopernya—foto ibunya yang sedang terbaring lemah di rumah sakit.

“Ma, aku sudah menikah…” bisiknya pelan, suara itu nyaris pecah. “Aku tahu Mama pasti kecewa karena aku tidak menikah karena cinta… tapi ini cara satu-satunya.”

Air mata mengalir diam-diam. Bukan karena pernikahan kontrak ini, tapi karena ia harus memilih: menjual hidupnya demi memperpanjang hidup ibunya.

Tak ada bunga. Tak ada pesta. Tak ada satu pun ucapan selamat. Bahkan gaun ini pun ia beli sendiri, dari hasil menjual kalung kenangan dari almarhum ayahnya.

Tangannya meraba cincin kawin di jari manis. Dingin. Seperti hubungan mereka.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar. Alinea segera menyeka air matanya dan menahan napas. Tapi langkah itu tak berhenti di depan kamarnya. Langkah itu terus menjauh… menuju kamar Leon di sisi berlawanan.

Dia tidak akan datang. Bahkan di malam pertama ini pun… dia memilih tidur sendiri.

Alinea menunduk, bibirnya bergetar. “Aku tidak akan mengganggumu, Leon… Tapi tolong, jangan perlakukan aku seperti aku tak ada…”

Dalam heningnya kamar itu, hanya suara detik jam yang menjawab.

Detak demi detak, seperti sisa harapan yang perlahan habis…

...

Leon berdiri membelakangi pintu kamarnya yang tertutup rapat. Lampu kamar menyala redup, dan segelas wine di tangan kanannya nyaris tak disentuh.

Di balik dinding itu, dia tahu Alinea pasti sedang duduk dalam sepi.

Gadis itu… terlalu tenang, terlalu diam—dan itulah yang paling mengganggu pikirannya malam ini.

Ia menghela napas panjang, menatap kaca jendela besar yang memperlihatkan langit malam. Hujan belum juga reda. Tetesannya turun pelan-pelan, mengiringi gelisah yang tak ingin ia akui.

"Apa yang kau harapkan dariku, gadis kecil?" gumam Leon pelan, lirih.

Ia masih mengingat wajah Alinea saat berdiri di depan pintu rumahnya. Basah kuyup, tetapi tetap berdiri tegak. Tatapan matanya tidak memohon—namun penuh luka. Luka yang entah kenapa membuat dadanya terasa sesak.

Tapi dia tak bisa memperlihatkannya. Tidak boleh.

Pernikahan ini hanya permainan bisnis. Dan dia sudah cukup hancur oleh cinta di masa lalu.

Tidak akan ada perempuan lain yang bisa masuk ke dalam hidupnya, apalagi hatinya. Tidak lagi.

Leon meneguk seteguk wine lalu berjalan ke arah jendela. Dari celah gorden, ia bisa melihat cahaya samar dari kamar Alinea.

"Jangan berharap apa pun dariku," bisiknya lagi. "Karena aku tak punya apa pun untuk diberikan. Bahkan hatiku pun sudah mati."

Namun, bahkan ketika ia berkata demikian, matanya masih tetap tertuju pada cahaya kamar Alinea—lama, terlalu lama, hingga ia sendiri tak sadar kapan matanya mulai berat.

..

Di dalam kamar gelap yang hanya diterangi lampu meja kecil, Alinea menggulung tubuhnya di atas ranjang seperti anak kecil. Angin malam menyelinap masuk dari jendela yang belum sepenuhnya tertutup, membuat tubuhnya menggigil.

Hujan di luar sana terus turun. Deras. Sama seperti malam itu—malam ketika hidupnya berubah untuk selamanya.

Perlahan, bayangan masa lalu menyeruak. Ia kembali menjadi gadis kecil berusia tujuh tahun, berdiri di depan ruang UGD sambil memeluk boneka rusak. Pintu berayun terbuka, dan dua perawat keluar sambil menunduk.

“Maafkan kami, Ayahmu tidak bisa diselamatkan.”

Suara itu masih bergema jelas di telinganya.

Tangisan ibunya.

Suara pelan boneka yang jatuh dari pelukannya.

Dan dirinya, berdiri kaku, tidak tahu harus merasa apa.

Sejak malam itu, ia tahu hidup tak akan lagi sama.

Ia belajar untuk kuat.

Ia belajar untuk tersenyum meski hatinya retak.

Dan malam ini—saat tidur di kamar orang asing, sebagai istri kontrak yang tak diinginkan—rasanya seperti mimpi buruk lama yang kembali menggerogoti hatinya.

Air mata mengalir lagi. Tapi Alinea tak menghapusnya. Ia hanya berbisik pelan, nyaris tak terdengar.

"Ayah… maaf kalau anakmu harus menyerahkan hidupnya demi menyelamatkan Mama. Aku harap… Ayah bisa mengerti."

Hujan masih turun.

Dan seperti masa kecilnya yang penuh luka, malam ini pun sama sunyinya.

..

Satu minggu sebelum pernikahan.

Di ruang kerja mewah kantor Rayendra Corporation, langit sore menggelap oleh awan mendung. Di balik jendela kaca setinggi langit-langit, Leon Rayendra duduk bersandar dengan kedua tangan terlipat, menatap tajam pria paruh baya yang duduk di depannya—Arya Putri, pemilik grup perusahaan yang kini terancam bangkrut.

Wajah Arya tampak lelah, matanya sembab. Namun tatapannya tetap tenang.

“Aku tidak meminta simpati, Tuan Leon. Aku hanya minta satu hal—selamatkan anak perempuanku. Selamatkan keluargaku,” ucapnya lirih. “Alinea tidak tahu bahwa perusahaanku hampir jatuh… dan aku tidak ingin dia tahu.”

Leon tidak menjawab. Ia hanya menatap pria itu dengan sorot mata yang sulit dibaca.

“Sebagai imbalannya,” lanjut Arya, “aku serahkan saham mayoritasku ke tanganmu. Anggap saja ini merger. Tapi... syarat dari keluargaku—kami ingin Alinea menikah dengan pria yang bisa menjaganya.”

Leon mendengus. “Dan Anda pikir saya pria yang cocok untuk itu?”

“Bukan karena cocok. Tapi karena kau pria yang tidak akan pernah menyakiti dia. Aku tahu reputasimu, Leon. Dingin, brutal, tak tersentuh. Tapi aku juga tahu… kau bukan monster.”

Diam. Sunyi.

“Anakmu bukan mainan,” kata Leon akhirnya, suaranya rendah. “Apa kau yakin dia bisa menjalani hidup dengan pria yang tidak mencintainya?”

Arya tersenyum sendu. “Aku tidak yakin. Tapi aku percaya satu hal—lebih baik dia bersama orang yang tidak mencintainya, daripada dia kehilangan segalanya sendirian. Aku mungkin ayah yang buruk… tapi ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan hidup istri dan anakku.”

Leon menatap pria itu cukup lama. Lalu ia bangkit berdiri, mengenakan jasnya kembali.

“Satu tahun. Setelah itu, kontrak berakhir.”

Arya berdiri perlahan, mengangguk. “Itu lebih dari cukup.”

Saat Leon berjalan menuju pintu, Arya sempat berkata satu kalimat terakhir yang berhenti di langkahnya.

“Jika suatu saat kau mulai merasakan sesuatu untuk Alinea… jangan buang waktu seperti aku dulu. Jangan tunggu sampai semuanya terlambat.”

Leon tidak membalas. Tapi untuk pertama kalinya, sorot matanya terlihat… goyah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 17 - Jejak dalam bayangan

    Pagi itu, udara terasa berat meski matahari bersinar cerah. Alinea menatap langit-langit kamar dengan mata yang tak benar-benar tidur semalaman. Di sampingnya, Leon masih terlelap, meskipun raut wajahnya menunjukkan kegelisahan yang dalam. Wajah itu... tak lagi sekaku dulu. Ia mulai bisa membaca emosi di balik sorot matanya.Perlahan, Alinea bangkit dari ranjang, mengambil ponsel dari meja dan membuka pesan misterius kemarin. Nomor itu masih ada, belum diblokir. Entah kenapa, ia merasa butuh menjaganya tetap ada. Mungkin... itu bisa menjadi petunjuk.Ia berjalan ke dapur dan menyalakan mesin kopi. Detik-detik hening berlalu hingga suara langkah kaki Leon terdengar mendekat. Ia hanya mengenakan kaus hitam polos dan celana santai, namun tetap terlihat seperti CEO yang membawa aura dingin dan berwibawa."Kamu nggak tidur?" tanya Leon sambil mengambil cangkir kopi yang disodorkan Alinea."Tidur, tapi nggak nyenyak. Aku kepikiran soal mobil ayahmu

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 16 - Di balik dinding kaca

    Alinea berdiri mematung di balkon lantai atas vila Rayendra, memandang langit malam yang mulai mendung. Angin lembut menerpa wajahnya, membuat helaian rambut panjangnya berayun pelan. Di dalam hatinya, badai justru sedang berkecamuk. Kata-kata ancaman yang ia baca dari pesan misterius siang tadi masih terngiang jelas.“Jangan terlalu nyaman. Kau bukan istri sebenarnya. Dan kau akan tahu akibatnya.”Suara langkah kaki mendekat membuat Alinea menoleh. Leon berdiri di ambang pintu balkon, wajahnya serius namun tidak segelap biasanya. Ia membawa dua cangkir teh hangat.“Kau belum tidur,” ucap Leon sambil menyerahkan salah satu cangkir padanya.Alinea menerima cangkir itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Aku tak bisa tidur.”Leon menatapnya dalam diam, lalu berdiri di sampingnya, memandangi langit yang sama.“Karena pesan itu?” tanyanya pelan, namun tajam.Alinea terdiam sesaat. “Kau tahu?”Leon mengangguk.

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 15 - Dosa yang Terlupakan

    Hening. Itulah yang Alinea rasakan sepanjang perjalanan pulang ke kediaman keluarga Rayendra.Ia duduk di dalam mobil, menatap keluar jendela, menyaksikan deretan lampu kota yang samar-samar memantul di kaca. Tapi pikirannya tak tenang. Bukan hanya karena foto-foto itu… tetapi karena kini, ia merasa tidak hanya dijadikan korban—melainkan pion.Leon duduk di kursi kemudi dengan rahang mengeras. Kedua tangannya menggenggam setir erat, seolah sedang menahan sesuatu yang hampir meledak. Sejak perdebatan tadi, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya."Aku harus tahu satu hal." Suara Alinea akhirnya pecah.Leon menoleh sedikit. "Apa?""Apa kamu yakin Claudia bukan hanya tumbal?"Leon menghela napas dalam-dalam. "Ya… Claudia memang berambisi. Tapi dia bukan dalangnya. Paman Dirga… dia lebih dari sekadar paman. Dia yang membesarkan ayahku saat kakek meninggal. Dia memiliki banyak pengaruh. Bahkan, sebelum ayahku wafat,

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 14 - Jejak dari Bayang-bayang

    Malam kembali turun dengan sunyi yang mencengkeram. Di kamar utama, Leon berdiri di depan jendela besar, menatap jauh ke gelapnya langit malam. Bayangan Alinea yang tertidur di ranjang hanya tampak samar oleh cahaya lampu tidur. Ia belum juga terlelap sejak menerima foto ancaman itu.Sementara itu, di ruang kerja rahasia bawah tanah yang hanya diketahui oleh Leon dan beberapa orang kepercayaannya, layar monitor memperlihatkan foto-foto pengawasan, data penyelidikan, dan satu gambar besar yang belum pernah Alinea lihat sebelumnya: foto seorang wanita muda yang hampir identik dengan Alinea. Nama di bawahnya: "Anastasia Rayendra"."Kau benar-benar kembali dalam bentuk yang lain…" gumam Leon lirih.Ia menutup map yang terbuka di hadapannya, bertuliskan: Kasus Penembakan 9 Tahun Lalu - Kematian Anastasia.Pagi HariAlinea berjalan ke ruang kerja Leon dengan secangkir kopi. Ia melihat suaminya yang tampak lelah dan tidak tidur semalaman. “

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 13 - Luka yang tidak pernah sembuh

    Luka yang Tidak Pernah SembuhHujan turun deras malam itu, menghantam kaca jendela rumah Leon dengan irama yang menggambarkan kegelisahan di hati Alinea. Di dalam kamar yang luas dan sepi, Alinea duduk di sisi tempat tidur sambil memegang surat ancaman terbaru yang ia temukan di dalam laci lemari kerjanya. Surat itu tidak lagi ditulis dengan kalimat samar. Kata-katanya jelas, tajam, dan penuh kebencian.> "Kamu pikir dia mencintaimu? Kamu hanya mainan. Waktumu hampir habis, Alinea."Tangannya gemetar saat membaca ulang isi surat itu. Ancaman ini terasa sangat pribadi, seolah seseorang yang sangat mengenalnya dan menyimpan dendam mendalam sedang mengawasinya setiap saat. Rasa takut yang sudah lama ia tekan perlahan merayap lagi, mencengkram jiwanya seperti belenggu tak terlihat.Pintu kamar terbuka pelan. Leon masuk dengan wajah letih, rambutnya basah, dan dasi yang sudah longgar. Saat matanya tertuju pada Alinea yang pucat sambil memegang surat it

  • Kontrak Tanpa Cinta   Bab 12- Bayangan di balik darah dan nama

    Pagi itu, mentari nyaris enggan muncul dari balik kabut. Udara terasa dingin, bukan hanya karena cuaca, melainkan juga karena suasana yang menggantung tegang di dalam rumah keluarga Rayendra.Leon berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya, memandangi taman yang basah oleh sisa hujan semalam. Namun pikirannya tidak berada di sana. Ia masih memikirkan mimpi buruk yang diceritakan Alinea, dan langkah kaki misterius di koridor. Semua terasa makin nyata, makin mengarah ke satu kesimpulan: ini bukan ancaman biasa.Bukan dari luar.Tapi dari dalam.Leon mengepalkan tangan. Ia sudah mencurigai ada yang tidak beres sejak Alinea menerima pesan misterius dengan nada mengancam. Namun kini, setelah suara langkah di malam hari dan jejak sepatu basah yang menuju koridor timur—bagian rumah yang jarang dilewati siapa pun kecuali beberapa anggota keluarga—kecurigaannya makin menguat.Pintu ruangannya diketuk.“Masuk.”Claudia melangka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status